Liku-liku hidup seorang dokter gigi yang menjadi seorang pemimpin revolusi. TRUK bermuatan amunisi itu bergerak pelan menembus malam. Suara mesinnya berderu, memecah kesunyian sepanjang Cagak, kawasan jalan antara Bandung dan Subang. Di belakang kemudi, Kopral Sanen fokus menatap jalan. Sementara di samping sang sopir, Letnan Soedarja tak kalah berkonsentrasi mengintip malam. Sesekali tatap mata petugas intelijen Divisi Siliwangi tersebut, mengawasi sekitar: bersiap menghadapi segala kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi dalam hitungan detik.
“Duar!” tiba-tiba sebuah tembakan menyalak diikuti oleh suara keras memerintahkan truk untuk berhenti.
“Apa yang harus saya lakukan Letnan?!”ujar Kopral Sanen dalam nada berbisik.
“Eureun we, Nen. Ikuti saja perintah dia!” jawab Soedarja menyuruh Sanen menghentikan truk
“Tapi Let? Kita sedang memuat amu…”
“Eureun! Kamu mau truk kita ditembaki?!”
Truk pun menepi. Beberapa saat kemudian,dari balik rimbunan pepohonan hutan muncul seorang lelaki berseragam hijau.Tangannya tengah menggenggam sepucuk revolver. Seorang opsir TRI (Tentara Republik Indonesia).
“Kalian mau ke mana? Apa yang kalian bawa?” tanyanya penuh selidik.
“Kami sedang mengirimkan “barang” dari Cijeruk untuk Kolonel Sukanda Bratamanggala,” jawab sang letnan berusaha tenang.
“Mana surat-suratnya?”
Letnan Soedarja merogoh saku depan kameja khaki-nya, lalu menyerahkan selembar kertas kepada lelaki berseragam hijau tersebut. Beberapa detik kemudian, usai membaca deretan huruf yang tertera dikertas tersebut, lelaki itu tersenyum lega.
“Kamu tahu siapa saya?”
“Tidak…” jawab Soedarja.
“Saya Moestopo…Wakil Komandan Sektor.”
DI KALANGAN gerilyawan republik, Moestopo adalah legenda. Selain nyentrik, ia pun dikenal sebagai ahli taktik perang,bertaut jauh dengan latar belakang pendidikannya sebagai seorang doktera gigi. Nama Moestopo sendiri, mulai berkibar saat dengan strategi himizhu zensosen (perang rahasia) dan taktik sengaisen (perang kota), ia nyaris menghabisi Brigade 49 Tentara Inggris di Surabaya pada 1945.
Penguasaan akan taktik-taktik perang buatan Jepang ia dapatkan ketika bersama Soedirman dan Gatot Soebroto menjadi lulusan terbaik komandan PETA (PembelaTanah Air) di Bogor di pada 1944. Bahkan desertasi yang dipertahankannya ‘Penggunaan Bambu Runcing Yang Pucuknya Diberi Tahi Kuda Untuk People Defence dan Attack serta Biological War Fare’ mendapat pujian setinggi langit dari militer Jepang saat itu.
“Tidak aneh kalau ia kemudian diangkat sebagai daidancho (komandan bataliyon) untuk wilayah Gresik,” ujar ASB Salampessy, salah seorang dosen diUniversitas Moestopo, sebuah perguruan tinggi yang didirikan belakangan oleh sang jenderal di Jakarta.
Sejarah mencatat bagaimana Moestopo terus berupaya memadukan sikap nyentrik dengan kecerdasaan yang ia miliki dalam berbagai tindakannya sebagai seorang tentara. Salah satu “kegilaan” itu ia munculkan kala secara sepihak mengangkat dirinya sebagai “Menteri Pertahanan Republik Indonesia” saat berhadapan dengan para petinggi tentara Inggris di Surabaya.
“Peristiwa itu menimbulkan sedikit kehebohan…” kata Drs. Moehkardi yang pernah mewawancarai Moestopo untuk penulisan sebuah buku.
Wakil Presiden Muhammad Hatta merupakan salah satu manusia yang jengkel dengan ulah Moestopo di Surabaya tersebut. Ia pernah memaki lelaki kelahiran Kediri pada 1913 itu dengan sebutan “ekstrimis” karena menolak berunding dengan tentara Inggris. Soal ini dikisahkan oleh Roeslan Abdoelgani dalam Peristiwa 10 November dalam Lukisan.
