Akhir 1945 adalah masa-masa yang mencekam di Jakarta. Begitu Sekutu (terdiri dari serdadu Inggris, Australia dan Belanda) mendarat, Kaum Republiken (pendukung proklamasi) memilih untuk menyingkir ke luar kota, akibatnya sebagian Jakarta kosong dan hanya menyisakan para priyayi pro Belanda dan borjuis-borjuis kulit putih yang tinggal di kawasan elit Menteng. "Selain komunitas pro Belanda, Jakarta saat itu hanya terdiri dari kaum gerilyawan kota dan para bandit," ujar Robert Cribb dalam Para Jago dan Kaum Revolusioner Jakarta 1945-1949.
Jika para gerilyawan kota memiliki aktivitas menyerang kedudukan serdadu-serdadu Sekutu dan berupaya merampas senjata-senjatanya, tidak begitu dengan para bandit. Hampir dipastikan mereka tiap malam beroperasi menggasak harta benda penduduk Jakarta yang mengungsi dan menggarong rumah-rumah di Menteng. Tak jarang juga terjadi praktek pemerkosaan dan pelecehan seks terhadap perempuan Indo dan kulit putih.
Situasi tersebut mejadikan Jakarta mirip "kota liar dan tak bertuan" seperti dalam cerita koboy wild-wild west. Untuk mengantisipasi soal ini, Sekutu lantas menugaskan para tentaranya untuk memulihkan keamanan dengan cara melakukan patroli dan pemeriksaan rutin. Operasi pemulihan ini justru lebih banyak menciduk Kaum Republiken dibanding para bandit. Bahkan ada upaya dari pihak NICA (Pemerintah Sipil Hindia Belanda bentukan Van Mook) menyamaratakan semua aksi orang bumiputera sebagai aksi-aksi kriminalitas.
Ini adalah salah satu foto koleksi dari IWM, Inggris yang memperlihatkan sebuah patroli Sekutu dari unsur tentara Inggris tengah melakukan pemeriksaan rutin di wilayah Salemba. "Kalau Inggris yang melakukan pemeriksaan tidak begitu khawatir kita, karena mereka melakukannya sopan dan tidak kasar. Beda dengan perlakuan dari serdadu-serdadu NICA yang terkenal kejam," ujar Bustomi seorang mantan lasykar kepada saya beberapa waktu lalu.
Soal perlakuan bengis ini memang bukan isapan jempol semata. Menurut Adam Malik, salah seorang pentolan pemuda Menteng Prapatan, para serdadu NICA selain kerap memukul dan menembak juga tak jarang menyiksa para pemuda di luar batas kewajaran. "Jika kedapatan ada pemuda yang memakai lencana merah putih, mereka akan memaksa sang pemuda tersebut menelan lencana tersebut. Tak peduli lencana itu terbuat dari kain atau kaleng..." tulis Adam Malik dalam Mengabdi Republik. [Diposkan by samuel.tirta]
★ Garuda Militer
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.