Sabtu berdarah di Syabwah Misi gagal Tim 6 SEAL. dailymail.co.uk
Keheningan masih membungkus sebuah desa terpencil di Provinsi Syabwah, selatan Yaman, Sabtu dini hari lalu. Penduduk desa di atas bukit itu - dari suku Abyan - masih tidur lelap di tengah suhu musim dingin menusuk tulang.
Dari atas kapal induk USS Makin Island berlabuh di lepas pantai Teluk Aden, Yaman, V-22 Osprey terbang menuju sasaran. Helikopter multimisi ini mengangkut 40 tentara istimewa: 36 personel Tim 6 SEAL dibantu empat anggota pasukan elite Yaman.
Operasi penyelamatan sandera itu dimulai pukul satu dini hari setelah ada lampu hijau dari Presiden Amerika Serikat Barack Hussein Obama. Misi mereka membawa pulang hidup-hidup Luke Somers, wartawan foto asal negara itu, dan guru asal Afrika Selatan, Pierre Korkie.
Mereka berkejaran dengan waktu lantaran maut bakal menjemput Somers paginya. Kepala Biro Keamanan Nasional Yaman Mayor Jenderal Ali al-Ahmadi mengatakan pihaknya menerima informasi AQAP (Al-Qaidah di Semenanjung Arab) bakal membunuh Somers pada Sabtu pukul enam pagi.
"Mereka ingin membunuh dia (Somers)," kata Ali di sela konferensi tahunan Manama Dialogue di the International Institute for Strategic Studies, Bahrain. "Mereka mestinya mengeksekusi dia pagi hari ini (Sabtu)."
Sabtu itu merupakan batas waktu ditetapkan Al-Qaidah buat pemerintah Amerika memenuhi sejumlah tuntutan mereka - kemungkinan besar uang tebusan - sebagai syarat pembebasan Somers. Dalam rekaman video tiga menit dilansir Rabu pekan lalu, Al-Qaidah memberi tenggat tiga hari.
Video itu menayangkan permohonan Somers untuk diselamatkan. "Sekarang sudah lebih dari setahun sejak saya diculik di Sanaa (ibu kota Yaman)," katanya, seperti dilansir surat kabar the Telegraph Sabtu lalu. "Saya pastikan nyawa saya dalam bahaya. Jadi saya duduk di sini sekarang meminta jika ada yang bisa dilakukan, tolong kerjakan."
Rekaman itu memuat pula pernyataan Nasir bin Ali al-Ansi, dedengkot penculik. Dia menyarankan Obama tidak mengulangi misi penyelamatan gagal sebelumnya dan menyebut itu sebagai tindakan bodoh.
Dalam misi penyelamatan dua pekan sebelumnya di Provinsi Hadramaut, timur Yaman, pasukan SEAl tidak menemukan Somers dan Korkie di lokasi. Mereka berhasil menyelamatkan delapan sandera: enam orang Yaman, satu Arab saudi, dan seorang lagi asal Ethiopia. Insiden itu menewaskan tujuh anggota Al-Qaidah.
Tapi Obama kukuh tidak mau mengubah kebijakan buat menyelamatkan warga negaranya menjadi tawanan teroris. Gedung Putih menolak membayar uang tebusan meski tiga warganya baru-baru ini dipenggal kelompok ISIS (Negara Islam Irak dan Suriah).
"Nyawa Luke benar-benar dalam bahaya. Seperti operasi penyelamatan sandera saat ini dan sebelumnya, Amerika akan memakai semua kemampuan militer, intelijen, dan diplomatik untuk membawa pulang warganya dalam keadaan selamat di mana saja mereka disekap," ujar Obama dalam pernyataan tertulis, seperti dikutip koran New York Times.
Obama pun memerintahkan misi penyelamatan Somers dijalankan lagi meski berisiko sandera bisa terbunuh.
V-22 Osprey, helikopter mampu lepas landas dan mendarat vertikal atau di lintasan pendek, mendarat beberapa ratus meter dari sasaran: sebuah kompleks berisi empat rumah dan dipagari tembok. Bersenjata berat dilengkapi kaca mata penginderaan malam, 40 pasukan khusus itu mulai memanjat bukit.