Ceritanya, dengan mengenakan pakaian serba hitam dan ikat kepala, suatu hari Moestopo menemui Presiden Soekarno di Kegubernuran Jawa Timur. Kepada sang Presiden, saat itu Moestopo melaporkan kelicikan-kelicikan Inggris lengkap dengan memperlihatkan bukti-bukti menurut versinya. Di tengah sesi curhat tersebut, tiba-tiba Bung Hatta diiringi para perwira republik dari Jakarta dan beberapa tamu asing masuk ke ruangan. Moestopo lantas menepi ke suatu sudut di ruangan tersebut dan duduk di lantai dalam posisi orang yang tengah bersemedi.
Demi melihat “manusia aneh” di ruangan tersebut, Bung Hatta bertanya kepada Bung Karno,
“Siapa orang itu?” bisiknya seraya menunjuk Moestopo.
Begitu dijawab oleh Bung Karno bahwa orang itu adalah Jenderal Major. drg. Moestopo, Hatta tak kuasa lagi menahan rasa betenya yang sudah menumpuk kepada orang yang dianggapnya kepala batu dan tak mau mengerti dengan strategi politik pemerintah RI.
“Lha, ini dia pemberontaknya, ekstrimisnya!” kata Hatta dalam nada sinis.
“Memang, saya ekstrimis, saya pemberontak. Bukankah lebih baik menjadi pemberontak, mati dalam perjuangan, daripada dijajah bangsa asing lagi?!” jawab Moestopo seraya menunjuk-nunjuk para perwira dan tamu-tamu asing di sekelilingnya.
Selanjutnya, terjadilah perdebatan seru antara Hatta dengan Moestopo. Bung Karno lantas melerainya dan dengan nada lembut berkata kepada Moestopo: “Sekarang saudara Moestopo saya pensiunkan dan saya angkat menjadi Penasihat Agung Presiden Republik Indonesia di Jakarta.”
“Lalu siapa yang menggantikan saya sebagai Menteri Pertahanan ad interim, penanggung jawab Revolusi Jawa Timur? Siapa?” tanya Moestopo.
“Saya sendiri…” ujar Bung Karno pendek.
Moestopo memberi hormat secara militer lantas berbalik dan pulang menuju rumahnya di Gresik. Sejak itu, ia tak pernah terlihat lagi di front Surabaya.
FEBRUARI 1946. Umur Moestopo sebagai “penasihat agung presiden” ternyata tak lama. Sebagai seorang komandan lapangan, sang jenderal rupanya tak cocok dengan kerja-kerja yang bersifat “ di belakang meja”. Ia kemudian memohon dikembalikan lagi ke militer dan dikabulkan. Ia lantas memimpin sebuah divisi penggempur bernama “Ayam Jago” di Yogyakarta. Soal nama ini, konon Moestopo mengambil dari “The Fighting Cock”, sebuah kesatuan penggempur Inggris yang pernah dihadapinya di palagan Surabaya.
Divisi Ayam Jago juga dikenal sebagai Divisi Mobil. Dasar Moestopo, untuk menunjukan kemobilitasannya, ia memilih bermarkas secara permanen di sebuah kereta api khusus yang bisa hilir-mudik dari Yogya ke front Jawa Timur atau dari Yogya ke Front Kebumen di kawasan barat.
Kendati seorang perwira tinggi, Moestopo tidak lantas memilih hidup enak dengan segala fasilitas. Alih-alih demikian,para anak buahnya malah mengenal sang jenderal sebagai “perwira kere”. Kolonel (Purnawirawan) B. Sormin, mantan staf Moestopo di Divisi Ayam Jago memiliki kisah menarik terkait kekerean “si jenderal nyentrik” ini. Ceritanya, suatu hari Sormin diajak Moestopo ke rumahnya. Begitu sampai di rumah Mosetopo, betapa herannya mantan kadet Akademi Militer Yogyakarta itu dengan kondisi serba sederhana rumah tangga sang jenderal. Selain tak memiliki alat-alat rumah tangga yang layak, Sormin melihat anak-istri Moestopo kurus-kurus.
