China dan AS meremajakan armada kapal selam mereka selama beberapa tahun terakhir. ♚
Mahkamah Arbitrase di Den Haag, Belanda, akan mengeluarkan putusan tentang wilayah perairan Laut China Selatan yang dipersengketakan China dan sejumlah negara Asia Tenggara, pada Selasa (12/07). Imbas putusan itu dinilai tak hanya mempengaruhi klaim wilayah China, tapi juga strategi militernya, sebagaimana diutarakan analis Alexander Neill.
Secara historis, proyek-proyek infrastruktur nasional China cenderung berskala raksasa. Tengok saja Tembok Besar China (yang merupakan karya beberapa abad lalu) dan Bendungan Tiga Ngarai (yang mulai dioperasikan pada 2012 lalu).
Di Laut China Selatan, proyek raksasa itu terwujud dalam bentuk serangkaian pulau buatan yang menampung sejumlah pangkalan militer. Padahal, dua tahun lalu, pulau-pulau itu tak lebih dari lahan berpasir dan terumbu yang tampak ketika air laut surut.
Mengapa Beijing bersusah payah menggelar pembangunan besar-besaran dalam waktu cepat di Laut China Selatan? Spekulasi mengemuka bahwa China sengaja mendirikan pulau-pulau buatan itu demi menciptakan fait-accompli atas putusan Mahkamah Arbitrase di Den Haag, Belanda, yang akan dikeluarkan pada Selasa (12/07).
Kapal selam China bertolak dari Pelabuhan Qingdao pada 22 April 2009.
Bagi China, kedaulatan nasional dan kredibilitas Partai Komunis sedang dipertaruhkan. Begitu pula dengan strategi penggentar berkekuatan nuklir di perairan.
Pembangunan pulau-pulau buatan di Laut China Selatan sejatinya punya dua fungsi, yakni memperkuat klaim kedaulatan China dan menjadi wadah keberadaan China di ranah militer dan sipil.
China berdalih bahwa pulau-pulau buatan tak hanya penting bagi sistem pertahanan, tapi juga kepentingan publik. Di Pulau Fiery Cross, China telah membangun mercusuar dan sebuah rumah sakit. Pada masa mendatang bukan tidak mungkin China akan menempatkan kantor administratif pemerintahan di sana.
China mendirikan sejumlah pulau buatan di Laut China Selatan dalam beberapa tahun terakhir.
Akan tetapi, elemen krusial bagi motivasi China untuk mendirikan pulau-pulau buatan terletak di bawah permukaan laut.
Kekhawatiran Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) akan rentannya strategi penggentar berkekuatan nuklir di daratan dan kemampuan meluncurkan serangan balasan kedua telah mendorong China untuk menempatkan beberapa hulu ledak nuklirnya di dalam kapal selam.
Dua tahun lalu, China mengerahkan kapal selam yang menampung 12 rudal balistik Jl-2 berhulu ledak nuklir untuk pertama kali.
Bertolak dari pangkalan militer dekat Sanya, di ujung selatan Pulau Hainan, kapal selam tersebut kini berpatroli di kedalaman Laut China Selatan. Namun, untuk bisa bersaing dengan Amerika Serikat, mereka harus bisa menembus Samudera Pasifik.
Pemerintah China mengeluarkan peta kawasan sembilan garis putus-putus atau nine-dashed lines yang mencakup sekitar 90% dari 3,5 juta kilometer persegi perairan Laut China Selatan.
Guna melakukannya, kapal selam China harus meluncur dari pangkalan militer di Hainan dan melintasi Laut Cina Selatan ke Samudera Pasifik tanpa terdeteksi. Departemen Pertahanan AS meyakini patroli kapal selam China akan bisa menembus Samudera Pasifik tahun ini.
Sebagian besar perairan bagian selatan China agak dangkal, dengan kedalaman di bawah 100 meter. Akan tetapi, di perairan yang tercakup dalam wilayah yang diklaim China di Laut China Selatan, landas kontinennya mencapai kedalaman 4.000 meter, cocok bagi persembunyian kapal selam.
Itulah sebabnya sejumlah pakar meyakini perairan dalam di Laut China Selatan, ditambah upaya China menangkal kapal selam asing di sana, amat mungkin menjadi basis kapal selam China pada masa mendatang.
Salah satu pulau buatan China di Laut China Selatan memiliki landasan udara yang mampu menampung sejumlah pesawat.
