Australia Rusak Upaya Normalisasi Hubungan Diplomatik Pencari suaka asal Iran (TheJakartaGlobe)
Ulah Pemerintah Australia yang membiarkan aksi suap kepada kru kapal pembawa orang-orang pencari suaka bisa berakibat kepada rusaknya upaya normalisasi hubungan dengan Indonesia.
Proses normalisasi hubungan Indonesia-Australia masih belum tuntas pasca peristiwa penyadapan tahun 2013, namun saat ini Australia kembali mengulangi kesalahan yang sangat merugikan Indonesia.
Wakil Ketua Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Tantowi Yahya mengatakan hubungan Indonesia dan Australia masih belum normal, lalu harus ditambah dengan kasus dugaan suap oleh otoritas Australia agar kapal yang membawa 65 pencari suaka berputar ke Indonesia.
“Ada enam langkah yang harus dilakukan Pemerintah Australia dalam rangka menormalisasikan hubungan diplomatik mereka dengan kita. Saya rasa dari enam tersebut baru tiga yang sudah mereka lakukan. Tiba-tiba dalam proses normalisasi itu ada tindakan dari mereka seperti ini,” kata Tantowi usai diskusi terkait pengungsi Rohingya yang diadakan oleh Habibie Center di Jakarta, Selasa (16/6).
Tantowi mengatakan rusaknya proses normalisasi bisa berakibat sejumlah kerja sama bisa jadi tidak berlanjut. “Jadi mereka yang rugi, bukan kita,” katanya.
Dia menilai Australia lari dari tanggung jawab karena mengarahkan kapal pencari suaka ke Indonesia. Oleh karena itu, menurutnya, pemberian nota diplomatik oleh menteri luar negeri merupakan tindakan yang tepat dan cukup serius.
“Kalau kemudian dalam tenggat waktu tertentu tidak ada respons dari Pemerintah Australia maka harus disiapkan plan kedua yang clear (jelas) dan precise (tepat),” kata Tantowi.
Pada akhir tahun 2013 terjadi insiden penyadapan telepon oleh Badan Intelijen Australia kepada telepon seluler mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, istrinya, dan sejumlah menteri tahun 2009.
Menlu Australia ketika itu, Julie Bishop, sudah menyatakan penyesalan mendalam kepada Indonesia, namun SBY menyaratkan enam hal untuk proses normalisasi hubungan termasuk pembentukan kode etik dan protokol yang mengatur kesepakatan hubungan RI-Australia.Etika Australia terhadap Imigran Tidak Tepat Panglima TNI Jenderal Moeldoko menjawab pertanyaan wartawan (Antara/Akbar Nugroho Gumay)
Panglima TNI Jenderal TNI Moeldoko, menilai, sikap Australia terhadap para pencari suaka atau imigran secara etika tidak tepat.
"Ini konteksnya masih dalam konteks politik tetapi dari sisi etika itu tidak pas perbuatan seperti itu. Itu yang saya pandang. Dalam konteks politik kedua negara saya tidak mau komentar," kata panglima usai melakukan pembaretan puluhan pemimpin redaksi (pemred) media nasional di Mabes TNI Cilangkap, Jakarta Timur, Selasa (16/6).
Panglima mengakui, bila melihat panjang batas garis pantai Indonesia yang mencapai 81.000 kilometer dengan kekuatan angkatan bersenjata, dalam hal ini Angkatan Laut (AL) masih belum memadai. Terutama dalam hal pengawasan menyangkut batas keamanan dan teritorial.
"Sehingga ada beberapa sektor yang kadang-kadang kita kecolongan. Ini mesti harus menjadi atensi kita semuanya ke depan dengan serius. Karena titik beratnya dalam konteks itu adalah bukan hanya kemampuan kapal dan kemampuan radar yang kita miliki," ujar panglima.
Sebelumnya, Menteri Luar Negeri, Retno LP Marsudi menuntut jawaban dari Canberra terkait pernyataan beberapa pejabat Australia, yang mengaku membayar ribuan dolar untuk mendorong perahu pencari suaka kembali ke Indonesia.
Retno Marsudi, menyatakan, hal tersebut sesudah Perdana Menteri Australia Tony Abbott menolak menyangkal tuduhan tersebut.