Keheranan tersebut terjawab sudah ketika Sormin diajak makan bersama oleh keluarga tersebut. “Kami saat itu hanya makan nasi bercampur jagung dengan lauk pauk ala kadarnya,” tulis B. Sormin dalam Sewindu Mengikuti Revolusi.
Hanya beberapa bulan di Yogyakarta, pada pertengahan 1946, Markas Besar Tentara (MBT) memindahkan Moestofo ke front Subang di Jawa Barat. Di front yang juga dikenal sebagai Sektor Bandung Utara-Timur ini, Moestopo ada di bawah komando Letnan Kolonel Sukanda Bratamanggala. Aneh? Di zaman revolusi apapun bisa saja terjadi, termasuk seorang Letnan Kolonel yang membawahi seorang Mayor Jenderal!
Di front Subang, Moestopo memimpin Pasukan Teratai (PT). Kendati dipimpin oleh seorang jenderal TRI, jangan bayangkan PT sebagai pasukan reguler. Pasukan tersebut hanyalah sejenis kesatuan lasykar perjuangan. Tapi jangan panggil Moestopo kalau tidak memiliki “ide gila”. Dengan PT, ia membentuk dua “unit nyentrik” yang diberinama BM (Barisan Maling) dan BWP (Barisan Wanita Pelacur).
Pembentukan dua unit itu sesungguhnya terjadi di Yogya. Awalnya ini merupakan bentuk kerjasama antara pihak MBT dengan Kesultanan Yogya untuk “membersihkan” Yogyakarta dari para kriminal dan para peeska. “Sebagai saluran kegiatan operasinya, Moestopo membawa kedua unit ini ke front Bandung dengan tujuan untuk mengacaukan daerah pendudukan musuh,” tulis Drs. Moehkardi dalam Akademi Militer Yogya dalam Perjuangan Pisik 1945-1949.
Namun alih-alih mengacaukan keamanan wilayah pendudukan musuh dan melemahkan moril tentara Belanda, kehadiran BM dan BWP justru berimbas negatif ke basis gerilyawan. “Banyak prajurit kita justru yang terjangkit penyakit kotor,” ungkap Moehkardi.
Memang perlu diakui beberapa operasi dari BM berhasil baik di wilayah pendudukan. Dari hasil operasi mereka di markas tentara Belanda, PT malah mendapatkan tambahan perlengkapan, amunisi bahkan senjata. Tapi dasar maling, tidak cukup beroperasi di wilayah pendudukan, wilayah rakyat dan basis gerilyawan sendiri tak lepas dari aksi mereka.
Ada kisah lucu terkait soal ini. Suatu pagi, Mayjen drg. Moestopo melapor kepada Letkol Sukanda Bratamanggala. Dengan gaya bicaranya yang khas, Moestopo mengeluh kopor pakaiannya semalam telah hilang. Alih-alih terkejut, Bratamanggala malah ngakak. Sontak Moestopo menjadi heran.
“Kok Overste malah ketawa?” ujar Moestopo.
Ditanya demikian, Bratamanggala ngakaknya makin menjadi. Seraya mengusap air mata yang keluar saking gelinya, sesepuh Siliwangi itu berkata: “Siapa lagi yang mengambil kopor Jenderal, kalau bukan anak buah Jenderal sendiri? Ini mungkin yang disebut senjata makan tuan?”
Beberapa waktu sejak kejadian itu, Moestopo akhirnya menarik kedua unit andalannya tersebut dari front dan membubarkannya.
AKIBAT kebijakan Reorganisasi & Rasionalisasi (ReRa) yang dijalankan pemerintahan Perdana Menteri Muhammad Hatta, pada 1948 diputuskan pangkat tertinggi dalam ketentaraan Republik Indonesia adalah kolonel. Otomatis semua perwira yang sudah menyandang pangkat “jenderal” harus ikhlas melorotkan diri menjadi kolonel.
Moestopo termasuk salah satu yang menjadi “korban” ReRa. Begitu pangkatnya melorot menjadi kolonel, ia kemudian ditugaskan untuk menjadi Panglima Korps Reserve Umum “Z” (KRU Z), sebuah kesatuan khusus dalam tentara hijrah, Divisi Siliwangi. KRU Z membawahi tiga brigade. Masing-masing Brigade Siliwangi I meliputi wilayah Yogyakarta, Brigade Siliwangi II meliputi Solo dan Brigade Siliwangi Tambahan (kawasan operasinya fleksibel).
