Dua Putra Bali "Nyasar" di Tanah Rencong Ilustrasi
Meliput perang di Aceh ternyata gampang-gampang susah. Selain tegang, berpacu dengan maut, ternyata juga cukup mengasyikkan. Ada banyak cerita unik dan juga menegangkan di balik kisah memburu berita. Bali Post mencatat beberapa peristiwa. Berikut bagian pertama dari tiga tulisan.
MATAHARI baru saja menyeruak. Embun pun mulai menetes dari dedaunan. Toyota Kijang sewaan yang membawa Bali Post beringsut perlahan melewati jalan tanah berbatu. Sebelah kiri dan kanan sepanjang jalan hanya semak belukar dan pohon sawit. Suasana sepi dan amat mencekam. Kadang waswas. Sebab, siapa tahu, GAM tiba-tiba menyergap. Di rimba seperti itulah, GAM sering membunuh personel TNI.
Belum sirna rasa waswas, tiba-tiba mobil dihentikan saat sampai di mulut Desa Muara Batu, Kecamatan Nisam, Kabupaten Aceh Utara. Bukan rahasia, Nisam adalah basis GAM. Saya sempat kecut. Nyali seorang wartawan tengah diuji.
Segerombolan orang penghadang mengenakan seragam loreng. Baju loreng, celana loreng, sepatu lars. Lengkap dengan senjata. TNI? Tunggu dulu. GAM juga acap berpakaian begitu. Degup jantung makin kuat. Aliran darah pun turun-naik seperti dipompa. Sreet...sekelabatan, saya melihat badge di seragam loreng. ''Oh, itu bukan GAM,'' pikir saya. Ternyata benar, mereka adalah pasukan TNI yang berjaga-jaga di perbatasan desa. Tanpa basa-basi lagi, salah seorang dari mereka berpangkat bintara maju dan menanyakan keperluan awak media memasuki ''daerah hitam'' -- julukan daerah yang rawan pertempuran.
Setelah dijelaskan maksud dan keperluan kami -- saya bersama beberapa rekan wartawan lain -- untuk meliput langsung penyerangan, prajurit tersebut mengangguk tanda mengerti. Namun, ia meminta awak media agar menghadap pimpinannya. Permintaan tersebut, tanpa ba-bi-bu, kami penuhi. Tiba di pos komando taktis (poskotis), kami langsung melapor dan bertemu Komandan Detasemen Pemukul III Satuan Tugas Mobil 2 Letnan Kolonel (Inf) Rimbo Karyono. ''Kami izinkan Anda meliput. Tetapi harus patuhi perintah komandan pasukan. Ingat, wartawan harus tetap berada di belakang pasukan,'' tutur perwira menengah dari satuan Komando Cadangan Strategis TNI-AD (Kostrad) ini.
Setelah itu, kami disuruh bergabung bersama Kompi C Denkul III Satgas Mobil 2. Kepada pimpinan pasukan Lettu (Inf) Rudyanto, kembali dan diterima dengan baik. Bersama pasukannya, kami dengan mobilnya terus mengikuti iringan kendaraan militer. Tiba di ujung desa, kendaran berhenti. Mereka langsung menyebar dan mengendap. Lantas, saya dan teman-teman pun melakukan hal yang sama.
Belum sejengkal melangkah, desingan peluru seakan persis di ujung kepala. Dari bunyinya, dapat dipastikan senjata AK-47 -- senjata laras panjang buatan Rusia. Jenis ini kerap digunakan Tentara Nasional Aceh (TNA), sayap militer Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Sumbernya, berasal dari ladang di kawasan perbukitan. Lettu Rudyanto memecah pasukannya menjadi tiga.
Regu pertama dan kedua, berjumlah 6-7 prajurit, merangsek masuk dengan cara melambung ke arah kiri dan kanan naik perbukitan. Selebihnya, delapan prajurit terus memuntahkan peluru ke arah musuh, memberi perlindungan bagi rekannya yang akan menyerang. Mereka berada di depan wartawan dan seorang lagi berjaga di belakang. Prosedur ini biasa diterapkan terhadap awak media yang meliput di garis depan. Tembak-menembak terus berlangsung. Saya catat menit demi menit kejadiannya. Tegang, asyik, beradu jadi satu.
Setelah cukup lama, dari perbukitan terdengar rentetan tembakan. Suaranya dari dua jenis senjata berbeda. Sekitar satu jam, barulah berhenti. Pasukan ini langsung maju. Saya ikut maju. Jarak dijaga. Jalan zig-zag setengah berlari, juga dilakukan. Prosedur standar yang pernah diajarkan di pusat latihan gerilya milik Kostrad di Sanggabuana, Karawang, Jawa Barat, ternyata berguna di medan tempur. Tidak rugi belajar jadi wartawan perang.
Setibanya di perbukitan, pasukan yang tadi menyebar sudah berada di sana. Komandan regu langsung melaporkan keadaan kepada Lettu Rudyanto. Kondisi dan keadaan sudah dikuasai. Dilaporkan pula, mereka berhasil menewaskan seorang anggota GAM. Sepucuk senjata rakitan berhasil disita. ''Mereka berjumlah sekitar 10 orang dengan senjata campuran. Selebihnya melarikan diri,'' tutur prajurit berpangkat sersan mayor kepada sang letnan.
Laporan diterima dan diteruskan lagi melalui radio komunikasi kepada atasannya. Prajurit lainnya melakukan penyisiran. Setelah cukup aman, mereka berkumpul. Ini yang unik. Tiga-empat orang membuat lingkaran. Seperti anak kecil, mereka saling tukar cerita. Cukup seru dan saling tak mau mengalah. Klaim bahwa dirinya yang menewaskan lawan, juga ikut meramaikan cerita itu.
Sambil terus mengobrol, seorang prajurit membuka kantong kecil di bagian luar ransel hijaunya. Rupanya, sebungkus mi instan. Kemudian dibuka dan dipisahkan dari bungkus bumbunya. Lalu, mi itu diremas. Bumbu dimasukkan dan dikocok. Dengan jari, ''mi remes'' dijumputnya dan dimakan. Setelah dirasa cukup, diedarkan kepada tiga rekan lainnya. Mereka menunggu giliran dengan sabar.
