Sudah 10 WNI Diculik Kelompok Bersenjata Pertemuan 3 Panglima Tentara di Yogyakarta (Foto: Rusman/Setpres) ★
Jumat 5 Mei 2016 atau sekitar 2 bulan yang lalu, di Gedung Agung, Yogyakarta, 3 panglima tentara tiga negara, yakni Indonesia, Malaysia dan Filipina bertemu. Pertemuan itu dilatarbelakangi maraknya aksi penculikan oleh kelompok bersenjata di perairan Filipina.
Pertemuan yang juga diikuti Menteri Luar Negeri ketiga negara itu menelurkan sebuah kesepakatan untuk melakukan patroli bersama. Ketiga negara akan mengerahkan pasukan untuk menumpas kelompok bersenjata, yang sebagian merupakan kelompok Abu Sayyaf yang gemar melakukan penculikan di wilayah perairan Filipina.
Tapi bagaimana kenyataannya?
Dalam catatan detikcom, 2 bulan setelah pertemuan itu, justru sudah ada 10 WNI yang diculik kelompok bersenjata. Bahkan, kuat dugaan, dua kejadian penculikan dilakukan kelompok Abu Sayyaf.
Kejadian penculikan pertama pasca pertemuan Yogyakarta terjadi pada 20 Juni. Lokasi kejadian berada di sekitar Laut Sulu.
Kelompok bersenjata yang belakangan diketahui merupakan kelompok Abu Sayyaf mencegat Kapal Charles 001. Kapal yang berisi 13 ABK itu dibajak 2 kali oleh kelompok bersenjata, 7 WNI disandera, sedangkan 6 lainnya dibebaskan.
Penyanderaan terjadi di Laut Sulu dan dibagi dalam dua tahap pada 20 Juni sekitar pukul 11.30 waktu setempat, dan kedua 12.45 waktu setempat oleh 2 kelompok senjata yang berbeda.
Selang beberapa saat, tepatnya pada Sabtu (9/7) kembali terjadi penculikan terhadap WNI. Sebuah Kapal Pukat Tunda yang berisi 7 ABK sedang berlayar di pantai timur Sabah, sekitar 8 nautical mile dari pantai dan tiba-tiba diserang oleh sekelompok pria bersenjata yang naik perahu putih. Diketahui ada 5 pria bersenjata dan mereka berbicara bahasa Melayu dengan dialek Sulu.
Anehnya, dari 7 orang ABK, kelompok bersenjata itu hanya memilih orang yang berpaspor Indonesia untuk diculik. Sedangkan sisanya dilepas.
Ada 7 pekerja yang berada di Kapal Pukat Tunda dengan rincian 4 orang WNI dan 3 lainnya WNA. Saat itu, 5 orang bersenjata api yang menenteng M 16 dan M 14, datang dengan menggunakan kapal cepat berwarna putih. Ketiga WNI yang diculik adalah Lorence Koten (34), Teo Dorus Kopong (42) dan Emanuel (46).
Otoritas Malaysia menduga 5 pria bersenjata yang menculik 3 WNI yang bekerja sebagai anak buah kapal (ABK) adalah dari kelompok Abu Sayyaf yang dipimpin Apo Mike. Malaysia sudah menginformasikan Filipina terkait penculikan ini.
Hingga saat ini, dari 10 WNI yang disandera, belum ada satupun yang berhasil dibebaskan. Menteri Pertahanan, Ryamizard Ryacudu sempat menyebut bahwa sudah ada ribuan tentara Filipina yang mengepung kelompok Abu Sayyaf. Namun hingga saat ini belum ada kabar lanjutan dari Filipina.
Panglima TNI, Jenderal Gatot Nurmantyo juga tidak bisa mengirimkan pasukannya ke Filipina. Indonesia tidak diizinkan melakukan operasi militer untuk membebaskan WNI yang disandera.