Saat terjadi pemberontakan PKI di Madiun pada September 1948, KRU Z termasuk tenaga tempur aktif yang ikut terlibat dalam operasi penumpasan. Diputuskan kesatuan yang dipimpin Moestopo harus bergabung dengan Bataliyon I Siliwangi pimpinan Mayor Kemal Idris. Bertemulah kemudian mereka di Cepu.
Dari Cepu, pasukan gabungan itu bergerak menyerang Blora dari arah selatan. Pasukan PKI yang lebih dikenal dengan sebutan “tentara merah” pun kemudian kocar kacir. Pasca penyerangan, mereka lantas melakukan operasi pembersihan dengan menangkapi “para warok” yang dianggap simpatisan PKI. Kemal mengisahkan bagaimana Moestopo punya cara sendiri untuk menginterogasi orang-orang PKI.
“Kepada setiap tahanan, dia minta serarus orang nama PKI. Ini permintaan sulit Jangankan seratus, dua puluh orang pun mereka barangkali tak bakal ingat,” ujar Kemal Idris seperti yang dituturkannya kepada Majalah Tempo.
Suatu hari, Moestopo berhadapan dengan seorang anggota Tentara Merah yang menolak menyebut nama-nama rekan-rekannya. Tanpa ba bi bu, ia lantas menodongkan pistolnya ke belakang kepala orang tersebut dan…dor!
Orang itu kontan terpelanting ke depan, kakinya ke atas menghantam dagu Moestopo. Demi melihat pemandangan itu, Kemal merasa gerah sendiri lantas bertanya: “ Kolonel, sebenarnya siapa yang menjadi komandan operasi ini?”
"Kamu?" kata Moestopo.
“Kalau saya yang jadi komandannya, saya tidak ingin cara pembunuhan tawanan seperti itu. Bagaimana saya bisa menahan anak buah saya tidak membunuh, ini kan bukan contoh yang baik. Saya tidak mau ini terjadi lagi,” ujar Kemal.
"Oke," jawab Moestopo.
Kemal mengenang Moestopo sebagai perwira yang dekil dan jarang mandi. Ketika mereka ditempatkan dalam satu rumah saat di Blora, setiap kali dekat Moestopo, ia mesti menahan napas, “Bajunya tidak pernah dicuci…” ujar Kemal.
Mantan Panglima Kostrad itu ingat Moestopo memiliki ransel berwarna merah putih, yang dibuat sedemikian rupa hingga bentuknya seperti guling. Ransel itu untuk menyimpan baju. Baju kotor masuk dari ujung yang satu, sedangkan baju bersih masuk dari ujung yang lain. Yang dimaksud “baju bersih” itu sebenarnya adalah pakaian kotor yang Moestopo pakai lagi.
“Jadi, pakaian kotor diganti dengan yang kotor lagi. Cuma pindah tempat saja. Bayangkan baunya…” kata Kemal seraya tergelak.
LETNAN Soedarja mengaku terkesan saat bertemu dengan Moestopo di tanjakan Cagak tersebut. Kendati ia mengaku pertemuan dengan “legenda jenderal lintas front” itu hanya berlangsung sekali dalam hidupnya. “Setelah pertemuan itu, saya tak pernah bertemu dia lagi,” ujarnya kepada saya beberapa minggu yang lalu.
Hingga pada tahun 1970-an, ia mendengar dari radio seorang bernama Moestopo telah mendirikan sebuah universitas di Jakarta. Hatinya bertanya-tanya: apakah Moestopo yang ia dengar itu adalah lelaki yang pernah mencegatnya di hutan Cagak?
Sesungguhnya Soedarja benar. Moestopo yang dikabarkan radio tersebut memang Moestopo, Si Jenderal Lintas Front. Ketika masa-masa tuanya, untuk pertama kali ia mempraktekan profesi asalnya sebagai seorang dokter gigi dan sekaligus mendirikan sebuah sekolah yang diberi nama sesuai namanya: Universitas Moestopo Beragama. Mengapa ada embel-embel “beragama”? Konon, itu terkait dengan “sindrom 1965”, saat ada sebagian pihak yang menuduh dirinya sebagai simpastisan PKI. Lewat penambahan kata “beragama” ia seolah secara tegas mengatakan bahwa dirinya “bukan PKI”. (hendijo)
Diposkan samuel.tirta
“Duar!” tiba-tiba sebuah tembakan menyalak diikuti oleh suara keras memerintahkan truk untuk berhenti.
