Di atas ketinting, dalam perjalanan rombongan safari Natal 2014 Bupati Malinau Yansen Tipa Padan menuju Desa Pujungan, Malinau, Kalimantan Utara, Senin (8/12/2014).
Ada 600 patok batas jadi tanggung jawab Pos Pengamanan Perbatasan (Pospamtas) Indonesia-Malaysia di Desa Apau Ping, Malinau, Kalimantan Utara. Namun, tak sekalipun pasukan yang sekarang bertugas di sana pernah memeriksa patok-patok itu. Persoalannya sederhana saja: biaya.
Berada di tepi Sungai Bahau di Kecamatan Bahau Hulu, pos ini berada di desa yang berketinggian 450 meter di atas permukaan laut. Wilayah administratif ini merupakan desa terakhir di alur Sungai Bahau, sebelum hutan rimba Malinau yang sekaligus merupakan perbatasan Indonesia dengan Malaysia.
Kami--reporter Kompas.com Fabian Januarius Kuwado bersama fotografer Fikria Hidayat dan Kristianto Purnomo--berkesempatan "mampir" ke pos ini, di satu petang pada 8 Desember 2014, di sela mengikuti rangkaian safari menjelang Natal Bupati Malinau, Yansen Tipa Padan.
Di pos berbentuk rumah panggung kayu tersebut, kami disambut Komandan Pos Serka TNI Budi Yono. Berdiri sejak 2007, ujar Budi, pos ini mempunyai tugas utama menjaga 600 patok batas tersebut. Para personel di sini menjalani rotasi setiap empat bulan.
"Kami belum berkesempatan patroli patok perbatasan," ujar Budi, yang bersama 14 prajurit lain sudah memasuki bulan keempat masa tugas di pos tersebut. Menurut dia, sekali memeriksa patok perbatasan, butuh biaya sekitar Rp 25 juta.
Selama Budi bertutur, ada prajurit TNI menyuguhkan pisang goreng buatannya ke kami. Prajurit lain menawari pilihan minuman, antara teh dan susu. Dalam obrolan di teras tersebut, Budi mengatakan biaya merupakan satu-satunya kendala mereka untuk menjalankan tugas yang seharusnya paling utama itu, memeriksa patok.
Kebutuhan dana, tegas Budi, tentu saja bukan untuk para prajurit berpesta. Rincian dari kebutuhan dana sekurangnya Rp 25 juta itu, sebut dia, adalah untuk membayar sewa tiga ketinting dan tukan perahunya, bahan bakar minyak untuk ketinting yang per liter berharga Rp 32.000, pemandu jalan, dan logistik untuk beberapa pekan pemeriksaan berlangsung.
"Waktu tempuh ke patok batas itu lima hari. Satu hari naik ketinting, sisanya jalan kaki. Itu berangkatnya saja, belum patroli dan pulangnya. Bisa berminggu-minggu kami di hutan," tutur Budi.
Saya pun tergelitik bertanya, apakah tak ada anggaran khusus patroli, yang menyertai penugasan mereka ke pos ini. Budi hanya menjawab dengan gelengan kepala. Ketika saya tanya lagi apakah para prajurit pernah mengajukan anggaran itu, Budi malah hanya menjawab dengan senyuman.
"Kami ini prajurit Mas. Kami diinstruksikan bertugas di sini, ya kami pergi. Enggak mungkin kami minta begitu. Hahahahaha... Bisa diproses kami satu pos di POM (kalau sampai meminta anggaran untuk pelaksanaan tugas ini)," ujar Budi.
Karena dana juga tak ada untuk melakukan tugas utama, aku Budi, selama empat bulan ini mereka hanya melakukan sosialisasi nilai-nilai nasionalisme kepada warga setempat. Cara yang mereka pakai, antara lain terlibat dalam kegiatan sekolah di desa, atau membantu puskesmas pembantu di desa dengan menjadi tenaga kesehatan.
