Ini adalah foto lawas Letnan Kolonel Eddie Soekardi (Komandan Resimen III TKR/TRI membawahi Bogor, Sukabumi dan Cianjur pada 1945-1946) yang diberikan kepada saya beberapa bulan lalu. Sebagai seorang komandan lulusan PETA, ia berhasil menyusun startegi yang membuat tentara Inggris (yang berpengalaman di palagan Burma, Malaya, Singapura) kocar-kacir sepanjang jalur Bojongkokosan, Sukabumi, Cianjur. Sebegitu parahnya kekalahan itu sehingga parlemen Inggris mengecam keterlibatan militer negara itu yang memakan korban ratusan serdadu gugur, ratusan luka2 dan 150 ranpur hancur (termasuk tank Sherman yang terkenal legendaris dalam PD II).
"Dengan taktik hit and run dan pengerahan sniper sepanjang jalur peperangan, kami bikin mereka kalangkabut. Bahkan dalam suatu pertempuran salah seorang Letnan Kolonel mereka berhasil kami tewaskan," katanya kepada saya beberapa bulan lalu.
Apa yang dikatakan oleh Eddie memang bukan isapan jempol semata. Dalam The Fighting Cock: The Story of The 23rd Indian Division, Letnan Kolonel Doulton, bercerita tentang seramnya "neraka Sukabumi - Cianjur bagi militer Inggris" itu. "Inilah Perang Jawa sesungguhnya bagi kami…" tulis Doulton.
Bukan hanya di Bojongkokosan, di Cianjur pasukan Inggris juga dibuat tak berdaya. Eddie Soekardi menyebut nama Soeroso sebagai pimpinan gerilyawan kota yang berhasil mengganggu pergerakan Bataliyon 3/3 Gurkha Rifles (suatu kesatuan elit militer Inggris yang diperkuat orang-orang Gurkha) dari Bandung ke Sukabumi.
Bersama gerilyawan-gerilyawan lain dari Yon 3 Resimen III TRI, Lasykar Hizbullah dan Sabilillah, Lasykar BBRI pimpinan Soeroso melakukan penyerangan lewat aksi hit and run terhadap Yon 3/3 Gurkha Rifles yang diperkuat oleh tank Sherman, panser wagon, brencarrier dan truk-truk berisi pasukan. Kendati hanya menggunakan molotov cocktail (bom sederhana yang terbuat dari botol yang diisi bensin dan disertai sumbu) dan beberapa pucuk senjata saja, mereka melakukan serangan terstruktur dari sudut-sudut pertokoan dan lorong-lorong rumah yang berderet sepanjang pusat kota Cianjur.
“Bagi para serdadu Gurkha Rifles, situasi itu cukup membingungkan. Mereka hanya bisa bertahan dan membalas serangan tersebut sekenanya dari balik kendaran-kendaraan tempur mereka… ” kata sesepuh Divisi Siliwangi itu.
Ketidakberdayaan salah satu satuan elit militer Inggris dalam Perang Dunia II sempat dicatat oleh Doulton sebagai pergerakan taktis gerilyawan Indonesia yang sempat membuat para serdadu Gurkha panik dan terpukul. “Ini menjadi suatu bukti, orang-orang Indonesia mengalami kemajuan dan semakin militan…” tulis Doulton.
Kini "Penakluk Inggris" itu sudah tiada. Pada 5 September 2014, Iwan Soekardi mengabarkan kepada saya lewat handphone, sang ayah telah meninggal. Terakhir saya bertemu dengan Overste Eddie pada akhir April 2014. Kami ngobrol lama sekali. Dari siang hingga senja menjelang (sekitar pukul 17.30). Begitu dia terlihat lelah, saya tentunya tak tega dan menghentikan obrolan tersebut. Dia bersikeras ingin meneruskan ceritanya, tapi saya tolak secara halus. "Ini demi kesehatan Bapak," kata saya. "Bagaimana kalau besok kamu datang lagi ke sini sambil sarapan sama saya?" katanya penuh harap. Saya jawab, saya berterimakasih dengan tawaran itu, tapi besok saya punya tugas lain. "Kalau ke Bandung, saya pasti luangkan tengok Pak Eddy," kata saya. Komandan tua itu tersenyum.
