Siasat berjuang membedakannya dari Tjipto Mangoekoesoemo
OLEH: BONNIE TRIYANA
SEORANG anak muda, belum lagi berusia 17 tahun membuat gempar pembaca koran Java Bode yang kebanyakan datang dari kalangan priayi dan pejabat pemerintah Belanda. Artikel itu menyerang kebijakan pemerintah yang mengangkat bupati bukan karena kualifikasinya melainkan karena garis keturunan. Goenawan seorang priayi, namun sejak mula ia telah merasakan sesuatu yang tidak beres pada masyarakat jajahan: diskriminasi.
Dia adalah adik dari dr. Tjipto Mangoenkoesoemo, salah seorang pelopor gerakan nasionalisme di Indonesia. Nama Tjipto jauh lebih dikenal ketimbang adiknya. Tjipto dicatat sebagai pembangkang; sosok anak muda yang pada zamannya berani menentang otoritas kolonial di tengah cengkeraman alam pikiran masyarakat yang masih terbelenggu oleh feodalisme. Akan halnya Tjipto, Goenawan pun memiliki minat terhadap aktivitas politik dan sama-sama bernyali tinggi.
Savitri Prastiti Scherer dalam bukunya, Keselerasan dan Kejanggalan: Pemikiran-Pemikiran Priayi Nasionalis Jawa Awal Abad XX menulis tentang asal-usul keluarga Mangoenkoesomo. Mangoenkoesomo senior, ayah Tjipto dan Goenawan, bekerja sebagai guru bahasa Melayu di sekolah dasar pribumi di Ambarawa. Pada masa akhir kariernya, ia diangkat menjadi kepala sekolah dasar di Semarang.
Ayah Mangoenkoesomo senior atau kakek dari Tjipto dan Goenawan bersaudara, Mangoensastro, pernah mengabdi kepada Pangeran Diponegoro selama Perang Jawa berlangsung 1825 – 1830. Ketika Diponegoro kalah perang Mangoensastro menyingkir ke pedesaan di pantai Utara Jawa dan mengubah namanya menjadi Pantjoroso. Kekalahan Diponegoro merupakan pukulan telak buat pengikutnya, tak terkecuali buat Pantjoroso.
Tidak ada jaminan bahwa keturunan pemberontak akan melanjutkan perjuangan leluhurnya. Namun di antara enam orang dari sebelas bersaudara yang mengenyam pendidikan tinggi, hanya Tjipto dan Goenawanlah yang menekuni dunia di luar keahliannya sebagai dokter: politik. Darmawan dan Kartono, adik Tjipto dan Goenawan yang sempat menjadi aktivis PNI pada akhirnya memutuskan untuk meninggalkan aktivitasnya setelah penangkapan Soekarno pada 1929.
Goenawan sebagaimana Tjipto dikenal juga sebagai murid kedokteran yang jenial dan dan pemberani. Berbeda dengan Tjipto, Goenawan tetap bertahan sebagai anggota Boedi Oetomo (BO) yang semakin lama semakin konservatif dan hanya tersisa sebagai wadah kaum priayi yang pro status quo. Robert van Niel dalam buku Munculnya Elite Modern Indonesia mengatakan kalau organisasi yang awal berdirinya diakui sebagai “Kebangkitan Nasional” itu mengeluarkan unsur-unsur ekstrim yang ada di dalam dirinya, Tjipto Mangoenkoesomo salah satunya.
Goenawan segaris dengan Soetomo dan dalam beberapa hal pemikiran Soetomo dipengaruhi oleh Goenawan. Goenawan bertahan di BO, betapa pun BO telah mengalami disorientasi, karena dia masih percaya bahwa priayi-birokrat masih bisa diajak untuk menjadi manusia yang tak serta merta tunduk begitu saja pada kemauan Belanda. Seperti juga Soetomo, demikian tulis Savitri Prastiti Scherer, Goenawan menyadari sedalam-dalamnya bahwa sudah kewajiban mereka membimbing para priayi supaya menghargai martabat sendiri sebagai orang merdeka.