Para prajurit yang seharusnya berurusan dengan patok batas negara ini mendekati masyarakat desa tempat pos tersebut berada untuk mengajak warga menerapkan pola hidup bersih, tertib, dan disiplin. Budi berpendapat peran mereka yang satu ini cukup berhasil. Penampakan rapi perkampungan di Desa Apau Ping, Malinau, Kalimantan Utara. Meski berada di pedalaman dan berbatasan langsung dengan hutan rimba, kampung ini tertata rapi hingga ke rumah warga. Gambar diambil pada Senin (8/12/2014)
Satu hal lagi yang para prajurit ini kerjakan, tutur Budi, adalah mengajak para pemuda di Desa Apau Ping untuk meninggalkan kebiasaan meminum minuman keras. "Pernah kami tangkap lalu kami ajak ngobrol dari hati ke hati," ujar dia.
"Kami sampaikan harga kebutuhan di desa itu mahal. Satu liter miras Rp 60.000, mereka minum 10 liter. Kalau (uang untuk miras) itu dibelikan gula, kopi, beras, pasti itu sudah banyak," lanjut Budi. Menurut dia, pendekatan tersebut pelan-pelan dapat dimengerti para pemuda di sana.
Situasi yang dialami para prajurit di Pospamtas Apau Ping ini bukanlah satu-satunya. Masih di satu kabupaten saja, kondisi yang sama juga kami dapati terjadi di Pospamtas Desa Long Betaoh, yang lebih dulu kami sambangi.
Pospamtas Desa Long Betaoh seharusnya juga bertugas memeriksa dan menjaga 112 patok batas Indonesia-Malaysia. Namun, jangankan untuk patroli, logistik saja kerap harus mereka upayakan sendiri.
Bahwa pada 2013 ada laporan soal hilangnya satu patok batas dengan dugaan akibat eskavator milik Malaysia, bukan tak dibaca oleh para personel di Pospamtas Long Betaoh. Apa daya, tak beda dengan yang terjadi di Pospamtas Apau Ping, biaya untuk memeriksa lagi patok batas negara tak ada.
Ada 600 patok batas jadi tanggung jawab Pos Pengamanan Perbatasan (Pospamtas) Indonesia-Malaysia di Desa Apau Ping, Malinau, Kalimantan Utara. Namun, tak sekalipun pasukan yang sekarang bertugas di sana pernah memeriksa patok-patok itu. Persoalannya sederhana saja: biaya.
Berada di tepi Sungai Bahau di Kecamatan Bahau Hulu, pos ini berada di desa yang berketinggian 450 meter di atas permukaan laut. Wilayah administratif ini merupakan desa terakhir di alur Sungai Bahau, sebelum hutan rimba Malinau yang sekaligus merupakan perbatasan Indonesia dengan Malaysia.
Kami--reporter Kompas.com Fabian Januarius Kuwado bersama fotografer Fikria Hidayat dan Kristianto Purnomo--berkesempatan "mampir" ke pos ini, di satu petang pada 8 Desember 2014, di sela mengikuti rangkaian safari menjelang Natal Bupati Malinau, Yansen Tipa Padan.
Di pos berbentuk rumah panggung kayu tersebut, kami disambut Komandan Pos Serka TNI Budi Yono. Berdiri sejak 2007, ujar Budi, pos ini mempunyai tugas utama menjaga 600 patok batas tersebut. Para personel di sini menjalani rotasi setiap empat bulan.
"Kami belum berkesempatan patroli patok perbatasan," ujar Budi, yang bersama 14 prajurit lain sudah memasuki bulan keempat masa tugas di pos tersebut. Menurut dia, sekali memeriksa patok perbatasan, butuh biaya sekitar Rp 25 juta.
Selama Budi bertutur, ada prajurit TNI menyuguhkan pisang goreng buatannya ke kami. Prajurit lain menawari pilihan minuman, antara teh dan susu. Dalam obrolan di teras tersebut, Budi mengatakan biaya merupakan satu-satunya kendala mereka untuk menjalankan tugas yang seharusnya paling utama itu, memeriksa patok.
