Cikal Bakal Industri Pesawat Terbang RI Dimulai Sejak 110 Tahun Lalu
Bandung ☆ Indonesia kini memiliki pabrik pesawat terbang, BUMN PT Dirgantara Indonesia (PTDI). PTDI didirikan oleh Presiden Soeharto pada tahun 26 April 1976, waktu itu bernama PT Industri Pesawat Terbang Nurtanio, kemudian berganti nama jadi PT Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) 11 Oktober 1985.
Pabrik ini berdiri di area komplek Bandara Husein Sastranegara, Bandung, Jawa Barat.
Sejak 1976 hingga saat ini, PTDI telah mengembangkan dan memproduksi berbagai tipe pesawat terban serta merakit helikopter. PTDI pernah memiliki karyawan pada masa jayanya mencapai 16.000 orang.
Namun tahukah Anda, pengembangan industri pesawat terbang di Indonesia telah dimulai sejak puluhan tahun sebelum PTDI berdiri atau seratus tahun lebih atau pada masa pemerintahan Hindia Belanda di tahun 1904 atau 110 tahun lalu.
"Seorang Belanda, Ir Onnen melakukan penelitian terbang layang dengan bahan baku bambu tahun 1904 di Sukabumi,” kata Direktur Niaga dan Restrukturisasi PTDI Budiman Saleh di Kantor Pusat PTDI di Bandung, akhir pekan lalu.
Proses pengembangan pesawat di tanah air terus berkembang. Pada tahun 1923, di era Hindia Belanda dikembangkan pusat pengembangan pesawat di daerah Sukamiskin, Bandung.
“Ini merupakan awal berdirinya industri pesawat terbang di Tanah Air. Ir D.S. Gaastra sebagai Dirut,” jelasnya.
Selanjutnya fasilitas ini dipindahkan oleh pemerintah kolonial Belanda ke wilayah Andir Bandung. Pemindahan ini dilanjutkan dengan perluasan fasilitas perakitan pesawat untuk mengantisipasi invansi Jepang.
Selanjutnya pada tahun 1935, pusat pengembangan ini berhasil menyelesaikan dan melakukan pengiriman pesawat baling-baling bermesin ganda PW2 kepada seorang pengusaha.
“Pesawat bermesin ganda PW2 pesanan pengusaha roti Khouw Khe Hien, berhasil diterbangkan dari Batavia (Jakarta) ke Amsterdam dan London pada tahun 1935,” terangnya.
Pengembangan pesawat di Indonesia terus berlanjut meski memasuki era kemerdekaan. Pada masa kemerdekaan, terjadi pengambilalihan fasilitas penerbangan milik Belanda di Andir, Bandung serta bengkel pesawat di Maguwo Yogyakarta dan Maospati, Madiun.
Pada periode kemerdekaan, pada tahun 1946-1948, Biro Perencana Kontruksi Pesawat TNI AU (saat itu TRI AU) berhasil membuat pesawat layang jenis Zoging dan Nurtanio-Wiweko Glider (NWG). Saat itu, ahli pesawat asal Indonesia antara lain Wiweko Supono, Nurtanio Pringgoadisuryo dan Sumarso.
“Kemudian pada tahun 1948 membuat Wiweko Experimental Light Plane (WEL X/RIX-1)," kata.
Pengembangan pesawat terus belanjut, di bawah Nurtanio, Indonesia mampu memproduksi pesawat latih dan layang seperti kumbang, kunang, belalang 85 dan belalang 90. Pengembangan pesawat tersebut berada di bawah periode Presiden Soekarno.
Memasuki pergantian presiden, akhirnya sejak tahun 1976 didirikan PT Industri Pesawat Terbang Nurtanio. Hingga kini, PTDI telah berhasil mengembangkan berbagai jenis pesawat seperti: NC212, CN235, N250, N2130 hingga CN295.
Sedangkan helikopter, PTDI menggandeng produsen dunia untuk merakit jenis NBO 105, NBELL 412, NAS 330 Puma, NAS 332 Super Puma. Pada masa puncaknya atau sebelum krisis ekonomi melanda Indonesia tahun 1998, PTDI pernah memiliki hingga 16.000 pekerja. Saat ini, total karyawan PTDI hanya mencapai 4.231 orang.