“Apa yang harus saya lakukan Letnan?!”ujar Kopral Sanen dalam nada berbisik.
“Eureun we, Nen. Ikuti saja perintah dia!” jawab Soedarja menyuruh Sanen menghentikan truk
“Tapi Let? Kita sedang memuat amu…”
“Eureun! Kamu mau truk kita ditembaki?!”
Truk pun menepi. Beberapa saat kemudian,dari balik rimbunan pepohonan hutan muncul seorang lelaki berseragam hijau.Tangannya tengah menggenggam sepucuk revolver. Seorang opsir TRI (Tentara Republik Indonesia).
“Kalian mau ke mana? Apa yang kalian bawa?” tanyanya penuh selidik.
“Kami sedang mengirimkan “barang” dari Cijeruk untuk Kolonel Sukanda Bratamanggala,” jawab sang letnan berusaha tenang.
“Mana surat-suratnya?”
Letnan Soedarja merogoh saku depan kameja khaki-nya, lalu menyerahkan selembar kertas kepada lelaki berseragam hijau tersebut. Beberapa detik kemudian, usai membaca deretan huruf yang tertera dikertas tersebut, lelaki itu tersenyum lega.
“Kamu tahu siapa saya?”
“Tidak…” jawab Soedarja.
“Saya Moestopo…Wakil Komandan Sektor.”
DI KALANGAN gerilyawan republik, Moestopo adalah legenda. Selain nyentrik, ia pun dikenal sebagai ahli taktik perang,bertaut jauh dengan latar belakang pendidikannya sebagai seorang doktera gigi. Nama Moestopo sendiri, mulai berkibar saat dengan strategi himizhu zensosen (perang rahasia) dan taktik sengaisen (perang kota), ia nyaris menghabisi Brigade 49 Tentara Inggris di Surabaya pada 1945.
Penguasaan akan taktik-taktik perang buatan Jepang ia dapatkan ketika bersama Soedirman dan Gatot Soebroto menjadi lulusan terbaik komandan PETA (PembelaTanah Air) di Bogor di pada 1944. Bahkan desertasi yang dipertahankannya ‘Penggunaan Bambu Runcing Yang Pucuknya Diberi Tahi Kuda Untuk People Defence dan Attack serta Biological War Fare’ mendapat pujian setinggi langit dari militer Jepang saat itu.
“Tidak aneh kalau ia kemudian diangkat sebagai daidancho (komandan bataliyon) untuk wilayah Gresik,” ujar ASB Salampessy, salah seorang dosen diUniversitas Moestopo, sebuah perguruan tinggi yang didirikan belakangan oleh sang jenderal di Jakarta.
Sejarah mencatat bagaimana Moestopo terus berupaya memadukan sikap nyentrik dengan kecerdasaan yang ia miliki dalam berbagai tindakannya sebagai seorang tentara. Salah satu “kegilaan” itu ia munculkan kala secara sepihak mengangkat dirinya sebagai “Menteri Pertahanan Republik Indonesia” saat berhadapan dengan para petinggi tentara Inggris di Surabaya.
“Peristiwa itu menimbulkan sedikit kehebohan…” kata Drs. Moehkardi yang pernah mewawancarai Moestopo untuk penulisan sebuah buku.
Wakil Presiden Muhammad Hatta merupakan salah satu manusia yang jengkel dengan ulah Moestopo di Surabaya tersebut. Ia pernah memaki lelaki kelahiran Kediri pada 1913 itu dengan sebutan “ekstrimis” karena menolak berunding dengan tentara Inggris. Soal ini dikisahkan oleh Roeslan Abdoelgani dalam Peristiwa 10 November dalam Lukisan.