Menlu Retno Marsudi, mengatakan, Indonesia benar-benar prihatin jika betul bahwa kapten dan lima awak kapal pembawa pencari suaka itu masing-masing dibayar US$ 5.000 oleh petugas imigrasi Australia untuk kembali ke perairan Indonesia.
Tuduhan tersebut ditujukan kepada polisi setempat di Pulau Rote di kawasan timur Indonesia, tempat kapal pembawa 65 pencari suaka datang ke daratan Indonesia pada akhir Mei setelah dicegat Angkatan Laut Australia.Rugikan RI, Australia 4 Tahun Suap Penyelundup Manusia Laporan baru mengungkap praktik suap pada sindikat penyelundup manusia telah dilakukan Australia sejak empat tahun lalu. (Ilustrasi)
Praktik suap untuk para penyelundup manusia agar membawa para pencari suaka ke wilayah Indonesia sudah dilakukan Australia dalam empat tahun terakhir. Praktik yang merugikan Indonesia itu sudah berlangsung sejak era pemerintahan Partai Buruh.
Media Australia mengutip sejumlah sumber menyatakan bahwa pembayaran atau suap oleh pihak Australia telah menjadi bagian dari taktik pemerintah negara itu secara berturut-turut.
Praktik suap pada para penyelundup manusia itu jadi polemik yang memanas hubungan Indonesia dan Austrlia setelah pada pekan lalu muncul laporan bahwa para pejabat Australia menyuap enam kru kapal penyelundup manusia masing-masing sebesar US$5 ribu. Mereka disuap agar membawa para 65 pencari suaka atau “manusia perahu” asal Bangladesh, Myanmar dan Sri Lanka ke wilayah Indonesia.
Salah satu mantan menteri imigrasi dari Partai Buruh mengakui praktik itu. Fairfax Media pada Selasa (16/6/2015), melaporkan para pejabat badan intelijen ikut melakukan praktik suap terhadap sindikat penyelundup manusia sejak 2010, yakni pada era pemerintahan Perdana Meneri Kevin Rudd.
Suap itu salah satunya untuk memperoleh informasi tentang operasi sindikat penyelundup manusi serta untuk mencegah mereka meluncurkan kapal pembawa “manusia perahu” ke wilayah Australia.
Juru bicara pihak imigrasi dari Partai Buruh, Richard Marles, menyebut kebocoran informasi itu telah melanggar aturan. ”Ini melanggar hukum bagi pemerintah atau oposisi karena membocorkan informasi keamanan atau informasi,” katanya.
Dia mengaku bingung dengan sikap Menteri Luar Negeri Australia, Julie Bishop dan Menteri Imigrasi Peter Dutton yang menolak laporan praktik suap yang dilakukan pejabat Australia. Penolakan dua pejabat tinggi Australia itu mengikuti sikap Perdana Menteri Tony Abbott yang menolak merespons tuntutan Indonesia untuk menjelaskan praktik suap itu.
”Minggu lalu tuduhan muncul bahwa para penyelundup dibayar oleh para pejabat Australia. Hal ini dengan tegas ditolak oleh Menteri Imigrasi dan Menteri Luar Negeri,” katanya. ”Penolakan ini telah berselisih dengan komentar dari Perdana Menteri (Tony Abbott),” katanya lagi.
”Kekacauan ini berisiko menciptakan faktor baru yang berbahaya,” imbuh dia. Marles melanjutkan, bahwa pihak pemerintah era Partai Buruh tidak akan membayar para penyelundup manusia.
Kemarin, Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno Marsudi, kaget dengan jawaban Menlu Bishop yang seolah mengalihkan isu. Menlu Retno semula hanya minta konfirmasi Australia soal laporan suap pada para penyelundup manusia. Tapi, Bishop justru mengalihkan isu dengan menyalahkan Indonesia yang dia anggap tidak bisa menjaga wilayah perbatasan dari para sindikat penyelundup manusia.