Keputusan Goenawan untuk bertahan di BO mendapatkan tentangan dari Cipto dan acapkali mereka terlibat adu pendapat. Kendati demikian mereka sama-sama memiliki idealisme tentang gambaran negeri mereka pada masa yang akan datang. Pada perayaan sepuluh tahun BO, Goenawan membuat beberapa tulisan yang menegaskan sumbangan BO bagi masyarakat jajahan di Hindia Belanda. Sebuah tulisan lain dari Goenawan juga menunjukkan sikapnya yang antidiskriminasi. Menurutnya BO merupakan langkah awal dari bentuk nasionalisme Indonesia.
Artikel itu ditulis pada masa di mana BO sedang berada dalam titik nadir terendah, posisi di mana orientasi politik mereka sama sekali tidak menunjukkan ke arah yang lebih jelas kecuali sebagai gerakan budaya dan pendidikan. Goenawan yang masih punya harapan tinggi terhadap BO memperlihatkan rasa muaknya terhadap para priayi-birokrat kendati terselip optimisme untuk terus berupaya menebarkan pengaruhnya di kalangan mereka. Tjipto jauh lebih frontal di dalam menghadapi kelompok medioker Jawa yang membungkuk-bungkuk di hadapan tuan Belandanya.
Goenawan memang tidak sefrontal abangnya. Karier politik Tjipto, di samping prestasinya sebagai dokter, terus melesat. Pendidikan Goenawan di Stovia berhenti. Tak sampai tamat. Tapi dia berhasil lulus dari Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren (Osvia), sekolah Pangreh Praja di Probolinggo. Goenawan tetap berpendapat bahwa ketertinggalan pemuda Jawa, Sunda dan Madura haruslah dikejar melalui pendidikan dan secara berangsur merebut kedaulatan serta kemerdekaanya.
Sebuah versi lain tentang Goenawan dikemukakan oleh Deliar Noer. Ahli ilmu politik yang menulis buku Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 itu mengatakan kalau Goenawan Mangoenkoesoemo sempat keluar dari Boedi Oetomo dan menggabungkan dirinya dengan Sarekat Islam. Di dalam kepengurusan Sarekat Islam Goenawan langsung mengambil peran aktif sebagai wakil ketua. Hal tersebut berdasarkan jenjang pendidikannya yang dinilai cukup tinggi pada masa itu.
Namun kariernya di organisasi massa muslim yang terbesar di Asia pada zamannya itu tak berlangsung lama. Dia disebut-sebut tersangkut kasus penyelewengan dana organisasi. Goenawan, sebagaimana ditulis oleh Deliar Noer, kemudian dipecat dari Sarekat Islam dan kembali aktif ke Boedi Oetomo.
Sejarah mencatat Boedi Oetomo sebagai organisasi yang menandai kebangkitan nasionalisme Indonesia. Sejarah juga mencatat keterlibatan beberapa tokoh pionir gerakan nasionalis pada saat berdirinya organisasi ini. Benar kemudian terjadi perpecahan, seperti yang dialami oleh Tjipto dan adiknya, Goenawan Mangoenkoesoemo, namun demikian perpecahan itu bukan terjadi pada pilihan berpihak kepada kolonialisme atau tidak, melainkan pada pilihan jalan menuju kemandirian. Tjipto lebih terbuka, tanpa kompromi melawan pemerintah kolonial dan segala macam bentuk dukungan kepada sistem kolonial itu.
OLEH: BONNIE TRIYANA
SEORANG anak muda, belum lagi berusia 17 tahun membuat gempar pembaca koran Java Bode yang kebanyakan datang dari kalangan priayi dan pejabat pemerintah Belanda. Artikel itu menyerang kebijakan pemerintah yang mengangkat bupati bukan karena kualifikasinya melainkan karena garis keturunan. Goenawan seorang priayi, namun sejak mula ia telah merasakan sesuatu yang tidak beres pada masyarakat jajahan: diskriminasi.