Namun, untuk 3 WNI yang disandera pada Sabtu (9/7), Jenderal Gatot menegaskan bahwa yang bertanggung jawab untuk membebaskan adalah pemerintah Malaysia. Pasalnya, lokasi penculikan berada di Malaysia dan ketiga WNI hanya bekerja di kapal Malaysia.
"Yang jelas ini tanggung jawab Malaysia karena ini kapal berbendera Malaysia dan beroperasi di sana dan tenaga kerja kita kerja disana dengan legal," ujar Gatot seusai rapat kepada wartawan di kantor Menko Polhukam Jalan Medan Merdeka Barat, Senin (11/7).
Gatot mengaku heran kenapa hanya WNI Indonesia saja yang diculik. Padahal di kapal itu ada ABK lainnya.
"Kenapa selalu Indonesia yang diculik? Ini kapal-kapal Malaysia, mencari ikan di Malaysia, WNI kerja legal di sana. Diambil yang mempunyai passpor Indonesia, saya tanya adapa ini? Saya katakan tadi mungkin kita terlalu persuasif. Mungkin alasan ekonomi atau alasan yang lain lagi. Ini harus kita analisa dengan benar," urai dia.
Sementara itu, terkait MoU dengan Malaysia dan Filipina, Gatot mengaku belum bisa melakukan operasi. Masih ada SOP bersama yang harus disusun tiga negara.
"Kan baru kesepakatan, baru MoU saja," ujar Gatot beberapa waktu yang lalu.
"Indonesia siap (patroli bersama), tapi untuk diketahui Filipina kan sempat seperti demisoner gitu ya. Bukan demisioner tapi karena tanggal 30 kan nanti pergantian pemerintahan. Ini yang membuat kita tidak bisa cepat (realisasikan kesepakatan)," imbuhnya. (Hbb/Hbb)
Luhut Laporkan Opsi Pembebasan Sandera ke Pesiden Jokowi
Menko Polhukam Luhut Binsar Pandjaitan (M Iqbal/detikcom)
Menko Polhukam Luhut Pandjaitan menemui Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Istana. Luhut melaporkan hasil rapat membahas kasus penculikan ABK warga negara Indonesia oleh kelompok militan di Filipina.
"Tadi saya minta waktu kepada Presiden melaporkan beberapa hal. Pertama menyangkut masalah penyanderaan, opsi-opsi apa yang akan kita ambil. Kedua menyangkut masalah soal China Sea," ucap Luhut usai bertemu Presiden Jokowi di komplek Istana, Jakarta, Selasa (12/6/2016). Pertemuan berlangsung sekitar satu jam.
Luhut enggan membuka opsi yang sedang dipersiapkan untuk membebaskan 10 WNI yang masih disandera diduga oleh kelompok Abu Sayyaf itu. Dia mengatakan proses sedang berlangsung.
"Opsi itu kan tidak elok juga terus dibuka karena sedang berjalan, jadi saya pikir serahkan kepada pemerintah. Kami terus terang sudah punya pilihan-pilihan apa yang akan kami lakukan menyangkut penyanderaan, karena ini bukan kasus pertama," ujar Luhut.
Namun Luhut menyebut operasi militer belum dipertimbangkan, karena menyangkut konstitusi Filipina yang melarang ada operasi militer negara lain. Padahal sebelumnya Menhan Ryamizard Ryacudu mengatakan Indonesia sudah diizinkan masuk.
"Opsi untuk melakukan operasi militer masih kami kesampingkan karena itu menyangkut masalah konstitusi dari negara lain, yang tentu kita harus hormati ini," terang Luhut.
"Tapi langkah-langkah lain yang kita sedang lakukan adalah bagaimana pengamanan ke depan akan kita lakuan dan sudah lapor Presiden," tegasnya. (miq/hri)
Cegah Terulang, RI Harus Dorong Filipina Tuntaskan Konflik
[BBC World]
Penyanderaan oleh kelompok Abu Sayyaf akan terus mengancam. WNI yang melintas di perairan RI-Filipina akan terus jadi incaran. Mencegahnya, tak hanya sekedar membebaskan sandera. RI harus mendorong penuntasan konflik internal di Filipina.