Nahas. Kurang dari seratus meter kehadiran tim penyelamat ketahuan oleh para penculik, jumlahnya sekitar setengah lusin. Mereka memang sudah mengira Amerika bakal melancarkan lagi misi serupa.
Karena itu setelah mendengar anjing penjaga menyalak, baku tembak antara pasukan elite dan Al-Qaidah pecah. Seorang penjaga segera berlari - jauh dari jangkauan tembak - ke arah rumah tempat Somers dan Korkie disekap. Di tengah pertempuran itulah keduanya dieksekusi.
Namun Guardian menulis versi lain. "Ketika pasukan memasuki tempat di mana sandera ditawan, mereka meminta kepada para penculik untuk menyerah karena sudah dikepung," tutur sumber intelijen senior Yaman kepada kantor berita Reuters.
Setelah baku tembak usai, pasukan menemukan Somers dan Korkie tergeletak dalam keadaan luka parah. Korkie meninggal di atas V-22 Osprey, sedangkan Somers mengembuskan napas terakhir di USS Makin Island.
Pemimpin suku di desa tempat misi penyelamatan gagal terjadi, Tariq al-Daghari al-Aulaki, bilang pasukan koamndo Amerika telah menyerbu empat rumah, menewaskan sedikitnya empat militan Al-Qaidah dan delapan warga sipil, termasuk kakek 70 tahun.
"Baku tembak itu menimbulkan kepanikan. Sembilan dari yang terbunuh berasal dari suku saya," katanya. Dia menambahkan penduduk desa Sabtu itu menguburkan korban meninggal dan mengumpulkan selongsong peluru.
Menteri Pertahanan Amerika Serikat Chuck Hagel membenarkan operasi penyelamatan gagal itu. "Tawanan Somer dan seorang warga non-Amerika dbunuh oleh teroris AQAP seama misi penyelamatan," ujarnya lewat pernyataan tertulis saat berkunjung ke Ibu Kota Kabul, Afghanistan.Dua putusan satu nasib Luke Somers (kiri) dan Pierre Korkie. epa
Sabtu lalu itu sejatinya bakal ada dua kejadian besar menimpa Luke Somers dan Pierre Korkie. Keduanya sama-sama dalam sekapan Al-Qaidah di sebuah desa terasing di Provinsi Syabwah, selatan Yaman.
Somers diculik September lalu di jalanan Ibu Kota Sanaa, Yaman, sehabis berbelanja di sebuah supermarket. Korkie diambil paksa bareng istrinya, Yolande Korkie, di Kota Taiz. Di sana Korkie bekerja sebagai guru dan Yolande - dibebaskan Januari lalu - menjadi relawan di rumah sakit.
Bedanya, AQAP (Al-Qaidah di Semenanjung Arab) - nama kelompok Al-Qaidah berpusat di Yaman - membikin dua keputusan berbeda terhadap dua sandera itu. Somers bakal dibunuh sedangkan Korkie akan dilepaskan.
Para penculik Rabu lalu melansir rekaman video memberitahu Presiden Barack Hussein Obama tenggat waktu buat kehidupan Somers tiga hari lagi. Bos penculik Nasir bin Ali al-Ansi sudah memperingatkan agar Amerika tidak mengulangi lagi misi penyelamatan gagal dilakukan dua pekan sebelumnya.
"Sekarang sudah lebih dari setahun sejak saya diculik di Sanaa (ibu kota Yaman)," kata Somers, seperti dilansir surat kabar the Telegraph Sabtu lalu. "Saya pastikan nyawa saya dalam bahaya. Jadi saya duduk di sini sekarang meminta jika ada yang bisa dilakukan, tolong kerjakan."
Kalau Somers tertekan, hati Korkie tentu membuncah karena tahu bakal dibebaskan. "Pierre seharusnya dilepaskan oleh Al-Qaidah besok," ujar seorang juru bicara lembaga amal Gift of the Givers, ikut membantu merundingkan proses pembebasan dia.