Dia adalah adik dari dr. Tjipto Mangoenkoesoemo, salah seorang pelopor gerakan nasionalisme di Indonesia. Nama Tjipto jauh lebih dikenal ketimbang adiknya. Tjipto dicatat sebagai pembangkang; sosok anak muda yang pada zamannya berani menentang otoritas kolonial di tengah cengkeraman alam pikiran masyarakat yang masih terbelenggu oleh feodalisme. Akan halnya Tjipto, Goenawan pun memiliki minat terhadap aktivitas politik dan sama-sama bernyali tinggi.
Savitri Prastiti Scherer dalam bukunya, Keselerasan dan Kejanggalan: Pemikiran-Pemikiran Priayi Nasionalis Jawa Awal Abad XX menulis tentang asal-usul keluarga Mangoenkoesomo. Mangoenkoesomo senior, ayah Tjipto dan Goenawan, bekerja sebagai guru bahasa Melayu di sekolah dasar pribumi di Ambarawa. Pada masa akhir kariernya, ia diangkat menjadi kepala sekolah dasar di Semarang.
Ayah Mangoenkoesomo senior atau kakek dari Tjipto dan Goenawan bersaudara, Mangoensastro, pernah mengabdi kepada Pangeran Diponegoro selama Perang Jawa berlangsung 1825 – 1830. Ketika Diponegoro kalah perang Mangoensastro menyingkir ke pedesaan di pantai Utara Jawa dan mengubah namanya menjadi Pantjoroso. Kekalahan Diponegoro merupakan pukulan telak buat pengikutnya, tak terkecuali buat Pantjoroso.
Tidak ada jaminan bahwa keturunan pemberontak akan melanjutkan perjuangan leluhurnya. Namun di antara enam orang dari sebelas bersaudara yang mengenyam pendidikan tinggi, hanya Tjipto dan Goenawanlah yang menekuni dunia di luar keahliannya sebagai dokter: politik. Darmawan dan Kartono, adik Tjipto dan Goenawan yang sempat menjadi aktivis PNI pada akhirnya memutuskan untuk meninggalkan aktivitasnya setelah penangkapan Soekarno pada 1929.
Goenawan sebagaimana Tjipto dikenal juga sebagai murid kedokteran yang jenial dan dan pemberani. Berbeda dengan Tjipto, Goenawan tetap bertahan sebagai anggota Boedi Oetomo (BO) yang semakin lama semakin konservatif dan hanya tersisa sebagai wadah kaum priayi yang pro status quo. Robert van Niel dalam buku Munculnya Elite Modern Indonesia mengatakan kalau organisasi yang awal berdirinya diakui sebagai “Kebangkitan Nasional” itu mengeluarkan unsur-unsur ekstrim yang ada di dalam dirinya, Tjipto Mangoenkoesomo salah satunya.
Goenawan segaris dengan Soetomo dan dalam beberapa hal pemikiran Soetomo dipengaruhi oleh Goenawan. Goenawan bertahan di BO, betapa pun BO telah mengalami disorientasi, karena dia masih percaya bahwa priayi-birokrat masih bisa diajak untuk menjadi manusia yang tak serta merta tunduk begitu saja pada kemauan Belanda. Seperti juga Soetomo, demikian tulis Savitri Prastiti Scherer, Goenawan menyadari sedalam-dalamnya bahwa sudah kewajiban mereka membimbing para priayi supaya menghargai martabat sendiri sebagai orang merdeka.