"Penyebab utamanya adalah soal politik internal Filipina, mungkin ada ketidakadilan dan kesenjangan pembangunan di sana. Karenanya kita desak pemerintah Filipina untuk bisa meredam konflik ini, bahkan kalau bisa "berdamai" dengan mereka. Mungkin Indonesia bisa dijadikan contoh saat menangani konflik GAM di Aceh," jelas anggota Komisi I DPR, Sukamta, Selasa (12/7/2016).
Menurut Sukamta, faktor penyebab berikutnya adalah kurang amannya kawasan. Wilayah perairan perbatasan seringkali menjadi wilayah yang rawan aksi perompakan. Sehingga perlu dilakukan kerjasama lintas negara untuk sama-sama menjaga keamanan perbatasan.
"Pendekatan komprehensif jangka pendek yang bisa dilakukan adalah Operasi militer bersama secara reguler yang melibatkan tentara gabungan trilateral Indonesia-Filipina-Malaysia. TNI dan Polri memiliki pasukan elite yang mumpuni untuk membebaskan sandera. Tapi perlu diingat bahwa tugas utama TNI dan Polri adalah membebaskan sandera. Sebisa mungkin meminimalisasi penggunaan senjata pembunuh, kecuali memang tidak ada jalan lain," tegas dia politisi PKS ini.
Sukamta mengungkapkan selain operasi militer gabungan, untuk jangka panjangnya perlu dilakukan kerja sama pertahanan antarnegara, khususnya kerjasama trilateral tentang keamanan maritim. Dengan Malaysia, Indonesia memiliki kerjasama pertahanan bilateral bernama Elang Malindo. Demikian juga dengan Filipina, Indonesia memiliki hubungan bilateral dalam bidang pertahanan. Nah, ini diperkuat dengan kerjasama trilateral tadi.
Doktor lulusan Salford University, Manchester, Inggris ini menekankan bahwa pendekatan komprehensif jangka panjang bisa dilakukan dengan second track diplomacy. Yaitu diplomasi dilakukan lewat pemerintah, misalnya antara Kementerian Luar Negeri, dan Pertahanan RI dengan kementerian serupa di Filipina dan Malaysia.
Selain itu diplomasi juga dilakukan lewat parlemen antara tiga negara. Tujuan perjuangan dengan diplomasi ini adalah kestabilan kawasan. Sebagai sesama anggota ASEAN, kita mendorong dan memberi masukan kepada pemerintah Filipina agar bisa menyelesaikan konflik dengan MNLF, MILF dan kelompok Abu Sayyaf yang sudah berkepanjangan ini.
"Tapi kita musti tetap waspada, jangan sampai kita terseret arus perang yang bukan perang kita. Jangan sampai kasus-kasus penyanderaan yang berulang ini mengalihkan fokus perhatian kita dari potensi konflik yang sesungguhnya lebih besar seperti Natuna, Laut Tiongkok Selatan, dan seterusnya," ujar wakil rakyat dari Daerah Istimewa Yogyakarta ini. (dra/dra)
Filipina Akan Menderita Kita Setop Pengiriman Batu Bara
Wakil Pesiden Jusuf Kalla (Foto: Ari Saputra/detikFoto)
Pemerintah hingga saat ini masih melanjutkan moratorium atau penundaan ekspor batu bara ke Filipina terkait maraknya penyanderaan ABK WNI oleh kelompok militan di Filipina. Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) mengatakan, hal itu akan sangat merugikan Filipina.
Hingga saat ini, tercatat ada 10 AKB WNI yang disandera kelompok militan di Filipina. JK mengatakan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah mengirimkan surat ke pemerintah Filipina agar segera melakukan upaya pembebasan.