Wakil Presiden Indonesia, Jusuf Kalla, juga minta laporan suap itu dikonfirmasi untuk mengetahui fakta yang sebenarnya. Menurut Kalla, jika laporan suap itu benar, maka Australia sudah bersikap tidak baik untuk menjaga hubungan antar-negara.Abbott Tuduh Media "Kompori" Perselisihan RI dan Australia PM Australia Tony Abbott menyalahkan media yang ia anggap mempromosikan perselisihan Australia dan Indonesia. (Reuters)
Perdana Menteri (PM) Australia Tony Abbott, tetap menolak mengkonfirmasi laporan suap para pejabat Australia terhadap sindikat penyelundup manusia. Bahkan saat merespons pernyataan, Wakil Presiden Indonesia, Jusuf Kalla (JK), Abbott justru menuduh media telah “mengompori” perselisihan Australia dan Indonesia.
Abbott mengklaim tindakan Australia mencegat para pencari suaka atau manusia perahu telah meningkatkan hubungan negaranya dengan Indonesia. “Kami memiliki hubungan yang baik dengan Indonesia, itu adalah persahabatan yang kuat, itu semakin kuat sepanjang waktu,” klaim Abbott, Selasa (16/6/2015).
Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno Marsudi telah menuntut jawaban atas laporan suap yang dilakukan para pejabat Australia kepada sindikat penyelundup manusia dengan tujuan agar membawa para “manusia perahu” ke wilayah Indonesia.
Tapi, Menlu Australia, Julie Bishop, bukannya menjawab tuntutan itu melainkan menyalahkan Indonesia yang ia anggap tidak bisa menjaga wilayah perbatasannya. Retno pun menilai Australia sudah mengalihkan isu.
Sedangkan Wakil Presiden Indonesia, Jusuf Kalla, menyatakan jika laporan suap itu benar, maka tindakan Australia sudah salah dan kurang baik dalam menjaga hubungan bilateral dengan Indonesia.
Ketika ditanya tentang komentar JK, Abbott menyalahkan banyak media yang ia sebut lebih terfokus untuk "mempromosikan perselisihan".
”Hal yang hebat terkait penghentian kapal (pencari suaka) adalah bahwa hal itu telah sangat banyak meningkatkan hubungan kita dengan Indonesia,” ujar Abbott.
”Kadang-kadang, orang akan mengatakan hal-hal, yang wartawan ingin menikmati dan membayangkannya. Ada banyak media yang lebih tertarik dalam mempromosikan perselisihan ketimbang merayakan semua hal yang konstruktif yang terjadi antara kedua negara kita,” katanya, seperti dikutip smh.com.au. (mas) Soal Suap, Indonesia Bisa Seret Australia ke Ranah Hukum Profesor hukum dari Australian National University, Donald Rothwell mengatakan soal isu suap Indonesia bisa menyeret Australia ke ranah hukum. (Vimeo)
Profesor hukum dari Australian National University, Donald Rothwell mengatakan, Indonesia bisa memberikan tekanan ekstra kepada Australia soal suap kepada penyelundup manusia. Tekanan tersebut, lanjut Rothwell, bisa dilakukan dengan cara membawa Australia ke meja hijau.
Menurut Rothwell, Indonesia bisa menggunakan Protokol Melawan Penyelundupan Migran Melalui Darat, Laut, dan Udara yang diberlakukan PBB pada tahun 2000 untuk menyeret Australia ke ranah hukum.
Namun, bila melihat kebijakan yang diambil Indonesia dalam beberapa tahun terakhir, Rothwell sangsi Indonesia akan mengambil langkah tersebut untuk memberikan tekanan kepada pemerintah Australia.
“Sampai saat ini, Indonesia tidak memperlihatkan kecenderungan untuk mengambil jalur hukum, khususnya dalam konteks pelanggaran kedaulatan Indonesia,” ucap Rothwell, sepeti dilansir BBC pada Selasa (16/6/2015).
Indonesia sendiri sejatinya terus menuntut Ausralia untuk memberikan penjelasan mengenai aksi suap yang dilakukan otoritas Negeri Kanguru itu. Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi juga sudah menyampaikan pertanyaan secara resmi kepada pemerintah Australia soal ini.
