Penulis : Robert Mangindaan*
Kenali dirimu, kenali musuhmu, maka engkau tidak akan celaka. Diktum yang terkenal itu sudah dipesan oleh Sun Tzu sejak empat abad sebelum Masehi, ditulis dalam buku Seni Perang, dan (nampaknya) masih perlu diperhatikan sampai sekarang ini.
Pesan tersebut perlu dipahami dengan baik oleh bangsa Indonesia yang ‘ingin’ dan bertekad untuk dikenal sebagai NKRI. Siapakah yang dimaksudkan dengan bangsa Indonesia (core values), ada dimana mereka (geography), dan mereka punya apa (natural resources)?
Belakangan ini, banyak pihak sering mempertanyakan kinerja lembaga intelijen, yang terkesan tidak optimal, tidak maksimal, atau tidak memenuhi harapan banyak pihak. Memang benar bahwa tolak ukur untuk menakar kinerja jajaran intelijen, akan menjadi bahan perdebatan yang tidak kunjung selesai. Hal ini disebabkan tiga hal, yaitu (i) latar belakang kepentingan yang berbeda, (ii) pengetahuan tentang intelijen yang relatif terbatas, dan (iii) memahami intelijen dari satu school of thought yang spesifik, misalnya penganut paham Clausewitz.
Mengenai poin yang ketiga, penganutnya cukup banyak di Nusantara ini dan mereka paham betul mengenai pandangan Carl von Clausewitz tentang intelijen, yang secara tegas mengemukakan dalam bukunya On War bahwa : many intelligence reports in war are contradictory; even more are false, and most are uncertain. In short, most intelligence are false.
Kontruksi Intelijen Indonesia
Bagaimana gambaran pengorganisasian intelijen di Indonesia? Pada tataran nasional, ada Badan Intelijen Negara (BIN) yang dirancang sebagai ‘penjuru’ dalam urusan intelijen nasional. Pada tataran stratejik, misalnya di KemHukham, KemPerdagangan, KemKeu, telah mengembangkan divisi intelijen, sedangkan di Kemhan, konon disana belum dilembagakan fungsi intelijen pertahanan nasional.
Pada jajaran intelijen militer memang sudah ada Badan Intelijen Strategis, yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan operasional militer. Tetapi di jajaran angkatan (darat-laut-udara) tidak ada divisi intelijen, melainkan divisi pengamanan yang secara teoritik lingkupnya adalah counter intelligence (pam-pers, pam-dok, pam-mat, dan seterusnya).
Konstruksi tersebut dirancang pada era Orde Baru yang menggariskan kegiatan intelijen hanya ‘satu pintu’ dan cenderung berat pada ‘negative intelligence’. Salah satu indikatornya adalah penggarisan yang menetapkan bahwa penyelenggaraan intelijen maritim atas perintah Menhankam/Pangab. Sepanjang pengetahuan penulis, perintah tersebut belum dicabut sampai sekarang.
Padahal setiap angkatan sudah punya lembaga pendidikan intelijen, yang mencetak kapabilitas untuk mengindra ancaman kematraan mulai dari skala low probability sampai pada high impact. Di sana sudah diajarkan bahwa fungsi hakiki intelijen yaitu to avoid surprise, yang harus dijabarkan dalam berbagai aras (stratejik, taktis operasional) dan lingkup kebutuhan (politik, ekonomi, sosial, budaya dan pertahanan).
Secara sederhana, intelijen dituntut untuk menyediakan informasi, data, pengetahuan, yang ‘sempurna’ untuk memenuhi kebutuhan perencanaan, dan pengambilan keputusan. Secara sederhana pula, dapat ditegaskan bahwa masukan intelijen yang baik, akan menghasilkan perencanaan yang baik, dan selanjutnya pengambilan keputusan yang tepat.