Dalam beberapa tahun terakhir, kedalaman air di Laut China Selatan telah menjadi arena bagi rivalitas antara Cina dan AS.
Pada awal 2009, sejumlah kapal nelayan China berupaya memotong kabel penghubung peralatan sonar yang ditarik kapal pemantau AS, USNS Impeccable, di lepas pantai Pulau Hainan. Kemudian, pada akhir 2009, kapal selam China menghantam peralatan sonar bawah laut yang ditarik kapal perang AS, USS John McCain, di Subic Bay, lepas pantai Filipina.
Baru-baru ini, China meluncurkan kapal fregat tipe 056A, Quijing, yang memiliki peralatan pemburu kapal selam asing. Kapal ini akan ditempatkan di Laut China Selatan.
Seperti era Perang Dingin, tatkala AS dan para sekutunya menciptakan jaringan peralatan menguping di dasar laut, yang terbenam di seluruh Asia untuk mendengarkan pergerakan kapal selam Rusia, China kini siap mengoperasikan jaringan serupa di Laut China Selatan.
AS unjuk kekuatan dengan menghadirkan kapal induk USS Theodore Roosevelt di Laut China Selatan.
Pencitraan satelit mengindikasikan pulau-pulau buatan China penuh dengan berbagai sensor canggih, termasuk perlengkapan radar dan stasiun komunikasi yang terhubung satelit. Segenap perlengkapan itu menambah kewaspadaan Angkatan Laut China di atas dan di bawah permukaan Laut China Selatan.
Teknologi semacam itu amat mungkin menjadi mata dan telinga bagi kekuatan kapal selam pengangkut rudal balistik China, tidak hanya untuk menghindari deteksi tapi juga menyasar musuh.
Guna meresponsnya, Menteri Pertahanan AS, Ashton Carter, mengatakan Pentagon akan menginvestasikan US$ 8 miliar atau Rp 105 triliun untuk memastikan kekuatan armada kapal selam, termasuk pengerahan drone bawah laut di kawasan Laut China Selatan.
Alexander Neill peneliti senior Shangri-La Dialogue dari IISS-Asia (International Institute for Strategic Studies - Asia). (nwk/nwk)
Mahkamah Arbitrase di Den Haag, Belanda, akan mengeluarkan putusan tentang wilayah perairan Laut China Selatan yang dipersengketakan China dan sejumlah negara Asia Tenggara, pada Selasa (12/07). Imbas putusan itu dinilai tak hanya mempengaruhi klaim wilayah China, tapi juga strategi militernya, sebagaimana diutarakan analis Alexander Neill.
Secara historis, proyek-proyek infrastruktur nasional China cenderung berskala raksasa. Tengok saja Tembok Besar China (yang merupakan karya beberapa abad lalu) dan Bendungan Tiga Ngarai (yang mulai dioperasikan pada 2012 lalu).
Di Laut China Selatan, proyek raksasa itu terwujud dalam bentuk serangkaian pulau buatan yang menampung sejumlah pangkalan militer. Padahal, dua tahun lalu, pulau-pulau itu tak lebih dari lahan berpasir dan terumbu yang tampak ketika air laut surut.
Mengapa Beijing bersusah payah menggelar pembangunan besar-besaran dalam waktu cepat di Laut China Selatan? Spekulasi mengemuka bahwa China sengaja mendirikan pulau-pulau buatan itu demi menciptakan fait-accompli atas putusan Mahkamah Arbitrase di Den Haag, Belanda, yang akan dikeluarkan pada Selasa (12/07).
Kapal selam China bertolak dari Pelabuhan Qingdao pada 22 April 2009.
Bagi China, kedaulatan nasional dan kredibilitas Partai Komunis sedang dipertaruhkan. Begitu pula dengan strategi penggentar berkekuatan nuklir di perairan.
Pembangunan pulau-pulau buatan di Laut China Selatan sejatinya punya dua fungsi, yakni memperkuat klaim kedaulatan China dan menjadi wadah keberadaan China di ranah militer dan sipil.
China berdalih bahwa pulau-pulau buatan tak hanya penting bagi sistem pertahanan, tapi juga kepentingan publik. Di Pulau Fiery Cross, China telah membangun mercusuar dan sebuah rumah sakit. Pada masa mendatang bukan tidak mungkin China akan menempatkan kantor administratif pemerintahan di sana.
