Barack Obama serukan "move on," tidak akan ada penuntutan hukum. Penyiksaan CIA dengan tehnik waterboard (Reuters/Kevin Lamarque)
Presiden Amerika Serikat (AS) Barack Obama, mengisyaratkan bahwa dirinya lebih tertarik untuk melihat ke masa depan, daripada membuka masa gelap dengan menyelidiki kekejaman yang dilakukan CIA dalam proses interogasi para tersangka teroris.
Direktur eksekutif HRW Kenneth Roth, yang dikutip Reuters, Rabu, 10 Desember 2014, menyerukan adanya akuntabilitas. Dia menegaskan bahwa proses pengungkapan kebenaran, harus berlanjut dengan penuntutan terhadap para pejabat yang bertanggungjawab.
Jika tidak, maka penyiksaan akan tetap menjadi pilihan kebijakan untuk presiden AS selanjutnya. Laporan mengenai metode interogasi yang dilakukan CIA, menyebut bahwa tehnik yang digunakan lebih brutal dari yang pernah diakui oleh CIA sebelumnya.
Laporan yang dirilis Komite Intelijen Senat AS dari kubu Demokrat, menyebut CIA telah berusaha menjustifikasikan penggunaan penyiksaan, dengan mengklaim keberhasilan untuk menggagalkan rencana serangan teroris, dan penangkapan tersangka. Namun kesimpulan dalam laporan itu, menyebut bahwa tehnik interogasi brutal yang dilakukan CIA, sama sekali tidak berguna untuk menghentikan serangan terorisme. Disayangkan, laporan itu tidak mengungkap lebih detil dari yang diharapkan.
Hanya 525 halaman berisi kesimpulan, dari 6.000 lembar dokumen yang dibuat Komite Intelijen Senat, berdasarkan penelusuran atas 6,3 juta lembar dokumen CIA. Laporan itu juga tidak akan menjadi dasar untuk adanya tindakan hukum.
Tidak ada kemungkinan penuntutan hukum, bagi mereka yang terlibat dalam pembuatan kebijakan, yang membenarkan dilakukannya penyiksaan dalam interogasi. Pejabat AS mengatakan, Departemen Hukum AS tidak berencana melakukan penyelidikan.
Departemen Hukum disebut pernah melakukan penyelidikan atas 20 kasus, terkait tuduhan pelanggaran CIA, namun investigasi dihentikan tanpa ada tuntutan yang dibuat. Sementara Obama dalam pernyataannya, menyebut AS harus bergerak maju. Dia mengindikasikan tidak adanya keinginan mengungkap pelanggaran yang dilakukan negaranya. "Daripada alasan lain untuk mempertentangkan kembali argumen usang, saya harap bahwa laporan hari ini dapat membantu kita meninggalkan tehnik ini, di masa lalu," kata Obama.
Pernyataan Obama itu mempertegas sikap hipokrit AS, yang selalu menuding negara lain melakukan pelanggaran HAM, serta menggunakan berbagai cara termasuk mengungkit masa lalu, saat menyerang negara lain.
CIA dan para pendukungnya telah menentang penyelidikan kriminal, bersikeras bahwa tindakan mereka telah mendapat otorisasi dari Departemen Hukum dan Gedung Putih. Sementara para pembela HAM mengatakan, akuntabilitas dibutuhkan untuk mencegah terulangnya penyiksaan di masa depan.
"Itu (laporan) membuka isu akuntabilitas," kata Alberto Mora, yang merupakan penasihat Angkatan Laut AS dalam pemerintahan Presiden George W Bush. Saat itu dia secara aktif menentang kekerasan dalam proses interogasi.
Mora mengatakan, secara politik sulit berpikir bahwa Bush dan para pejabat AS lainnya akan dapat dituntut. Satu-satunya yang pernah dituntut atas brutalitas CIA, adalah warga sipil David Passaro, kontraktor CIA yang divonis pada 2006, terkait kematian seorang tersangka asal Afghanistan.
