Kalakhar Bakorkamla Laksda Desi Albert Mamahit (kanan)
Kepala Pelaksana Harian Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla) Laksda Desi Albert Mamahit mengingatkan, Indonesia harus siap diri menghadapi manuver pengancam kedaulatan NKRI bukan saja di darat tapi pada saatnya berimbas pada keamanan laut.
Ia mencontohkan bagaimana konflik Laut Cina Selatan telah menghadirkan kompetisi antarbangsa, yang cenderung mengarah pada perebutan pengaruh. Persaingan ini tak sebatas global tapi juga regional kawasan ASEAN dan nasional.
Konflik Laut Cina Selatan adalah konflik klaim wilayah tumpang tindih antara beberapa negara ASEAN dengan Tiongkok dan Taiwan. Klaim kepemilikan Tiongkok atas kepulauan Paracell dan Spratly. Negara ASEAN seperti Vietnam mengklaim Paracell dan sekitarnya. Sedangkan Brunei, Filipina dan Malaysia mengklaim Spratly dan sekitarnya.
"Ini menjadi rumit negara ASEAN yang terlibat konflik dengan Tiongkok. Pun menjadi susah menyatukan suara dan kekuatannya meski solidaritas ASEAN selalu didengungkan," ujar Mamahit dalam FGD menyoal 'Penjaga Maritim dengan Sistem Deteksi Dini' di Batam, Rabu (10/9/2014).
Indonesia jauh dari wilayah yang diklaim. Tapi di sekitar kepulauan Natuna milik Indonesia berdekatan dengan lokasi konflik yang tak masuk klaim Tiongkok. Ini masih diperdebatkan karena Tiongkok belum jelas mengklaim tentang laut Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia di sekitar kepulauan Natuna.
"Apapun itu jelas merupakan sebuah potensi ancaman nyata bagi Indonesia. Cepat atau lambat, mau tidak mau, Indonesia akan terkena dampak konflik Laut Cina Selatan baik langsung maupun tidak langsung," terang Mamahit.
Sementara laut yang merupakan dua pertiga wilayah Indonesia ke depan diproyeksikan sebagai sumber kesejahteraan masyarakat, yang selama ini belum digarap maksimal. Sehingga mensinergikan keamanan dan kesejahteraan sebuah keharusan.
★ Tribunnews
Kepala Pelaksana Harian Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla) Laksda Desi Albert Mamahit mengingatkan, Indonesia harus siap diri menghadapi manuver pengancam kedaulatan NKRI bukan saja di darat tapi pada saatnya berimbas pada keamanan laut.
Ia mencontohkan bagaimana konflik Laut Cina Selatan telah menghadirkan kompetisi antarbangsa, yang cenderung mengarah pada perebutan pengaruh. Persaingan ini tak sebatas global tapi juga regional kawasan ASEAN dan nasional.
Konflik Laut Cina Selatan adalah konflik klaim wilayah tumpang tindih antara beberapa negara ASEAN dengan Tiongkok dan Taiwan. Klaim kepemilikan Tiongkok atas kepulauan Paracell dan Spratly. Negara ASEAN seperti Vietnam mengklaim Paracell dan sekitarnya. Sedangkan Brunei, Filipina dan Malaysia mengklaim Spratly dan sekitarnya.
"Ini menjadi rumit negara ASEAN yang terlibat konflik dengan Tiongkok. Pun menjadi susah menyatukan suara dan kekuatannya meski solidaritas ASEAN selalu didengungkan," ujar Mamahit dalam FGD menyoal 'Penjaga Maritim dengan Sistem Deteksi Dini' di Batam, Rabu (10/9/2014).
Indonesia jauh dari wilayah yang diklaim. Tapi di sekitar kepulauan Natuna milik Indonesia berdekatan dengan lokasi konflik yang tak masuk klaim Tiongkok. Ini masih diperdebatkan karena Tiongkok belum jelas mengklaim tentang laut Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia di sekitar kepulauan Natuna.
"Apapun itu jelas merupakan sebuah potensi ancaman nyata bagi Indonesia. Cepat atau lambat, mau tidak mau, Indonesia akan terkena dampak konflik Laut Cina Selatan baik langsung maupun tidak langsung," terang Mamahit.
Sementara laut yang merupakan dua pertiga wilayah Indonesia ke depan diproyeksikan sebagai sumber kesejahteraan masyarakat, yang selama ini belum digarap maksimal. Sehingga mensinergikan keamanan dan kesejahteraan sebuah keharusan.
★ Tribunnews
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.