Al-Qaidah tadinya meminta uang tebusan US$ 3 juta sebagai syarat melepaskan Korkie hidup-hidup, namun pihak keluarga tidak mampu memenuhi tuntutan itu. Apalagi pemerintah Afrika Selatan tidak mau membantu.
Namun pihak keluarga tidak kehilangan akal. Mereka berupaya mendekati kelompok penculik agar mau melepaskan Korkie. Mereka meminta bantuan Gift of the Givers Foundation, lembaga amal dari Afrika Selatan, dan bekerja sama dengan para sesepuh suku Abyan memiliki akses dengan penculik.
Akhirnya kedua pihak mencapai kesepakatan menyenangkan tiga pekan lalu. Korkie bakal dibebaskan Sabtu. Menurut seorang juru bicara yayasan itu, sebuah tim dari pimpinan suku Abyan telah bertemu di Aden Sabtu pagi. Mereka membuat persiapan terakhir mengenai keamanan dan logistik berhubungan dengan mekanisme pembebasan sandera.
Dia mengungkapkan Korkie bakal diterbangkan dari Yaman dengan samaran diplomatik kemudian bertemu dengan pihak keluarga di Turki. Dari sana Korkie dan keluarga pulang ke Afrika Selatan buat menjalani pemeriksaan kesehatan, seperti dilaporkan koran the Independent.
Tapi takdir berkata lain setelah Sabtu dini hari lalu, beberapa jam sebelum Somers dieksekusi dan Korkie dibebaskan. Misi penyelamatan kedua oleh pasukan elite Amerika Tim 6 SEAL ketahuan. Penculik lantas menembak mati kedua tawanan.
Misi gagal ini membikin Somer dan Korkie senasib. Mereka menemui ajal walau Al-Qaidah sudah membuat dua keputusan berbeda.Mengoyak mimpi Korkie Pierre Korkie. netwerk24.com
Sebelas bulan bukan waktu singkat bagi Yolande Korkie dan dua anaknya menahan perih dan pilu. Bukan pula tempo pendek buat merajut mimpi.
Selama penantian itu pula, Yolande bersama anak-anaknya tidur bareng kaus oblong milik Korkie. Mereka juga tidak pernah mau melahap makanan favorit sang suami.
Dunia seolah sudah kiamat bagi sang suami, Pierre Korkie, masih dalam sekapan AQAP (Al-Qaidah di Semenanjung Arab) di sebuah desa terpencil di Provinsi Syabwah, selatan Yaman. Hanya kebebasan membikin dia seolah hidup lagi.
Yolande pun pernah merasakan hal serupa saat ditawan bareng suami tujuh bulan lamanya. Pasangan ini diambil paksa tahun lalu di tempat mereka mengabdikan diri buat rakyat Yaman di Kota Taiz. Korkie menjadi guru bagi penduduk miskin dan Yolande membantu sukarela di rumah sakit.
Sebab itu, setelah Al-Qaidah membebaskan dirinya Januari tahun ini, Yolande berjuang keras untuk membebaskan sang suami. Dia membikin film dokumenter memelas dalam bahasa Arab dan Inggris agar penculik melepaskan Korkie. Dia benar-benar sakit keras dan bisa mati karena hernia.
Pierre tidak berbahaya bagi siapa saja," kata Yolande, seperti dilansir surat kabar the Independent Sabtu lalu. "Dia tidak bersalah dan guru terhormat. Saya bersama anak-anak saya sudah lelah menunggu dia, tolong bebaskan dia."
Yolande tidak berjuang sendirian. Dia dibantu oleh the Gift of the Givers Foundation, lembaga amal asal negaranya, Afrika Selatan. Pemerintah negara itu lepas tangan.
Al-Qaidah tadinya menuntut keluarga Yolande membayar uang tebusan US$ 3 juta. Mereka menolak karena memang tidak memiliki fulus sebanyak itu. Namun yayasan itu dengan bantuan para sesepuh suku Abyan berhasil meyakinkan Al-Qaidah: Korkie bukan orang Amerika.