Ceritanya, dengan mengenakan pakaian serba hitam dan ikat kepala, suatu hari Moestopo menemui Presiden Soekarno di Kegubernuran Jawa Timur. Kepada sang Presiden, saat itu Moestopo melaporkan kelicikan-kelicikan Inggris lengkap dengan memperlihatkan bukti-bukti menurut versinya. Di tengah sesi curhat tersebut, tiba-tiba Bung Hatta diiringi para perwira republik dari Jakarta dan beberapa tamu asing masuk ke ruangan. Moestopo lantas menepi ke suatu sudut di ruangan tersebut dan duduk di lantai dalam posisi orang yang tengah bersemedi.
Demi melihat “manusia aneh” di ruangan tersebut, Bung Hatta bertanya kepada Bung Karno,
“Siapa orang itu?” bisiknya seraya menunjuk Moestopo.
Begitu dijawab oleh Bung Karno bahwa orang itu adalah Jenderal Major. drg. Moestopo, Hatta tak kuasa lagi menahan rasa betenya yang sudah menumpuk kepada orang yang dianggapnya kepala batu dan tak mau mengerti dengan strategi politik pemerintah RI.
“Lha, ini dia pemberontaknya, ekstrimisnya!” kata Hatta dalam nada sinis.
“Memang, saya ekstrimis, saya pemberontak. Bukankah lebih baik menjadi pemberontak, mati dalam perjuangan, daripada dijajah bangsa asing lagi?!” jawab Moestopo seraya menunjuk-nunjuk para perwira dan tamu-tamu asing di sekelilingnya.
Selanjutnya, terjadilah perdebatan seru antara Hatta dengan Moestopo. Bung Karno lantas melerainya dan dengan nada lembut berkata kepada Moestopo: “Sekarang saudara Moestopo saya pensiunkan dan saya angkat menjadi Penasihat Agung Presiden Republik Indonesia di Jakarta.”
“Lalu siapa yang menggantikan saya sebagai Menteri Pertahanan ad interim, penanggung jawab Revolusi Jawa Timur? Siapa?” tanya Moestopo.
“Saya sendiri…” ujar Bung Karno pendek.
Moestopo memberi hormat secara militer lantas berbalik dan pulang menuju rumahnya di Gresik. Sejak itu, ia tak pernah terlihat lagi di front Surabaya.
FEBRUARI 1946. Umur Moestopo sebagai “penasihat agung presiden” ternyata tak lama. Sebagai seorang komandan lapangan, sang jenderal rupanya tak cocok dengan kerja-kerja yang bersifat “ di belakang meja”. Ia kemudian memohon dikembalikan lagi ke militer dan dikabulkan. Ia lantas memimpin sebuah divisi penggempur bernama “Ayam Jago” di Yogyakarta. Soal nama ini, konon Moestopo mengambil dari “The Fighting Cock”, sebuah kesatuan penggempur Inggris yang pernah dihadapinya di palagan Surabaya.
Divisi Ayam Jago juga dikenal sebagai Divisi Mobil. Dasar Moestopo, untuk menunjukan kemobilitasannya, ia memilih bermarkas secara permanen di sebuah kereta api khusus yang bisa hilir-mudik dari Yogya ke front Jawa Timur atau dari Yogya ke Front Kebumen di kawasan barat.
Kendati seorang perwira tinggi, Moestopo tidak lantas memilih hidup enak dengan segala fasilitas. Alih-alih demikian,para anak buahnya malah mengenal sang jenderal sebagai “perwira kere”. Kolonel (Purnawirawan) B. Sormin, mantan staf Moestopo di Divisi Ayam Jago memiliki kisah menarik terkait kekerean “si jenderal nyentrik” ini. Ceritanya, suatu hari Sormin diajak Moestopo ke rumahnya. Begitu sampai di rumah Mosetopo, betapa herannya mantan kadet Akademi Militer Yogyakarta itu dengan kondisi serba sederhana rumah tangga sang jenderal. Selain tak memiliki alat-alat rumah tangga yang layak, Sormin melihat anak-istri Moestopo kurus-kurus.
Keheranan tersebut terjawab sudah ketika Sormin diajak makan bersama oleh keluarga tersebut. “Kami saat itu hanya makan nasi bercampur jagung dengan lauk pauk ala kadarnya,” tulis B. Sormin dalam Sewindu Mengikuti Revolusi.