Sementara itu, Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Timur (NTT) telah mengungkap bukti-bukti suap yang dilakukan otoritas Australia pada sindikat penyelundup manusia. Bukti tersebut berupa puluhan lembar uang yang disita dari kapten serta kru kapal yang membawa puluhan pengungsi asal Bangladesh dan beberapa negara lainnya. (esn)
Ulah Pemerintah Australia yang membiarkan aksi suap kepada kru kapal pembawa orang-orang pencari suaka bisa berakibat kepada rusaknya upaya normalisasi hubungan dengan Indonesia.
Proses normalisasi hubungan Indonesia-Australia masih belum tuntas pasca peristiwa penyadapan tahun 2013, namun saat ini Australia kembali mengulangi kesalahan yang sangat merugikan Indonesia.
Wakil Ketua Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Tantowi Yahya mengatakan hubungan Indonesia dan Australia masih belum normal, lalu harus ditambah dengan kasus dugaan suap oleh otoritas Australia agar kapal yang membawa 65 pencari suaka berputar ke Indonesia.
“Ada enam langkah yang harus dilakukan Pemerintah Australia dalam rangka menormalisasikan hubungan diplomatik mereka dengan kita. Saya rasa dari enam tersebut baru tiga yang sudah mereka lakukan. Tiba-tiba dalam proses normalisasi itu ada tindakan dari mereka seperti ini,” kata Tantowi usai diskusi terkait pengungsi Rohingya yang diadakan oleh Habibie Center di Jakarta, Selasa (16/6).
Tantowi mengatakan rusaknya proses normalisasi bisa berakibat sejumlah kerja sama bisa jadi tidak berlanjut. “Jadi mereka yang rugi, bukan kita,” katanya.
Dia menilai Australia lari dari tanggung jawab karena mengarahkan kapal pencari suaka ke Indonesia. Oleh karena itu, menurutnya, pemberian nota diplomatik oleh menteri luar negeri merupakan tindakan yang tepat dan cukup serius.
“Kalau kemudian dalam tenggat waktu tertentu tidak ada respons dari Pemerintah Australia maka harus disiapkan plan kedua yang clear (jelas) dan precise (tepat),” kata Tantowi.
Pada akhir tahun 2013 terjadi insiden penyadapan telepon oleh Badan Intelijen Australia kepada telepon seluler mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, istrinya, dan sejumlah menteri tahun 2009.
Menlu Australia ketika itu, Julie Bishop, sudah menyatakan penyesalan mendalam kepada Indonesia, namun SBY menyaratkan enam hal untuk proses normalisasi hubungan termasuk pembentukan kode etik dan protokol yang mengatur kesepakatan hubungan RI-Australia.Etika Australia terhadap Imigran Tidak Tepat Panglima TNI Jenderal Moeldoko menjawab pertanyaan wartawan (Antara/Akbar Nugroho Gumay)
Panglima TNI Jenderal TNI Moeldoko, menilai, sikap Australia terhadap para pencari suaka atau imigran secara etika tidak tepat.
"Ini konteksnya masih dalam konteks politik tetapi dari sisi etika itu tidak pas perbuatan seperti itu. Itu yang saya pandang. Dalam konteks politik kedua negara saya tidak mau komentar," kata panglima usai melakukan pembaretan puluhan pemimpin redaksi (pemred) media nasional di Mabes TNI Cilangkap, Jakarta Timur, Selasa (16/6).
Panglima mengakui, bila melihat panjang batas garis pantai Indonesia yang mencapai 81.000 kilometer dengan kekuatan angkatan bersenjata, dalam hal ini Angkatan Laut (AL) masih belum memadai. Terutama dalam hal pengawasan menyangkut batas keamanan dan teritorial.
"Sehingga ada beberapa sektor yang kadang-kadang kita kecolongan. Ini mesti harus menjadi atensi kita semuanya ke depan dengan serius. Karena titik beratnya dalam konteks itu adalah bukan hanya kemampuan kapal dan kemampuan radar yang kita miliki," ujar panglima.
Sebelumnya, Menteri Luar Negeri, Retno LP Marsudi menuntut jawaban dari Canberra terkait pernyataan beberapa pejabat Australia, yang mengaku membayar ribuan dolar untuk mendorong perahu pencari suaka kembali ke Indonesia.
Retno Marsudi, menyatakan, hal tersebut sesudah Perdana Menteri Australia Tony Abbott menolak menyangkal tuduhan tersebut.
