Baru sebagian yang menanda tangani traktat Penjualan senjata global kini lebih ketat dengan pemberlakuan traktat internasional agar penjahat tidak bisa membeli senjata. (Antara/Dewi Fajriani)
Traktak perdagangan senjata global yang bertujuan mengatur industri bernilai US$ 85 miliar dan mencegah pelanggar hak asasi manusia dan penjahat memiliki senjata akan mulai berlaku meski Senat AS belum meratifikasinya.
Pendukung traktat yang akan berlaku pada Rabu (24/12) menyambut baik perkembangan ini yang dianggap diperlukan sejak lama.
Mereka mengatakan traktat yang telah juga ditandatangani oleh AS pada 2013 akan mewajibkan eksportir senjata di seluruh dunia memenuhi kriteria eskpor yang ketat dan setara dengan tempat-tempat seperti Amerika Serikat dan negara-negara Barat lain.
"Sudah satu dekade para pegiat mendorong agar hal ini terjadi," ujar Anna Macdonald, direktur kelompok lobby Control Arms, dan menambahkan bahwa penerapan traktat ini akan menjadi "fajar satu era baru."
"Jika diterapkan dengan ketat, traktat ini berpotensi menyelamatkan banyak nyawa dan menjadi pelindung yang dibutuhkan oleh warga sipil di seluruh dunia," katanya.
"Akhirnya, menyerahkan senjata ke pelanggar hak asasi manusia dan diktator merupakan pelanggaran hukum internasional."
Dari 130 negara yang telah menandatanganinya, 60 telah meratifikasi. Diperlukan ratifikasi oleh 50 negara sebelum traktat ini bisa berlaku.
Amerika Serikat, pengekspor utama senjata di dunia, menandatangani traktat ini pada 2013 tetapi Senat belum meratifikasinya.
National Rifle Association, NFR, kelompok loby senjata AS yang kuat, menentang ratifikasi traktat tersebut meski hanya meliputi senjata-senjata yang diekspor bukan penjualan senjata di dalam negeri.
Pembuat senjata besar lain seperti Rusia, Tiongkok, India dan Pakistan belum menandatangani traktat ini.
Eksportir senjata besar yang telah menandatangani adalah Inggris, Perancis dan Jerman.
Sekjen PBB Ban Ki-moon mengeluarkan pernyataan bahwa sangat "penting bagi kita untuk mendesak partisipasi universal dalam (traktat) ini, dengan mendesak seluruh negara, terutama pengekspor dan pengimpor senjata, untuk ikut serta."
"Saya menghimbau negara-negara yang belum melakukannya, untuk segera menerimanya," tambahnya.
Traktat ini bertujuan menentukan standar untuk pengiriman senjata konvensional, mulai dari senjata gengam sampai tank dan helikoper serang, ke negara lain.
Negara-negara wajib mengkaji kontrak antar negara untuk memastikan senjata yang dijual tidak akan digunakan untuk melanggar hak asasi manusia, terorisme, pelanggaran hukum kemanusiaan atau kejahatan terorganisir.
Pendukung traktat ini mengatakan penerapan peraturan baru tersebut akan menyulitkan para pedagang senjata menjualnya ke pihak-pihak yang terlibat konflik seperti di Suriah, Sudan Selatan dan tempat lain di Timur Tengah dan Afrika.
Traktak perdagangan senjata global yang bertujuan mengatur industri bernilai US$ 85 miliar dan mencegah pelanggar hak asasi manusia dan penjahat memiliki senjata akan mulai berlaku meski Senat AS belum meratifikasinya.
Pendukung traktat yang akan berlaku pada Rabu (24/12) menyambut baik perkembangan ini yang dianggap diperlukan sejak lama.
Mereka mengatakan traktat yang telah juga ditandatangani oleh AS pada 2013 akan mewajibkan eksportir senjata di seluruh dunia memenuhi kriteria eskpor yang ketat dan setara dengan tempat-tempat seperti Amerika Serikat dan negara-negara Barat lain.
"Sudah satu dekade para pegiat mendorong agar hal ini terjadi," ujar Anna Macdonald, direktur kelompok lobby Control Arms, dan menambahkan bahwa penerapan traktat ini akan menjadi "fajar satu era baru."
"Jika diterapkan dengan ketat, traktat ini berpotensi menyelamatkan banyak nyawa dan menjadi pelindung yang dibutuhkan oleh warga sipil di seluruh dunia," katanya.
"Akhirnya, menyerahkan senjata ke pelanggar hak asasi manusia dan diktator merupakan pelanggaran hukum internasional."
Dari 130 negara yang telah menandatanganinya, 60 telah meratifikasi. Diperlukan ratifikasi oleh 50 negara sebelum traktat ini bisa berlaku.
Amerika Serikat, pengekspor utama senjata di dunia, menandatangani traktat ini pada 2013 tetapi Senat belum meratifikasinya.
National Rifle Association, NFR, kelompok loby senjata AS yang kuat, menentang ratifikasi traktat tersebut meski hanya meliputi senjata-senjata yang diekspor bukan penjualan senjata di dalam negeri.
Pembuat senjata besar lain seperti Rusia, Tiongkok, India dan Pakistan belum menandatangani traktat ini.
Eksportir senjata besar yang telah menandatangani adalah Inggris, Perancis dan Jerman.
Sekjen PBB Ban Ki-moon mengeluarkan pernyataan bahwa sangat "penting bagi kita untuk mendesak partisipasi universal dalam (traktat) ini, dengan mendesak seluruh negara, terutama pengekspor dan pengimpor senjata, untuk ikut serta."
"Saya menghimbau negara-negara yang belum melakukannya, untuk segera menerimanya," tambahnya.
Traktat ini bertujuan menentukan standar untuk pengiriman senjata konvensional, mulai dari senjata gengam sampai tank dan helikoper serang, ke negara lain.
Negara-negara wajib mengkaji kontrak antar negara untuk memastikan senjata yang dijual tidak akan digunakan untuk melanggar hak asasi manusia, terorisme, pelanggaran hukum kemanusiaan atau kejahatan terorganisir.
Pendukung traktat ini mengatakan penerapan peraturan baru tersebut akan menyulitkan para pedagang senjata menjualnya ke pihak-pihak yang terlibat konflik seperti di Suriah, Sudan Selatan dan tempat lain di Timur Tengah dan Afrika.
♜ CNN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.