"Menhan sudah ke Filipina, Menlu sudah ke sana, Dubes kita sudah bekerja, Presiden mengirim surat ke Presiden Filipina. Sudah semuanya dijalankan," ujar JK di Istana Wakil Presiden, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Selasa (12/7/2016).
JK mengatakan, pemerintah juga meminta agar MoU 3 negara yakni RI-Malaysia-Filipina tentang patroli bersama segera dijalankan. Itu menurutnya sangat penting untuk mengantisipasi kasus penyanderaan terulang.
"Malah Presiden Jokowi hadir juga di pertemuan itu untuk memberikan suatu atensi yang besar. semua pihak, Indonesia, Filipina, Malaysia setuju untuk patroli bersama, saling memberikan informasi. ya namanya saja pembajakan sama dengan perampokan, sama dengan pencurian kan selalu tidak terduga kan. lautnya kan luas, seperti itu kan," terangnya.
JK menegaskan, pemerintah RI mendesak Filipina melakukan berbagai upaya untuk membebaskan para sandera meski setiap tindakan memiliki risiko. Namun keselamatan WNI harus jadi prioritas utama.
"Tinggal artinya masyarakat harus memahami tentang bahwa semua itu punya risiko. tidak ada yang nol risiko," ucapnya.
Ditambahkan JK, dirinya mengingatkan agar Filipina betul-betul serius melakukan upaya pembebasan sandera WNI. Ini mengingat hingga saat ini RI masih memberlakukan moratorium batu bara ke Filipina.
"Filipina juga akan menderita nanti. begitu kita setop batu bara, listrik di Selatan itu mati semua. karena di situ ada dua, batu bara dan geotermal. Nah kalau batu bara ini langka ini mungkin setengah listrik di Selatan di Filipina itu akan berhenti. jadi Filipina juga punya risiko, jangan lupa," kata JK.
"Bayangkan mati lampu di Jakarta atau surabaya atau di mana, orang pasti akan marah semua, tapi kita mengatakan kalau Anda tidak jamin, bagaimana kita kirim barangnya kalau Anda tidak jamin. jadi memang sekarang Indonesia memberikan tanggung jawab ke Filipina itu," sambungnya. (fiq/hri)
Jokowi Telepon dan Surati Presiden Filipina
[Setneg]
Menko Polhukam Luhut Pandjaitan sudah melapor kepada Presiden Joko Widodo soal opsi yang bisa diambil untuk membebaskan 10 WNI yang disandera kelompok bersenjata di Filipina. Presiden Jokowi rupanya sudah menghubungi Presiden Filipina Rodrigo Duterte.
"Presiden sudah menelepon Presiden Filipina dan menulis surat. Saya kira itu langkah-langkah yang sudah dilakukan, dan Presiden Duterte juga sudah memberi respons. Kita lihat, kan butuh waktu juga," ucap Luhut usai bertemu Presiden Jokowi di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Selasa (12/6/2016).
Luhut tak membuka isi komunikasi antara Presiden Jokowi dan Rodrigo Duterte itu, dia menyebut bahwa upaya membebaskan sandera butuh waktu yang tak cepat.
"Tidak bisa juga seperti balik tangan," ujarnya.
Tak hanya komunikasi di tingkat presiden, upaya juga dilakukan di tingkat menteri. Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu akan bertemu dengan Menhan Fiipina dan Malaysia soal pembebasan sandera ini.
Sebagaimana diketahui, 10 WNI itu disandera di perairan Filipina dan Malaysia, diduga oleh Kelompok Abu Sayyaf. "Menhan juga sedang menuju akan bertemu Menhan-nya Filipina dan Menhan-nya Malaysia segera," ujarnya.
Upaya pembebasan sandera ini dilakukan tidak hanya oleh pemerintah Indonesia, tapi juga Filipina yang bertanggung jawab atas wilayahnya untuk terus berusaha membebaskan sandera.