Menlu Retno Marsudi, mengatakan, Indonesia benar-benar prihatin jika betul bahwa kapten dan lima awak kapal pembawa pencari suaka itu masing-masing dibayar US$ 5.000 oleh petugas imigrasi Australia untuk kembali ke perairan Indonesia.
Tuduhan tersebut ditujukan kepada polisi setempat di Pulau Rote di kawasan timur Indonesia, tempat kapal pembawa 65 pencari suaka datang ke daratan Indonesia pada akhir Mei setelah dicegat Angkatan Laut Australia.Rugikan RI, Australia 4 Tahun Suap Penyelundup Manusia Laporan baru mengungkap praktik suap pada sindikat penyelundup manusia telah dilakukan Australia sejak empat tahun lalu. (Ilustrasi)
Praktik suap untuk para penyelundup manusia agar membawa para pencari suaka ke wilayah Indonesia sudah dilakukan Australia dalam empat tahun terakhir. Praktik yang merugikan Indonesia itu sudah berlangsung sejak era pemerintahan Partai Buruh.
Media Australia mengutip sejumlah sumber menyatakan bahwa pembayaran atau suap oleh pihak Australia telah menjadi bagian dari taktik pemerintah negara itu secara berturut-turut.
Praktik suap pada para penyelundup manusia itu jadi polemik yang memanas hubungan Indonesia dan Austrlia setelah pada pekan lalu muncul laporan bahwa para pejabat Australia menyuap enam kru kapal penyelundup manusia masing-masing sebesar US$5 ribu. Mereka disuap agar membawa para 65 pencari suaka atau “manusia perahu” asal Bangladesh, Myanmar dan Sri Lanka ke wilayah Indonesia.
Salah satu mantan menteri imigrasi dari Partai Buruh mengakui praktik itu. Fairfax Media pada Selasa (16/6/2015), melaporkan para pejabat badan intelijen ikut melakukan praktik suap terhadap sindikat penyelundup manusia sejak 2010, yakni pada era pemerintahan Perdana Meneri Kevin Rudd.
Suap itu salah satunya untuk memperoleh informasi tentang operasi sindikat penyelundup manusi serta untuk mencegah mereka meluncurkan kapal pembawa “manusia perahu” ke wilayah Australia.
Juru bicara pihak imigrasi dari Partai Buruh, Richard Marles, menyebut kebocoran informasi itu telah melanggar aturan. ”Ini melanggar hukum bagi pemerintah atau oposisi karena membocorkan informasi keamanan atau informasi,” katanya.
Dia mengaku bingung dengan sikap Menteri Luar Negeri Australia, Julie Bishop dan Menteri Imigrasi Peter Dutton yang menolak laporan praktik suap yang dilakukan pejabat Australia. Penolakan dua pejabat tinggi Australia itu mengikuti sikap Perdana Menteri Tony Abbott yang menolak merespons tuntutan Indonesia untuk menjelaskan praktik suap itu.
”Minggu lalu tuduhan muncul bahwa para penyelundup dibayar oleh para pejabat Australia. Hal ini dengan tegas ditolak oleh Menteri Imigrasi dan Menteri Luar Negeri,” katanya. ”Penolakan ini telah berselisih dengan komentar dari Perdana Menteri (Tony Abbott),” katanya lagi.
”Kekacauan ini berisiko menciptakan faktor baru yang berbahaya,” imbuh dia. Marles melanjutkan, bahwa pihak pemerintah era Partai Buruh tidak akan membayar para penyelundup manusia.
Kemarin, Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno Marsudi, kaget dengan jawaban Menlu Bishop yang seolah mengalihkan isu. Menlu Retno semula hanya minta konfirmasi Australia soal laporan suap pada para penyelundup manusia. Tapi, Bishop justru mengalihkan isu dengan menyalahkan Indonesia yang dia anggap tidak bisa menjaga wilayah perbatasan dari para sindikat penyelundup manusia.