Hanya beberapa bulan di Yogyakarta, pada pertengahan 1946, Markas Besar Tentara (MBT) memindahkan Moestofo ke front Subang di Jawa Barat. Di front yang juga dikenal sebagai Sektor Bandung Utara-Timur ini, Moestopo ada di bawah komando Letnan Kolonel Sukanda Bratamanggala. Aneh? Di zaman revolusi apapun bisa saja terjadi, termasuk seorang Letnan Kolonel yang membawahi seorang Mayor Jenderal!
Di front Subang, Moestopo memimpin Pasukan Teratai (PT). Kendati dipimpin oleh seorang jenderal TRI, jangan bayangkan PT sebagai pasukan reguler. Pasukan tersebut hanyalah sejenis kesatuan lasykar perjuangan. Tapi jangan panggil Moestopo kalau tidak memiliki “ide gila”. Dengan PT, ia membentuk dua “unit nyentrik” yang diberinama BM (Barisan Maling) dan BWP (Barisan Wanita Pelacur).
Pembentukan dua unit itu sesungguhnya terjadi di Yogya. Awalnya ini merupakan bentuk kerjasama antara pihak MBT dengan Kesultanan Yogya untuk “membersihkan” Yogyakarta dari para kriminal dan para peeska. “Sebagai saluran kegiatan operasinya, Moestopo membawa kedua unit ini ke front Bandung dengan tujuan untuk mengacaukan daerah pendudukan musuh,” tulis Drs. Moehkardi dalam Akademi Militer Yogya dalam Perjuangan Pisik 1945-1949.
Namun alih-alih mengacaukan keamanan wilayah pendudukan musuh dan melemahkan moril tentara Belanda, kehadiran BM dan BWP justru berimbas negatif ke basis gerilyawan. “Banyak prajurit kita justru yang terjangkit penyakit kotor,” ungkap Moehkardi.
Memang perlu diakui beberapa operasi dari BM berhasil baik di wilayah pendudukan. Dari hasil operasi mereka di markas tentara Belanda, PT malah mendapatkan tambahan perlengkapan, amunisi bahkan senjata. Tapi dasar maling, tidak cukup beroperasi di wilayah pendudukan, wilayah rakyat dan basis gerilyawan sendiri tak lepas dari aksi mereka.
Ada kisah lucu terkait soal ini. Suatu pagi, Mayjen drg. Moestopo melapor kepada Letkol Sukanda Bratamanggala. Dengan gaya bicaranya yang khas, Moestopo mengeluh kopor pakaiannya semalam telah hilang. Alih-alih terkejut, Bratamanggala malah ngakak. Sontak Moestopo menjadi heran.
“Kok Overste malah ketawa?” ujar Moestopo.
Ditanya demikian, Bratamanggala ngakaknya makin menjadi. Seraya mengusap air mata yang keluar saking gelinya, sesepuh Siliwangi itu berkata: “Siapa lagi yang mengambil kopor Jenderal, kalau bukan anak buah Jenderal sendiri? Ini mungkin yang disebut senjata makan tuan?”
Beberapa waktu sejak kejadian itu, Moestopo akhirnya menarik kedua unit andalannya tersebut dari front dan membubarkannya.
AKIBAT kebijakan Reorganisasi & Rasionalisasi (ReRa) yang dijalankan pemerintahan Perdana Menteri Muhammad Hatta, pada 1948 diputuskan pangkat tertinggi dalam ketentaraan Republik Indonesia adalah kolonel. Otomatis semua perwira yang sudah menyandang pangkat “jenderal” harus ikhlas melorotkan diri menjadi kolonel.
Moestopo termasuk salah satu yang menjadi “korban” ReRa. Begitu pangkatnya melorot menjadi kolonel, ia kemudian ditugaskan untuk menjadi Panglima Korps Reserve Umum “Z” (KRU Z), sebuah kesatuan khusus dalam tentara hijrah, Divisi Siliwangi. KRU Z membawahi tiga brigade. Masing-masing Brigade Siliwangi I meliputi wilayah Yogyakarta, Brigade Siliwangi II meliputi Solo dan Brigade Siliwangi Tambahan (kawasan operasinya fleksibel).