Hingga akhirnya perundingan alot itu menghasilkan kesepakatan menyenangkan tiga pekan lalu. Al-Qaidah bersedia melepas Korkie Sabtu lalu, bertepatan dengan waktu eksekusi rekan satu sekapannya, Luke Somers, wartawan foto asal Amerika Serikat.
Hingga Jumat tengah malam, harapan Korkie bakal berkumpul bareng keluarga masih menganga meski kecemasan muncul lantaran Amerika Serikat melancarkan misi penyelamatan. Dr Imtiaz Sooliman memberitahu operasi militer itu bisa menyebabkan Korkie terbunuh.
Kami berbicara lewat telepon lewat tengah malam. Saya bilang kepada Yolande, 'Misi penyelamatan itu bisa mengakibatkan Pierre terbunuh," katanya kepada the Daily Mail. Yolande pun mencemaskan hal serupa.
Kekhawatiran mereka terbukti. Korkie dan Somers dibunuh saat pasukan elite Amerika Tim 6 SEAL menyerbu lokasi penyekapan mereka. "Serangan pasukan khusus Amerika di Yaman telah merusak segalanya," ujar Anas Hamati, direktur proyek Gift of the Givers Yaman.
Banyak orang boleh saja memuji kehebatan Tim 6 SEAL tiga tahun lalu membunuh pendiri jaringan Al-Qaidah Usamah Bin ladin di tempat persembunyian di Kota Abbottabad, Pakistan. namuan banyak pula meragukan kebenaran insiden itu lantaran hingga kini Gedung Putih masih merahasiakan foto jenazah Bin ladin katanya dikubur di dasar Laut Arab.
Tapi bagi keluarga Yolande, Tim 6 SEAL boleh jadi pasukan paling bodoh sejagat. Karena kecerobohan mereka - dua kali gagal membebaskan Somers - Korkie menemui ajal. Mimpi Yolande sekeluarga pun ikut terkoyak.
Keheningan masih membungkus sebuah desa terpencil di Provinsi Syabwah, selatan Yaman, Sabtu dini hari lalu. Penduduk desa di atas bukit itu - dari suku Abyan - masih tidur lelap di tengah suhu musim dingin menusuk tulang.
Dari atas kapal induk USS Makin Island berlabuh di lepas pantai Teluk Aden, Yaman, V-22 Osprey terbang menuju sasaran. Helikopter multimisi ini mengangkut 40 tentara istimewa: 36 personel Tim 6 SEAL dibantu empat anggota pasukan elite Yaman.
Operasi penyelamatan sandera itu dimulai pukul satu dini hari setelah ada lampu hijau dari Presiden Amerika Serikat Barack Hussein Obama. Misi mereka membawa pulang hidup-hidup Luke Somers, wartawan foto asal negara itu, dan guru asal Afrika Selatan, Pierre Korkie.
Mereka berkejaran dengan waktu lantaran maut bakal menjemput Somers paginya. Kepala Biro Keamanan Nasional Yaman Mayor Jenderal Ali al-Ahmadi mengatakan pihaknya menerima informasi AQAP (Al-Qaidah di Semenanjung Arab) bakal membunuh Somers pada Sabtu pukul enam pagi.
"Mereka ingin membunuh dia (Somers)," kata Ali di sela konferensi tahunan Manama Dialogue di the International Institute for Strategic Studies, Bahrain. "Mereka mestinya mengeksekusi dia pagi hari ini (Sabtu)."
Sabtu itu merupakan batas waktu ditetapkan Al-Qaidah buat pemerintah Amerika memenuhi sejumlah tuntutan mereka - kemungkinan besar uang tebusan - sebagai syarat pembebasan Somers. Dalam rekaman video tiga menit dilansir Rabu pekan lalu, Al-Qaidah memberi tenggat tiga hari.
