Peristiwa Tragis Pasca-Uni Soviet Perang Chechnya I berakhir pada Agustus 1996 saat Rusia menarik mundur pasukannya. Foto: Igor Mikhaliv/RIA Novosti♙
Dua puluh tahun lalu, terjadi perang di Subjek Federal Republik Chechnya yang melenyapkan ribuan nyawa penduduk sipil dan merongrong perkembangan negara Rusia selama bertahun-tahun. RBTH merangkum apa saja dampak peristiwa tragis tersebut terhadap Rusia berikut ini.
Setelah Uni Soviet bubar, republik-republik otonom yang berada di bawah pemerintah negara Rusia hendak melepaskan diri dari Rusia. Gerakan separatis terkuat terjadi di Republik Chechnya. Republik tersebut memproklamasikan dirinya sebagai negara merdeka dengan nama Republik Chechnya Ichkeria yang dipimpin oleh Mantan Mayjen Dzokhar Dudayev.
Ketika itu, badan militer Rusia sudah ditarik keluar dari wilayah Republik Chechnya, namun masih tersisa sejumlah besar senjata dan peralatan militer Rusia di sana.
Ketua Majelis Rendah Parlemen Rusia (Duma) periode 1994-1996 Ivan Rybkin masih mengenang masa kelam tersebut dengan jelas. “Di Chechnya terjadi kesewenang-wenangan. Gerakan radikal yang penuh kekerasan tak hanya mengancam seluruh daerah Kaukasus Utara, tetapi juga seluruh Rusia,” kata Rybkin. Pemerintah Rusia khawatir langkah Chechnya yang memerdekakan diri tersebut akan diikuti oleh daerah-daerah otonom lainnya.
Menurut Rybkin, Moskow tidak bisa membiarkan kemerdekaan sepihak Chechnya tersebut berlanjut. Chechnya mulai menjadi ancaman nasional bagi Rusia. “Muncul provokasi, penculikan, perampokan uang dalam jumlah fantastis, termasuk pemalsuan dokumen dari bank-bank Rusia. Perbatasan republik bahkan tidak dijaga,” kata Rybkin.
Meski hanya memiliki sedikit waktu untuk melakukan persiapan operasi militer, pada 11 Desember 1994 pasukan Rusia masuk ke wilayah Chechnya dari arah utara, barat, dan timur. Pasukan Rusia berencana mengambil-alih kembali Republik Chechnya dalam waktu dua jam, namun ternyata mereka menghadapi perlawanan yang sangat keras.
“Kemenangan Kecil”
Menurut Direktur Fond Effektivnoy Politiki Gleb Pavlovskiy, saat itu Rusia tidak memiliki tujuan militer dan politik yang tegas. “Dari situlah muncul masalah utama yang memicu pecahnya Perang Chechnya I,” kata Pavlovskiy. Sepanjang tahun 1994, rating presiden Rusia saat itu, Boris Yeltsin, merosot sebanyak tiga persen.
Menurut Pavlovskiy, “kemenangan kecil” sekalipun dalam perang tersebut akan meningkatkan popularitas Boris Yeltsin di kalangan masyarakat. Namun, Rusia tidak mampu menekan perlawanan gerakan separatis di Chechnya. Tank-tank Rusia dihujani proyektil dari peluncur granat dan mereka yang masih hidup dijadikan tawanan. Peperangan yang diprediksi hanya akan terjadi selama dua jam tersebut ternyata berlangsung selama 1,5 tahun.
Setelah berhasil menginvasi kota Grozniy, ibukota Chechnya, pasukan Rusia mulai melakukan “pembersihan” massal penduduk sipil. Baku tembak terus berlangsung menggunakan pesawat tempur dan senjata artileri. Penghancuran kota yang terjadi sungguh mengerikan. Berdasarkan perhitungan kasar komunitas “Memorial”, Chechnya kehilangan 50 ribu orang penduduk dalam perang tersebut, sedangkan pasukan Rusia kehilangan lima ribu personelnya. Sebagai jawaban atas tindakan Rusia, para pejuang separatis pun melakukan aksi terorisme di Rusia.
Berpaling dari Demokrasi
Pada bulan-bulan awal peperangan saja, lebih dari 300 ribu orang harus meninggalkan Republik Chechnya. Segelintir orang dapat kembali ke Chechnya setelah perang usai, namun sebagian besar harus memulai hidup di tempat yang baru.
“Perang Chechnya I membuat penduduk Rusia merasa negaranya akan segera runtuh,” terang Pavlovskiy. “Namun, seiring berjalannya waktu, terbukti bahwa hal tersebut tidak terjadi. Meski demikian, Perang Chechnya tetap menjadi faktor kuat yang memengaruhi seluruh proses politik di Rusia.”
Sang analis menerangkan, masyarakat Rusia merasa ancaman terorisme dari Chechnya terus mengintai, padahal sebenarnya ancaman tersebut sudah bersifat internasional. “Contoh yang paling sesuai adalah Shamil Basayev dan aksi terorisme yang ia lakukan di seluruh Rusia. Selang beberapa tahun, hal tersebut telah membentuk kesiapan masyarakat Rusia untuk berperang,” kata Pavlovskiy.
Perang Chechnya I berakhir pada Agustus 1996 saat Rusia menarik mundur pasukannya. Namun, masa tenang tersebut hanya berlangsung sesaat. Tiga tahun kemudian, Perang Chechnya II meletus.
