Putusan Mahkamah Arbitrase yang memenangkan gugatan Filipina atas Cina di Laut Cina Selatan dianggap akan menguntungkan Indonesia apabila muncul sengketa perbatasan dengan Cina. Pemerintah China mengeluarkan peta kawasan sembilan garis putus-putus atau nine-dashed lines yang mencakup sekitar 90% dari 3,5 juta kilometer persegi perairan Laut China Selatan. [bbci] ★
Seorang pakar hukum laut mengatakan putusan itu akan menjadi sumber hukum internasional atas klaim historis Cina atas wilayah perairan Indonesia di kawasan Natuna.
Walaupun Cina dan Indonesia selalu menyatakan tidak ada masalah perbatasan perairan, tetapi insiden penangkapan kapal-kapal nelayan Cina oleh TNI baru-baru ini di perairan Kepulauan Natuna, membuktikan masalah itu nyata.
Cina mengklaim perairan Natuna sebagai wilayah tradisional penangkapan ikan mereka. Sebuah sikap yang jelas-jelas ditolak oleh Indonesia dengan mengedepankan klaim Zona Ekonomi Eksklusifnya.
Guru besar kajian hukum laut dari Universitas Padjajaran, Bandung, Etty Agoes, mengatakan klaim historis Cina atas wilayah Natuna itu, jika nantinya menjadi sengketa terbuka dengan Indonesia, dapat dilemahkan dengan putusan Mahkamah Arbitrase tersebut.
"Kita dapat gunakan (putusan Mahkamah Arbitrase) nanti seandainya ada apa-apa (sengketa) dengan Cina," kata Etty Agoes kepada BBC Indonesia, Selasa (12/07) malam.
Menurutnya, putusan itu 'menguntungkan' Indonesia karena keputusan pengadilan merupakan sumber hukum internasional.
"Karena keputusan pengadilan itu dikenal di dalam hukum internasional, yaitu salah-satu sumber hukum internasional," tambahnya.
Selain itu, lanjutnya, putusan Mahkamah Arbitrase yang menolak klaim historis Cina atas Laut Cina Selatan dapat digunakan Indonesia untuk masalah di perairan Natuna.
Selama ini Cina mengklaim perairan Natuna sebagai wilayah tradisional nelayan mereka mencari ikan.
"Putusan pengadilan itu menguatkan bahwa alasan histotis tersebut tidak ada landasan hukumnya. Kita bisa adu argumentasi pada landasan hukumnya," jelasnya.
Kemenlu serukan menahan diri
Bagaimanapun, tidak lama setelah Filipina memenangkan gugatan atas Cina di Laut Cina Selatan, situs resmi Kementerian Luar Indonesia mengeluarkan pernyataan yang isinya agar semua pihak menahan diri.
"Semua pihak dapat menahan diri serta tidak melakukan hal-hal yang dapat meningkatkan ketegangan," demikian keterangan resmi Kemenlu Indonesia dalam situs resminya, Selasa (12/07).
Indonesia menyerukan pula semua pihak melanjutkan komitmen bersama untuk menegakkan perdamaian, serta menunjukkan persahabatan dan kerjasama.
"Tetap berperilaku sesuai prinsip yang telah disepakati bersama," lanjut Kemenlu.
Tetapi sejumlah analisa menyebutkan Indonesia telah memperkuat kehadiran militernya secara mencolok di Natuna, sebuah pulau yang kaya akan gas alam.
Kehadiran Presiden Joko Widodo di kapal perang yang berpatroli di perairan Natuna beberapa waktu lalu, tidak lama setelah insiden kehadiran kapal-kapal nelayan Cina di perairan itu, dianggap sebagai menguatkan analisa itu.
Namun politisi Partai Golkar yang membidangi bidang pertahanan dan hubungan luar negeri, Agun Gunandjar, meminta Indonesia lebih mengutamakan pendekatan diplomasi.
"Lebih baik hubungan diplomatik dulu. Jauh lebih baik, komprehensif, dan lebih memadai," kata Agun kepada BBC Indonesia, Selasa malam.
Dia juga meminta Indonesia menguatkan wilayah perbatasan. "Menjaga, merawat dan memaksimalkan wilayah yang menjadi wilayah teritorial," tegas Agun.
Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu dalam wawancara dengan BBC Indonesia baru-baru ini menjelaskan rencana Indonesia untuk meningkatkan kekuatan militer di kawasan tersebut.
Seorang pakar hukum laut mengatakan putusan itu akan menjadi sumber hukum internasional atas klaim historis Cina atas wilayah perairan Indonesia di kawasan Natuna.
Walaupun Cina dan Indonesia selalu menyatakan tidak ada masalah perbatasan perairan, tetapi insiden penangkapan kapal-kapal nelayan Cina oleh TNI baru-baru ini di perairan Kepulauan Natuna, membuktikan masalah itu nyata.
Cina mengklaim perairan Natuna sebagai wilayah tradisional penangkapan ikan mereka. Sebuah sikap yang jelas-jelas ditolak oleh Indonesia dengan mengedepankan klaim Zona Ekonomi Eksklusifnya.
Guru besar kajian hukum laut dari Universitas Padjajaran, Bandung, Etty Agoes, mengatakan klaim historis Cina atas wilayah Natuna itu, jika nantinya menjadi sengketa terbuka dengan Indonesia, dapat dilemahkan dengan putusan Mahkamah Arbitrase tersebut.
"Kita dapat gunakan (putusan Mahkamah Arbitrase) nanti seandainya ada apa-apa (sengketa) dengan Cina," kata Etty Agoes kepada BBC Indonesia, Selasa (12/07) malam.
Menurutnya, putusan itu 'menguntungkan' Indonesia karena keputusan pengadilan merupakan sumber hukum internasional.
"Karena keputusan pengadilan itu dikenal di dalam hukum internasional, yaitu salah-satu sumber hukum internasional," tambahnya.
Selain itu, lanjutnya, putusan Mahkamah Arbitrase yang menolak klaim historis Cina atas Laut Cina Selatan dapat digunakan Indonesia untuk masalah di perairan Natuna.
Selama ini Cina mengklaim perairan Natuna sebagai wilayah tradisional nelayan mereka mencari ikan.
"Putusan pengadilan itu menguatkan bahwa alasan histotis tersebut tidak ada landasan hukumnya. Kita bisa adu argumentasi pada landasan hukumnya," jelasnya.
Kemenlu serukan menahan diri
Bagaimanapun, tidak lama setelah Filipina memenangkan gugatan atas Cina di Laut Cina Selatan, situs resmi Kementerian Luar Indonesia mengeluarkan pernyataan yang isinya agar semua pihak menahan diri.
"Semua pihak dapat menahan diri serta tidak melakukan hal-hal yang dapat meningkatkan ketegangan," demikian keterangan resmi Kemenlu Indonesia dalam situs resminya, Selasa (12/07).
Indonesia menyerukan pula semua pihak melanjutkan komitmen bersama untuk menegakkan perdamaian, serta menunjukkan persahabatan dan kerjasama.
"Tetap berperilaku sesuai prinsip yang telah disepakati bersama," lanjut Kemenlu.
Tetapi sejumlah analisa menyebutkan Indonesia telah memperkuat kehadiran militernya secara mencolok di Natuna, sebuah pulau yang kaya akan gas alam.
Kehadiran Presiden Joko Widodo di kapal perang yang berpatroli di perairan Natuna beberapa waktu lalu, tidak lama setelah insiden kehadiran kapal-kapal nelayan Cina di perairan itu, dianggap sebagai menguatkan analisa itu.
Namun politisi Partai Golkar yang membidangi bidang pertahanan dan hubungan luar negeri, Agun Gunandjar, meminta Indonesia lebih mengutamakan pendekatan diplomasi.
"Lebih baik hubungan diplomatik dulu. Jauh lebih baik, komprehensif, dan lebih memadai," kata Agun kepada BBC Indonesia, Selasa malam.
Dia juga meminta Indonesia menguatkan wilayah perbatasan. "Menjaga, merawat dan memaksimalkan wilayah yang menjadi wilayah teritorial," tegas Agun.
Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu dalam wawancara dengan BBC Indonesia baru-baru ini menjelaskan rencana Indonesia untuk meningkatkan kekuatan militer di kawasan tersebut.
★ BBC
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.