Kebutuhan dana, tegas Budi, tentu saja bukan untuk para prajurit berpesta. Rincian dari kebutuhan dana sekurangnya Rp 25 juta itu, sebut dia, adalah untuk membayar sewa tiga ketinting dan tukan perahunya, bahan bakar minyak untuk ketinting yang per liter berharga Rp 32.000, pemandu jalan, dan logistik untuk beberapa pekan pemeriksaan berlangsung.
"Waktu tempuh ke patok batas itu lima hari. Satu hari naik ketinting, sisanya jalan kaki. Itu berangkatnya saja, belum patroli dan pulangnya. Bisa berminggu-minggu kami di hutan," tutur Budi.
Saya pun tergelitik bertanya, apakah tak ada anggaran khusus patroli, yang menyertai penugasan mereka ke pos ini. Budi hanya menjawab dengan gelengan kepala. Ketika saya tanya lagi apakah para prajurit pernah mengajukan anggaran itu, Budi malah hanya menjawab dengan senyuman.
"Kami ini prajurit Mas. Kami diinstruksikan bertugas di sini, ya kami pergi. Enggak mungkin kami minta begitu. Hahahahaha... Bisa diproses kami satu pos di POM (kalau sampai meminta anggaran untuk pelaksanaan tugas ini)," ujar Budi.
Karena dana juga tak ada untuk melakukan tugas utama, aku Budi, selama empat bulan ini mereka hanya melakukan sosialisasi nilai-nilai nasionalisme kepada warga setempat. Cara yang mereka pakai, antara lain terlibat dalam kegiatan sekolah di desa, atau membantu puskesmas pembantu di desa dengan menjadi tenaga kesehatan.
Para prajurit yang seharusnya berurusan dengan patok batas negara ini mendekati masyarakat desa tempat pos tersebut berada untuk mengajak warga menerapkan pola hidup bersih, tertib, dan disiplin. Budi berpendapat peran mereka yang satu ini cukup berhasil. Penampakan rapi perkampungan di Desa Apau Ping, Malinau, Kalimantan Utara. Meski berada di pedalaman dan berbatasan langsung dengan hutan rimba, kampung ini tertata rapi hingga ke rumah warga. Gambar diambil pada Senin (8/12/2014)
Satu hal lagi yang para prajurit ini kerjakan, tutur Budi, adalah mengajak para pemuda di Desa Apau Ping untuk meninggalkan kebiasaan meminum minuman keras. "Pernah kami tangkap lalu kami ajak ngobrol dari hati ke hati," ujar dia.
"Kami sampaikan harga kebutuhan di desa itu mahal. Satu liter miras Rp 60.000, mereka minum 10 liter. Kalau (uang untuk miras) itu dibelikan gula, kopi, beras, pasti itu sudah banyak," lanjut Budi. Menurut dia, pendekatan tersebut pelan-pelan dapat dimengerti para pemuda di sana.
Situasi yang dialami para prajurit di Pospamtas Apau Ping ini bukanlah satu-satunya. Masih di satu kabupaten saja, kondisi yang sama juga kami dapati terjadi di Pospamtas Desa Long Betaoh, yang lebih dulu kami sambangi.
Pospamtas Desa Long Betaoh seharusnya juga bertugas memeriksa dan menjaga 112 patok batas Indonesia-Malaysia. Namun, jangankan untuk patroli, logistik saja kerap harus mereka upayakan sendiri.
Bahwa pada 2013 ada laporan soal hilangnya satu patok batas dengan dugaan akibat eskavator milik Malaysia, bukan tak dibaca oleh para personel di Pospamtas Long Betaoh. Apa daya, tak beda dengan yang terjadi di Pospamtas Apau Ping, biaya untuk memeriksa lagi patok batas negara tak ada.
★ Kompas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.