"Kita akan melakukan segala upaya dan sedang kita lakukan, segala upaya sekarang," tegas Luhut. (miq/bag)
Jumat 5 Mei 2016 atau sekitar 2 bulan yang lalu, di Gedung Agung, Yogyakarta, 3 panglima tentara tiga negara, yakni Indonesia, Malaysia dan Filipina bertemu. Pertemuan itu dilatarbelakangi maraknya aksi penculikan oleh kelompok bersenjata di perairan Filipina.
Pertemuan yang juga diikuti Menteri Luar Negeri ketiga negara itu menelurkan sebuah kesepakatan untuk melakukan patroli bersama. Ketiga negara akan mengerahkan pasukan untuk menumpas kelompok bersenjata, yang sebagian merupakan kelompok Abu Sayyaf yang gemar melakukan penculikan di wilayah perairan Filipina.
Tapi bagaimana kenyataannya?
Dalam catatan detikcom, 2 bulan setelah pertemuan itu, justru sudah ada 10 WNI yang diculik kelompok bersenjata. Bahkan, kuat dugaan, dua kejadian penculikan dilakukan kelompok Abu Sayyaf.
Kejadian penculikan pertama pasca pertemuan Yogyakarta terjadi pada 20 Juni. Lokasi kejadian berada di sekitar Laut Sulu.
Kelompok bersenjata yang belakangan diketahui merupakan kelompok Abu Sayyaf mencegat Kapal Charles 001. Kapal yang berisi 13 ABK itu dibajak 2 kali oleh kelompok bersenjata, 7 WNI disandera, sedangkan 6 lainnya dibebaskan.
Penyanderaan terjadi di Laut Sulu dan dibagi dalam dua tahap pada 20 Juni sekitar pukul 11.30 waktu setempat, dan kedua 12.45 waktu setempat oleh 2 kelompok senjata yang berbeda.
Selang beberapa saat, tepatnya pada Sabtu (9/7) kembali terjadi penculikan terhadap WNI. Sebuah Kapal Pukat Tunda yang berisi 7 ABK sedang berlayar di pantai timur Sabah, sekitar 8 nautical mile dari pantai dan tiba-tiba diserang oleh sekelompok pria bersenjata yang naik perahu putih. Diketahui ada 5 pria bersenjata dan mereka berbicara bahasa Melayu dengan dialek Sulu.
Anehnya, dari 7 orang ABK, kelompok bersenjata itu hanya memilih orang yang berpaspor Indonesia untuk diculik. Sedangkan sisanya dilepas.
Ada 7 pekerja yang berada di Kapal Pukat Tunda dengan rincian 4 orang WNI dan 3 lainnya WNA. Saat itu, 5 orang bersenjata api yang menenteng M 16 dan M 14, datang dengan menggunakan kapal cepat berwarna putih. Ketiga WNI yang diculik adalah Lorence Koten (34), Teo Dorus Kopong (42) dan Emanuel (46).
Otoritas Malaysia menduga 5 pria bersenjata yang menculik 3 WNI yang bekerja sebagai anak buah kapal (ABK) adalah dari kelompok Abu Sayyaf yang dipimpin Apo Mike. Malaysia sudah menginformasikan Filipina terkait penculikan ini.
Hingga saat ini, dari 10 WNI yang disandera, belum ada satupun yang berhasil dibebaskan. Menteri Pertahanan, Ryamizard Ryacudu sempat menyebut bahwa sudah ada ribuan tentara Filipina yang mengepung kelompok Abu Sayyaf. Namun hingga saat ini belum ada kabar lanjutan dari Filipina.
Panglima TNI, Jenderal Gatot Nurmantyo juga tidak bisa mengirimkan pasukannya ke Filipina. Indonesia tidak diizinkan melakukan operasi militer untuk membebaskan WNI yang disandera.