''Beginilah mas, tentara. Asal buat ganjal perut saja. Dari pagi belum sempat sarapan. Itu bukan yang pertama. Sering kami lakukan,'' kata Praka Sulistiyo, anggota Korps Marinir, yang bergabung dalam pasukan itu. Ia bertugas sejak pengepungan rawa tempat persembunyian Panglima GAM Muzakir Manaf di Desa Cot Trieng, November lalu. Ternyata bukan hanya makanan, rokok pun ikut diisap bergilir. Meski dari satuan yang berbeda, mereka tak malu-malu membagi kebutuhan itu. Sedihnya, kalau logistik terlambat dikirim atau terganggu karena penghadangan GAM. Rasa lapar harus ditahan kuat-kuat. Untuk merokok pun bisa-bisa menggunakan daun ilalang yang diremas lalu dilinting dengan kertas koran. ''Yang penting asal mulut tidak asam,'' kata mereka.
Usai istirahat sebentar, Lettu Rudyanto memerintahkan wartawan untuk kembali ke poskotis. Perintah itu langsung kami turuti. Pengawalan tetap diberikan hingga sampai tiba di tujuan. Lagi-lagi kami melapor kepada Letkol Rimbo. Istirahat sambil ngobrol-ngobol pun dilanjutkan di sana.
Sedang seru-serunya mengobrol, tiba-tiba di depan hidung saya lewat seorang perwira pertama. Di dada sebelah kirinya tertera tulisan Komang. Dari sini diketahui, ia adalah putra Bali. Ternyata benar, ia merupakan Komandan Tim 2 Kompi C Denkul III Satgas Mobil 2. Ia mengaku putra Bali asal Karangasem. Namun, besar dan sekolah di Surabaya.
Belum lama obrolan akrab itu berlangsung, tiba-tiba seorang prajurit menemuinya. Dari isi pembicaraannya, Lettu Komang diperintahkan bergerak ke Desa Alue Dua, di kecamatan yang sama. Beberapa menit saja, pasukan di bawah pimpinan Komang sudah menghilang. Para wartawan tak ada yang ikut bergabung. Cukup riskan, karena hari hampir sore. Kami pun tak bisa mengetahui apa yang dilakukannya di garis depan.
Hasil kerja Lettu Komang, baru kami ketahui setibanya di Media Centre Komando Operasi (Koops) TNI di Lhokseumawe. Perwira yang bertugas di Yonif 502 Kostrad itu, pulang dengan hasil cukup gemilang. Dalam penyergapannya di sebuah rumah, pasukannya berhasil menewaskan satu anggota GAM. Ia juga berhasil menyita ratusan amunisi M-16 dan SS-1. Alat komunikasi handy talkie (HT) merek Kenwood dan Solar Sell berasil diamankan. Dokumentasi serta lambang GAM juga didapatkannya. Ternyata bukan hanya Lettu Komang yang nyasar ke Aceh. Ada juga Briptu Wayan Sudirta. Anggota satuan Brigade Mobil ini bertugas di perbatasan Bireuen dan Aceh Tengah. Meski tidak di garis depan, bukan berarti tak ada risiko. Posko penjagaannya termasuk dalam daerah ''rawan'' dari penyergapan GAM.
''Yang penting waspada dan hati-hati. Saya tetap ingin kembali dari tugas dengan selamat. Mudah-mudahan kita ketemu di Bali,'' kata Wayan, dengan nada penuh harap. Benar-benar suatu kebanggaan, dua putra Bali ini berada di ujung Pulau Sumatera berjuang demi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indoensia.Mau ''On'' harus Lapor Brimob Ilustrasi
Perang sepertinya tidak lengkap tanpa pengungsi. Operasi terpadu yang digelar di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) tidak melulu pada pemulihan keamanan. Di sinilah, tragedi, air mata, dan keunikan tumbuh bak cendawan. Bali Post mencatat detailnya.
INI sebuah tragedi kemanusiaan akibat perang di Aceh. Tengoklah, nasib seorang bocah. Ia baru berumur lima bulan itu tidak tampak seperti kawan sebayanya, yang riang, tertawa. Balita itu terus terbaring di pangkuan ibunya. Tubuhnya cuma tinggal tulang, kulitnya pucat. Ia tak berdaya. Jangankan beringsut sedikit, untuk mengangkat kepalanya saja, ia tak sanggup. Begitupun saat melek. Pupilnya tak terlihat. Cuma putih yang tampak. Mirip film kartun Casper.
Inilah kondisi yang dialami Almadi (5 bulan). Ia tak bisa jauh dari kedua orangtuanya. Ia pun selalu dalam gendongan dan rangkulan ibunya, Maryana (36). Pasangan Maryana dan Zainal (39) bersama empat anaknya, menempati barak terpal nomor tujuh di kamp pengungsi Cot Gapu, Kecamatan Juli, Kabupaten Bireuen. Mereka harus berbagi tempat dengan sembilan keluarga lainnya, dalam tenda berukuran 5 x 15 meter. Kotor, bau pesing, sampah ikut menyumpahi kegetiran mereka. Tetapi, mau apalagi.
Keadaan Almadi ini dirasakan sejak tiga hari dalam pengungsian. Suhu tubuhnya terus naik. Ia pun tak berhenti buang-buang air dan muntah-muntah. Satu hari bisa 3-4 kali. Memang dirinya pernah dirujuk untuk dirawat di RS Cut Meutia, Lhokseumawe. Tetapi, di sana cuma lima hari dan disuruh kembali ke pengungsian. Padahal, ia belum pulih dan sembuh benar.
Sama seperti keluarga lainnya, keluarga Zainal mengungsi dari Desa Kedai Dua, Kecamatan Juli, karena ''dipaksa'' TNI. Alasannya soal keselamatan dan keamanan penduduk sipil. Itu juga sebagai strategi untuk memotong jalur logistik GAM yang mendapatkan pangan dari simpatisan dan pendukungnya dari desa setempat.
Di desa-desa dalam Kecamatan Juli itu, memang sering terjadi kontak senjata antara GAM dan TNI. Kecamatan itu sama seperti Kecamatan Nisam di Aceh Utara yang dikategorikan sebagai ''daerah hitam'' atau basis GAM. Juli yang berbatasan dengan Kecamatan Jeunib merupakan wilayah operasi Panglima GAM Wilayah Jeunib yakni Darwis Jeunib.
Darwis merupakan target TNI. Bersama puluhan anak buahnya, ia melakukan penyergapan dan menewaskan tujuh anggota Batalion Tim Pendarat I Korps Marinir di perbukitan Matang Kumbang, awal Juni lalu. Kekalahan itu, dinilai Cilangkap sebagai kekalahan besar. Tidak ada cara lain, kecuali memburu sekaligus menangkapnya mati atau hidup.
