Kunjungan
Menlu AS Hillary Clinton awal September 2012 ini ke Jakarta sangat
diyakini membawa upaya pre emptive diplomasi AS sehubungan dengan gerak
langkah Cina dari sisi militer dan diplomasi yang sangat mengkhawatirkan
posisi AS. Hillary
memulai kunjungannya tanggal 30 Agustus 2012 dari Cook Island, Timor
Leste, Indonesia, Brunai, Cina dan Rusia selama 11 hari. Di Vladivostok Rusia Clinton mewakili Presiden Obama dalam Konferensi Tingkat Tinggi APEC pekan pertama September 2012. Entah ada kaitannya atau tidak sebelumnya tanggal 10 Agustus 2012 Menlu Cina Yang Jiechi sudah lebih dulu berkunjung ke Jakarta, tentu juga melakukan diplomasi pre emptive dan menjanjikan kepada seorang gadis manis bernama Indonesia.
Posisi
Indonesia sangat jelas, tidak memiliki konflik dengan kawasan Laut Cina
Selatan (LCS) tetapi kawasan ini bersinggungan dengan halaman depan
rumah kita dan sekaligus menjadi jalan raya transportasi strategis dari
dan ke Asia Timur. Klaim Cina atas seluruh pulau dan perairan LCS
membenturkan dirinya pada sejumlah negara ASEAN yang sama-sama mengaku
menjadi pemiliknya. Lalu kenapa AS menjadi sibuk dan ikut masuk pada
wilayah benturan itu, padahal tak ada kaitannya dengan teritori dia.
Sibuknya
AS “mengurus” Cina di LCS tidak sekedar berkaitan dengan konflik
teritori. AS sejatinya haus dengan sumber daya energi tak terbarukan
yang bernama minyak bumi dan gas walau testimoninya selalu mengaku
hendak membendung pengaruh Cina. Bersamaan dengan itu sifat jagoannya
muncul manakala Cina menargetkan bahwa pada tahun 2020 nanti militernya
mulai berada dalam kriteria kekuatan regional yang disegani. AS tentu
tak ingin kehilangan hegemoninya sebagai pemimpin klasemen liga kekuatan
militer di Asia Pasifik dan dunia yang mampu memayungi Jepang dan
Korsel.
Armada Kapal Perang RI pulang dari Latgab |
Perkembangan terkini situasi dan kondisi maju ekonomi regional di masing-masing negara tentu tidak bisa dihindarkan. Kemajuan
ekonomi Cina merupakan efek kejut dari pola sebuah negara raksasa non
demokrasi yang diprediksi akan menjadi kekuatan ekonomi nomor satu di
dunia beberapa tahun ke depan. Sejalan dengan itu Cina juga membangun kekuatan militernya secara terpadu menuju militer pre emptive di kawasan Asia Pasifik.
Prediksi
kekuatan ekonomi dan militer Cina yang bakalan tak terbendung ini
memberikan reaksi paranoid di mata AS sehingga ada kesan kepanikan
psikologi militer. Lalu memindahkan kekuatan armada Mediteranean dan marinir ke Asia Pasifik sembari berupaya memperbanyak sekutu.
Merapatnya
kekuatan militer besar di kawasan LCS dimana teritori Indonesia sebagai
garis pantai terbesar dari arah selatan mengharuskan AS melakukan lobi
intensif dan sedikit menekan kepada Indonesia. Jika terjadi konflik
militer skala besar garis pantai dan teritori udara RI akan menjadi
akses militer AS untuk memukul Cina dari arah selatan. Sementara dari
arah timur diprediksi armada VII AS berkonsentrasi menjaga Taiwan,
Korsel dan Jepang. Artinya AS memang butuh sekutu tambahan sebagai
pemilik teritori paling depan. Indonesia adalah pilihan satu-satunya
dalam upaya mengurung Cina di LCS sehingga ini akan menutup akses
militer dan ekonomi Cina ke selat Malaka, selat Sunda dan selat Lombok.
Vietnam,
Malaysia, Brunai, Filipina jelas berkonflik dengan Cina dan jika
Indonesia berhasil masuk “aliansi” bersama AS dan Australia tentu sistem
keroyokan yang dikenal sebagai pakemnya AS dalam menghajar lawannya
menjadi sempurna dari sisi strategi militer. Dari sisi kekuatan militer
dan cakupan wilayah tempur, gabungan militer AS, Australia, Singapura,
Malaysia, Vietnam, Brunai dan Filipina diyakini mampu bersaing dengan
Cina. Masalahnya adalah kedekatan Indonesia dan Cina yang terus dipupuk
lewat kerjasama ekonomi dan pertahanan akan menjadi goncangan
tersendiri karena posisi teritori dan pengaruhnya yang kuat di ASEAN
bisa mementahkan semua prediksi dan asumsi yang dibangun AS.