Namun, untuk 3 WNI yang disandera pada Sabtu (9/7), Jenderal Gatot menegaskan bahwa yang bertanggung jawab untuk membebaskan adalah pemerintah Malaysia. Pasalnya, lokasi penculikan berada di Malaysia dan ketiga WNI hanya bekerja di kapal Malaysia.
"Yang jelas ini tanggung jawab Malaysia karena ini kapal berbendera Malaysia dan beroperasi di sana dan tenaga kerja kita kerja disana dengan legal," ujar Gatot seusai rapat kepada wartawan di kantor Menko Polhukam Jalan Medan Merdeka Barat, Senin (11/7).
Gatot mengaku heran kenapa hanya WNI Indonesia saja yang diculik. Padahal di kapal itu ada ABK lainnya.
"Kenapa selalu Indonesia yang diculik? Ini kapal-kapal Malaysia, mencari ikan di Malaysia, WNI kerja legal di sana. Diambil yang mempunyai passpor Indonesia, saya tanya adapa ini? Saya katakan tadi mungkin kita terlalu persuasif. Mungkin alasan ekonomi atau alasan yang lain lagi. Ini harus kita analisa dengan benar," urai dia.
Sementara itu, terkait MoU dengan Malaysia dan Filipina, Gatot mengaku belum bisa melakukan operasi. Masih ada SOP bersama yang harus disusun tiga negara.
"Kan baru kesepakatan, baru MoU saja," ujar Gatot beberapa waktu yang lalu.
"Indonesia siap (patroli bersama), tapi untuk diketahui Filipina kan sempat seperti demisoner gitu ya. Bukan demisioner tapi karena tanggal 30 kan nanti pergantian pemerintahan. Ini yang membuat kita tidak bisa cepat (realisasikan kesepakatan)," imbuhnya. (Hbb/Hbb)
Luhut Laporkan Opsi Pembebasan Sandera ke Pesiden Jokowi
Menko Polhukam Luhut Binsar Pandjaitan (M Iqbal/detikcom)
Menko Polhukam Luhut Pandjaitan menemui Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Istana. Luhut melaporkan hasil rapat membahas kasus penculikan ABK warga negara Indonesia oleh kelompok militan di Filipina.
"Tadi saya minta waktu kepada Presiden melaporkan beberapa hal. Pertama menyangkut masalah penyanderaan, opsi-opsi apa yang akan kita ambil. Kedua menyangkut masalah soal China Sea," ucap Luhut usai bertemu Presiden Jokowi di komplek Istana, Jakarta, Selasa (12/6/2016). Pertemuan berlangsung sekitar satu jam.
Luhut enggan membuka opsi yang sedang dipersiapkan untuk membebaskan 10 WNI yang masih disandera diduga oleh kelompok Abu Sayyaf itu. Dia mengatakan proses sedang berlangsung.
"Opsi itu kan tidak elok juga terus dibuka karena sedang berjalan, jadi saya pikir serahkan kepada pemerintah. Kami terus terang sudah punya pilihan-pilihan apa yang akan kami lakukan menyangkut penyanderaan, karena ini bukan kasus pertama," ujar Luhut.
Namun Luhut menyebut operasi militer belum dipertimbangkan, karena menyangkut konstitusi Filipina yang melarang ada operasi militer negara lain. Padahal sebelumnya Menhan Ryamizard Ryacudu mengatakan Indonesia sudah diizinkan masuk.
"Opsi untuk melakukan operasi militer masih kami kesampingkan karena itu menyangkut masalah konstitusi dari negara lain, yang tentu kita harus hormati ini," terang Luhut.
"Tapi langkah-langkah lain yang kita sedang lakukan adalah bagaimana pengamanan ke depan akan kita lakuan dan sudah lapor Presiden," tegasnya. (miq/hri)
Cegah Terulang, RI Harus Dorong Filipina Tuntaskan Konflik
[BBC World]
Penyanderaan oleh kelompok Abu Sayyaf akan terus mengancam. WNI yang melintas di perairan RI-Filipina akan terus jadi incaran. Mencegahnya, tak hanya sekedar membebaskan sandera. RI harus mendorong penuntasan konflik internal di Filipina.