Direktur eksekutif Serikat Kebebasan Sipil Amerika, Anthony Romero, mengatakan laporan Senat merupakan cetak biru untuk kemungkinan penuntutan. Menurutnya, jika Obama memberikan pengampunan secara resmi, itu mengisyaratkan bahwa penyiksaan dapat terjadi lagi.
"Apakah akan menuntut mereka yang bertanggungjawab, atau memberikan pengampunan. Anda tidak dapat berpura-pura bahwa mereka yang melanggar hukum, bukanlah para penjahat," ujar Romero.
Ada kemungkinan dilakukannya penuntutan di luar AS. Beberapa mantan pembantu Bush, telah diperingatkan untuk tidak melakukan perjalanan ke Eropa. Italia, pada 2012, telah menjatuhkan vonis secara in absentia, terhadap 22 agen CIA, untuk penculikan seorang ulama Mesir dari Milan.
"Fakta bahwa kebijakan yang diungkap dalam laporan ini, diotorisasi pada tingkat tinggi dalam pemerintahan AS, tidak dapat menjadi pengecualian," kata Ben Emmerson, utusan khusus PBB untuk kontra-terorisme dan HAM.CIA Bayar Rp 988 Miliar untuk Rancang Teknik Penyiksaan CIA juga membayar banyak dana untuk melindungi agennya dari tuntutan.
Badan intelijen Amerika Serikat (AS), CIA, membayar $ 80 juta atau sekitar Rp 988 miliar, kepada perusahaan milik dua mantan psikolog Angkatan Udara. Konsultan itu yang merekomendasikan waterboarding, dan berbagai teknik penyiksaan lainnya.
Disebut dalam laporan Reuters, Rabu, 10 Desember 2014, keduanya yang disebut dalam laporan Komite Intelijen Senat AS sebagai Dunbar dan Swigert, telah diidentifikasi oleh sumber intelijen AS sebagai James Mitchell dan Bruce Jessen.
Disebutkan dalam laporan tentang proses interogasi tersangka teroris, CIA mempercayakan lebih dari 80 persen program interogasi dengan tehnik brutal, pada perusahaan Mitchell Jessen and Associates of Spokane yang berbasis di Washington.
CIA juga membayar perusahaan itu sebesar $ 1 juta atau sekitar Rp 12 miliar untuk melindungi kontrak dan agen-agen mereka dari tuntutan hukum. Berdasarkan laporan yang dibuat Senat, keduanya tidak memiliki kualifikasi dalam menginterogasi tahanan.
Pada salah satu kasus yang terjadi di sebuah penjara rahasia, awal 2013, Abd al-Rahim al-Nashiri yang ditangkap pada 2002, dituduh sebagai otak pengeboman USS Cole di Aden pada 2000, di waterboard berulangkali.
Dia dipaksa terus berdiri dengan tangan diikat di atas kepalanya, diancam dengan mesin bor di kepalanya. Beberapa personil CIA yang terlibat, mengatakan Nashiri tetap tidak memberikan informasi yang signifikan.
Tapi seorang psikolog mendesak agar Nashiri mendapat metode penyiksaan lebih brutal, untuk membuat dirinya merasa sangat putus asa. Kedua psikolog yang merancang penyiksaan untuk CIA, mengatakan tidak menyesali apa yang mereka lakukan.
"Saya melakukan yang terbaik yang saya bisa," kata Mitchell, yang dikutip surat kabar Inggris, Guardian. Dia juga menegaskan, bahwa tidak ada yang membuatnya merasa perlu meminta maaf. Dia bersikeras hanya melakukan sesuatu bagi negaranya.(ren)Ada Fasilitas Rahasia CIA di Thailand Para tahanan di penjara Teluk Guantanamo (Wikimedia/Shane T. McCoy)
CIA mengirim tersangka ke negara-negara yang tidak melindungi HAM.
Laporan yang dirilis Senat Amerika Serikat menyebutkan bahwa badan intelijen CIA melakukan interogasi dengan cara brutal terhadap para tersangka Al-Qaeda, setelah serangan 11 September 2001.
Disebut dalam laporan BBC, Selasa 9 Desember 2014, kesimpulan dari laporan yang disusun oleh Komite Intelijen Senat dari Demokrat, menyebutkan bahwa CIA telah menyesatkan warga AS tentang apa yang mereka lakukan.