Dari pengamatan Bali Post terhadap kondisi pengungsi di sana, ternyata hal itu bukan cuma dialami Almadi. Ada belasan balita lainnya yang mengalami nasib serupa. Beberapa dari mereka tampak pasrah dengan nasib. Semua itu tak lepas dari buruknya sanitasi. Bayangkan, lubang penampungan limbah manusia, digali kurang dari satu meter.
Belum lagi dengan air bersih untuk minum dan mencuci. Air yang dibawa dengan truk PDAM Biereun itu cukup ''mencurigakan''. Warnanya kecoklat-coklatan. Masyarakat menduga air itu berasal dari irigasi sawah. Namun, mereka tak berani protes, karena khawatir dengan risikonya. Hal inilah yang membuat mereka memilih diam.
Dampaknya cepat dirasakan pengungsi. Terutama balita. Mereka ini sangat rentan penyakit. Bukan cuma kulit gatal-gatal, diare juga terus membayangi. Belum lagi dengan ancaman cuaca yang kejam. Barak dari terpal itu, tak mampu menahan panasnya siang dan dinginnya malam.
Soal makanan ikut jadi masalah. Seperti yang dikatakan keluarga Halimah (32). Bantuan yang diberikan pemerintah, tidak memadai. Bukan cuma dari kuantitas, tetapi kualitas pun sangat minim. Beras yang dibagikan, kualitasnya jelek. Hampir tak bisa dimakan, karena busuk. Lauk pun cuma sepotong ikan asin per kepala keluarga. Mi instan juga cuma sebungkus per KK.
''Mestinya tidak seperti ini. Bantuan pemerintah pusat dan propinsi cukup besar. Tetapi mengapa tidak sampai kepada kami. Masih ada saja orang yang tega potong bantuan,'' kata ibu tiga anak ini kesal.
Keluhan seperti ini ternyata bukan cuma dilontarkan Halimah. Ibu-ibu di pengungsian yang ditemui Bali Post, juga menyatakan kekesalan yang sama. Mereka merasa benar-benar ditelantarkan. Petugas pengungsian tidak memperlakukannya sebagaimana layaknya manusia. Benar-benar seperti dianggap orang buangan. Namun, mau bilang apalagi, mereka tak berani bicara karena khawatir dengan nasibnya nanti.
Suara kaum bapak pun serupa. Zakaria (42), bapak dari lima anak ini, juga mengeluhkan sarana yang kurang layak di lokasi pengungsian. Seperti lainnya, permintaannya cuma satu, agar segera dipulangkan. Selain tak senang dengan perlakuan di pengungsian, juga khawatir mengenai rumah, ternak serta tanaman yang mereka tinggalkan.
''Tidak tahu dengan rumah dan harta benda yang kami tinggalkan. TNI baru akan memulangkan kalau sudah aman. Kapan itu. Sudah hampir satu bulan masih tetap di sini. Aparat tak menjamin semua yang kami tinggalkan,'' keluhnya. Namun, dari semua itu yang paling berat dirasakannya adalah menyalurkan hasrat biologisnya. Kondisi di pengungsian tidak memungkinkan melakukan ''itu'' tiap saat. Ini benar-benar membuatnya pusing tujuh keliling. Tidak bisa ia lakukan tiap waktu seperti keinginannya.
Tetapi, Zakaria tak kehabisan akal. Jika sedang ''on'', ia pergi dengan istrinya ke rumah saudaranya. Jaraknya cukup dekat dengan tempatnya mengungsi. Dengan hanya mengeluarkan Rp 2.000, ia naik kendaraan umum menuju tempat salah satu keluarganya. Di sanalah ia melepas syahwatnya.
Lain Zakaria, lain dengan yang dialami Idris. Pria berusia 32 tahun ini, tidak memiliki saudara yang dekat dengan tempatnya mengungsi. Repotnya, kalau sedang ''on'', terpaksa ia mengajak istrinya melapor kepada petugas. ''Terpaksa kami lakukan. Kalau tak melapor, takut disergap Brimob yang akan menyangkanya sebagai anggota GAM yang menyusup ke pengungsian.''Inong Bale Cantik ''Makanan'' Panglima GAM Meski tak lama, berburu berita di Aceh cukup menyenangkan. Makin berat medannya, justru makin penasaran. Tetapi, ada satu hal yang terlewat, sejauh ini, para petinggi GAM belum banyak yang tertangkap. Ada cerita menarik di balik para petinggi jebolan Libya itu.
ADA yang aneh di sebuah camp Batalion Tim Pendarat I (BTP) Korps Marinir di Simpang Jaya, Bireuen. Seseorang berkulit gelap, mata jalang, bepakaian sipil. Aneh, karena dia dicap berstatus tahanan GAM. Tetapi, Mustafa Watimena (27), begitu lelaki itu punya nama, dibiarkan saja berkeliaran. Makan, minum, tidur bersama-sama pasukan TNI. ''Saya sudah kapok ikut GAM,'' begitu ujarnya.
Pria keturunan Aceh-Ambon itu bahkan minta diborgol saat malam tiba. Lucunya, jika borgolnya belum terkunci atau kendor, Mustafa bilang, ''Pak, tolong dikencangkan.'' Kepolosan inilah yang membuat marinir tak memperlakukan Mustafa lebih istimewa daripada tahanan lainnya.
Benar begitu? Mustafa ternyata juga ''mata kunci'' bagi TNI. Sebab, Mustafa adalah intelijen GAM. Dialah yang menyusup ke sarang musuh. Datanya dipakai sebagai strategi penyerangan ke pos-pos TNI/Polri. Posisi inilah yang membuat Mustafa dekat dengan sejumlah Panglima GAM. Tetapi, itu saja belum cukup. Mustafa masih punya cerita lain di balik petualangannya bersama sejumlah Panglima GAM di belantara Aceh.
Ini bukan soal politik. Saya selalu bertanya, mengapa para petinggi GAM itu sulit dibekuk TNI. Mustafa punya alibinya. Lelaki berbapak yang anggota TNI-AD ini menuturkan liku-likunya. ''Saat masuk GAM, saya terprovokasi mereka. Katanya, Aceh segera merdeka, tinggal sepuntung rokok saja waktunya,'' katanya. Tetapi, karena sulit merdeka, Mustafa gerah. Dan, mengalirlah cerita di balik gerilya para panglimanya itu. Dia ditangkap TNI di perbukitan Cot Prabu, Kecamanatan Juli, Bireuen.
