Ilustrasi militan Filipina ♚
Kelompok militan Filipina yang saat ini menyandera tujuh anak buah kapal menghubungi langsung keluarga korban untuk meminta uang tebusan sebesar 250 juta peso dan memberi tenggat waktu pembayaran tebusan selama 15 hari.
Informasi ini terungkap ketika organisasi Pergerakan Pelaut Indonesia (PPI) bersama dengan perwakilan keluarga untuk mendatangi kantor Direktorat Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia Kementerian Luar Negeri RI di Jakarta pada Senin (1/8).
"Sudah 42 hari lebih para ABK disandera, tapi belum ada kejelasan dan pemerintah terkesan tertutup informasinya. Malah pihak keluarga korban justru update informasi hingga keadaan kesehatan ABK yang sedang sakit pun tahu," ujar Ketua Umum PPI, Andri Sanusi, dalam pernyataan yang diterima CNN Indonesia.com.
Juru bicara keluarga korban, Amirullah, yang datang ke Kantor Kemlu RI bersama dengan perwakilan keluarga korban dan pihak perusahaan pada hari ini memaparkan bahwa penyandera menghubungi langsung, melalui pesan singkat, kepada Mega Dian, istri dari Ismail, salah satu ABK yang disandera militan Abu Sayyaf.
Ketika dihubungi CNN Indonesia.com, Amirullah memaparkan komunikasi antara penyandera dengan Mega sudah berlangsung sejak dua pekan terakhir. Selain meminta uang tebusan dan menentukan tenggat waktu, penyandera juga menyatakan bahwa salah satu sandera sempat sakit, menderita luka pada kakinya.
"Informasi dari Kemlu terkadang tidak singkron, menyatakan kondisi sandera bagus saja. Sementara ketika keluarga berkomunikasi langsung, ada yang sakit. Itu yang selama ini tak pernah kami dapatkan," kata Amirullah.
Amirullah tidak menyebutkan siapa sandera yang dimaksud, namun menyebutkan bahwa militan yang menyandera tujuh ABK tersebut adalah kelompok Al-Habsy, faksi dari kelompok militan Abu Sayyaf. Selama ini, Kemlu RI selalu menyebut pihak penyandera sebagai kelompok militan Filipina, tanpa pernah menyebut kelompok Abu Sayyaf atau sempalannya.
Menurut Amirullah, pihak penyandera yang menghubungi keluarga meminta uang tebusan sebesar 250 juta peso dan memberi tenggat waktu pembayaran selama 15 hari, terhitung sejak hari ini, Senin (1/8).
Menanggapi hal ini, Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia Kementerian Luar Negeri RI Lalu Muhammad Iqbal memaparkan bahwa peristiwa ini merupakan salah satu modus penyandera untuk mengeksploitasi emosi keluarga.
"Ada tiga unusr utama yang sangat penting dalam proses negosiasi dengan penyandera, yakni perusahaan, pemerintah dan keluarga. Yang paling rentan dalam hal ini adalah keluarga," ujar Iqbal kepada CNN Indonesia.com.
"Ini merupakan salah satu modus yang biasa dilakukan, ketika sudah frustasi dalam negoasiasi dengan pemerintah, penyendera mengekspoitasi emosi keluarga, memberikan ancaman akan dieksekusi dan memberikan tenggat waktu. Hal semacam ini juga terjadi dalam upaya negosiasi di penyanderaan gelombang pertama dan kedua," tutur Iqbal.
Dua jalur
Iqbal memaparkan bahwa terdapat pendekatan dua jalur dalam negosiasi dengan pihak penyandera, yakni jalur negosiasi pemerintah yang mengedepankan diplomasi, dan jalur negosiasi perusahaan. Pada jalur kedua, pembicaraan soal uang tebusan kerap kali mengemuka.
Iqbal mengklaim bahwa singkronisasi informasi soal negosiasi dengan penyandera terus dilakukan antara pemerintah dan pihak perusahaan.
Ketika diminta konfirmasi soal jumlah tebusan dan tenggat waktu, Iqbal menyatakan bahwa, "Angka terus berubah-ubah dalam negosiasi dan cenderung menurun. Dulu mereka meminta 20 juta ringgit, atau setara dengan 250 juta peso. Malam ini sudah berubah lagi," ujar Iqbal.
Iqbal juga menyatakan bahwa mulai malam ini, keluarga setuju untuk mengembalikan komunikasi kepada pihak perusahaan. Sehingga, jalur negosiasi kembali seperti semula, yakni jalur pemerintah dengan penyandera dan pihak perusahaan dengan penyandera.
Kelompok militan Filipina saat ini menyandera 10 ABK WNI, tujuh diantaranya anak buah kapal tugboat Charles 001 dan Robby 152, yang diculik saat sedang menempuh perjalanan di Laut Sulu, membawa batu bara dari Tagoloan Cagayan, Mindanao, menuju Samarinda.
Sementara itu, pemerintah juga masih terus berupaya membebaskan tiga WNI lainnya yang disandera oleh kelompok militan di Filipina pada 9 Juli lalu.
Ini bukan kali pertama WNI disandera oleh kelompok militan Filipina. Sebelumnya, ada 14 WNI yang telah dibebaskan setelah diculik Abu Sayyaf.