Pesawat Jumbo Airbus 380 Tak Bisa Terbang Jika PT DI Tutup
BUMN produsen pesawat terbang PT Dirgantara Indonesia (PTDI) telah menjadi mitra strategis perusahaan pesawat dan helikopter dunia seperti Airbus.
Melalui tender internasional, PTDI berhasil menjadi pemasok utama atau tunggal untuk pembuatan komponen vital pesawat super jumbo Airbus 380. PTDI membuat salah satu komponen sayap yang bernama Outer Fixed Leading Edge.
Komponen ini masuk kategori tersulit dan vital dalam sebuah pesawat terbang. Maka ketika PTDI tidak atau terlambat memproduksi komponen ini, maka produksi A380 akan terganggu.
"Kalau PTDI ditutup, mereka menjerit. Karena kita single distributor. Bahkan Menteri Keuangan Prancis bertemu Presiden SBY, minta jangan pailitkan PTDI. Karena kalau kita setop, mereka setop,” kata Direktur Niaga dan Restrukturisasi PTDI Budiman Saleh di Kantor Pusat PTDI di Bandung, akhir pekan lalu.
Seperti diketahui, PTDI sempat diputus pailit Pengadilan Niaga Jakarta Pusat pada tahun 2007. Namun putusan ini dibatalkan Mahkamah Agung (MA) pada tahun 2008. Jika PTDI berhasil dipailitkan maka proses produksi komponen A380 ikut terhenti.
Hingga saat ini, komponen outer fixed leading edge ini telah terpasang pada 165 pesawat jumbo A380. Selain komponen A380, PTDI juga membuat komponen pesawat jenis A320, A321, A340, A350 hingga Boeing 747.
“Airbus 320, 330, 340,350,380. Semua buat komponen di sayap,” jelasnya.
Selain membuat komponen pesawat, PTDI juga dipercaya Eurocopter memproduksi komponen helikopter. Seperti komponen tail boom dan fuselage dari Helikopter tipe EC725 dan EC225.
Untuk bisnis komponen pesawat atau aerostructure, PTDI pada tahun 2013, memperoleh kontrak baru senilai Rp 112 miliar dan senilai Rp 728 miliar akan diperoleh pada tahun 2014.(hen/hen)
Ilustrasi Pesawat |
Bandung ☆ Indonesia kini memiliki pabrik pesawat terbang, BUMN PT Dirgantara Indonesia (PTDI). PTDI didirikan oleh Presiden Soeharto pada tahun 26 April 1976, waktu itu bernama PT Industri Pesawat Terbang Nurtanio, kemudian berganti nama jadi PT Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) 11 Oktober 1985.
Pabrik ini berdiri di area komplek Bandara Husein Sastranegara, Bandung, Jawa Barat.
Sejak 1976 hingga saat ini, PTDI telah mengembangkan dan memproduksi berbagai tipe pesawat terban serta merakit helikopter. PTDI pernah memiliki karyawan pada masa jayanya mencapai 16.000 orang.
Namun tahukah Anda, pengembangan industri pesawat terbang di Indonesia telah dimulai sejak puluhan tahun sebelum PTDI berdiri atau seratus tahun lebih atau pada masa pemerintahan Hindia Belanda di tahun 1904 atau 110 tahun lalu.
"Seorang Belanda, Ir Onnen melakukan penelitian terbang layang dengan bahan baku bambu tahun 1904 di Sukabumi,” kata Direktur Niaga dan Restrukturisasi PTDI Budiman Saleh di Kantor Pusat PTDI di Bandung, akhir pekan lalu.
Proses pengembangan pesawat di tanah air terus berkembang. Pada tahun 1923, di era Hindia Belanda dikembangkan pusat pengembangan pesawat di daerah Sukamiskin, Bandung.
“Ini merupakan awal berdirinya industri pesawat terbang di Tanah Air. Ir D.S. Gaastra sebagai Dirut,” jelasnya.
Selanjutnya fasilitas ini dipindahkan oleh pemerintah kolonial Belanda ke wilayah Andir Bandung. Pemindahan ini dilanjutkan dengan perluasan fasilitas perakitan pesawat untuk mengantisipasi invansi Jepang.
Selanjutnya pada tahun 1935, pusat pengembangan ini berhasil menyelesaikan dan melakukan pengiriman pesawat baling-baling bermesin ganda PW2 kepada seorang pengusaha.