''Terus terang, saya ini anak buah Panglima GAM Wilayah Bate Iliek, Adi P,'' katanya membuka percakapan. Mustafa juga pernah bertemu dengan Panglima GAM yang jadi musuh nomor satu TNI yakni Darwis Jeunib. Di kawasan pegunungan tersebut, tokoh penting GAM itu bersama sekitar 200-300 anak buahnya. Berbagai senjata mereka miliki. Peluncur granat juga ada. Selain itu, juga dilengkapi alat komunikasi yang canggih, telepon satelit. Namun, yang kurang adalah bahan pangan. ''Mereka kini terjepit dan kelaparan,'' tuturnya.
Hidup berpindah-pindah, makan seadanya. Kadang nasi, singkong, kelapa, buah-buahan hutan atau daun-daunan. Mata-mata GAM atau cantoi ini buka kartu juga soal bosnya. Diakui, sulitnya menangkap para Panglima GAM itu, selain komunikasinya lancar, sistem penjagaannya pun berlapis. Persis seperti pejabat tinggi Indonesia. Pengawalannya menganut sistem ring. Seperti lampu pengatur lalu lintas. Dimulai dari ring tiga atau pintu hijau. Berlanjut ke ring dua atau pintu kuning. Lalu, ring satu atau pintu merah.
Imbuh Mustafa, di ring satu ini, petinggi GAM dijaga paling sedikit 10 pasukan khusus. Disebut khusus, karena pernah mengikuti latihan paramiliter di negaranya Presiden Moamar Khadafi. Di Libya itu, mereka dilatih soal senjata, merakit bom hingga taktik tempur gerilya. Pasukan penjaga panglima tersebut, kalau diibaratkan mirip Pasukan Pengaman Presiden (Paspampres). ''Mereka amat terlatih,'' akunya.
Panglima GAM ini selalu berpindah-pindah. Inilah yang sulit. Apalagi medannya. Saat meluncur ke Aceh, Hercules yang masih berada di atas Aceh saja berguncang seperti truk berjalan di atas jalan makadam saja. Ada apa, pikir saya. Ketika mata saya melongok ke bawah, melalui jendela, ya ampun, hutan Aceh benar-benar masih perawan. Pohon-pohon yang tampak menghitam itu seperti selimut antipenangkapan. Siapa sangka medannya sedemikian berat. Hutan belantara, bukit, dan tebing bisa menjadi bom tersendiri. Seperti di bukit Sudan. Tujuh TNI tewas disikat GAM.
''Tiap hari tak menentu. Kalau ada wartawan yang ingin bertemu, biasanya ring hijau. Mereka lebih baik mendatangi, ketimbang tempat persembunyiannya yang didatangi. Mereka tak pernah percaya dengan siapa pun,'' papar Mustafa.
Dalam hal berperang pun, mereka lebih sering menyergap daripada disergap. Ini taktik agar markasnya tak bisa dicium hidung tentara.
Itu soal pertempuran. Bagaimana soal fasilitas bagi sang panglima. Ketika disinggung begini, mata Mustafa melirik. Dia pun menyebut perempuan -- si Inong Bale (tentara wanita GAM). Soal yang satu ini, ehem... petinggi GAM pun berhak mendapat perlakuan paling istimewa. ''Tahu kan, sudah menjadi rahasia umum, kalau perempuan Aceh memang terkenal cantik-cantik,'' katanya. Saya pun tidak bisa mengelak. Penilaian itu bukan omong kosong. Jujur, memang harus diakui wanita Aceh rata-rata berparas cantik.
Wajah-wajah artis atau selebritis berdarah Aceh yang kerap tampil di layar kaca, seperti Cut Keke, Cut Tari, Cut Mini, Dian Nitami dan lainnya. Ternyata, bisa dijumpai di tempat-tempat umum. Mereka bisa dilihat di sekolah-sekolah, pasar-pasar dan perkantoran. Namun, bedanya tidak seutuhnya kecantikan itu bisa dinikmati mata. Sebab, rata-rata kaum wanita itu mengenakan jilbab -- kerudung penutup rambut.
Wajah cantik itu pun, ternyata tersebar di desa-desa di basis-basis GAM. ''Para petinggi GAM itu berhak mendapatkan wanita cantik. Kalau memang cocok, dinikahi dan dijadikan istrinya yang kesekian. Tetapi, untuk sekadar 'mencicipi' juga boleh,'' papar Mustafa. Itu didasari suka sama suka dan ikhlas. Wanita yang melayaninya pun tak akan pernah protes. Sebaliknya, malah bangga dan dianggap sebagai suatu kehormatan dan penghargaan bagi perjuangan kemerdekaan Aceh.
Inilah keistimewaan para Panglima GAM. Wanita-wanita ini juga menjadi telik sandi bagi Panglima GAM. Tentu saja, yang paling penting, soal logistik. Merekalah yang menentukan jalur logistik para tentara, TNA. Bicara kecantikan, ternyata perempuan Inong Bale tidak semuanya cantik. Wajahnya ada yang biasa-biasa saja. Cuma hampir rata-rata berkulit bersih. Khusus yang cantik, sudah menjadi ketentuan tak tertulis, mereka akan ''dikapling'' untuk panglima. ''Anak buah, tidak bisa berbuat apa-apa,'' ujar Mustafa.
Hal itu merupakan kebiasaan yang harus dipatuhi. Soalnya, rata-rata orang menjabat panglima adalah orang-orang terpilih. Terutama mereka yang pernah mengikuti latihan di kamp militer di Libya.
Mau tahu contohnya, tengok saja Panglima Perang Tertinggi GAM Muzakir Manaf. Kulitnya putih bersih. Hidungnya mancung. Matanya berwarna kecoklatan. Wajahnya pun putih ranum. Bila usai cukur kumis dan brewok, warna kehijauan di atas bibir selalu tampak. Benar-benar gagah. Membuat hati tiap wanita berdegup keras.
Tetapi, perjalanan ke Aceh memang cukup melelahkan. Panas dan tak ada taksi. Beberapa fasilitas umum dirusak GAM. Demikian pula ketakutan disebar di mana-mana, sehingga menjadi serba sulit. Lalu mau apa, marah kepada GAM. Boleh saja kalau berani.