Sebelum pulang, ia menepuk-nepuk pipi saya. Dan bilang: "Saya doakan kamu terus bisa menulis. Banyak hal yang harus kamu tulis karena sejarah bangsa ini banyak yang masih tercecer." ujarnya sambil menatap saya. Matanya memang lamur tapi hatinya saya yakin tidak. Selamat beristirahat, Overste! Saya berjanji akan terus menulis dan memungguti satu persatu sejarah bangsa yang tercecer. Sepeti pesanmu di senja itu.(hendijo/Diposkan samuel tirta)
"Dengan taktik hit and run dan pengerahan sniper sepanjang jalur peperangan, kami bikin mereka kalangkabut. Bahkan dalam suatu pertempuran salah seorang Letnan Kolonel mereka berhasil kami tewaskan," katanya kepada saya beberapa bulan lalu.
Apa yang dikatakan oleh Eddie memang bukan isapan jempol semata. Dalam The Fighting Cock: The Story of The 23rd Indian Division, Letnan Kolonel Doulton, bercerita tentang seramnya "neraka Sukabumi - Cianjur bagi militer Inggris" itu. "Inilah Perang Jawa sesungguhnya bagi kami…" tulis Doulton.
Bukan hanya di Bojongkokosan, di Cianjur pasukan Inggris juga dibuat tak berdaya. Eddie Soekardi menyebut nama Soeroso sebagai pimpinan gerilyawan kota yang berhasil mengganggu pergerakan Bataliyon 3/3 Gurkha Rifles (suatu kesatuan elit militer Inggris yang diperkuat orang-orang Gurkha) dari Bandung ke Sukabumi.
Bersama gerilyawan-gerilyawan lain dari Yon 3 Resimen III TRI, Lasykar Hizbullah dan Sabilillah, Lasykar BBRI pimpinan Soeroso melakukan penyerangan lewat aksi hit and run terhadap Yon 3/3 Gurkha Rifles yang diperkuat oleh tank Sherman, panser wagon, brencarrier dan truk-truk berisi pasukan. Kendati hanya menggunakan molotov cocktail (bom sederhana yang terbuat dari botol yang diisi bensin dan disertai sumbu) dan beberapa pucuk senjata saja, mereka melakukan serangan terstruktur dari sudut-sudut pertokoan dan lorong-lorong rumah yang berderet sepanjang pusat kota Cianjur.
“Bagi para serdadu Gurkha Rifles, situasi itu cukup membingungkan. Mereka hanya bisa bertahan dan membalas serangan tersebut sekenanya dari balik kendaran-kendaraan tempur mereka… ” kata sesepuh Divisi Siliwangi itu.
Ketidakberdayaan salah satu satuan elit militer Inggris dalam Perang Dunia II sempat dicatat oleh Doulton sebagai pergerakan taktis gerilyawan Indonesia yang sempat membuat para serdadu Gurkha panik dan terpukul. “Ini menjadi suatu bukti, orang-orang Indonesia mengalami kemajuan dan semakin militan…” tulis Doulton.
Kini "Penakluk Inggris" itu sudah tiada. Pada 5 September 2014, Iwan Soekardi mengabarkan kepada saya lewat handphone, sang ayah telah meninggal. Terakhir saya bertemu dengan Overste Eddie pada akhir April 2014. Kami ngobrol lama sekali. Dari siang hingga senja menjelang (sekitar pukul 17.30). Begitu dia terlihat lelah, saya tentunya tak tega dan menghentikan obrolan tersebut. Dia bersikeras ingin meneruskan ceritanya, tapi saya tolak secara halus. "Ini demi kesehatan Bapak," kata saya. "Bagaimana kalau besok kamu datang lagi ke sini sambil sarapan sama saya?" katanya penuh harap. Saya jawab, saya berterimakasih dengan tawaran itu, tapi besok saya punya tugas lain. "Kalau ke Bandung, saya pasti luangkan tengok Pak Eddy," kata saya. Komandan tua itu tersenyum.
Sebelum pulang, ia menepuk-nepuk pipi saya. Dan bilang: "Saya doakan kamu terus bisa menulis. Banyak hal yang harus kamu tulis karena sejarah bangsa ini banyak yang masih tercecer." ujarnya sambil menatap saya. Matanya memang lamur tapi hatinya saya yakin tidak. Selamat beristirahat, Overste! Saya berjanji akan terus menulis dan memungguti satu persatu sejarah bangsa yang tercecer. Sepeti pesanmu di senja itu.(hendijo/Diposkan samuel tirta)
★ Garuda Militer
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.