Sebaliknya, tanpa masukan intelijen yang baik, tidaklah mungkin membuat suatu rencana (strategic planning), atau strategi raya (grand strategy), atau strategi keamanan nasional (national security strategy), yang memenuhi kriteria feasible, acceptable, suitable. Semua arsitek perencanaan stratejik sangat paham apa arti knowledge is power.
Globalisasi dan Strategi NKRI
Ada berbagai batasan mengenai globalisasi, tetapi tulisan ini mengacu pada pandangan Michael D. Intriligator yang mengemukakan: Globalization is a powerful real aspect of the new world system, and it represents one of the most influential forces in determining the future course of the planet. It has manifold dimensions: economic, political, security, environmental, health, social, cultural and others.
Pandangan tersebut mengemukakan bahwa, paling tidak, ada tujuh aspek terkait dengan globalisasi, berarti ada tujuh spektrum informasi yang sangat diperlukan NKRI, agar dapat memetik manfaat dari globalisasi. Kebutuhan tersebut bersifat mutlak, artinya tanpa informasi yang memadai dan akurat, NKRI pasti akan menghadapi sisi negatif dari globalisasi.
Pengetahuan tersebut sudah diingatkan oleh Joseph Stiglitz bahwa: Globalization today is not working for many of the world poor. It is not working for much of the environment. It is not working for the stability of the global economy.
Suatu realita yang perlu disadari oleh semua pihak, bahwa Indonesia tidak sendirian di muka bumi ini, tetapi justru berada pada posisi stratejik dan tidak mungkin menghindari pertemuan dengan kepentingan-kepentingan (baca: strategi raya) dari pihak lain.
Situasi tersebut sudah mengisyaratkan bahwa ada kebutuhan yang sangat mendasar, yaitu merumuskan strategi nasional. Mengacu pada pemahaman yang sederhana, seperti diajarkan oleh Colonel (Ret.) Arthur Lykke kepada seluruh generasi lulusan US Army War College bahwa, strategi terdiri dari tiga komponen yaitu sasaran (objectives), cara atau konsep (ways), dan sarana atau sumber daya (means).
Penetapan ketiga komponen tersebut, membutuhkan sejumlah informasi terkait, yang harus akurat dan aktual, artinya tidaklah mungkin merumuskan strategi yang tepat, terarah dan terukur, tanpa dukungan intelijen.
Strategi pembangunan Nasional NKRI mengacu pada konstitusi yang menggariskan bahwa “melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia”.
Bukanlah perkara yang mudah bagi NKRI untuk mencapai strategic objectives di atas, pada era globalisasi yang berkembang bersamaan dengan era informasi, dan dikendalikan oleh negara industri dan atau negara maju.
Mereka menguasai teknologi maju, juga teknologi informasi yang sangat andal, punya modal yang kuat didukung pula oleh sistem yang robust (IMF, World Bank, WTO), memampukan mereka mengendalikan tujuh aspek globalisasi seperti yang dikemukakan oleh Michael D. Intriligator (economic, political, security, environmental, health, social, cultural).
Peta Kebutuhan Intelijen Kontemporer
Pengalaman pribadi di era awal 1980-an yang ingin diungkapkan disini ialah (banyak) pejabat dalam kapasitas pembuat keputusan sering mengabaikan peran intelijen, dan sikap mereka sepertinya penganut Clausewitz, yang mengatakan ‘met of zonder intel, kita jalan terus’. Begitu pula di dalam lingkungan pendidikan, sewaktu belajar membuat Rencana Operasi, sering sekali pihak pembimbing memutuskan lampiran intelijen untuk di pre-memory.
Pada aras stratejik di lingkungan birokrat, misalnya jajaran setingkat Kementrian, sepertinya kurang peduli dengan dukungan intelijen stratejik, hal ini barangkali disebabkan oleh beberapa hal, misalnya; (i) persepsi mereka yang memandang intelijen sebatas aras kegiatan spionase, (ii) trauma terhadap kinerja intelijen di masa lalu, (iii) sudah terbiasa membuat program tanpa intelijen stratejik, sebaliknya — menggunakan asumsi-asumsi yang dianggap dapat membantu, (iv) tidak adanya divisi intelijen yang tersedia untuk mendukung kegiatan perencanaan.
