Peserta dalam Simposium Internasional Keamanan Maritim ★
Para pemimpin angkatan laut negara-negara Asia Pasifik mengakui masa depan keamanan kawasan ini menjadi tanggung jawab bersama semua negara, termasuk dalam misi-misi militer untuk kemanusiaan.
Dalam Simposium Internasional Keamanan Maritim Kedua yang digagas TNI AL, banyak pimpinan delegasi 42 negara peserta saling berdialog dan membahas bentuk-bentuk tanggung jawab bersama dan partisipasi serta kemungkinan pengembangan kerja sama yang bisa dilakukan pada masa depan.
Kepala Staf TNI AL, Laksamana TNI Ade Supandi, menjadi tuan rumah. Beberapa pucuk pimpinan angkatan laut negara-negara Asia Pasifik menjadi pembicara, yaitu Panglima Armada Ketujuh Angkatan Laut Amerika Serikat, Vice Admiral Joseph Aucoin, dan Kepala Staf Angkatan Laut Filipina, Rear Admiral Joseph Mercado.
Deputi Kepala Staf Angkatan Laut Kerajaan Thailand, Admiral Narangpol Nabangchang, Direktur Jenderal Operari dan Perencanaan Pasukan Bela Diri Laut Kekaisaran Jepang, Rear Admiral Watanabe Gojiro, Kepala Staf Angkatan Laut Australia, Vice Admiral TW Barrett, dan Komandan Armada Selatan Angkatan Laut China, Rear Admiral Shen Jinlong.
Satu di antara yang menyatakan itu adalah Aucoin, yang di depan forum menyatakan, “Saya percaya menjadi satu dari bentuk kerja sama multilateral. Lalu ada perbedaan di antara kita yang harus diatasi bersama secara lebih aktif.”
“Bahkan saat pemerintah kita tidak memiliki pandangan yang sama tentang suatu isu, dengan profesionalisme personel angkatan perang kita yang tinggi, kita bisa atasi itu,” kata Aucoin, yang baru kali ini berkunjung ke negara Asia Tenggara pada masa kepemimpinannya.
Dia memberi contoh, penting bagi angkatan laut Asia Pasifik untuk berlaku secara bertanggung jawab dan profesional dalam interaksi tak terduga di laut.
“Ini sebabnya, banyak angkatan laut negara-negara yang hadir dalam Simposium Angkatan LAut Pasifik Barat bekerja sama untuk mempromosikan penerapan Kode Penangkalan Untuk Aktivitas Tak Terduga di Laut (CUES),” kata dia.
Timpalannya dari Jepang, Watanabe, yang memulai dari tinjauan perkembangan ukuran ekonomi terkait jalur maritim di Asia Pasifik.
Data yang dia kemukakan menyatakan, pada 1983, Pelabuhan Internasional Shanghai, China, melayani tujuh juta metrik ton barang dan meningkat drastis 33,6 juta metrik ton pada 2013, atau Pelabuhan Internasional Tokyo (70 juta metrik ton pada 1983 dan 490 juta metrik ton pada 2013.
Dari tinjauan pertumbuhan besaran angkatan laut di Asia Pasifik, dia memberi data ada 62 kapal perang dari kelas fregat, destroyer, penjelajah, dan kapal induk Armada Ketujuh Angkatan Laut Amerika Serikat pada 1983 menjadi 104 pada 2013, Rusia (32 pada 1983 menjadi 138 pada 2013), China (33 pada 1983 menjadi 59 pada 2013).
Juga Indonesia (10 pada 1983 menjadi 29 pada 2013), Korea Selatan (20 pada 1983 menjadi 51 pada 2013), atau Singapura (0 pada 1983 menjadi 12 pada 2013). Semua ilustrasi angka itu menggambarkan, kehadiran armada kapal perang identik dengan pertumbuhan volume dan besara ekonomi kawasan Asia Pasifik.
Jalan menuju stabilitas di perairan Asia Pasifik, kata Watanabe, bisa dimulai dengan kerja sama angkatan laut, yang diurai ke dalam peningkatan kapasitas, pematuhan pada norma-norma internasional yang sejajar, saling pengertian, dan menentukan kerangka kerja dalam bekerja sama.