* Achmad Nasrudin
Meliput perang di Aceh ternyata gampang-gampang susah. Selain tegang, berpacu dengan maut, ternyata juga cukup mengasyikkan. Ada banyak cerita unik dan juga menegangkan di balik kisah memburu berita. Bali Post mencatat beberapa peristiwa. Berikut bagian pertama dari tiga tulisan.
MATAHARI baru saja menyeruak. Embun pun mulai menetes dari dedaunan. Toyota Kijang sewaan yang membawa Bali Post beringsut perlahan melewati jalan tanah berbatu. Sebelah kiri dan kanan sepanjang jalan hanya semak belukar dan pohon sawit. Suasana sepi dan amat mencekam. Kadang waswas. Sebab, siapa tahu, GAM tiba-tiba menyergap. Di rimba seperti itulah, GAM sering membunuh personel TNI.
Belum sirna rasa waswas, tiba-tiba mobil dihentikan saat sampai di mulut Desa Muara Batu, Kecamatan Nisam, Kabupaten Aceh Utara. Bukan rahasia, Nisam adalah basis GAM. Saya sempat kecut. Nyali seorang wartawan tengah diuji.
Segerombolan orang penghadang mengenakan seragam loreng. Baju loreng, celana loreng, sepatu lars. Lengkap dengan senjata. TNI? Tunggu dulu. GAM juga acap berpakaian begitu. Degup jantung makin kuat. Aliran darah pun turun-naik seperti dipompa. Sreet...sekelabatan, saya melihat badge di seragam loreng. ''Oh, itu bukan GAM,'' pikir saya. Ternyata benar, mereka adalah pasukan TNI yang berjaga-jaga di perbatasan desa. Tanpa basa-basi lagi, salah seorang dari mereka berpangkat bintara maju dan menanyakan keperluan awak media memasuki ''daerah hitam'' -- julukan daerah yang rawan pertempuran.
Setelah dijelaskan maksud dan keperluan kami -- saya bersama beberapa rekan wartawan lain -- untuk meliput langsung penyerangan, prajurit tersebut mengangguk tanda mengerti. Namun, ia meminta awak media agar menghadap pimpinannya. Permintaan tersebut, tanpa ba-bi-bu, kami penuhi. Tiba di pos komando taktis (poskotis), kami langsung melapor dan bertemu Komandan Detasemen Pemukul III Satuan Tugas Mobil 2 Letnan Kolonel (Inf) Rimbo Karyono. ''Kami izinkan Anda meliput. Tetapi harus patuhi perintah komandan pasukan. Ingat, wartawan harus tetap berada di belakang pasukan,'' tutur perwira menengah dari satuan Komando Cadangan Strategis TNI-AD (Kostrad) ini.
Setelah itu, kami disuruh bergabung bersama Kompi C Denkul III Satgas Mobil 2. Kepada pimpinan pasukan Lettu (Inf) Rudyanto, kembali dan diterima dengan baik. Bersama pasukannya, kami dengan mobilnya terus mengikuti iringan kendaraan militer. Tiba di ujung desa, kendaran berhenti. Mereka langsung menyebar dan mengendap. Lantas, saya dan teman-teman pun melakukan hal yang sama.
Belum sejengkal melangkah, desingan peluru seakan persis di ujung kepala. Dari bunyinya, dapat dipastikan senjata AK-47 -- senjata laras panjang buatan Rusia. Jenis ini kerap digunakan Tentara Nasional Aceh (TNA), sayap militer Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Sumbernya, berasal dari ladang di kawasan perbukitan. Lettu Rudyanto memecah pasukannya menjadi tiga.
Regu pertama dan kedua, berjumlah 6-7 prajurit, merangsek masuk dengan cara melambung ke arah kiri dan kanan naik perbukitan. Selebihnya, delapan prajurit terus memuntahkan peluru ke arah musuh, memberi perlindungan bagi rekannya yang akan menyerang. Mereka berada di depan wartawan dan seorang lagi berjaga di belakang. Prosedur ini biasa diterapkan terhadap awak media yang meliput di garis depan. Tembak-menembak terus berlangsung. Saya catat menit demi menit kejadiannya. Tegang, asyik, beradu jadi satu.
Setelah cukup lama, dari perbukitan terdengar rentetan tembakan. Suaranya dari dua jenis senjata berbeda. Sekitar satu jam, barulah berhenti. Pasukan ini langsung maju. Saya ikut maju. Jarak dijaga. Jalan zig-zag setengah berlari, juga dilakukan. Prosedur standar yang pernah diajarkan di pusat latihan gerilya milik Kostrad di Sanggabuana, Karawang, Jawa Barat, ternyata berguna di medan tempur. Tidak rugi belajar jadi wartawan perang.
Setibanya di perbukitan, pasukan yang tadi menyebar sudah berada di sana. Komandan regu langsung melaporkan keadaan kepada Lettu Rudyanto. Kondisi dan keadaan sudah dikuasai. Dilaporkan pula, mereka berhasil menewaskan seorang anggota GAM. Sepucuk senjata rakitan berhasil disita. ''Mereka berjumlah sekitar 10 orang dengan senjata campuran. Selebihnya melarikan diri,'' tutur prajurit berpangkat sersan mayor kepada sang letnan.
Laporan diterima dan diteruskan lagi melalui radio komunikasi kepada atasannya. Prajurit lainnya melakukan penyisiran. Setelah cukup aman, mereka berkumpul. Ini yang unik. Tiga-empat orang membuat lingkaran. Seperti anak kecil, mereka saling tukar cerita. Cukup seru dan saling tak mau mengalah. Klaim bahwa dirinya yang menewaskan lawan, juga ikut meramaikan cerita itu.
Sambil terus mengobrol, seorang prajurit membuka kantong kecil di bagian luar ransel hijaunya. Rupanya, sebungkus mi instan. Kemudian dibuka dan dipisahkan dari bungkus bumbunya. Lalu, mi itu diremas. Bumbu dimasukkan dan dikocok. Dengan jari, ''mi remes'' dijumputnya dan dimakan. Setelah dirasa cukup, diedarkan kepada tiga rekan lainnya. Mereka menunggu giliran dengan sabar.