Pada masa perang dingin, informasi yang paling dibutuhkan adalah mengenai kekuatan ‘mesin’ perang (strategic capabilities), tentang perimbangan kekuatan militer, berikut logistik (arti luas) untuk mendukung persebaran (deployment) kekuatan operasional.
Tetapi pada era pasca perang dingin, pasca perang Libanon (2006), informasi yang paling dibutuhkan adalah mengenai kekuatan ‘mesin’ ekonomi, yang menyebarkan liberalisasi perdagangan, menggalakkan pasar bebas, dan membuka akses menerobos ke sentra kekayaan alam di berbagai penjuru dunia.
Kembali ke pertanyaan awal, siapakah NKRI? Sudah pasti akan muncul berbagai jawaban, namun dapat disederhanakan dalam rumusan berikut ini; (i) bangsa yang terdiri dari 1072 etnik (Anhar Gonggong-2011) kini berjumlah 240 juta jiwa, adalah potensi pasar yang sangat besar bagi produk negara maju, obyek globalisasi, (ii) mendiami gugusan pulau 17.449 yang terbentang kurang lebih 5000 mil timur barat, dan 1700 mil utara selatan, yang secara alamiah memiliki domestic life lines terpanjang di dunia, (iii) memiliki kekayaan alam di darat (30%) dan di laut (70%) yang belum terinventarisasi secara baik dan terpadu.
Strategi pembangunan nasional membutuhkan informasi yang aktual dan akurat mengenai ketiga poin tersebut, dan perlu pula dibagi dalam tiga blok, yaitu basic descriptive elements, current reportorial elements, dan predictive-evaluative elements. Secara teoritik, penyiapan program pembangunan nasional juga memerlukan dukungan intelijen yang meliput tujuh aspek globalisasi, yakni: ekonomi, politik, hankam, lingkungan, kesehatan, sosial dan budaya.
Akan tetapi ada beberapa indikator yang mengisyaratkan bahwa dukungan intelijen nasional yang tersedia, sepertinya kurang memadai. Tidak mengherankan apabila para arsitektur program tersebut, cenderung menggunakan asumsi, sintesa, dan sebagainya, untuk mengisi kekosongan informasi terkait.
Beberapa indikator tersebut, adalah; (i) arti pentingnya transportasi laut untuk mengisi domestic life lines yang terpanjang di dunia, kurang mendapatkan atensi yang proporsional, (ii) kondisi ekonomi daerah di 514 kabupaten/kota tidak sama ‘sehat’, dan tidak siap untuk menghadapi era pasar bebas, misalnya AFTA, agenda ASEAN Economic Community, Trans Pacific Partnership, (iii) legislasi untuk pengamanan kekayaan alam, tidak lagi mengakar pada pasal 33 UUD NRI 1945, sebaliknya membuka lebar akses bagi kekuatan ekonomi global.
Situasi di atas menyiratkan secara jelas bahwa NKRI masih miskin intelijen maritim, dan dampaknya adalah perumusan kebijakan dan strategi menjadi tidak jelas (blurred). Bukan suatu kebetulan apabila Information Sharing Center, Information Fusion Center di bidang keamanan maritim untuk ASEAN bermarkas di Singapore. Dalam bahasa teknis artinya supremasi informasi keamanan maritim ada di pihak Singapore, dan mereka pula yang mengendalikan keamanan maritim di seluruh perairan Asia Tenggara.
Peta kebutuhan informasi bagi NKRI, perlu menaruh perhatian yang proporsional terhadap ‘tumpah darah’ di laut yang luasnya duapertiga dari wilayah darat. Konon disana ada potensi ekonomi yang sangat besar dan mampu mengangkat NKRI menjadi lima besar dunia.