“Pesawat bermesin ganda PW2 pesanan pengusaha roti Khouw Khe Hien, berhasil diterbangkan dari Batavia (Jakarta) ke Amsterdam dan London pada tahun 1935,” terangnya.
Pengembangan pesawat di Indonesia terus berlanjut meski memasuki era kemerdekaan. Pada masa kemerdekaan, terjadi pengambilalihan fasilitas penerbangan milik Belanda di Andir, Bandung serta bengkel pesawat di Maguwo Yogyakarta dan Maospati, Madiun.
Pada periode kemerdekaan, pada tahun 1946-1948, Biro Perencana Kontruksi Pesawat TNI AU (saat itu TRI AU) berhasil membuat pesawat layang jenis Zoging dan Nurtanio-Wiweko Glider (NWG). Saat itu, ahli pesawat asal Indonesia antara lain Wiweko Supono, Nurtanio Pringgoadisuryo dan Sumarso.
“Kemudian pada tahun 1948 membuat Wiweko Experimental Light Plane (WEL X/RIX-1)," kata.
Pengembangan pesawat terus belanjut, di bawah Nurtanio, Indonesia mampu memproduksi pesawat latih dan layang seperti kumbang, kunang, belalang 85 dan belalang 90. Pengembangan pesawat tersebut berada di bawah periode Presiden Soekarno.
Memasuki pergantian presiden, akhirnya sejak tahun 1976 didirikan PT Industri Pesawat Terbang Nurtanio. Hingga kini, PTDI telah berhasil mengembangkan berbagai jenis pesawat seperti: NC212, CN235, N250, N2130 hingga CN295.
Sedangkan helikopter, PTDI menggandeng produsen dunia untuk merakit jenis NBO 105, NBELL 412, NAS 330 Puma, NAS 332 Super Puma. Pada masa puncaknya atau sebelum krisis ekonomi melanda Indonesia tahun 1998, PTDI pernah memiliki hingga 16.000 pekerja. Saat ini, total karyawan PTDI hanya mencapai 4.231 orang.
PT DI, yang Dulu Buntung Sekarang Untung
BUMN
produsen pesawat dan helikopter yaitu PT Dirgantara Indonesia (PTDI)
telah memasuki masa kebangkitan. Setelah mengalami masa sulit pasca
badai krisis ekonomi tahun 1998. Angin segar pun datang pada BUMN yang
bermarkas di Bandung Jawa Barat ini.
Kebangkitan PTDI bermula saat perseroan memperoleh suntikan Penyertaan Modal Negara (PMN) sebesar Rp 2,075 triliun, serta pasca menjalani program restrukturisasi dan revitalisasi pada tahun 2011. Apalagi PTDI didukung oleh kebijakan pemerintah melalui Perpres 42/2010 tentang Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP), sehingga praktis PTDI menjadi prioritas dalam memasok pesawat dan helikopter untuk TNI.
"Dari 2012, pasca restrukturisasi itu pejualan, aset dan ekuitas di PTDI naik," kata Direktur Niaga dan Restrukturisasi PTDI Budiman Saleh di Kantor Pusat PTDI di Bandung saat ditemui akhir pekan lalu (14/2/2014).
Padahal di 2007, PTDI pernah dinyatakan pailit, namun kemudian putusan pailit dibatalkan di 2008. Selain itu, di 2010, modal (ekuitas) PTDI masih negatif senilai Rp 442 miliar. Namun semenjak menjalani program restrukturisasi dan revitalisasi, keuangan PTDI dari yang dulunya berdarah-darah menjadi positif.
Lalu di 2013, perseroan tercatat memperoleh laba bersih senilai Rp 10,27 miliar dan pejualan Rp 3,51 triliun. Sedangkan total kontrak baru dan lama yang diperoleh hingga akhir 2013 senilai Rp 10,83 triliun.
Sedangkan di 2014, dalam Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP), PTDI menargetkan memperoleh laba bersih senilai Rp 66,54 miliar atau naik 548% dari pencapaian 2013. Sementara, perseroan menargetkan penjualan Rp 4,85 triliun dan kontrak sebesar Rp 12,65 triliun.
Kontrak dan penjualan tersebut datang dari lini bisnis penjualan helikopter dan pesawat, jasa pembuatan komponen pesawat dan helikopter (aerostructure), jasa perawatan pesawat (aircraft services), serta teknologi dan pengembangan.