"Penyebab utamanya adalah soal politik internal Filipina, mungkin ada ketidakadilan dan kesenjangan pembangunan di sana. Karenanya kita desak pemerintah Filipina untuk bisa meredam konflik ini, bahkan kalau bisa "berdamai" dengan mereka. Mungkin Indonesia bisa dijadikan contoh saat menangani konflik GAM di Aceh," jelas anggota Komisi I DPR, Sukamta, Selasa (12/7/2016).
Menurut Sukamta, faktor penyebab berikutnya adalah kurang amannya kawasan. Wilayah perairan perbatasan seringkali menjadi wilayah yang rawan aksi perompakan. Sehingga perlu dilakukan kerjasama lintas negara untuk sama-sama menjaga keamanan perbatasan.
"Pendekatan komprehensif jangka pendek yang bisa dilakukan adalah Operasi militer bersama secara reguler yang melibatkan tentara gabungan trilateral Indonesia-Filipina-Malaysia. TNI dan Polri memiliki pasukan elite yang mumpuni untuk membebaskan sandera. Tapi perlu diingat bahwa tugas utama TNI dan Polri adalah membebaskan sandera. Sebisa mungkin meminimalisasi penggunaan senjata pembunuh, kecuali memang tidak ada jalan lain," tegas dia politisi PKS ini.
Sukamta mengungkapkan selain operasi militer gabungan, untuk jangka panjangnya perlu dilakukan kerja sama pertahanan antarnegara, khususnya kerjasama trilateral tentang keamanan maritim. Dengan Malaysia, Indonesia memiliki kerjasama pertahanan bilateral bernama Elang Malindo. Demikian juga dengan Filipina, Indonesia memiliki hubungan bilateral dalam bidang pertahanan. Nah, ini diperkuat dengan kerjasama trilateral tadi.
Doktor lulusan Salford University, Manchester, Inggris ini menekankan bahwa pendekatan komprehensif jangka panjang bisa dilakukan dengan second track diplomacy. Yaitu diplomasi dilakukan lewat pemerintah, misalnya antara Kementerian Luar Negeri, dan Pertahanan RI dengan kementerian serupa di Filipina dan Malaysia.
Selain itu diplomasi juga dilakukan lewat parlemen antara tiga negara. Tujuan perjuangan dengan diplomasi ini adalah kestabilan kawasan. Sebagai sesama anggota ASEAN, kita mendorong dan memberi masukan kepada pemerintah Filipina agar bisa menyelesaikan konflik dengan MNLF, MILF dan kelompok Abu Sayyaf yang sudah berkepanjangan ini.
"Tapi kita musti tetap waspada, jangan sampai kita terseret arus perang yang bukan perang kita. Jangan sampai kasus-kasus penyanderaan yang berulang ini mengalihkan fokus perhatian kita dari potensi konflik yang sesungguhnya lebih besar seperti Natuna, Laut Tiongkok Selatan, dan seterusnya," ujar wakil rakyat dari Daerah Istimewa Yogyakarta ini. (dra/dra)
Filipina Akan Menderita Kita Setop Pengiriman Batu Bara
Wakil Pesiden Jusuf Kalla (Foto: Ari Saputra/detikFoto)
Pemerintah hingga saat ini masih melanjutkan moratorium atau penundaan ekspor batu bara ke Filipina terkait maraknya penyanderaan ABK WNI oleh kelompok militan di Filipina. Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) mengatakan, hal itu akan sangat merugikan Filipina.
Hingga saat ini, tercatat ada 10 AKB WNI yang disandera kelompok militan di Filipina. JK mengatakan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah mengirimkan surat ke pemerintah Filipina agar segera melakukan upaya pembebasan.