Bahkan, metode interogasi brutal yang mereka lakukan, sama sekali tidak berguna untuk memperoleh informasi penting, yang dapat digunakan untuk menggagalkan ancaman terorisme. Berbeda dari pernyataan CIA.
Direktur CIA John Brennan, bersikeras bahwa interogasi yang mereka lakukan telah berhasil menyelamatkan banyak nyawa. "Data intelijen yang didapat dari program ini vital, untuk pemahaman kita tentang Al-Qaeda," katanya.
Metode yang dikenal di internal CIA sebagai program Rendisi, Penahan, dan Interogasi, disebut terjadi antara 2002-2007. Laporan itu dibuat, berdasarkan penelusuran atas setidaknya enam juta halaman dokumen.
Penulis laporan menyimpulkan bahwa tidak ada satu pun kasus dari jutaan lembar dokumen itu, yang berguna untuk menghentikan serangan teroris. Namun, jelas mengungkap fakta, sekaligus menguak kemunafikan AS.
Membuat negara itu semestinya berpikir kembali, saat akan mengeluarkan kritik tentang brutalitas dan rezim diktator di negara lain. Juga dapat mendorong teroris, untuk membenarkan tindakan mereka sebagai aksi balas dendam.
Ketua Komite Intelijen Senat, Dianne Feinstein, menyebut tindakan CIA sebagai noda dalam sejarah AS. Dia menambahkan bahwa sudah waktunya untuk menghadapi kejujuran yang pahit. Walau begitu, sebagian elit politik AS membela tindakan CIA.
Para pemimpin Partai Republik mengklaim bahwa metode yang digunakan CIA, membantu penangkapan para tersangka, dan pembunuhan terhadap Osama bin Laden. "Klaim dalam laporan ini yang menegaskan sebaliknya, adalah salah," kata Senator Mitch McConnell dan Saxby Chambliss.
Laporan Senat terdiri dari 6.000 halaman, namun sebagian besar akan tetap dirahasiakan, dan hanya merilis 525 halaman berisi kesimpulan. Sehingga, apa yang sebenarnya terjadi akan tetap tidak akan terungkap sepenuhnya.
Fasilitas rahasia CIA di Thailand
Pada laporan disebutkan, mantan perencana operasi Al-Qaeda Abu Zubaydah, ditangkap di Pakistan dan dikirim ke fasilitas rahasia di Thailand. Sel penjaranya disebut hanya berwarna putih, tanpa jendela dan tidak ada cahaya alami.
Hanya ada empat penerangan dan dua kursi yang berbeda tingkat kenyamanannya. Penggunaan kursi dirotasi, tergantung apakah dia mau bersikap kooperatif saat interogasi. Dia ditahan antara 4-23 Agustus 2002.
Selama 47 hari penahanan, dia disiksa dengan larangan tidur hampir 24 jam sehari. Penjaga akan memasuki sel, mengikat, dan menutup kepalanya, lalu membuka handuknya sehingga dia telanjang.
Saat dia menolak menjawab pertanyaan, interogator akan mencengkram, atau menampar wajahnya. Dia juga disiksa dengan metode waterboard, biasanya dilakukan dengan mengguyur wajahnya dengan air, sehingga dia kesulitan bernafas.
Sesi penyiksaan terus dilakukan, dengan tujuan agar dia selalu berada pada kondisi paling rapuh. CIA sengaja memanfaatkan rendisi, dengan mengirimkan tersangka ke negara-negara yang tidak memiliki perlindungan terhadap HAM.
Laporan Senat yang dirilis, Selasa, menyebut bahwa CIA mengirim beberapa tersangka ke pusat penahanan rahasia di negara-negara lain. Kantor berita Reuters dalam laporannya, menyebut beberapa negara antara lain Afghanistan, Polandia, dan Rumania.
Beberapa tahanan dipaksa tidak tidur hingga 180 jam. Mereka dipaksa tetap berdiri, dengan tangan diikat di atas kepala. Mereka juga mendapat pelecehan seksual, seperti ancaman sodomi dengan gagang sapu.