Keputusan Goenawan untuk bertahan di BO mendapatkan tentangan dari Cipto dan acapkali mereka terlibat adu pendapat. Kendati demikian mereka sama-sama memiliki idealisme tentang gambaran negeri mereka pada masa yang akan datang. Pada perayaan sepuluh tahun BO, Goenawan membuat beberapa tulisan yang menegaskan sumbangan BO bagi masyarakat jajahan di Hindia Belanda. Sebuah tulisan lain dari Goenawan juga menunjukkan sikapnya yang antidiskriminasi. Menurutnya BO merupakan langkah awal dari bentuk nasionalisme Indonesia.
Artikel itu ditulis pada masa di mana BO sedang berada dalam titik nadir terendah, posisi di mana orientasi politik mereka sama sekali tidak menunjukkan ke arah yang lebih jelas kecuali sebagai gerakan budaya dan pendidikan. Goenawan yang masih punya harapan tinggi terhadap BO memperlihatkan rasa muaknya terhadap para priayi-birokrat kendati terselip optimisme untuk terus berupaya menebarkan pengaruhnya di kalangan mereka. Tjipto jauh lebih frontal di dalam menghadapi kelompok medioker Jawa yang membungkuk-bungkuk di hadapan tuan Belandanya.
Goenawan memang tidak sefrontal abangnya. Karier politik Tjipto, di samping prestasinya sebagai dokter, terus melesat. Pendidikan Goenawan di Stovia berhenti. Tak sampai tamat. Tapi dia berhasil lulus dari Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren (Osvia), sekolah Pangreh Praja di Probolinggo. Goenawan tetap berpendapat bahwa ketertinggalan pemuda Jawa, Sunda dan Madura haruslah dikejar melalui pendidikan dan secara berangsur merebut kedaulatan serta kemerdekaanya.
Sebuah versi lain tentang Goenawan dikemukakan oleh Deliar Noer. Ahli ilmu politik yang menulis buku Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 itu mengatakan kalau Goenawan Mangoenkoesoemo sempat keluar dari Boedi Oetomo dan menggabungkan dirinya dengan Sarekat Islam. Di dalam kepengurusan Sarekat Islam Goenawan langsung mengambil peran aktif sebagai wakil ketua. Hal tersebut berdasarkan jenjang pendidikannya yang dinilai cukup tinggi pada masa itu.
Namun kariernya di organisasi massa muslim yang terbesar di Asia pada zamannya itu tak berlangsung lama. Dia disebut-sebut tersangkut kasus penyelewengan dana organisasi. Goenawan, sebagaimana ditulis oleh Deliar Noer, kemudian dipecat dari Sarekat Islam dan kembali aktif ke Boedi Oetomo.
Sejarah mencatat Boedi Oetomo sebagai organisasi yang menandai kebangkitan nasionalisme Indonesia. Sejarah juga mencatat keterlibatan beberapa tokoh pionir gerakan nasionalis pada saat berdirinya organisasi ini. Benar kemudian terjadi perpecahan, seperti yang dialami oleh Tjipto dan adiknya, Goenawan Mangoenkoesoemo, namun demikian perpecahan itu bukan terjadi pada pilihan berpihak kepada kolonialisme atau tidak, melainkan pada pilihan jalan menuju kemandirian. Tjipto lebih terbuka, tanpa kompromi melawan pemerintah kolonial dan segala macam bentuk dukungan kepada sistem kolonial itu.
Tjipto
dalam beberapa hal lebih kosmopolit ketimbang adiknya. Dia lebih
mengedepankan pembaruan di dalam kultur Jawa untuk membebaskan kaum
pendukungnya dari alam pemikiran yang feodal yang mengekang. Sedangkan
Goenawan, seperti halnya Soetomo, tak berkeberatan dengan struktur
sosial Jawa dan cenderung meradikalisasi para pendukung budaya tersebut
dengan jalan meningkatkan kesadaran para priayi-birokrat tentang posisi
mereka di dalam masyarakat jajahan Hindia Belanda.
♣ Historia ♣
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.