''Beginilah mas, tentara. Asal buat ganjal perut saja. Dari pagi belum sempat sarapan. Itu bukan yang pertama. Sering kami lakukan,'' kata Praka Sulistiyo, anggota Korps Marinir, yang bergabung dalam pasukan itu. Ia bertugas sejak pengepungan rawa tempat persembunyian Panglima GAM Muzakir Manaf di Desa Cot Trieng, November lalu. Ternyata bukan hanya makanan, rokok pun ikut diisap bergilir. Meski dari satuan yang berbeda, mereka tak malu-malu membagi kebutuhan itu. Sedihnya, kalau logistik terlambat dikirim atau terganggu karena penghadangan GAM. Rasa lapar harus ditahan kuat-kuat. Untuk merokok pun bisa-bisa menggunakan daun ilalang yang diremas lalu dilinting dengan kertas koran. ''Yang penting asal mulut tidak asam,'' kata mereka.
Usai istirahat sebentar, Lettu Rudyanto memerintahkan wartawan untuk kembali ke poskotis. Perintah itu langsung kami turuti. Pengawalan tetap diberikan hingga sampai tiba di tujuan. Lagi-lagi kami melapor kepada Letkol Rimbo. Istirahat sambil ngobrol-ngobol pun dilanjutkan di sana.
Sedang seru-serunya mengobrol, tiba-tiba di depan hidung saya lewat seorang perwira pertama. Di dada sebelah kirinya tertera tulisan Komang. Dari sini diketahui, ia adalah putra Bali. Ternyata benar, ia merupakan Komandan Tim 2 Kompi C Denkul III Satgas Mobil 2. Ia mengaku putra Bali asal Karangasem. Namun, besar dan sekolah di Surabaya.
Belum lama obrolan akrab itu berlangsung, tiba-tiba seorang prajurit menemuinya. Dari isi pembicaraannya, Lettu Komang diperintahkan bergerak ke Desa Alue Dua, di kecamatan yang sama. Beberapa menit saja, pasukan di bawah pimpinan Komang sudah menghilang. Para wartawan tak ada yang ikut bergabung. Cukup riskan, karena hari hampir sore. Kami pun tak bisa mengetahui apa yang dilakukannya di garis depan.
Hasil kerja Lettu Komang, baru kami ketahui setibanya di Media Centre Komando Operasi (Koops) TNI di Lhokseumawe. Perwira yang bertugas di Yonif 502 Kostrad itu, pulang dengan hasil cukup gemilang. Dalam penyergapannya di sebuah rumah, pasukannya berhasil menewaskan satu anggota GAM. Ia juga berhasil menyita ratusan amunisi M-16 dan SS-1. Alat komunikasi handy talkie (HT) merek Kenwood dan Solar Sell berasil diamankan. Dokumentasi serta lambang GAM juga didapatkannya. Ternyata bukan hanya Lettu Komang yang nyasar ke Aceh. Ada juga Briptu Wayan Sudirta. Anggota satuan Brigade Mobil ini bertugas di perbatasan Bireuen dan Aceh Tengah. Meski tidak di garis depan, bukan berarti tak ada risiko. Posko penjagaannya termasuk dalam daerah ''rawan'' dari penyergapan GAM.
''Yang penting waspada dan hati-hati. Saya tetap ingin kembali dari tugas dengan selamat. Mudah-mudahan kita ketemu di Bali,'' kata Wayan, dengan nada penuh harap. Benar-benar suatu kebanggaan, dua putra Bali ini berada di ujung Pulau Sumatera berjuang demi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indoensia.Mau ''On'' harus Lapor Brimob Ilustrasi
Perang sepertinya tidak lengkap tanpa pengungsi. Operasi terpadu yang digelar di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) tidak melulu pada pemulihan keamanan. Di sinilah, tragedi, air mata, dan keunikan tumbuh bak cendawan. Bali Post mencatat detailnya.
INI sebuah tragedi kemanusiaan akibat perang di Aceh. Tengoklah, nasib seorang bocah. Ia baru berumur lima bulan itu tidak tampak seperti kawan sebayanya, yang riang, tertawa. Balita itu terus terbaring di pangkuan ibunya. Tubuhnya cuma tinggal tulang, kulitnya pucat. Ia tak berdaya. Jangankan beringsut sedikit, untuk mengangkat kepalanya saja, ia tak sanggup. Begitupun saat melek. Pupilnya tak terlihat. Cuma putih yang tampak. Mirip film kartun Casper.
Inilah kondisi yang dialami Almadi (5 bulan). Ia tak bisa jauh dari kedua orangtuanya. Ia pun selalu dalam gendongan dan rangkulan ibunya, Maryana (36). Pasangan Maryana dan Zainal (39) bersama empat anaknya, menempati barak terpal nomor tujuh di kamp pengungsi Cot Gapu, Kecamatan Juli, Kabupaten Bireuen. Mereka harus berbagi tempat dengan sembilan keluarga lainnya, dalam tenda berukuran 5 x 15 meter. Kotor, bau pesing, sampah ikut menyumpahi kegetiran mereka. Tetapi, mau apalagi.
Keadaan Almadi ini dirasakan sejak tiga hari dalam pengungsian. Suhu tubuhnya terus naik. Ia pun tak berhenti buang-buang air dan muntah-muntah. Satu hari bisa 3-4 kali. Memang dirinya pernah dirujuk untuk dirawat di RS Cut Meutia, Lhokseumawe. Tetapi, di sana cuma lima hari dan disuruh kembali ke pengungsian. Padahal, ia belum pulih dan sembuh benar.
Sama seperti keluarga lainnya, keluarga Zainal mengungsi dari Desa Kedai Dua, Kecamatan Juli, karena ''dipaksa'' TNI. Alasannya soal keselamatan dan keamanan penduduk sipil. Itu juga sebagai strategi untuk memotong jalur logistik GAM yang mendapatkan pangan dari simpatisan dan pendukungnya dari desa setempat.
Di desa-desa dalam Kecamatan Juli itu, memang sering terjadi kontak senjata antara GAM dan TNI. Kecamatan itu sama seperti Kecamatan Nisam di Aceh Utara yang dikategorikan sebagai ''daerah hitam'' atau basis GAM. Juli yang berbatasan dengan Kecamatan Jeunib merupakan wilayah operasi Panglima GAM Wilayah Jeunib yakni Darwis Jeunib.
Darwis merupakan target TNI. Bersama puluhan anak buahnya, ia melakukan penyergapan dan menewaskan tujuh anggota Batalion Tim Pendarat I Korps Marinir di perbukitan Matang Kumbang, awal Juni lalu. Kekalahan itu, dinilai Cilangkap sebagai kekalahan besar. Tidak ada cara lain, kecuali memburu sekaligus menangkapnya mati atau hidup.
