Penjagaan perbatasan laut yang menyisakan celah akibat minimnya jumlah radar mulai dicari solusinya. Kementerian Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Kemenkopolhukam) berencana menggabungkan radar laut militer dengan radar laut sipil. Kebijakan yang efisien tersebut diharapkan mampu menutup celah kekurangan radar.
Menkopolhukam Tedjo Edhy Purdijatno menjelaskan, saat ini posisinya setiap kementerian membangun radar sendiri. Misalnya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Bahkan, radar antara milik TNI AL dengan beberapa kementerian itu ada yang berdekatan. “Ini dua radar di lokasi yang sama juga kurang tepat,” tuturnya.
Pembangunan radar yang berdekatan tersebut sangat tidak efektif, sehingga perlu untuk melakukan koordinasi dalam pembangunan radar seperti ini. Konkeitnya, Kemenkopolhukan akan merancang agar radar laut militer dan radar laut sipil digabung. Pada dasarnya, data yang ditangkap kedua jenis radar ini sama. “Lalu, TNI AL dan Kementerian bisa saling bagi data dan informasi,” jelasnya.
Dengan cara itu, maka anggaran pembangunan radar bisa dialihkan untuk perawatan radar. Perlu diketahui, banyak radar milik TNI AL dan kementerian yang sebenarnya sudah tidak bisa digunakan. Hal itu dikarenakan anggaran perawatan radar yang besar. “Akhirnya, radar-radar itu bisa lebih panjang umurnya,” tuturnya.
Lalu, bagaimana dengan lautan wilayah Indonesia Timur yang minim radar? Dia mengatakan, dengan penggabungan radar itu, maka pasti ada yang tidak lagi diperlukan di wilayah tersebut. Maka, radar-radar tersisa ini bisa dipindahkan ke wilayah laut di Indonesia Timur. “Celah itu tentu akan tertutupi,” jelasnya.
Dengan begitu, tinggal masalah jumlah dan kondisi kapal militer yang perlu untuk dipikirkan. Saat ini jumlah kapal Badan Koordinator Keamanan Laut (Bakorkamla) hanya tiga dan jumlah kapal militer TNI AL sekitar 80 kapal, padahal kebutuhan minimumnya 120 kapal. Dengan anggaran pertahanan yang masih di bawah 2 persen dari gross domestic product tentu masih perlu ditingkatkan.
Menkopolhukam Tedjo Edhy Purdijatno menjelaskan, saat ini posisinya setiap kementerian membangun radar sendiri. Misalnya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Bahkan, radar antara milik TNI AL dengan beberapa kementerian itu ada yang berdekatan. “Ini dua radar di lokasi yang sama juga kurang tepat,” tuturnya.
Pembangunan radar yang berdekatan tersebut sangat tidak efektif, sehingga perlu untuk melakukan koordinasi dalam pembangunan radar seperti ini. Konkeitnya, Kemenkopolhukan akan merancang agar radar laut militer dan radar laut sipil digabung. Pada dasarnya, data yang ditangkap kedua jenis radar ini sama. “Lalu, TNI AL dan Kementerian bisa saling bagi data dan informasi,” jelasnya.
Dengan cara itu, maka anggaran pembangunan radar bisa dialihkan untuk perawatan radar. Perlu diketahui, banyak radar milik TNI AL dan kementerian yang sebenarnya sudah tidak bisa digunakan. Hal itu dikarenakan anggaran perawatan radar yang besar. “Akhirnya, radar-radar itu bisa lebih panjang umurnya,” tuturnya.
Lalu, bagaimana dengan lautan wilayah Indonesia Timur yang minim radar? Dia mengatakan, dengan penggabungan radar itu, maka pasti ada yang tidak lagi diperlukan di wilayah tersebut. Maka, radar-radar tersisa ini bisa dipindahkan ke wilayah laut di Indonesia Timur. “Celah itu tentu akan tertutupi,” jelasnya.
Dengan begitu, tinggal masalah jumlah dan kondisi kapal militer yang perlu untuk dipikirkan. Saat ini jumlah kapal Badan Koordinator Keamanan Laut (Bakorkamla) hanya tiga dan jumlah kapal militer TNI AL sekitar 80 kapal, padahal kebutuhan minimumnya 120 kapal. Dengan anggaran pertahanan yang masih di bawah 2 persen dari gross domestic product tentu masih perlu ditingkatkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.