Koran Sindo/Bobby Firmansyah ; Foto-Foto: Dok koran sindo, Antara
Kajian mengenai industri strategis kini kembali mengemuka seiring dengan definisi lama yang menyebutkan bahwa industri strategis hanya mencakup sejumlah industri yang memiliki kandungan teknologi tinggi, seperti sektor persenjataan, kapal, bahan peledak, pesawat terbang, dan elektronika.
Padahal di era kekinian, di mana nilai pertumbuhan ekonomi dapat dipengaruhi berbagai sektor industri, maka redefinisi industri strategis mutlak diperlukan.
Pasalnya, industri kreatif pun saat ini bisa berdekatan dengan teknologi, cepat berinovasi, dan memberikan nilai tambah ekonomi yang kuat bagi sebuah negara. Begitu pun dengan domain industri yang berbasis pada kekayaan hayati dan geologis yang bersumber dari daratan dan lautan. Namun, seraya tidak ingin terjebak pada pemakaian istilah, ada baiknya jika publik mengamati perkembangan sektor teknologi kedirgantaraan nasional.
Perhatian ini menjadi satu isu menarik, terlebih dengan munculnya Road Map Lapan (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional/Lapan) yang ingin merealisasikan visinya menjadi pusat unggulan di bidang teknologi roket yang maju dan mandiri. Lembaga non kementerian ini juga berupaya ingin menjadi pusat rujukan teknologi penerbangan. Karena itu, tak berlebihan bila Lapan punya kemauan kuat supaya bisa mengirimkan roket sendiri ke antariksa pada 2039.
Target ini bukan sebuah khayalan semata jika pemerintah punya kehendak politik untuk terus mendukung, baik secara pembiayaan maupun pemberdayaan sumber daya manusia yang berkualitas di bidang ini. Dalam beberapa tahun ini, melalui Lapan sebagai salah satu industri strategis nasional, teknologi kedirgantaraan terbukti mengalami perkembangan signifikan.
Setelah penantian selama 10 tahun, akhirnya Lapan lewat Pusat Teknologi Penerbangan mengembangkan pesawat perintis N-219. “PTDI menjual ide N-219 kepada Lapan dan akhirnya pemerintah memberikan dana,” kata Kepala Lapan Thomas Djamaluddin saat peresmian First Cutting Detail Part Manufacturing N-219, Selasa, beberapa waktu lalu di Hanggar Produksi KP II (Area Mesin Quaser 3 Axis) PT Dirgantara Indonesia (PTDI), Bandung.
Demi pengembangan pesawat N-219, Lapan mengucurkan dana senilai Rp 390 miliar. Tahun ini ada dana besar dari Lapan sekitar Rp 300 miliar, dan tahun 2015 akan ada dana Rp 90 miliar lebih. Dana tersebut akan menghasilkan dua pesawat N-219. Diprediksi pembangunan pesawat ini akan selesai tahun depan, tepat pada Hari Kebangkitan Teknologi Nasional (Hakteknas) 10 Agustus 2015.
“Ada empat bidang utama Lapan, yaitu pengindraan jauh, teknologi dirgantara, sains antariksa, dan kebijakan dirgantara. Untuk mendukung kerja ini, Lapan butuh dorongan maksimal dari pemerintah agar industri strategis ini bisa kembali bangkit dan terus melakukan inovasi,” tutur Thomas.
Prestasi Lapan dalam beberapa tahun ini bukan hanya melakukan pengembangan pesawat N-219, melainkan juga mendorong disahkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2013 tentang Keantariksaan. Dengan UU ini diharapkan bisa menjadi landasan hukum bagi setiap langkah mengembangkan dan mengoperasionalkan keantariksaan dan peningkatan penguasaan teknologi Indonesia.
Kepala Bagian Hubungan Masyarakat Lapan Jasyanto mengatakan, sebagai lembaga strategis yang melakukan pengkajian dan penelitian teknologi kedirgantaraan dan keantariksaan, Lapan membutuhkan dana yang lebih besar agar kerja-kerja penelitian bisa lebih maksimal. Selama ini terus terjadi pemotongan anggaran untuk Lapan, padahal sektor ini butuh dana yang besar untuk pengembangan teknologi kedirgantaraan secara berkelanjutan.
“Tahun-tahun kemarin anggaran yang diterima Lapan berkisar Rp 600 miliar - 700 miliar untuk penelitian, dana ini dirasa kurang terlebih kita punya target yang besar menjadi pusat rujukan teknologi kedirgantaraan,” jelas Jasyanto kepada KORAN SINDO kemarin. Tahun lalu Lapan juga mengembangkan pesawat baru, Lapan Surveillance Aircraft (LSA).
Pesawat dua awak ini memiliki fungsi untuk memotret wilayah Indonesia yang relatif besar. Pengembangan pesawat pengamatan ini sekaligus membuktikan penguasaan teknologi pesawat terbang di Indonesia. LSA ditargetkan beroperasi secara penuh pada 2015, sementara akhir 2013 lalu penerbangan perdana secara resmi telah dilakukan Lapan.
Mengenai pengembangan pesawat pengintai ini, pengamat militer dan intelijen Susaningtyas Nefo Handayani Kertopati menilai, meski keberhasilan Lapan patut diapresiasi dan dibanggakan, kondisi pesawat tersebut belum secara detail terjelaskan apa dan bagaimana kemampuan pesawat tersebut.
“Apakah peralatan yang dibawa sudah dapat dipenuhi untuk disebut sebagai pesawat pengintai. Kita mesti kembalikan dulu, apa yang kita harapkan dari misi pengintaian tersebut. Apakah alat yang dibawa punya kemampuan untuk data kolektor, kemampuan terbangnya bagaimana, dan sejauh mana supaya tidak terdeteksi lawan,” kritik perempuan yang biasa disapa Nuning tersebut kepada KORAN SINDO kemarin.
Meski begitu, upaya yang telah dilakukan Lapan selama ini patut diapresiasi. Terlebih lembaga ini mampu menunjukkan fungsinya sebagai salah satu industri strategis yang mampu menciptakan peralatan berteknologi canggih. Hal ini sekaligus membuktikan kemampuan sumber daya manusia Indonesia di bidang teknologi tak kalah dengan sumber daya manusia negara lain.(ars)
★ sindonews
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.