Presiden Amerika Serikat (AS) Barack Obama, mengisyaratkan bahwa dirinya lebih tertarik untuk melihat ke masa depan, daripada membuka masa gelap dengan menyelidiki kekejaman yang dilakukan CIA dalam proses interogasi para tersangka teroris.
Direktur eksekutif HRW Kenneth Roth, yang dikutip Reuters, Rabu, 10 Desember 2014, menyerukan adanya akuntabilitas. Dia menegaskan bahwa proses pengungkapan kebenaran, harus berlanjut dengan penuntutan terhadap para pejabat yang bertanggungjawab.
Jika tidak, maka penyiksaan akan tetap menjadi pilihan kebijakan untuk presiden AS selanjutnya. Laporan mengenai metode interogasi yang dilakukan CIA, menyebut bahwa tehnik yang digunakan lebih brutal dari yang pernah diakui oleh CIA sebelumnya.
Laporan yang dirilis Komite Intelijen Senat AS dari kubu Demokrat, menyebut CIA telah berusaha menjustifikasikan penggunaan penyiksaan, dengan mengklaim keberhasilan untuk menggagalkan rencana serangan teroris, dan penangkapan tersangka. Namun kesimpulan dalam laporan itu, menyebut bahwa tehnik interogasi brutal yang dilakukan CIA, sama sekali tidak berguna untuk menghentikan serangan terorisme. Disayangkan, laporan itu tidak mengungkap lebih detil dari yang diharapkan.
Hanya 525 halaman berisi kesimpulan, dari 6.000 lembar dokumen yang dibuat Komite Intelijen Senat, berdasarkan penelusuran atas 6,3 juta lembar dokumen CIA. Laporan itu juga tidak akan menjadi dasar untuk adanya tindakan hukum.
Tidak ada kemungkinan penuntutan hukum, bagi mereka yang terlibat dalam pembuatan kebijakan, yang membenarkan dilakukannya penyiksaan dalam interogasi. Pejabat AS mengatakan, Departemen Hukum AS tidak berencana melakukan penyelidikan.
Departemen Hukum disebut pernah melakukan penyelidikan atas 20 kasus, terkait tuduhan pelanggaran CIA, namun investigasi dihentikan tanpa ada tuntutan yang dibuat. Sementara Obama dalam pernyataannya, menyebut AS harus bergerak maju. Dia mengindikasikan tidak adanya keinginan mengungkap pelanggaran yang dilakukan negaranya. "Daripada alasan lain untuk mempertentangkan kembali argumen usang, saya harap bahwa laporan hari ini dapat membantu kita meninggalkan tehnik ini, di masa lalu," kata Obama.
Pernyataan Obama itu mempertegas sikap hipokrit AS, yang selalu menuding negara lain melakukan pelanggaran HAM, serta menggunakan berbagai cara termasuk mengungkit masa lalu, saat menyerang negara lain.
CIA dan para pendukungnya telah menentang penyelidikan kriminal, bersikeras bahwa tindakan mereka telah mendapat otorisasi dari Departemen Hukum dan Gedung Putih. Sementara para pembela HAM mengatakan, akuntabilitas dibutuhkan untuk mencegah terulangnya penyiksaan di masa depan.
"Itu (laporan) membuka isu akuntabilitas," kata Alberto Mora, yang merupakan penasihat Angkatan Laut AS dalam pemerintahan Presiden George W Bush. Saat itu dia secara aktif menentang kekerasan dalam proses interogasi.
Mora mengatakan, secara politik sulit berpikir bahwa Bush dan para pejabat AS lainnya akan dapat dituntut. Satu-satunya yang pernah dituntut atas brutalitas CIA, adalah warga sipil David Passaro, kontraktor CIA yang divonis pada 2006, terkait kematian seorang tersangka asal Afghanistan.
Direktur eksekutif Serikat Kebebasan Sipil Amerika, Anthony Romero, mengatakan laporan Senat merupakan cetak biru untuk kemungkinan penuntutan. Menurutnya, jika Obama memberikan pengampunan secara resmi, itu mengisyaratkan bahwa penyiksaan dapat terjadi lagi.