Pendaratan pasukan marinir di Natuna |
Diplomat
Indonesia di Kemenlu dan intelijen militer tentu sudah paham dengan
lagu dan langgam yang diperdengarkan AS. Kecerdasan diplomasi RI sudah
teruji untuk memberikan argumen berwajah perspektif dengan menawarkan
logika bersahabat pada semua negara. Tidak ingin memiliki musuh dan
selalu berupaya mendekatkan kedua posisi yang berseberangan itu
setidaknya akan memberikan ruang untuk mendinginkan temperatur. Di mata AS upaya mendekati RI dengan membawa
hibah berbayar 24 F16 batch 1 dan 10 F16 batch 2, lampu hijau pembelian
8 heli Apache dan rudal serang darat jarak jauh Maverick serta latihan
militer bersama merupakan pintu masuk yang bergizi. Namun pemaksaan
terhadap sebuah keinginan berdasarkan logika pergaulan yang disandang
sekalipun membawa “kado” tidaklah pantas dikedepankan secara tersurat.
RI
ingin semua persoalan sengketa berbaju apa pun sangat terhormat
dijalankan melalui jalur diplomasi dan perundingan. Dan RI sudah
melakukan itu misalnya menjadi arsitek perdamaian di Kamboja dan
Filipina Selatan. Nah kalau jalur ini yang dilalui pertanyaannya adalah
atas dasar apa AS ikut-ikutan berunding karena dia tidak berkonflik
dengan teritori Cina yang dipersengketakan. Maka logika kita akan
semakin jelas bahwa sejatinya AS ingin mendapat jatah sumber daya fosil
di dasar LCS disamping agar hegemoni militernya di Asia Pasifik tetap
bersinggasana. Dalam upaya menjaga hegemoni itu tentu dia tak ingin
sendirian menanggung beban militer membendung pengaruh Cina. Dan salah
satu upayanya tentu dengan merangkul RI agar ikut serta dalam
pengaruhnya untuk kesetiakawanan.
Pesan
untuk AS, bermain cantiklah terhadap republik ini karena atmosfer
takdir tidak lagi mengharuskan pemaksaan kehendak dan merasa benar
sendiri. Asia Pasifik adalah masa depan dunia. Cina bersama Jepang,
Korsel, Taiwan dan Singapura sudah memberikan panduannya. Indonesia pun
sudah diperhitungkan dunia dengan kekuatan ekonomi terbesar ke 16 di
dunia dan terbesar di ASEAN. Pergaulan kawasan yang dibangun dengan
semangat saling menghormati dan tak merasa arogan adalah posisi
strategis yang menjadikan ASEAN tetap bergema meski beberapa anggotanya
berselisih dengan Cina. Indonesia berperan besar dalam menciptakan
posisi ASEAN yang harmonis. Kita meyakini dengan peran RI yang selalu
mengedepankan diplomasi rendah hati namun ulet bisa membawa negara ASEAN
yang bersengketa dengan Cina ke meja perundingan.
Batalyon Scorpion dalam sebuah Latgab TNI |
Seandainya
Cina mau berunding dengan ASEAN tentang masa depan LCS dan menemukan
kata kuncinya, kondisi ini tentu akan memukul wajah AS sekaligus akan
menjadikan Cina terhormat di mata ASEAN. Bukankah
kemajuan ekonomi Cina dan ASEAN yang sudah didapat selama ini akan
menjadi kesia-siaan jika terjadi konflik militer berskala besar. Tentu
pemikir strategis di masing-masing negara yang bersengketa tidak ingin
masuk di wilayah itu. Jadi ingat ketika upaya RI merukunkan faksi-faksi
yang bertikai di Kamboja dengan melakukan Jakarta Informal Meeting (JIM)
November 1988. Begitu
alotnya mempersatukan ego keras masing-masing di Kamboja dan rasanya
mustahil berdamai. Kubu Hun Sen didukung Vietnam dan Uni Sovyet
sementara Heng Samrin didukung Cina.
Namun
dengan kepiawaian diplomasi Menlu RI Ali Alatas kekerasan kedua kubu
mencair dan akhirnya berdamai di Paris setahun kemudian.
Dengan
contoh itu dalam lingkup yang lebih luas RI bisa melakukan langkah
inisiatif untuk merundingkan kawasan LCS. Cina juga diharap tak kaku
dengan langkah perundingan karena Indonesia sejatinya ingin kawasan
regional ini menjadi kawasan yang sejuk dan damai. Tetapi kalau
kekakuan Cina terus dipanggungkan maka ketika militer RI mulai
bertaring tahun 2020 tak salah jua jika negeri ini merapat ke AS demi
solidaritas ASEAN dan penyeimbang kawasan.
******
Jagvane / 31 Agustus 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.