Namanya Iman Sardjono. Usianya 86 tahun. Ketika terjadi peristiwa Pertempuran 5 Hari di Semarang, ia adalah anak muda berusia 17 tahun yang tengah mengendap-ngendap dan sekali-kali menembakan senjatanya kearah kubu pertahanan bala tentara Jepang. Dasar tengah dilanda sial, saat akan meloncat, ia tiba-tiba terpeleset dan kepalanya membentur batu. Akibatnya kepala Imann bocor dan ia lantas dipulangkan oleh kawan-kawannya ke Purwokerto.
"Waktu mendapatkan Bintang Gerilya, dikatakan saya terluka dalam pertempuran, ya memang terluka tapi bukan karena peluru musuh," kenang mantan siswa Sekolah Menengah Tinggi (SMT) di Semarang tersebut sambil terkekeh.
Beberapa minggu kemudian, Iman berangsur pulih. Sebagai veteran Pertempuran di Semarang, ia merasa jenuh terus-terusan diam di rumah. Bersama beberapa kawannya, ia lantas menghadap Kolonel Gatot Soebroto dan langsung mendapat sambutan khas dari Sang Kolonel: "Ada apa, Monyet?" Iman yang secara pribadi sudah mengenal lama Kolonel Gatot, lantas mengutarakan niatnya untuk bergabung kembali dalam perjuangan. Begitu selesai mendengar penuturan Iman, tanpa babibu, Kolonel Gatot lantas mendapuk seorang mantan Sersan KNIL untuk memimpin kelompok kecil para remaja tersebut.
"Tugas kalian melakukan sabotase sepanjang Banjar Patroman hingga kawasan sekitar Gunung Slamet, menghancurkan jembatan-jembatan yang kemungkinan besar akan dilewati militer Belanda dari arah Jawa Barat serta memusnahkan pabrik-pabrik gula…" perintah Gatot Soebroto.
Sukses melaksanakan tugas sabotase obyek-obyek vital, bersama beberapa kawan pelajar lainnya, ia kemudian ikut mendirikan TP (Tentara Pelajar) Kompi 340. Mereka lantas mendapuk seorang remaja kharismatik bernama Encung Abdullah Sajadi sebagai pimpinan mereka. Selain dinilai cakap, Encung juga merupakan satu-satunya pelajar yang pernah mendapat pendidikan singkat sebagai calon perwira cadangan dari Kolonel Gusti Pangeran Hario Djatikoesoemo.
Sebagai anggota TP, Iman banyak terlibat dalam pertempuran. Salah satu pertempuran yang ia pernah ikuti adalah saat mereka terlibat dalam penghadangan satu konvoi patrol militer Belanda di Sindoeredja. Daerah yang terletak di kawasan Purbalingga tersebut diakui memang pernah menjadi "neraka" bagi sebuah kesatuan militer Belanda. Dalam Levenslang Op Patrouille, AP. De Graaff (mantan tenaga medis tentara Belanda di kesatuan yang terlibat pertempuran di tempat itu) menyatakan bahwa banyak korban berjatuhan di pihak militer Belanda dalam penghadangan tersebut.
Mereka kocar-kacir ditembaki dari atas tebing yang mengapit jalan. Menurut Iman, beberapa tentara muda Belanda meregang nyawa di sana. "Ada di antara mereka sebelum mati, berteriak "Mami!" Mami!", ujar Iman kepada saya malam tadi.
Usai revolusi, Iman Sardjono dikirim oleh Pemerintah Republik Indonesia untuk melanjutkan pendidikan ketentaraan di Akademi Angkatan Laut Den Helder di Belanda. Dalam karirnya selepas lulus dari AAL Den Helder, tercatat ia pernah ditugaskan di Jepang dan Singapura, sebelum akhirnya pensiun sebagai perwira tinggi TNI AL (Laksamana Pertama). Selanjutnya mantan Dirjen Perikanan di era Presiden Soeharto ini, meneruskan kiprahnya di dunia sipil hingga saat ini. (hendijo/Diposkan samuel tirta)
"Waktu mendapatkan Bintang Gerilya, dikatakan saya terluka dalam pertempuran, ya memang terluka tapi bukan karena peluru musuh," kenang mantan siswa Sekolah Menengah Tinggi (SMT) di Semarang tersebut sambil terkekeh.
Beberapa minggu kemudian, Iman berangsur pulih. Sebagai veteran Pertempuran di Semarang, ia merasa jenuh terus-terusan diam di rumah. Bersama beberapa kawannya, ia lantas menghadap Kolonel Gatot Soebroto dan langsung mendapat sambutan khas dari Sang Kolonel: "Ada apa, Monyet?" Iman yang secara pribadi sudah mengenal lama Kolonel Gatot, lantas mengutarakan niatnya untuk bergabung kembali dalam perjuangan. Begitu selesai mendengar penuturan Iman, tanpa babibu, Kolonel Gatot lantas mendapuk seorang mantan Sersan KNIL untuk memimpin kelompok kecil para remaja tersebut.
"Tugas kalian melakukan sabotase sepanjang Banjar Patroman hingga kawasan sekitar Gunung Slamet, menghancurkan jembatan-jembatan yang kemungkinan besar akan dilewati militer Belanda dari arah Jawa Barat serta memusnahkan pabrik-pabrik gula…" perintah Gatot Soebroto.
Sukses melaksanakan tugas sabotase obyek-obyek vital, bersama beberapa kawan pelajar lainnya, ia kemudian ikut mendirikan TP (Tentara Pelajar) Kompi 340. Mereka lantas mendapuk seorang remaja kharismatik bernama Encung Abdullah Sajadi sebagai pimpinan mereka. Selain dinilai cakap, Encung juga merupakan satu-satunya pelajar yang pernah mendapat pendidikan singkat sebagai calon perwira cadangan dari Kolonel Gusti Pangeran Hario Djatikoesoemo.
Sebagai anggota TP, Iman banyak terlibat dalam pertempuran. Salah satu pertempuran yang ia pernah ikuti adalah saat mereka terlibat dalam penghadangan satu konvoi patrol militer Belanda di Sindoeredja. Daerah yang terletak di kawasan Purbalingga tersebut diakui memang pernah menjadi "neraka" bagi sebuah kesatuan militer Belanda. Dalam Levenslang Op Patrouille, AP. De Graaff (mantan tenaga medis tentara Belanda di kesatuan yang terlibat pertempuran di tempat itu) menyatakan bahwa banyak korban berjatuhan di pihak militer Belanda dalam penghadangan tersebut.
Mereka kocar-kacir ditembaki dari atas tebing yang mengapit jalan. Menurut Iman, beberapa tentara muda Belanda meregang nyawa di sana. "Ada di antara mereka sebelum mati, berteriak "Mami!" Mami!", ujar Iman kepada saya malam tadi.
Usai revolusi, Iman Sardjono dikirim oleh Pemerintah Republik Indonesia untuk melanjutkan pendidikan ketentaraan di Akademi Angkatan Laut Den Helder di Belanda. Dalam karirnya selepas lulus dari AAL Den Helder, tercatat ia pernah ditugaskan di Jepang dan Singapura, sebelum akhirnya pensiun sebagai perwira tinggi TNI AL (Laksamana Pertama). Selanjutnya mantan Dirjen Perikanan di era Presiden Soeharto ini, meneruskan kiprahnya di dunia sipil hingga saat ini. (hendijo/Diposkan samuel tirta)
★ Garuda Militer
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.