Langkah Ke Depan
Mewujudkan supremasi intelijen di era globalisasi untuk kejayaan NKRI, bukanlah perkara sesulit seperti membuat roket luar angkasa. Modal dasarnya adalah kemauan yang kuat, dan janganlah terlalu ‘Clausewitzian’. Kemauan yang kuat didasarkan pada kebutuhan yang bersifat mandatory, katakanlah – to be or not to be, oleh karena tidak ada pilihan lainnya.
Langkah awal adalah membenahi arsitektur jajaran intelijen, menata kedudukannya sesuai aras kepentingan, berada pada strata nasional, stratejik, operasional dan mungkin sampai pada aras teknis. Ada kebutuhan untuk membentuk embrio intelijen pada sektor stratejik yang dipandang perlu dukungan intelijen, misalnya pada sektor ekonomi, perdagangan, perbankan.
Secara khusus perlu juga meninjau peran intelijen militer, sebaiknya tidak membatasi pada dimensi pengamanan dan sektoral. Misalnya TNI-AL tidak membatasi pada naval intelligence, tetapi lebih luas yaitu maritime intelligence, yang mampu menyediakan informasi kepada semua pemangku kepentingan maritim nasional.
Langkah berikutnya adalah membangun kapasitas untuk memenuhi semua aras, dan sektor kepentingan, yang berkembang mengikuti perubahan lingkungan stratejik. Membangun kapasitas dalam pengertian untuk mengawaki wadah ‘baru’ intelijen, bukan karena ‘latah’ mencontoh pihak lain, tetapi karena ada enam faktor berpengaruh, yaitu;
★ (i) the changing nature of threats,
★ (ii) the changing nature of peace,
★ (iii) the changing nature of warfare,
★ (iv) the changing nature of information,
★ (v) the changing national security strategy,
★ (vi) the pace of technological change.
Penulis tidak menafikan bahwa ada kesulitan yang tersembunyi untuk membangun arsitektur intelijen yang ‘baru’, yaitu kultur ego-sektoral yang sangat kuat melekat pada semua jajaran intelijen yang eksis.
Bagi NKRI yang kekuatan ekonomi masih lemah dan belum mampu membangun arsitektur intelijen yang besar dan perkasa, pilihan yang tersedia adalah konsolidasi jajaran intelijen nasional, untuk ditransformasikan menjadi institusi yang modern, dan memilki kesadaran yang kuat mengenai lingkungan stratejik. Seperti pesan Sun Tzu : know yourself, and know the enemy, and you will not be peril.
*Penulis adalah Laksda TNI (Purn), alumni AAL-XIV tahun 1968, pengalaman penugasan diantaranya sebagai Naval Attache pada KBRI Manila, Filipina (1988-1991), BAIS ABRI (1991-1996) dan Penasehat Militer pada PTRI untuk PBB, New York (1996-1999). Kini menjabat sebagai Ketua FKPM dan Tenaga Profesional Tetap di Lemhanas, Jakarta.
Kenali dirimu, kenali musuhmu, maka engkau tidak akan celaka. Diktum yang terkenal itu sudah dipesan oleh Sun Tzu sejak empat abad sebelum Masehi, ditulis dalam buku Seni Perang, dan (nampaknya) masih perlu diperhatikan sampai sekarang ini.
Pesan tersebut perlu dipahami dengan baik oleh bangsa Indonesia yang ‘ingin’ dan bertekad untuk dikenal sebagai NKRI. Siapakah yang dimaksudkan dengan bangsa Indonesia (core values), ada dimana mereka (geography), dan mereka punya apa (natural resources)?
Belakangan ini, banyak pihak sering mempertanyakan kinerja lembaga intelijen, yang terkesan tidak optimal, tidak maksimal, atau tidak memenuhi harapan banyak pihak. Memang benar bahwa tolak ukur untuk menakar kinerja jajaran intelijen, akan menjadi bahan perdebatan yang tidak kunjung selesai. Hal ini disebabkan tiga hal, yaitu (i) latar belakang kepentingan yang berbeda, (ii) pengetahuan tentang intelijen yang relatif terbatas, dan (iii) memahami intelijen dari satu school of thought yang spesifik, misalnya penganut paham Clausewitz.