"Apakah akan menuntut mereka yang bertanggungjawab, atau memberikan pengampunan. Anda tidak dapat berpura-pura bahwa mereka yang melanggar hukum, bukanlah para penjahat," ujar Romero.
Ada kemungkinan dilakukannya penuntutan di luar AS. Beberapa mantan pembantu Bush, telah diperingatkan untuk tidak melakukan perjalanan ke Eropa. Italia, pada 2012, telah menjatuhkan vonis secara in absentia, terhadap 22 agen CIA, untuk penculikan seorang ulama Mesir dari Milan.
"Fakta bahwa kebijakan yang diungkap dalam laporan ini, diotorisasi pada tingkat tinggi dalam pemerintahan AS, tidak dapat menjadi pengecualian," kata Ben Emmerson, utusan khusus PBB untuk kontra-terorisme dan HAM.CIA Bayar Rp 988 Miliar untuk Rancang Teknik Penyiksaan CIA juga membayar banyak dana untuk melindungi agennya dari tuntutan.
Badan intelijen Amerika Serikat (AS), CIA, membayar $ 80 juta atau sekitar Rp 988 miliar, kepada perusahaan milik dua mantan psikolog Angkatan Udara. Konsultan itu yang merekomendasikan waterboarding, dan berbagai teknik penyiksaan lainnya.
Disebut dalam laporan Reuters, Rabu, 10 Desember 2014, keduanya yang disebut dalam laporan Komite Intelijen Senat AS sebagai Dunbar dan Swigert, telah diidentifikasi oleh sumber intelijen AS sebagai James Mitchell dan Bruce Jessen.
Disebutkan dalam laporan tentang proses interogasi tersangka teroris, CIA mempercayakan lebih dari 80 persen program interogasi dengan tehnik brutal, pada perusahaan Mitchell Jessen and Associates of Spokane yang berbasis di Washington.
CIA juga membayar perusahaan itu sebesar $ 1 juta atau sekitar Rp 12 miliar untuk melindungi kontrak dan agen-agen mereka dari tuntutan hukum. Berdasarkan laporan yang dibuat Senat, keduanya tidak memiliki kualifikasi dalam menginterogasi tahanan.
Pada salah satu kasus yang terjadi di sebuah penjara rahasia, awal 2013, Abd al-Rahim al-Nashiri yang ditangkap pada 2002, dituduh sebagai otak pengeboman USS Cole di Aden pada 2000, di waterboard berulangkali.
Dia dipaksa terus berdiri dengan tangan diikat di atas kepalanya, diancam dengan mesin bor di kepalanya. Beberapa personil CIA yang terlibat, mengatakan Nashiri tetap tidak memberikan informasi yang signifikan.
Tapi seorang psikolog mendesak agar Nashiri mendapat metode penyiksaan lebih brutal, untuk membuat dirinya merasa sangat putus asa. Kedua psikolog yang merancang penyiksaan untuk CIA, mengatakan tidak menyesali apa yang mereka lakukan.
"Saya melakukan yang terbaik yang saya bisa," kata Mitchell, yang dikutip surat kabar Inggris, Guardian. Dia juga menegaskan, bahwa tidak ada yang membuatnya merasa perlu meminta maaf. Dia bersikeras hanya melakukan sesuatu bagi negaranya.(ren)Ada Fasilitas Rahasia CIA di Thailand Para tahanan di penjara Teluk Guantanamo (Wikimedia/Shane T. McCoy)
CIA mengirim tersangka ke negara-negara yang tidak melindungi HAM.
Laporan yang dirilis Senat Amerika Serikat menyebutkan bahwa badan intelijen CIA melakukan interogasi dengan cara brutal terhadap para tersangka Al-Qaeda, setelah serangan 11 September 2001.
Disebut dalam laporan BBC, Selasa 9 Desember 2014, kesimpulan dari laporan yang disusun oleh Komite Intelijen Senat dari Demokrat, menyebutkan bahwa CIA telah menyesatkan warga AS tentang apa yang mereka lakukan.