Dari pengamatan Bali Post terhadap kondisi pengungsi di sana, ternyata hal itu bukan cuma dialami Almadi. Ada belasan balita lainnya yang mengalami nasib serupa. Beberapa dari mereka tampak pasrah dengan nasib. Semua itu tak lepas dari buruknya sanitasi. Bayangkan, lubang penampungan limbah manusia, digali kurang dari satu meter.
Belum lagi dengan air bersih untuk minum dan mencuci. Air yang dibawa dengan truk PDAM Biereun itu cukup ''mencurigakan''. Warnanya kecoklat-coklatan. Masyarakat menduga air itu berasal dari irigasi sawah. Namun, mereka tak berani protes, karena khawatir dengan risikonya. Hal inilah yang membuat mereka memilih diam.
Dampaknya cepat dirasakan pengungsi. Terutama balita. Mereka ini sangat rentan penyakit. Bukan cuma kulit gatal-gatal, diare juga terus membayangi. Belum lagi dengan ancaman cuaca yang kejam. Barak dari terpal itu, tak mampu menahan panasnya siang dan dinginnya malam.
Soal makanan ikut jadi masalah. Seperti yang dikatakan keluarga Halimah (32). Bantuan yang diberikan pemerintah, tidak memadai. Bukan cuma dari kuantitas, tetapi kualitas pun sangat minim. Beras yang dibagikan, kualitasnya jelek. Hampir tak bisa dimakan, karena busuk. Lauk pun cuma sepotong ikan asin per kepala keluarga. Mi instan juga cuma sebungkus per KK.
''Mestinya tidak seperti ini. Bantuan pemerintah pusat dan propinsi cukup besar. Tetapi mengapa tidak sampai kepada kami. Masih ada saja orang yang tega potong bantuan,'' kata ibu tiga anak ini kesal.
Keluhan seperti ini ternyata bukan cuma dilontarkan Halimah. Ibu-ibu di pengungsian yang ditemui Bali Post, juga menyatakan kekesalan yang sama. Mereka merasa benar-benar ditelantarkan. Petugas pengungsian tidak memperlakukannya sebagaimana layaknya manusia. Benar-benar seperti dianggap orang buangan. Namun, mau bilang apalagi, mereka tak berani bicara karena khawatir dengan nasibnya nanti.
Suara kaum bapak pun serupa. Zakaria (42), bapak dari lima anak ini, juga mengeluhkan sarana yang kurang layak di lokasi pengungsian. Seperti lainnya, permintaannya cuma satu, agar segera dipulangkan. Selain tak senang dengan perlakuan di pengungsian, juga khawatir mengenai rumah, ternak serta tanaman yang mereka tinggalkan.
''Tidak tahu dengan rumah dan harta benda yang kami tinggalkan. TNI baru akan memulangkan kalau sudah aman. Kapan itu. Sudah hampir satu bulan masih tetap di sini. Aparat tak menjamin semua yang kami tinggalkan,'' keluhnya. Namun, dari semua itu yang paling berat dirasakannya adalah menyalurkan hasrat biologisnya. Kondisi di pengungsian tidak memungkinkan melakukan ''itu'' tiap saat. Ini benar-benar membuatnya pusing tujuh keliling. Tidak bisa ia lakukan tiap waktu seperti keinginannya.
Tetapi, Zakaria tak kehabisan akal. Jika sedang ''on'', ia pergi dengan istrinya ke rumah saudaranya. Jaraknya cukup dekat dengan tempatnya mengungsi. Dengan hanya mengeluarkan Rp 2.000, ia naik kendaraan umum menuju tempat salah satu keluarganya. Di sanalah ia melepas syahwatnya.
Lain Zakaria, lain dengan yang dialami Idris. Pria berusia 32 tahun ini, tidak memiliki saudara yang dekat dengan tempatnya mengungsi. Repotnya, kalau sedang ''on'', terpaksa ia mengajak istrinya melapor kepada petugas. ''Terpaksa kami lakukan. Kalau tak melapor, takut disergap Brimob yang akan menyangkanya sebagai anggota GAM yang menyusup ke pengungsian.''Inong Bale Cantik ''Makanan'' Panglima GAM Meski tak lama, berburu berita di Aceh cukup menyenangkan. Makin berat medannya, justru makin penasaran. Tetapi, ada satu hal yang terlewat, sejauh ini, para petinggi GAM belum banyak yang tertangkap. Ada cerita menarik di balik para petinggi jebolan Libya itu.
ADA yang aneh di sebuah camp Batalion Tim Pendarat I (BTP) Korps Marinir di Simpang Jaya, Bireuen. Seseorang berkulit gelap, mata jalang, bepakaian sipil. Aneh, karena dia dicap berstatus tahanan GAM. Tetapi, Mustafa Watimena (27), begitu lelaki itu punya nama, dibiarkan saja berkeliaran. Makan, minum, tidur bersama-sama pasukan TNI. ''Saya sudah kapok ikut GAM,'' begitu ujarnya.
Pria keturunan Aceh-Ambon itu bahkan minta diborgol saat malam tiba. Lucunya, jika borgolnya belum terkunci atau kendor, Mustafa bilang, ''Pak, tolong dikencangkan.'' Kepolosan inilah yang membuat marinir tak memperlakukan Mustafa lebih istimewa daripada tahanan lainnya.
Benar begitu? Mustafa ternyata juga ''mata kunci'' bagi TNI. Sebab, Mustafa adalah intelijen GAM. Dialah yang menyusup ke sarang musuh. Datanya dipakai sebagai strategi penyerangan ke pos-pos TNI/Polri. Posisi inilah yang membuat Mustafa dekat dengan sejumlah Panglima GAM. Tetapi, itu saja belum cukup. Mustafa masih punya cerita lain di balik petualangannya bersama sejumlah Panglima GAM di belantara Aceh.
Ini bukan soal politik. Saya selalu bertanya, mengapa para petinggi GAM itu sulit dibekuk TNI. Mustafa punya alibinya. Lelaki berbapak yang anggota TNI-AD ini menuturkan liku-likunya. ''Saat masuk GAM, saya terprovokasi mereka. Katanya, Aceh segera merdeka, tinggal sepuntung rokok saja waktunya,'' katanya. Tetapi, karena sulit merdeka, Mustafa gerah. Dan, mengalirlah cerita di balik gerilya para panglimanya itu. Dia ditangkap TNI di perbukitan Cot Prabu, Kecamanatan Juli, Bireuen.