Wakil Presiden Indonesia, Jusuf Kalla, juga minta laporan suap itu dikonfirmasi untuk mengetahui fakta yang sebenarnya. Menurut Kalla, jika laporan suap itu benar, maka Australia sudah bersikap tidak baik untuk menjaga hubungan antar-negara.Abbott Tuduh Media "Kompori" Perselisihan RI dan Australia PM Australia Tony Abbott menyalahkan media yang ia anggap mempromosikan perselisihan Australia dan Indonesia. (Reuters)
Perdana Menteri (PM) Australia Tony Abbott, tetap menolak mengkonfirmasi laporan suap para pejabat Australia terhadap sindikat penyelundup manusia. Bahkan saat merespons pernyataan, Wakil Presiden Indonesia, Jusuf Kalla (JK), Abbott justru menuduh media telah “mengompori” perselisihan Australia dan Indonesia.
Abbott mengklaim tindakan Australia mencegat para pencari suaka atau manusia perahu telah meningkatkan hubungan negaranya dengan Indonesia. “Kami memiliki hubungan yang baik dengan Indonesia, itu adalah persahabatan yang kuat, itu semakin kuat sepanjang waktu,” klaim Abbott, Selasa (16/6/2015).
Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno Marsudi telah menuntut jawaban atas laporan suap yang dilakukan para pejabat Australia kepada sindikat penyelundup manusia dengan tujuan agar membawa para “manusia perahu” ke wilayah Indonesia.
Tapi, Menlu Australia, Julie Bishop, bukannya menjawab tuntutan itu melainkan menyalahkan Indonesia yang ia anggap tidak bisa menjaga wilayah perbatasannya. Retno pun menilai Australia sudah mengalihkan isu.
Sedangkan Wakil Presiden Indonesia, Jusuf Kalla, menyatakan jika laporan suap itu benar, maka tindakan Australia sudah salah dan kurang baik dalam menjaga hubungan bilateral dengan Indonesia.
Ketika ditanya tentang komentar JK, Abbott menyalahkan banyak media yang ia sebut lebih terfokus untuk "mempromosikan perselisihan".
”Hal yang hebat terkait penghentian kapal (pencari suaka) adalah bahwa hal itu telah sangat banyak meningkatkan hubungan kita dengan Indonesia,” ujar Abbott.
”Kadang-kadang, orang akan mengatakan hal-hal, yang wartawan ingin menikmati dan membayangkannya. Ada banyak media yang lebih tertarik dalam mempromosikan perselisihan ketimbang merayakan semua hal yang konstruktif yang terjadi antara kedua negara kita,” katanya, seperti dikutip smh.com.au. (mas) Soal Suap, Indonesia Bisa Seret Australia ke Ranah Hukum Profesor hukum dari Australian National University, Donald Rothwell mengatakan soal isu suap Indonesia bisa menyeret Australia ke ranah hukum. (Vimeo)
Profesor hukum dari Australian National University, Donald Rothwell mengatakan, Indonesia bisa memberikan tekanan ekstra kepada Australia soal suap kepada penyelundup manusia. Tekanan tersebut, lanjut Rothwell, bisa dilakukan dengan cara membawa Australia ke meja hijau.
Menurut Rothwell, Indonesia bisa menggunakan Protokol Melawan Penyelundupan Migran Melalui Darat, Laut, dan Udara yang diberlakukan PBB pada tahun 2000 untuk menyeret Australia ke ranah hukum.
Namun, bila melihat kebijakan yang diambil Indonesia dalam beberapa tahun terakhir, Rothwell sangsi Indonesia akan mengambil langkah tersebut untuk memberikan tekanan kepada pemerintah Australia.
“Sampai saat ini, Indonesia tidak memperlihatkan kecenderungan untuk mengambil jalur hukum, khususnya dalam konteks pelanggaran kedaulatan Indonesia,” ucap Rothwell, sepeti dilansir BBC pada Selasa (16/6/2015).
Indonesia sendiri sejatinya terus menuntut Ausralia untuk memberikan penjelasan mengenai aksi suap yang dilakukan otoritas Negeri Kanguru itu. Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi juga sudah menyampaikan pertanyaan secara resmi kepada pemerintah Australia soal ini.
Sementara itu, Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Timur (NTT) telah mengungkap bukti-bukti suap yang dilakukan otoritas Australia pada sindikat penyelundup manusia. Bukti tersebut berupa puluhan lembar uang yang disita dari kapten serta kru kapal yang membawa puluhan pengungsi asal Bangladesh dan beberapa negara lainnya. (esn)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.