Mengenai poin yang ketiga, penganutnya cukup banyak di Nusantara ini dan mereka paham betul mengenai pandangan Carl von Clausewitz tentang intelijen, yang secara tegas mengemukakan dalam bukunya On War bahwa : many intelligence reports in war are contradictory; even more are false, and most are uncertain. In short, most intelligence are false.
Kontruksi Intelijen Indonesia
Bagaimana gambaran pengorganisasian intelijen di Indonesia? Pada tataran nasional, ada Badan Intelijen Negara (BIN) yang dirancang sebagai ‘penjuru’ dalam urusan intelijen nasional. Pada tataran stratejik, misalnya di KemHukham, KemPerdagangan, KemKeu, telah mengembangkan divisi intelijen, sedangkan di Kemhan, konon disana belum dilembagakan fungsi intelijen pertahanan nasional.
Pada jajaran intelijen militer memang sudah ada Badan Intelijen Strategis, yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan operasional militer. Tetapi di jajaran angkatan (darat-laut-udara) tidak ada divisi intelijen, melainkan divisi pengamanan yang secara teoritik lingkupnya adalah counter intelligence (pam-pers, pam-dok, pam-mat, dan seterusnya).
Konstruksi tersebut dirancang pada era Orde Baru yang menggariskan kegiatan intelijen hanya ‘satu pintu’ dan cenderung berat pada ‘negative intelligence’. Salah satu indikatornya adalah penggarisan yang menetapkan bahwa penyelenggaraan intelijen maritim atas perintah Menhankam/Pangab. Sepanjang pengetahuan penulis, perintah tersebut belum dicabut sampai sekarang.
Padahal setiap angkatan sudah punya lembaga pendidikan intelijen, yang mencetak kapabilitas untuk mengindra ancaman kematraan mulai dari skala low probability sampai pada high impact. Di sana sudah diajarkan bahwa fungsi hakiki intelijen yaitu to avoid surprise, yang harus dijabarkan dalam berbagai aras (stratejik, taktis operasional) dan lingkup kebutuhan (politik, ekonomi, sosial, budaya dan pertahanan).
Secara sederhana, intelijen dituntut untuk menyediakan informasi, data, pengetahuan, yang ‘sempurna’ untuk memenuhi kebutuhan perencanaan, dan pengambilan keputusan. Secara sederhana pula, dapat ditegaskan bahwa masukan intelijen yang baik, akan menghasilkan perencanaan yang baik, dan selanjutnya pengambilan keputusan yang tepat.
Sebaliknya, tanpa masukan intelijen yang baik, tidaklah mungkin membuat suatu rencana (strategic planning), atau strategi raya (grand strategy), atau strategi keamanan nasional (national security strategy), yang memenuhi kriteria feasible, acceptable, suitable. Semua arsitek perencanaan stratejik sangat paham apa arti knowledge is power.
Globalisasi dan Strategi NKRI
Ada berbagai batasan mengenai globalisasi, tetapi tulisan ini mengacu pada pandangan Michael D. Intriligator yang mengemukakan: Globalization is a powerful real aspect of the new world system, and it represents one of the most influential forces in determining the future course of the planet. It has manifold dimensions: economic, political, security, environmental, health, social, cultural and others.
Pandangan tersebut mengemukakan bahwa, paling tidak, ada tujuh aspek terkait dengan globalisasi, berarti ada tujuh spektrum informasi yang sangat diperlukan NKRI, agar dapat memetik manfaat dari globalisasi. Kebutuhan tersebut bersifat mutlak, artinya tanpa informasi yang memadai dan akurat, NKRI pasti akan menghadapi sisi negatif dari globalisasi.