Ke depan, PTDI fokus melakukan jasa engineering dan pengembangan program pesawat jet tempur KFX/IFX dan pesawat N219. Serta melakukan pengembangan pesawat lama yakni CN235 Next Generation (N245) dan pesawat NC212i.(feb/dnl)
Kebangkitan PTDI bermula saat perseroan memperoleh suntikan Penyertaan Modal Negara (PMN) sebesar Rp 2,075 triliun, serta pasca menjalani program restrukturisasi dan revitalisasi pada tahun 2011. Apalagi PTDI didukung oleh kebijakan pemerintah melalui Perpres 42/2010 tentang Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP), sehingga praktis PTDI menjadi prioritas dalam memasok pesawat dan helikopter untuk TNI.
"Dari 2012, pasca restrukturisasi itu pejualan, aset dan ekuitas di PTDI naik," kata Direktur Niaga dan Restrukturisasi PTDI Budiman Saleh di Kantor Pusat PTDI di Bandung saat ditemui akhir pekan lalu (14/2/2014).
Padahal di 2007, PTDI pernah dinyatakan pailit, namun kemudian putusan pailit dibatalkan di 2008. Selain itu, di 2010, modal (ekuitas) PTDI masih negatif senilai Rp 442 miliar. Namun semenjak menjalani program restrukturisasi dan revitalisasi, keuangan PTDI dari yang dulunya berdarah-darah menjadi positif.
Lalu di 2013, perseroan tercatat memperoleh laba bersih senilai Rp 10,27 miliar dan pejualan Rp 3,51 triliun. Sedangkan total kontrak baru dan lama yang diperoleh hingga akhir 2013 senilai Rp 10,83 triliun.
Sedangkan di 2014, dalam Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP), PTDI menargetkan memperoleh laba bersih senilai Rp 66,54 miliar atau naik 548% dari pencapaian 2013. Sementara, perseroan menargetkan penjualan Rp 4,85 triliun dan kontrak sebesar Rp 12,65 triliun.
Kontrak dan penjualan tersebut datang dari lini bisnis penjualan helikopter dan pesawat, jasa pembuatan komponen pesawat dan helikopter (aerostructure), jasa perawatan pesawat (aircraft services), serta teknologi dan pengembangan.
Ke depan, PTDI fokus melakukan jasa engineering dan pengembangan program pesawat jet tempur KFX/IFX dan pesawat N219. Serta melakukan pengembangan pesawat lama yakni CN235 Next Generation (N245) dan pesawat NC212i.(feb/dnl)
Pesawat Jumbo Airbus 380 Tak Bisa Terbang Jika PT DI Tutup
BUMN produsen pesawat terbang PT Dirgantara Indonesia (PTDI) telah menjadi mitra strategis perusahaan pesawat dan helikopter dunia seperti Airbus.
Melalui tender internasional, PTDI berhasil menjadi pemasok utama atau tunggal untuk pembuatan komponen vital pesawat super jumbo Airbus 380. PTDI membuat salah satu komponen sayap yang bernama Outer Fixed Leading Edge.
Komponen ini masuk kategori tersulit dan vital dalam sebuah pesawat terbang. Maka ketika PTDI tidak atau terlambat memproduksi komponen ini, maka produksi A380 akan terganggu.
"Kalau PTDI ditutup, mereka menjerit. Karena kita single distributor. Bahkan Menteri Keuangan Prancis bertemu Presiden SBY, minta jangan pailitkan PTDI. Karena kalau kita setop, mereka setop,” kata Direktur Niaga dan Restrukturisasi PTDI Budiman Saleh di Kantor Pusat PTDI di Bandung, akhir pekan lalu.
Seperti diketahui, PTDI sempat diputus pailit Pengadilan Niaga Jakarta Pusat pada tahun 2007. Namun putusan ini dibatalkan Mahkamah Agung (MA) pada tahun 2008. Jika PTDI berhasil dipailitkan maka proses produksi komponen A380 ikut terhenti.
Hingga saat ini, komponen outer fixed leading edge ini telah terpasang pada 165 pesawat jumbo A380. Selain komponen A380, PTDI juga membuat komponen pesawat jenis A320, A321, A340, A350 hingga Boeing 747.
“Airbus 320, 330, 340,350,380. Semua buat komponen di sayap,” jelasnya.