Video itu menayangkan permohonan Somers untuk diselamatkan. "Sekarang sudah lebih dari setahun sejak saya diculik di Sanaa (ibu kota Yaman)," katanya, seperti dilansir surat kabar the Telegraph Sabtu lalu. "Saya pastikan nyawa saya dalam bahaya. Jadi saya duduk di sini sekarang meminta jika ada yang bisa dilakukan, tolong kerjakan."
Rekaman itu memuat pula pernyataan Nasir bin Ali al-Ansi, dedengkot penculik. Dia menyarankan Obama tidak mengulangi misi penyelamatan gagal sebelumnya dan menyebut itu sebagai tindakan bodoh.
Dalam misi penyelamatan dua pekan sebelumnya di Provinsi Hadramaut, timur Yaman, pasukan SEAl tidak menemukan Somers dan Korkie di lokasi. Mereka berhasil menyelamatkan delapan sandera: enam orang Yaman, satu Arab saudi, dan seorang lagi asal Ethiopia. Insiden itu menewaskan tujuh anggota Al-Qaidah.
Tapi Obama kukuh tidak mau mengubah kebijakan buat menyelamatkan warga negaranya menjadi tawanan teroris. Gedung Putih menolak membayar uang tebusan meski tiga warganya baru-baru ini dipenggal kelompok ISIS (Negara Islam Irak dan Suriah).
"Nyawa Luke benar-benar dalam bahaya. Seperti operasi penyelamatan sandera saat ini dan sebelumnya, Amerika akan memakai semua kemampuan militer, intelijen, dan diplomatik untuk membawa pulang warganya dalam keadaan selamat di mana saja mereka disekap," ujar Obama dalam pernyataan tertulis, seperti dikutip koran New York Times.
Obama pun memerintahkan misi penyelamatan Somers dijalankan lagi meski berisiko sandera bisa terbunuh.
V-22 Osprey, helikopter mampu lepas landas dan mendarat vertikal atau di lintasan pendek, mendarat beberapa ratus meter dari sasaran: sebuah kompleks berisi empat rumah dan dipagari tembok. Bersenjata berat dilengkapi kaca mata penginderaan malam, 40 pasukan khusus itu mulai memanjat bukit.
Nahas. Kurang dari seratus meter kehadiran tim penyelamat ketahuan oleh para penculik, jumlahnya sekitar setengah lusin. Mereka memang sudah mengira Amerika bakal melancarkan lagi misi serupa.
Karena itu setelah mendengar anjing penjaga menyalak, baku tembak antara pasukan elite dan Al-Qaidah pecah. Seorang penjaga segera berlari - jauh dari jangkauan tembak - ke arah rumah tempat Somers dan Korkie disekap. Di tengah pertempuran itulah keduanya dieksekusi.
Namun Guardian menulis versi lain. "Ketika pasukan memasuki tempat di mana sandera ditawan, mereka meminta kepada para penculik untuk menyerah karena sudah dikepung," tutur sumber intelijen senior Yaman kepada kantor berita Reuters.
Setelah baku tembak usai, pasukan menemukan Somers dan Korkie tergeletak dalam keadaan luka parah. Korkie meninggal di atas V-22 Osprey, sedangkan Somers mengembuskan napas terakhir di USS Makin Island.
Pemimpin suku di desa tempat misi penyelamatan gagal terjadi, Tariq al-Daghari al-Aulaki, bilang pasukan koamndo Amerika telah menyerbu empat rumah, menewaskan sedikitnya empat militan Al-Qaidah dan delapan warga sipil, termasuk kakek 70 tahun.
"Baku tembak itu menimbulkan kepanikan. Sembilan dari yang terbunuh berasal dari suku saya," katanya. Dia menambahkan penduduk desa Sabtu itu menguburkan korban meninggal dan mengumpulkan selongsong peluru.
