Potensi Menuju Perang Terbuka?Joint Sea 2016 [asia.liveuamap.com] ○
Intensitas kemiliteran di Laut Tiongkok Selatan (LTS) semakin sering terjadi. Terakhir adalah latihan bersama ‘Joint Sea 2016’ yang diadakan Republik Rakyat Tiongkok dengan Republik Federasi Rusia yang digelar tanggal 11 lalu yang rencananya akan berakhir pada hari ini. Tak kurang dari satu Detasemen kapal militer Armada Pasifik Rusia didatangkan untuk mengikuti latihan bersama tersebut.
Menanggapi latihan bersama tersebut, Menteri Pertahanan Jepang Tomomi Idana mengungkapkan akan memperluas kehadirannya di perairan panas tersebut. Jepang pun menyatakan akan turut terlibat pula dengan latihan militer bersama di Laut Tiongkok Selatan baik dengan Amerika Serikat (AS), regional, bilateral maupun multilateral.
Memperhatikan fenomena ketegangan yang sering terjadi di Laut Tiongkok Selatan, menimbulkan pertanyaan yang mendasar akan hal tersebut. Apakah agresivitas Tiongkok di Laut Tiongkok Selatan yang semakin gencar dilakukan akan merujuk pada situasi perang terbuka?
Menjawab pertanyaan tersebut, mantan Pangdam Jaya 1997 Letnan Jenderal (Pur) Sjafrie Sjamsoeddin menegaskan bahwa tidak ada tindakkan (perang) yang akan dilakukan oleh Tiongkok. Menurutnya, eksistensi dan agresivitas Tiongkok di Laut Tiongkok Selatan sama sekali tidak mengarah pada hal tersebut.
“Dengan agresivitas Tiongkok di Laut Tiongkok Selatan, sebetulnya tidak ada tindakkan (perang) yang dia (Tiongkok) lakukan ke depannya. Dia hanya ingin menunjukkan eksistensi historis, politik dan militernya saja. Tidak ada tindakkan ofensif yang akan dilakukan oleh Tiongkok,” jelas Sjafrie saat ditemui Angkasa di kediamannya beberapa hari lalu.
Ia pun mengungkapkan, bahwa sesungguhnya Tiongkok tidak menerapkan strategi ofensif aktif walau yang tampak adalah agresivitas kekuatan militernya di Laut Tiongkok Selatan. Sejatinya, Tiongkok menjalankan strategi difensif aktif di perairan panas itu. Bukan berarti dengan agresivitas masif yang dilakukan oleh Tiongkok ke depannya akan menuju pada tindakkan Tiongkok untuk melancarkan perang terbuka terhadap peserta konflik di Laut Tiongkok Selatan.
“Jadi dia (Tiongkok) strateginya adalah strategi difensif aktif, bukan ofensif aktif. Tapi dia sudah bilang, ‘jangan ganggu, kalau saya (Tiongkok) diganggu saya balas dan saya balas lagi’,” ungkapnya.
Ia menambahkan, bahwa yang sebenarnya terjadi hanya peredaan ketegangan. “Tapi bahwasannya dia (Tiongkok)ingin menyatakan bahwa itu (Laut Tiongkok Selatan) adalah dia punya territorial, itu betul. Dia memodernisasi dia punya peralatan perang, itu juga betul,” pungkas Sjafrie yang juga mantan Wakil Menteri Pertahanan RI 2010.
Akankah Terjadi Fire Contact Antara AS-Tiongkok?
Eksistensi kekuatan militer Tiongkok semakin masif dilakukan di Laut Tiongkok Selatan (LTS), perairan sengketa paling panas. Hal tersebut membuat negara-negara yang memiliki sebagian kedaulatan atas perairan tersebut merasa terganggu dan menganggap hal yang dilakukan Tiongkok akan mengancam stabilitas keamanan di LTS. Amerika Serikat (AS) yang merupakan salah satu negara multipolar pun kerap hadir di perairan itu yang akhirnya menambah ketegangan di wilayah itu.
Dengan meibatkan kekuatan besar seperti Amerika Serikat dalam konflik Laut Tiongkok Selatan, apakah mungkin akan terjadi fire contact antara Tiongkok dengan sosok polaritas AS ?
“Dia membesarkan Angkatan Bersenjatanya, tapi dia tidak ofensif dan tentunya dia ingin menyaingi Amerika. Dia tidak ofensif dalam arti kata ‘saya jangan diserang, saya jangan diganggu’ dan Amerika juga tidak ganggu,” jelas Sjafrie Sjamsoeddin kepada Angkasa saat ditemui beberapa hari lalu di kediamannya.
Mantan Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI ini juga menerangkan bahwa AS pun belum tentu akan melakukan fire contact dengan Tiongkok karena memang garis logistic yang begitu panjang membentang diantara keduanya.
“Dari Amerika sampai ke Laut Tiongkok Selatan kan garis logistiknya panjang. Mau tiap hari kirim nuklir? Kan juga enggak mungkin. Jadi satu keniscayaan bahwa tidak akan ada (tindakan ofensif),” tegasnya pada sore itu.
Menurutnya agresivitas yang dilakukan oleh Tiongkok merupakan sebuah tindakkan yang masih wajar. Secara geopolitik dan terutama historis, Tiongkok punya keunggulan disbanding negara pesisir LTS lainnya.
“Kalau agresifitas dia itu wajar, karena terkait politik, teknologi dan historis tadi, tapi dalam konteks melakukan fire contact itu tidak. Yang kita bicarakan fire contact, tapi dia jangan diganggu, nah ini yang jadi persoalan. Tapi Amerika juga enggak ganggu, kan terlalu panjang garis logistiknya,” ungkap Sjafrie.
Sjafrie juga mengatakan, bahwasannya Tiongkok memiliki ‘Military Strategy Prospective’ untuk menanggapi permasalahan yang ada di laut timur dan laut selatan wilayahnya. Dalam perspektif itu Tiongkok memiliki penyatuan garis antara politik, histori dan teknologi yang kuat sebagai bargaining power.
Author: Fery Setiawan
★ Angkasa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.