Selain membuat komponen pesawat, PTDI juga dipercaya Eurocopter memproduksi komponen helikopter. Seperti komponen tail boom dan fuselage dari Helikopter tipe EC725 dan EC225.
Untuk bisnis komponen pesawat atau aerostructure, PTDI pada tahun 2013, memperoleh kontrak baru senilai Rp 112 miliar dan senilai Rp 728 miliar akan diperoleh pada tahun 2014.(hen/hen)
Pesawat N219 Made In Bandung Bakal Meluncur 2015
PT Dirgantara Indonesia (PTDI) sedang mengembangkan pesawat terbang asli buatan sendiri, yaitu N219. Pesawat yang dirancang untuk penerbangan sipil dan militer ini sekarang masuk fase preliminary design. Ditargetkan pada awal 2015, pesawat N219 bisa diperkenalkan ke publik dan calon pembeli (roll out).
"N219 kita canangkan first roll out pada awal 2015. Dikeluarkan ke hangar, dipamerkan kepada konsumen dan media," kata Direktur Niaga dan Restrukturisasi PTDI Budiman Saleh di Kantor Pusat PTDI di Bandung saat ditemui akhir pekan lalu (14/2/2014).
Seperti diketahui, N219 merupakan pesawat baling-baling berkapasitas 19 penumpang. Pesawat ini dirancang untuk melayani penerbangan hingga pelosok negeri. Pesaing terberat N219 adalam pesawat generasi lama jenis Twin Otter.
Budiman menjelaskan, N219 dirancang menggunakan teknologi terbaru dari pesawat NC212i dan CN235. Diharapkan dengan perpaduan teknologi itu, N219 mampu menjadi pesawat canggih dengan harga terjangkau.
"Kita carikan best technology dan termurah. Landing gear kita cari untuk available to market," jelasnya.
Ketika berhasil diperkenalkan ke publik pada awal 2015 dan mulai diproduksi di 2016, N219 akan menjadi pesawat pertama PTDI yang dijual secara komersial. PTDI sempat merancang pesawat propeller N250 dan pesawat jet N2130, namun kedua pesawat itu, berhenti pengembangannya sebelum berhasil diproduksi secara massal karena perintah International Monetary Fund (IMF) pasca krisis ekonomi tahun 1998.
Pesawat N219 ini, telah memperoleh sambutan hangat dari industri penerbangan tanah air, meskipun belum diperkenalkan ke publik. Maskapai besar tanah air seperti Lion Air telah menyatakan niat membeli 100 unit N219.
"Customer pertama Lion akan membeli 100 unit, PT NBA membeli 20 unit, dan TNI," sebut Budi.(feb/dnl)
"N219 kita canangkan first roll out pada awal 2015. Dikeluarkan ke hangar, dipamerkan kepada konsumen dan media," kata Direktur Niaga dan Restrukturisasi PTDI Budiman Saleh di Kantor Pusat PTDI di Bandung saat ditemui akhir pekan lalu (14/2/2014).
Seperti diketahui, N219 merupakan pesawat baling-baling berkapasitas 19 penumpang. Pesawat ini dirancang untuk melayani penerbangan hingga pelosok negeri. Pesaing terberat N219 adalam pesawat generasi lama jenis Twin Otter.
Budiman menjelaskan, N219 dirancang menggunakan teknologi terbaru dari pesawat NC212i dan CN235. Diharapkan dengan perpaduan teknologi itu, N219 mampu menjadi pesawat canggih dengan harga terjangkau.
"Kita carikan best technology dan termurah. Landing gear kita cari untuk available to market," jelasnya.
Ketika berhasil diperkenalkan ke publik pada awal 2015 dan mulai diproduksi di 2016, N219 akan menjadi pesawat pertama PTDI yang dijual secara komersial. PTDI sempat merancang pesawat propeller N250 dan pesawat jet N2130, namun kedua pesawat itu, berhenti pengembangannya sebelum berhasil diproduksi secara massal karena perintah International Monetary Fund (IMF) pasca krisis ekonomi tahun 1998.
Pesawat N219 ini, telah memperoleh sambutan hangat dari industri penerbangan tanah air, meskipun belum diperkenalkan ke publik. Maskapai besar tanah air seperti Lion Air telah menyatakan niat membeli 100 unit N219.
"Customer pertama Lion akan membeli 100 unit, PT NBA membeli 20 unit, dan TNI," sebut Budi.(feb/dnl)
● detik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.