Menteri Pertahanan Amerika Serikat Chuck Hagel membenarkan operasi penyelamatan gagal itu. "Tawanan Somer dan seorang warga non-Amerika dbunuh oleh teroris AQAP seama misi penyelamatan," ujarnya lewat pernyataan tertulis saat berkunjung ke Ibu Kota Kabul, Afghanistan.Dua putusan satu nasib Luke Somers (kiri) dan Pierre Korkie. epa
Sabtu lalu itu sejatinya bakal ada dua kejadian besar menimpa Luke Somers dan Pierre Korkie. Keduanya sama-sama dalam sekapan Al-Qaidah di sebuah desa terasing di Provinsi Syabwah, selatan Yaman.
Somers diculik September lalu di jalanan Ibu Kota Sanaa, Yaman, sehabis berbelanja di sebuah supermarket. Korkie diambil paksa bareng istrinya, Yolande Korkie, di Kota Taiz. Di sana Korkie bekerja sebagai guru dan Yolande - dibebaskan Januari lalu - menjadi relawan di rumah sakit.
Bedanya, AQAP (Al-Qaidah di Semenanjung Arab) - nama kelompok Al-Qaidah berpusat di Yaman - membikin dua keputusan berbeda terhadap dua sandera itu. Somers bakal dibunuh sedangkan Korkie akan dilepaskan.
Para penculik Rabu lalu melansir rekaman video memberitahu Presiden Barack Hussein Obama tenggat waktu buat kehidupan Somers tiga hari lagi. Bos penculik Nasir bin Ali al-Ansi sudah memperingatkan agar Amerika tidak mengulangi lagi misi penyelamatan gagal dilakukan dua pekan sebelumnya.
"Sekarang sudah lebih dari setahun sejak saya diculik di Sanaa (ibu kota Yaman)," kata Somers, seperti dilansir surat kabar the Telegraph Sabtu lalu. "Saya pastikan nyawa saya dalam bahaya. Jadi saya duduk di sini sekarang meminta jika ada yang bisa dilakukan, tolong kerjakan."
Kalau Somers tertekan, hati Korkie tentu membuncah karena tahu bakal dibebaskan. "Pierre seharusnya dilepaskan oleh Al-Qaidah besok," ujar seorang juru bicara lembaga amal Gift of the Givers, ikut membantu merundingkan proses pembebasan dia.
Al-Qaidah tadinya meminta uang tebusan US$ 3 juta sebagai syarat melepaskan Korkie hidup-hidup, namun pihak keluarga tidak mampu memenuhi tuntutan itu. Apalagi pemerintah Afrika Selatan tidak mau membantu.
Namun pihak keluarga tidak kehilangan akal. Mereka berupaya mendekati kelompok penculik agar mau melepaskan Korkie. Mereka meminta bantuan Gift of the Givers Foundation, lembaga amal dari Afrika Selatan, dan bekerja sama dengan para sesepuh suku Abyan memiliki akses dengan penculik.
Akhirnya kedua pihak mencapai kesepakatan menyenangkan tiga pekan lalu. Korkie bakal dibebaskan Sabtu. Menurut seorang juru bicara yayasan itu, sebuah tim dari pimpinan suku Abyan telah bertemu di Aden Sabtu pagi. Mereka membuat persiapan terakhir mengenai keamanan dan logistik berhubungan dengan mekanisme pembebasan sandera.
Dia mengungkapkan Korkie bakal diterbangkan dari Yaman dengan samaran diplomatik kemudian bertemu dengan pihak keluarga di Turki. Dari sana Korkie dan keluarga pulang ke Afrika Selatan buat menjalani pemeriksaan kesehatan, seperti dilaporkan koran the Independent.
Tapi takdir berkata lain setelah Sabtu dini hari lalu, beberapa jam sebelum Somers dieksekusi dan Korkie dibebaskan. Misi penyelamatan kedua oleh pasukan elite Amerika Tim 6 SEAL ketahuan. Penculik lantas menembak mati kedua tawanan.
Misi gagal ini membikin Somer dan Korkie senasib. Mereka menemui ajal walau Al-Qaidah sudah membuat dua keputusan berbeda.Mengoyak mimpi Korkie Pierre Korkie. netwerk24.com
Sebelas bulan bukan waktu singkat bagi Yolande Korkie dan dua anaknya menahan perih dan pilu. Bukan pula tempo pendek buat merajut mimpi.