China mendirikan sejumlah pulau buatan di Laut China Selatan dalam beberapa tahun terakhir.
Akan tetapi, elemen krusial bagi motivasi China untuk mendirikan pulau-pulau buatan terletak di bawah permukaan laut.
Kekhawatiran Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) akan rentannya strategi penggentar berkekuatan nuklir di daratan dan kemampuan meluncurkan serangan balasan kedua telah mendorong China untuk menempatkan beberapa hulu ledak nuklirnya di dalam kapal selam.
Dua tahun lalu, China mengerahkan kapal selam yang menampung 12 rudal balistik Jl-2 berhulu ledak nuklir untuk pertama kali.
Bertolak dari pangkalan militer dekat Sanya, di ujung selatan Pulau Hainan, kapal selam tersebut kini berpatroli di kedalaman Laut China Selatan. Namun, untuk bisa bersaing dengan Amerika Serikat, mereka harus bisa menembus Samudera Pasifik.
Pemerintah China mengeluarkan peta kawasan sembilan garis putus-putus atau nine-dashed lines yang mencakup sekitar 90% dari 3,5 juta kilometer persegi perairan Laut China Selatan.
Guna melakukannya, kapal selam China harus meluncur dari pangkalan militer di Hainan dan melintasi Laut Cina Selatan ke Samudera Pasifik tanpa terdeteksi. Departemen Pertahanan AS meyakini patroli kapal selam China akan bisa menembus Samudera Pasifik tahun ini.
Sebagian besar perairan bagian selatan China agak dangkal, dengan kedalaman di bawah 100 meter. Akan tetapi, di perairan yang tercakup dalam wilayah yang diklaim China di Laut China Selatan, landas kontinennya mencapai kedalaman 4.000 meter, cocok bagi persembunyian kapal selam.
Itulah sebabnya sejumlah pakar meyakini perairan dalam di Laut China Selatan, ditambah upaya China menangkal kapal selam asing di sana, amat mungkin menjadi basis kapal selam China pada masa mendatang.
Salah satu pulau buatan China di Laut China Selatan memiliki landasan udara yang mampu menampung sejumlah pesawat.
Dalam beberapa tahun terakhir, kedalaman air di Laut China Selatan telah menjadi arena bagi rivalitas antara Cina dan AS.
Pada awal 2009, sejumlah kapal nelayan China berupaya memotong kabel penghubung peralatan sonar yang ditarik kapal pemantau AS, USNS Impeccable, di lepas pantai Pulau Hainan. Kemudian, pada akhir 2009, kapal selam China menghantam peralatan sonar bawah laut yang ditarik kapal perang AS, USS John McCain, di Subic Bay, lepas pantai Filipina.
Baru-baru ini, China meluncurkan kapal fregat tipe 056A, Quijing, yang memiliki peralatan pemburu kapal selam asing. Kapal ini akan ditempatkan di Laut China Selatan.
Seperti era Perang Dingin, tatkala AS dan para sekutunya menciptakan jaringan peralatan menguping di dasar laut, yang terbenam di seluruh Asia untuk mendengarkan pergerakan kapal selam Rusia, China kini siap mengoperasikan jaringan serupa di Laut China Selatan.
AS unjuk kekuatan dengan menghadirkan kapal induk USS Theodore Roosevelt di Laut China Selatan.
Pencitraan satelit mengindikasikan pulau-pulau buatan China penuh dengan berbagai sensor canggih, termasuk perlengkapan radar dan stasiun komunikasi yang terhubung satelit. Segenap perlengkapan itu menambah kewaspadaan Angkatan Laut China di atas dan di bawah permukaan Laut China Selatan.
Teknologi semacam itu amat mungkin menjadi mata dan telinga bagi kekuatan kapal selam pengangkut rudal balistik China, tidak hanya untuk menghindari deteksi tapi juga menyasar musuh.
Guna meresponsnya, Menteri Pertahanan AS, Ashton Carter, mengatakan Pentagon akan menginvestasikan US$ 8 miliar atau Rp 105 triliun untuk memastikan kekuatan armada kapal selam, termasuk pengerahan drone bawah laut di kawasan Laut China Selatan.
Alexander Neill peneliti senior Shangri-La Dialogue dari IISS-Asia (International Institute for Strategic Studies - Asia). (nwk/nwk)
♚ detik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.