Bahkan, metode interogasi brutal yang mereka lakukan, sama sekali tidak berguna untuk memperoleh informasi penting, yang dapat digunakan untuk menggagalkan ancaman terorisme. Berbeda dari pernyataan CIA.
Direktur CIA John Brennan, bersikeras bahwa interogasi yang mereka lakukan telah berhasil menyelamatkan banyak nyawa. "Data intelijen yang didapat dari program ini vital, untuk pemahaman kita tentang Al-Qaeda," katanya.
Metode yang dikenal di internal CIA sebagai program Rendisi, Penahan, dan Interogasi, disebut terjadi antara 2002-2007. Laporan itu dibuat, berdasarkan penelusuran atas setidaknya enam juta halaman dokumen.
Penulis laporan menyimpulkan bahwa tidak ada satu pun kasus dari jutaan lembar dokumen itu, yang berguna untuk menghentikan serangan teroris. Namun, jelas mengungkap fakta, sekaligus menguak kemunafikan AS.
Membuat negara itu semestinya berpikir kembali, saat akan mengeluarkan kritik tentang brutalitas dan rezim diktator di negara lain. Juga dapat mendorong teroris, untuk membenarkan tindakan mereka sebagai aksi balas dendam.
Ketua Komite Intelijen Senat, Dianne Feinstein, menyebut tindakan CIA sebagai noda dalam sejarah AS. Dia menambahkan bahwa sudah waktunya untuk menghadapi kejujuran yang pahit. Walau begitu, sebagian elit politik AS membela tindakan CIA.
Para pemimpin Partai Republik mengklaim bahwa metode yang digunakan CIA, membantu penangkapan para tersangka, dan pembunuhan terhadap Osama bin Laden. "Klaim dalam laporan ini yang menegaskan sebaliknya, adalah salah," kata Senator Mitch McConnell dan Saxby Chambliss.
Laporan Senat terdiri dari 6.000 halaman, namun sebagian besar akan tetap dirahasiakan, dan hanya merilis 525 halaman berisi kesimpulan. Sehingga, apa yang sebenarnya terjadi akan tetap tidak akan terungkap sepenuhnya.
Fasilitas rahasia CIA di Thailand
Pada laporan disebutkan, mantan perencana operasi Al-Qaeda Abu Zubaydah, ditangkap di Pakistan dan dikirim ke fasilitas rahasia di Thailand. Sel penjaranya disebut hanya berwarna putih, tanpa jendela dan tidak ada cahaya alami.
Hanya ada empat penerangan dan dua kursi yang berbeda tingkat kenyamanannya. Penggunaan kursi dirotasi, tergantung apakah dia mau bersikap kooperatif saat interogasi. Dia ditahan antara 4-23 Agustus 2002.
Selama 47 hari penahanan, dia disiksa dengan larangan tidur hampir 24 jam sehari. Penjaga akan memasuki sel, mengikat, dan menutup kepalanya, lalu membuka handuknya sehingga dia telanjang.
Saat dia menolak menjawab pertanyaan, interogator akan mencengkram, atau menampar wajahnya. Dia juga disiksa dengan metode waterboard, biasanya dilakukan dengan mengguyur wajahnya dengan air, sehingga dia kesulitan bernafas.
Sesi penyiksaan terus dilakukan, dengan tujuan agar dia selalu berada pada kondisi paling rapuh. CIA sengaja memanfaatkan rendisi, dengan mengirimkan tersangka ke negara-negara yang tidak memiliki perlindungan terhadap HAM.
Laporan Senat yang dirilis, Selasa, menyebut bahwa CIA mengirim beberapa tersangka ke pusat penahanan rahasia di negara-negara lain. Kantor berita Reuters dalam laporannya, menyebut beberapa negara antara lain Afghanistan, Polandia, dan Rumania.
Beberapa tahanan dipaksa tidak tidur hingga 180 jam. Mereka dipaksa tetap berdiri, dengan tangan diikat di atas kepala. Mereka juga mendapat pelecehan seksual, seperti ancaman sodomi dengan gagang sapu.
★ Vivanews
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.