Selama penantian itu pula, Yolande bersama anak-anaknya tidur bareng kaus oblong milik Korkie. Mereka juga tidak pernah mau melahap makanan favorit sang suami.
Dunia seolah sudah kiamat bagi sang suami, Pierre Korkie, masih dalam sekapan AQAP (Al-Qaidah di Semenanjung Arab) di sebuah desa terpencil di Provinsi Syabwah, selatan Yaman. Hanya kebebasan membikin dia seolah hidup lagi.
Yolande pun pernah merasakan hal serupa saat ditawan bareng suami tujuh bulan lamanya. Pasangan ini diambil paksa tahun lalu di tempat mereka mengabdikan diri buat rakyat Yaman di Kota Taiz. Korkie menjadi guru bagi penduduk miskin dan Yolande membantu sukarela di rumah sakit.
Sebab itu, setelah Al-Qaidah membebaskan dirinya Januari tahun ini, Yolande berjuang keras untuk membebaskan sang suami. Dia membikin film dokumenter memelas dalam bahasa Arab dan Inggris agar penculik melepaskan Korkie. Dia benar-benar sakit keras dan bisa mati karena hernia.
Pierre tidak berbahaya bagi siapa saja," kata Yolande, seperti dilansir surat kabar the Independent Sabtu lalu. "Dia tidak bersalah dan guru terhormat. Saya bersama anak-anak saya sudah lelah menunggu dia, tolong bebaskan dia."
Yolande tidak berjuang sendirian. Dia dibantu oleh the Gift of the Givers Foundation, lembaga amal asal negaranya, Afrika Selatan. Pemerintah negara itu lepas tangan.
Al-Qaidah tadinya menuntut keluarga Yolande membayar uang tebusan US$ 3 juta. Mereka menolak karena memang tidak memiliki fulus sebanyak itu. Namun yayasan itu dengan bantuan para sesepuh suku Abyan berhasil meyakinkan Al-Qaidah: Korkie bukan orang Amerika.
Hingga akhirnya perundingan alot itu menghasilkan kesepakatan menyenangkan tiga pekan lalu. Al-Qaidah bersedia melepas Korkie Sabtu lalu, bertepatan dengan waktu eksekusi rekan satu sekapannya, Luke Somers, wartawan foto asal Amerika Serikat.
Hingga Jumat tengah malam, harapan Korkie bakal berkumpul bareng keluarga masih menganga meski kecemasan muncul lantaran Amerika Serikat melancarkan misi penyelamatan. Dr Imtiaz Sooliman memberitahu operasi militer itu bisa menyebabkan Korkie terbunuh.
Kami berbicara lewat telepon lewat tengah malam. Saya bilang kepada Yolande, 'Misi penyelamatan itu bisa mengakibatkan Pierre terbunuh," katanya kepada the Daily Mail. Yolande pun mencemaskan hal serupa.
Kekhawatiran mereka terbukti. Korkie dan Somers dibunuh saat pasukan elite Amerika Tim 6 SEAL menyerbu lokasi penyekapan mereka. "Serangan pasukan khusus Amerika di Yaman telah merusak segalanya," ujar Anas Hamati, direktur proyek Gift of the Givers Yaman.
Banyak orang boleh saja memuji kehebatan Tim 6 SEAL tiga tahun lalu membunuh pendiri jaringan Al-Qaidah Usamah Bin ladin di tempat persembunyian di Kota Abbottabad, Pakistan. namuan banyak pula meragukan kebenaran insiden itu lantaran hingga kini Gedung Putih masih merahasiakan foto jenazah Bin ladin katanya dikubur di dasar Laut Arab.
Tapi bagi keluarga Yolande, Tim 6 SEAL boleh jadi pasukan paling bodoh sejagat. Karena kecerobohan mereka - dua kali gagal membebaskan Somers - Korkie menemui ajal. Mimpi Yolande sekeluarga pun ikut terkoyak.
★ Merdeka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.