''Terus terang, saya ini anak buah Panglima GAM Wilayah Bate Iliek, Adi P,'' katanya membuka percakapan. Mustafa juga pernah bertemu dengan Panglima GAM yang jadi musuh nomor satu TNI yakni Darwis Jeunib. Di kawasan pegunungan tersebut, tokoh penting GAM itu bersama sekitar 200-300 anak buahnya. Berbagai senjata mereka miliki. Peluncur granat juga ada. Selain itu, juga dilengkapi alat komunikasi yang canggih, telepon satelit. Namun, yang kurang adalah bahan pangan. ''Mereka kini terjepit dan kelaparan,'' tuturnya.
Hidup berpindah-pindah, makan seadanya. Kadang nasi, singkong, kelapa, buah-buahan hutan atau daun-daunan. Mata-mata GAM atau cantoi ini buka kartu juga soal bosnya. Diakui, sulitnya menangkap para Panglima GAM itu, selain komunikasinya lancar, sistem penjagaannya pun berlapis. Persis seperti pejabat tinggi Indonesia. Pengawalannya menganut sistem ring. Seperti lampu pengatur lalu lintas. Dimulai dari ring tiga atau pintu hijau. Berlanjut ke ring dua atau pintu kuning. Lalu, ring satu atau pintu merah.
Imbuh Mustafa, di ring satu ini, petinggi GAM dijaga paling sedikit 10 pasukan khusus. Disebut khusus, karena pernah mengikuti latihan paramiliter di negaranya Presiden Moamar Khadafi. Di Libya itu, mereka dilatih soal senjata, merakit bom hingga taktik tempur gerilya. Pasukan penjaga panglima tersebut, kalau diibaratkan mirip Pasukan Pengaman Presiden (Paspampres). ''Mereka amat terlatih,'' akunya.
Panglima GAM ini selalu berpindah-pindah. Inilah yang sulit. Apalagi medannya. Saat meluncur ke Aceh, Hercules yang masih berada di atas Aceh saja berguncang seperti truk berjalan di atas jalan makadam saja. Ada apa, pikir saya. Ketika mata saya melongok ke bawah, melalui jendela, ya ampun, hutan Aceh benar-benar masih perawan. Pohon-pohon yang tampak menghitam itu seperti selimut antipenangkapan. Siapa sangka medannya sedemikian berat. Hutan belantara, bukit, dan tebing bisa menjadi bom tersendiri. Seperti di bukit Sudan. Tujuh TNI tewas disikat GAM.
''Tiap hari tak menentu. Kalau ada wartawan yang ingin bertemu, biasanya ring hijau. Mereka lebih baik mendatangi, ketimbang tempat persembunyiannya yang didatangi. Mereka tak pernah percaya dengan siapa pun,'' papar Mustafa.
Dalam hal berperang pun, mereka lebih sering menyergap daripada disergap. Ini taktik agar markasnya tak bisa dicium hidung tentara.
Itu soal pertempuran. Bagaimana soal fasilitas bagi sang panglima. Ketika disinggung begini, mata Mustafa melirik. Dia pun menyebut perempuan -- si Inong Bale (tentara wanita GAM). Soal yang satu ini, ehem... petinggi GAM pun berhak mendapat perlakuan paling istimewa. ''Tahu kan, sudah menjadi rahasia umum, kalau perempuan Aceh memang terkenal cantik-cantik,'' katanya. Saya pun tidak bisa mengelak. Penilaian itu bukan omong kosong. Jujur, memang harus diakui wanita Aceh rata-rata berparas cantik.
Wajah-wajah artis atau selebritis berdarah Aceh yang kerap tampil di layar kaca, seperti Cut Keke, Cut Tari, Cut Mini, Dian Nitami dan lainnya. Ternyata, bisa dijumpai di tempat-tempat umum. Mereka bisa dilihat di sekolah-sekolah, pasar-pasar dan perkantoran. Namun, bedanya tidak seutuhnya kecantikan itu bisa dinikmati mata. Sebab, rata-rata kaum wanita itu mengenakan jilbab -- kerudung penutup rambut.
Wajah cantik itu pun, ternyata tersebar di desa-desa di basis-basis GAM. ''Para petinggi GAM itu berhak mendapatkan wanita cantik. Kalau memang cocok, dinikahi dan dijadikan istrinya yang kesekian. Tetapi, untuk sekadar 'mencicipi' juga boleh,'' papar Mustafa. Itu didasari suka sama suka dan ikhlas. Wanita yang melayaninya pun tak akan pernah protes. Sebaliknya, malah bangga dan dianggap sebagai suatu kehormatan dan penghargaan bagi perjuangan kemerdekaan Aceh.
Inilah keistimewaan para Panglima GAM. Wanita-wanita ini juga menjadi telik sandi bagi Panglima GAM. Tentu saja, yang paling penting, soal logistik. Merekalah yang menentukan jalur logistik para tentara, TNA. Bicara kecantikan, ternyata perempuan Inong Bale tidak semuanya cantik. Wajahnya ada yang biasa-biasa saja. Cuma hampir rata-rata berkulit bersih. Khusus yang cantik, sudah menjadi ketentuan tak tertulis, mereka akan ''dikapling'' untuk panglima. ''Anak buah, tidak bisa berbuat apa-apa,'' ujar Mustafa.
Hal itu merupakan kebiasaan yang harus dipatuhi. Soalnya, rata-rata orang menjabat panglima adalah orang-orang terpilih. Terutama mereka yang pernah mengikuti latihan di kamp militer di Libya.
Mau tahu contohnya, tengok saja Panglima Perang Tertinggi GAM Muzakir Manaf. Kulitnya putih bersih. Hidungnya mancung. Matanya berwarna kecoklatan. Wajahnya pun putih ranum. Bila usai cukur kumis dan brewok, warna kehijauan di atas bibir selalu tampak. Benar-benar gagah. Membuat hati tiap wanita berdegup keras.
Tetapi, perjalanan ke Aceh memang cukup melelahkan. Panas dan tak ada taksi. Beberapa fasilitas umum dirusak GAM. Demikian pula ketakutan disebar di mana-mana, sehingga menjadi serba sulit. Lalu mau apa, marah kepada GAM. Boleh saja kalau berani.
* Achmad Nasrudin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.