Dua puluh tahun lalu, terjadi perang di Subjek Federal Republik Chechnya yang melenyapkan ribuan nyawa penduduk sipil dan merongrong perkembangan negara Rusia selama bertahun-tahun. RBTH merangkum apa saja dampak peristiwa tragis tersebut terhadap Rusia berikut ini.
Setelah Uni Soviet bubar, republik-republik otonom yang berada di bawah pemerintah negara Rusia hendak melepaskan diri dari Rusia. Gerakan separatis terkuat terjadi di Republik Chechnya. Republik tersebut memproklamasikan dirinya sebagai negara merdeka dengan nama Republik Chechnya Ichkeria yang dipimpin oleh Mantan Mayjen Dzokhar Dudayev.
Ketika itu, badan militer Rusia sudah ditarik keluar dari wilayah Republik Chechnya, namun masih tersisa sejumlah besar senjata dan peralatan militer Rusia di sana.
Ketua Majelis Rendah Parlemen Rusia (Duma) periode 1994-1996 Ivan Rybkin masih mengenang masa kelam tersebut dengan jelas. “Di Chechnya terjadi kesewenang-wenangan. Gerakan radikal yang penuh kekerasan tak hanya mengancam seluruh daerah Kaukasus Utara, tetapi juga seluruh Rusia,” kata Rybkin. Pemerintah Rusia khawatir langkah Chechnya yang memerdekakan diri tersebut akan diikuti oleh daerah-daerah otonom lainnya.
Menurut Rybkin, Moskow tidak bisa membiarkan kemerdekaan sepihak Chechnya tersebut berlanjut. Chechnya mulai menjadi ancaman nasional bagi Rusia. “Muncul provokasi, penculikan, perampokan uang dalam jumlah fantastis, termasuk pemalsuan dokumen dari bank-bank Rusia. Perbatasan republik bahkan tidak dijaga,” kata Rybkin.
Meski hanya memiliki sedikit waktu untuk melakukan persiapan operasi militer, pada 11 Desember 1994 pasukan Rusia masuk ke wilayah Chechnya dari arah utara, barat, dan timur. Pasukan Rusia berencana mengambil-alih kembali Republik Chechnya dalam waktu dua jam, namun ternyata mereka menghadapi perlawanan yang sangat keras.
“Kemenangan Kecil”
Menurut Direktur Fond Effektivnoy Politiki Gleb Pavlovskiy, saat itu Rusia tidak memiliki tujuan militer dan politik yang tegas. “Dari situlah muncul masalah utama yang memicu pecahnya Perang Chechnya I,” kata Pavlovskiy. Sepanjang tahun 1994, rating presiden Rusia saat itu, Boris Yeltsin, merosot sebanyak tiga persen.
Menurut Pavlovskiy, “kemenangan kecil” sekalipun dalam perang tersebut akan meningkatkan popularitas Boris Yeltsin di kalangan masyarakat. Namun, Rusia tidak mampu menekan perlawanan gerakan separatis di Chechnya. Tank-tank Rusia dihujani proyektil dari peluncur granat dan mereka yang masih hidup dijadikan tawanan. Peperangan yang diprediksi hanya akan terjadi selama dua jam tersebut ternyata berlangsung selama 1,5 tahun.
Setelah berhasil menginvasi kota Grozniy, ibukota Chechnya, pasukan Rusia mulai melakukan “pembersihan” massal penduduk sipil. Baku tembak terus berlangsung menggunakan pesawat tempur dan senjata artileri. Penghancuran kota yang terjadi sungguh mengerikan. Berdasarkan perhitungan kasar komunitas “Memorial”, Chechnya kehilangan 50 ribu orang penduduk dalam perang tersebut, sedangkan pasukan Rusia kehilangan lima ribu personelnya. Sebagai jawaban atas tindakan Rusia, para pejuang separatis pun melakukan aksi terorisme di Rusia.
Berpaling dari Demokrasi
Pada bulan-bulan awal peperangan saja, lebih dari 300 ribu orang harus meninggalkan Republik Chechnya. Segelintir orang dapat kembali ke Chechnya setelah perang usai, namun sebagian besar harus memulai hidup di tempat yang baru.
“Perang Chechnya I membuat penduduk Rusia merasa negaranya akan segera runtuh,” terang Pavlovskiy. “Namun, seiring berjalannya waktu, terbukti bahwa hal tersebut tidak terjadi. Meski demikian, Perang Chechnya tetap menjadi faktor kuat yang memengaruhi seluruh proses politik di Rusia.”
Sang analis menerangkan, masyarakat Rusia merasa ancaman terorisme dari Chechnya terus mengintai, padahal sebenarnya ancaman tersebut sudah bersifat internasional. “Contoh yang paling sesuai adalah Shamil Basayev dan aksi terorisme yang ia lakukan di seluruh Rusia. Selang beberapa tahun, hal tersebut telah membentuk kesiapan masyarakat Rusia untuk berperang,” kata Pavlovskiy.
Perang Chechnya I berakhir pada Agustus 1996 saat Rusia menarik mundur pasukannya. Namun, masa tenang tersebut hanya berlangsung sesaat. Tiga tahun kemudian, Perang Chechnya II meletus.
♙ RBTH
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.