Para pemimpin angkatan laut negara-negara Asia Pasifik mengakui masa depan keamanan kawasan ini menjadi tanggung jawab bersama semua negara, termasuk dalam misi-misi militer untuk kemanusiaan.
Dalam Simposium Internasional Keamanan Maritim Kedua yang digagas TNI AL, banyak pimpinan delegasi 42 negara peserta saling berdialog dan membahas bentuk-bentuk tanggung jawab bersama dan partisipasi serta kemungkinan pengembangan kerja sama yang bisa dilakukan pada masa depan.
Kepala Staf TNI AL, Laksamana TNI Ade Supandi, menjadi tuan rumah. Beberapa pucuk pimpinan angkatan laut negara-negara Asia Pasifik menjadi pembicara, yaitu Panglima Armada Ketujuh Angkatan Laut Amerika Serikat, Vice Admiral Joseph Aucoin, dan Kepala Staf Angkatan Laut Filipina, Rear Admiral Joseph Mercado.
Deputi Kepala Staf Angkatan Laut Kerajaan Thailand, Admiral Narangpol Nabangchang, Direktur Jenderal Operari dan Perencanaan Pasukan Bela Diri Laut Kekaisaran Jepang, Rear Admiral Watanabe Gojiro, Kepala Staf Angkatan Laut Australia, Vice Admiral TW Barrett, dan Komandan Armada Selatan Angkatan Laut China, Rear Admiral Shen Jinlong.
Satu di antara yang menyatakan itu adalah Aucoin, yang di depan forum menyatakan, “Saya percaya menjadi satu dari bentuk kerja sama multilateral. Lalu ada perbedaan di antara kita yang harus diatasi bersama secara lebih aktif.”
“Bahkan saat pemerintah kita tidak memiliki pandangan yang sama tentang suatu isu, dengan profesionalisme personel angkatan perang kita yang tinggi, kita bisa atasi itu,” kata Aucoin, yang baru kali ini berkunjung ke negara Asia Tenggara pada masa kepemimpinannya.
Dia memberi contoh, penting bagi angkatan laut Asia Pasifik untuk berlaku secara bertanggung jawab dan profesional dalam interaksi tak terduga di laut.
“Ini sebabnya, banyak angkatan laut negara-negara yang hadir dalam Simposium Angkatan LAut Pasifik Barat bekerja sama untuk mempromosikan penerapan Kode Penangkalan Untuk Aktivitas Tak Terduga di Laut (CUES),” kata dia.
Timpalannya dari Jepang, Watanabe, yang memulai dari tinjauan perkembangan ukuran ekonomi terkait jalur maritim di Asia Pasifik.
Data yang dia kemukakan menyatakan, pada 1983, Pelabuhan Internasional Shanghai, China, melayani tujuh juta metrik ton barang dan meningkat drastis 33,6 juta metrik ton pada 2013, atau Pelabuhan Internasional Tokyo (70 juta metrik ton pada 1983 dan 490 juta metrik ton pada 2013.
Dari tinjauan pertumbuhan besaran angkatan laut di Asia Pasifik, dia memberi data ada 62 kapal perang dari kelas fregat, destroyer, penjelajah, dan kapal induk Armada Ketujuh Angkatan Laut Amerika Serikat pada 1983 menjadi 104 pada 2013, Rusia (32 pada 1983 menjadi 138 pada 2013), China (33 pada 1983 menjadi 59 pada 2013).
Juga Indonesia (10 pada 1983 menjadi 29 pada 2013), Korea Selatan (20 pada 1983 menjadi 51 pada 2013), atau Singapura (0 pada 1983 menjadi 12 pada 2013). Semua ilustrasi angka itu menggambarkan, kehadiran armada kapal perang identik dengan pertumbuhan volume dan besara ekonomi kawasan Asia Pasifik.
Jalan menuju stabilitas di perairan Asia Pasifik, kata Watanabe, bisa dimulai dengan kerja sama angkatan laut, yang diurai ke dalam peningkatan kapasitas, pematuhan pada norma-norma internasional yang sejajar, saling pengertian, dan menentukan kerangka kerja dalam bekerja sama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.