"Menhan sudah ke Filipina, Menlu sudah ke sana, Dubes kita sudah bekerja, Presiden mengirim surat ke Presiden Filipina. Sudah semuanya dijalankan," ujar JK di Istana Wakil Presiden, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Selasa (12/7/2016).
JK mengatakan, pemerintah juga meminta agar MoU 3 negara yakni RI-Malaysia-Filipina tentang patroli bersama segera dijalankan. Itu menurutnya sangat penting untuk mengantisipasi kasus penyanderaan terulang.
"Malah Presiden Jokowi hadir juga di pertemuan itu untuk memberikan suatu atensi yang besar. semua pihak, Indonesia, Filipina, Malaysia setuju untuk patroli bersama, saling memberikan informasi. ya namanya saja pembajakan sama dengan perampokan, sama dengan pencurian kan selalu tidak terduga kan. lautnya kan luas, seperti itu kan," terangnya.
JK menegaskan, pemerintah RI mendesak Filipina melakukan berbagai upaya untuk membebaskan para sandera meski setiap tindakan memiliki risiko. Namun keselamatan WNI harus jadi prioritas utama.
"Tinggal artinya masyarakat harus memahami tentang bahwa semua itu punya risiko. tidak ada yang nol risiko," ucapnya.
Ditambahkan JK, dirinya mengingatkan agar Filipina betul-betul serius melakukan upaya pembebasan sandera WNI. Ini mengingat hingga saat ini RI masih memberlakukan moratorium batu bara ke Filipina.
"Filipina juga akan menderita nanti. begitu kita setop batu bara, listrik di Selatan itu mati semua. karena di situ ada dua, batu bara dan geotermal. Nah kalau batu bara ini langka ini mungkin setengah listrik di Selatan di Filipina itu akan berhenti. jadi Filipina juga punya risiko, jangan lupa," kata JK.
"Bayangkan mati lampu di Jakarta atau surabaya atau di mana, orang pasti akan marah semua, tapi kita mengatakan kalau Anda tidak jamin, bagaimana kita kirim barangnya kalau Anda tidak jamin. jadi memang sekarang Indonesia memberikan tanggung jawab ke Filipina itu," sambungnya. (fiq/hri)
Jokowi Telepon dan Surati Presiden Filipina
[Setneg]
Menko Polhukam Luhut Pandjaitan sudah melapor kepada Presiden Joko Widodo soal opsi yang bisa diambil untuk membebaskan 10 WNI yang disandera kelompok bersenjata di Filipina. Presiden Jokowi rupanya sudah menghubungi Presiden Filipina Rodrigo Duterte.
"Presiden sudah menelepon Presiden Filipina dan menulis surat. Saya kira itu langkah-langkah yang sudah dilakukan, dan Presiden Duterte juga sudah memberi respons. Kita lihat, kan butuh waktu juga," ucap Luhut usai bertemu Presiden Jokowi di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Selasa (12/6/2016).
Luhut tak membuka isi komunikasi antara Presiden Jokowi dan Rodrigo Duterte itu, dia menyebut bahwa upaya membebaskan sandera butuh waktu yang tak cepat.
"Tidak bisa juga seperti balik tangan," ujarnya.
Tak hanya komunikasi di tingkat presiden, upaya juga dilakukan di tingkat menteri. Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu akan bertemu dengan Menhan Fiipina dan Malaysia soal pembebasan sandera ini.
Sebagaimana diketahui, 10 WNI itu disandera di perairan Filipina dan Malaysia, diduga oleh Kelompok Abu Sayyaf. "Menhan juga sedang menuju akan bertemu Menhan-nya Filipina dan Menhan-nya Malaysia segera," ujarnya.
Upaya pembebasan sandera ini dilakukan tidak hanya oleh pemerintah Indonesia, tapi juga Filipina yang bertanggung jawab atas wilayahnya untuk terus berusaha membebaskan sandera.
"Kita akan melakukan segala upaya dan sedang kita lakukan, segala upaya sekarang," tegas Luhut. (miq/bag)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.