Saat terjadi pemberontakan PKI di Madiun pada September 1948, KRU Z termasuk tenaga tempur aktif yang ikut terlibat dalam operasi penumpasan. Diputuskan kesatuan yang dipimpin Moestopo harus bergabung dengan Bataliyon I Siliwangi pimpinan Mayor Kemal Idris. Bertemulah kemudian mereka di Cepu.
Dari Cepu, pasukan gabungan itu bergerak menyerang Blora dari arah selatan. Pasukan PKI yang lebih dikenal dengan sebutan “tentara merah” pun kemudian kocar kacir. Pasca penyerangan, mereka lantas melakukan operasi pembersihan dengan menangkapi “para warok” yang dianggap simpatisan PKI. Kemal mengisahkan bagaimana Moestopo punya cara sendiri untuk menginterogasi orang-orang PKI.
“Kepada setiap tahanan, dia minta serarus orang nama PKI. Ini permintaan sulit Jangankan seratus, dua puluh orang pun mereka barangkali tak bakal ingat,” ujar Kemal Idris seperti yang dituturkannya kepada Majalah Tempo.
Suatu hari, Moestopo berhadapan dengan seorang anggota Tentara Merah yang menolak menyebut nama-nama rekan-rekannya. Tanpa ba bi bu, ia lantas menodongkan pistolnya ke belakang kepala orang tersebut dan…dor!
Orang itu kontan terpelanting ke depan, kakinya ke atas menghantam dagu Moestopo. Demi melihat pemandangan itu, Kemal merasa gerah sendiri lantas bertanya: “ Kolonel, sebenarnya siapa yang menjadi komandan operasi ini?”
"Kamu?" kata Moestopo.
“Kalau saya yang jadi komandannya, saya tidak ingin cara pembunuhan tawanan seperti itu. Bagaimana saya bisa menahan anak buah saya tidak membunuh, ini kan bukan contoh yang baik. Saya tidak mau ini terjadi lagi,” ujar Kemal.
"Oke," jawab Moestopo.
Kemal mengenang Moestopo sebagai perwira yang dekil dan jarang mandi. Ketika mereka ditempatkan dalam satu rumah saat di Blora, setiap kali dekat Moestopo, ia mesti menahan napas, “Bajunya tidak pernah dicuci…” ujar Kemal.
Mantan Panglima Kostrad itu ingat Moestopo memiliki ransel berwarna merah putih, yang dibuat sedemikian rupa hingga bentuknya seperti guling. Ransel itu untuk menyimpan baju. Baju kotor masuk dari ujung yang satu, sedangkan baju bersih masuk dari ujung yang lain. Yang dimaksud “baju bersih” itu sebenarnya adalah pakaian kotor yang Moestopo pakai lagi.
“Jadi, pakaian kotor diganti dengan yang kotor lagi. Cuma pindah tempat saja. Bayangkan baunya…” kata Kemal seraya tergelak.
LETNAN Soedarja mengaku terkesan saat bertemu dengan Moestopo di tanjakan Cagak tersebut. Kendati ia mengaku pertemuan dengan “legenda jenderal lintas front” itu hanya berlangsung sekali dalam hidupnya. “Setelah pertemuan itu, saya tak pernah bertemu dia lagi,” ujarnya kepada saya beberapa minggu yang lalu.
Hingga pada tahun 1970-an, ia mendengar dari radio seorang bernama Moestopo telah mendirikan sebuah universitas di Jakarta. Hatinya bertanya-tanya: apakah Moestopo yang ia dengar itu adalah lelaki yang pernah mencegatnya di hutan Cagak?
Sesungguhnya Soedarja benar. Moestopo yang dikabarkan radio tersebut memang Moestopo, Si Jenderal Lintas Front. Ketika masa-masa tuanya, untuk pertama kali ia mempraktekan profesi asalnya sebagai seorang dokter gigi dan sekaligus mendirikan sebuah sekolah yang diberi nama sesuai namanya: Universitas Moestopo Beragama. Mengapa ada embel-embel “beragama”? Konon, itu terkait dengan “sindrom 1965”, saat ada sebagian pihak yang menuduh dirinya sebagai simpastisan PKI. Lewat penambahan kata “beragama” ia seolah secara tegas mengatakan bahwa dirinya “bukan PKI”. (hendijo)
Diposkan samuel.tirta
★ Garuda Militer
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.