Selain 10 WNI, Abu Sayyaf saat ini juga menyandera seorang warga Belanda, seorang Norwegia, dan lima warga Filipina. (ama)
Kelompok militan Filipina yang saat ini menyandera tujuh anak buah kapal menghubungi langsung keluarga korban untuk meminta uang tebusan sebesar 250 juta peso dan memberi tenggat waktu pembayaran tebusan selama 15 hari.
Informasi ini terungkap ketika organisasi Pergerakan Pelaut Indonesia (PPI) bersama dengan perwakilan keluarga untuk mendatangi kantor Direktorat Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia Kementerian Luar Negeri RI di Jakarta pada Senin (1/8).
"Sudah 42 hari lebih para ABK disandera, tapi belum ada kejelasan dan pemerintah terkesan tertutup informasinya. Malah pihak keluarga korban justru update informasi hingga keadaan kesehatan ABK yang sedang sakit pun tahu," ujar Ketua Umum PPI, Andri Sanusi, dalam pernyataan yang diterima CNN Indonesia.com.
Juru bicara keluarga korban, Amirullah, yang datang ke Kantor Kemlu RI bersama dengan perwakilan keluarga korban dan pihak perusahaan pada hari ini memaparkan bahwa penyandera menghubungi langsung, melalui pesan singkat, kepada Mega Dian, istri dari Ismail, salah satu ABK yang disandera militan Abu Sayyaf.
Ketika dihubungi CNN Indonesia.com, Amirullah memaparkan komunikasi antara penyandera dengan Mega sudah berlangsung sejak dua pekan terakhir. Selain meminta uang tebusan dan menentukan tenggat waktu, penyandera juga menyatakan bahwa salah satu sandera sempat sakit, menderita luka pada kakinya.
"Informasi dari Kemlu terkadang tidak singkron, menyatakan kondisi sandera bagus saja. Sementara ketika keluarga berkomunikasi langsung, ada yang sakit. Itu yang selama ini tak pernah kami dapatkan," kata Amirullah.
Amirullah tidak menyebutkan siapa sandera yang dimaksud, namun menyebutkan bahwa militan yang menyandera tujuh ABK tersebut adalah kelompok Al-Habsy, faksi dari kelompok militan Abu Sayyaf. Selama ini, Kemlu RI selalu menyebut pihak penyandera sebagai kelompok militan Filipina, tanpa pernah menyebut kelompok Abu Sayyaf atau sempalannya.
Menurut Amirullah, pihak penyandera yang menghubungi keluarga meminta uang tebusan sebesar 250 juta peso dan memberi tenggat waktu pembayaran selama 15 hari, terhitung sejak hari ini, Senin (1/8).
Menanggapi hal ini, Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia Kementerian Luar Negeri RI Lalu Muhammad Iqbal memaparkan bahwa peristiwa ini merupakan salah satu modus penyandera untuk mengeksploitasi emosi keluarga.
"Ada tiga unusr utama yang sangat penting dalam proses negosiasi dengan penyandera, yakni perusahaan, pemerintah dan keluarga. Yang paling rentan dalam hal ini adalah keluarga," ujar Iqbal kepada CNN Indonesia.com.
"Ini merupakan salah satu modus yang biasa dilakukan, ketika sudah frustasi dalam negoasiasi dengan pemerintah, penyendera mengekspoitasi emosi keluarga, memberikan ancaman akan dieksekusi dan memberikan tenggat waktu. Hal semacam ini juga terjadi dalam upaya negosiasi di penyanderaan gelombang pertama dan kedua," tutur Iqbal.
Dua jalur
Iqbal memaparkan bahwa terdapat pendekatan dua jalur dalam negosiasi dengan pihak penyandera, yakni jalur negosiasi pemerintah yang mengedepankan diplomasi, dan jalur negosiasi perusahaan. Pada jalur kedua, pembicaraan soal uang tebusan kerap kali mengemuka.
Iqbal mengklaim bahwa singkronisasi informasi soal negosiasi dengan penyandera terus dilakukan antara pemerintah dan pihak perusahaan.
Ketika diminta konfirmasi soal jumlah tebusan dan tenggat waktu, Iqbal menyatakan bahwa, "Angka terus berubah-ubah dalam negosiasi dan cenderung menurun. Dulu mereka meminta 20 juta ringgit, atau setara dengan 250 juta peso. Malam ini sudah berubah lagi," ujar Iqbal.
Iqbal juga menyatakan bahwa mulai malam ini, keluarga setuju untuk mengembalikan komunikasi kepada pihak perusahaan. Sehingga, jalur negosiasi kembali seperti semula, yakni jalur pemerintah dengan penyandera dan pihak perusahaan dengan penyandera.
Kelompok militan Filipina saat ini menyandera 10 ABK WNI, tujuh diantaranya anak buah kapal tugboat Charles 001 dan Robby 152, yang diculik saat sedang menempuh perjalanan di Laut Sulu, membawa batu bara dari Tagoloan Cagayan, Mindanao, menuju Samarinda.
Sementara itu, pemerintah juga masih terus berupaya membebaskan tiga WNI lainnya yang disandera oleh kelompok militan di Filipina pada 9 Juli lalu.
Ini bukan kali pertama WNI disandera oleh kelompok militan Filipina. Sebelumnya, ada 14 WNI yang telah dibebaskan setelah diculik Abu Sayyaf.
Selain 10 WNI, Abu Sayyaf saat ini juga menyandera seorang warga Belanda, seorang Norwegia, dan lima warga Filipina. (ama)
♚ CNN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.