Pengetahuan tersebut sudah diingatkan oleh Joseph Stiglitz bahwa: Globalization today is not working for many of the world poor. It is not working for much of the environment. It is not working for the stability of the global economy.
Suatu realita yang perlu disadari oleh semua pihak, bahwa Indonesia tidak sendirian di muka bumi ini, tetapi justru berada pada posisi stratejik dan tidak mungkin menghindari pertemuan dengan kepentingan-kepentingan (baca: strategi raya) dari pihak lain.
Situasi tersebut sudah mengisyaratkan bahwa ada kebutuhan yang sangat mendasar, yaitu merumuskan strategi nasional. Mengacu pada pemahaman yang sederhana, seperti diajarkan oleh Colonel (Ret.) Arthur Lykke kepada seluruh generasi lulusan US Army War College bahwa, strategi terdiri dari tiga komponen yaitu sasaran (objectives), cara atau konsep (ways), dan sarana atau sumber daya (means).
Penetapan ketiga komponen tersebut, membutuhkan sejumlah informasi terkait, yang harus akurat dan aktual, artinya tidaklah mungkin merumuskan strategi yang tepat, terarah dan terukur, tanpa dukungan intelijen.
Strategi pembangunan Nasional NKRI mengacu pada konstitusi yang menggariskan bahwa “melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia”.
Bukanlah perkara yang mudah bagi NKRI untuk mencapai strategic objectives di atas, pada era globalisasi yang berkembang bersamaan dengan era informasi, dan dikendalikan oleh negara industri dan atau negara maju.
Mereka menguasai teknologi maju, juga teknologi informasi yang sangat andal, punya modal yang kuat didukung pula oleh sistem yang robust (IMF, World Bank, WTO), memampukan mereka mengendalikan tujuh aspek globalisasi seperti yang dikemukakan oleh Michael D. Intriligator (economic, political, security, environmental, health, social, cultural).
Peta Kebutuhan Intelijen Kontemporer
Pengalaman pribadi di era awal 1980-an yang ingin diungkapkan disini ialah (banyak) pejabat dalam kapasitas pembuat keputusan sering mengabaikan peran intelijen, dan sikap mereka sepertinya penganut Clausewitz, yang mengatakan ‘met of zonder intel, kita jalan terus’. Begitu pula di dalam lingkungan pendidikan, sewaktu belajar membuat Rencana Operasi, sering sekali pihak pembimbing memutuskan lampiran intelijen untuk di pre-memory.
Pada aras stratejik di lingkungan birokrat, misalnya jajaran setingkat Kementrian, sepertinya kurang peduli dengan dukungan intelijen stratejik, hal ini barangkali disebabkan oleh beberapa hal, misalnya; (i) persepsi mereka yang memandang intelijen sebatas aras kegiatan spionase, (ii) trauma terhadap kinerja intelijen di masa lalu, (iii) sudah terbiasa membuat program tanpa intelijen stratejik, sebaliknya — menggunakan asumsi-asumsi yang dianggap dapat membantu, (iv) tidak adanya divisi intelijen yang tersedia untuk mendukung kegiatan perencanaan.
Pada masa perang dingin, informasi yang paling dibutuhkan adalah mengenai kekuatan ‘mesin’ perang (strategic capabilities), tentang perimbangan kekuatan militer, berikut logistik (arti luas) untuk mendukung persebaran (deployment) kekuatan operasional.
Tetapi pada era pasca perang dingin, pasca perang Libanon (2006), informasi yang paling dibutuhkan adalah mengenai kekuatan ‘mesin’ ekonomi, yang menyebarkan liberalisasi perdagangan, menggalakkan pasar bebas, dan membuka akses menerobos ke sentra kekayaan alam di berbagai penjuru dunia.
Kembali ke pertanyaan awal, siapakah NKRI? Sudah pasti akan muncul berbagai jawaban, namun dapat disederhanakan dalam rumusan berikut ini; (i) bangsa yang terdiri dari 1072 etnik (Anhar Gonggong-2011) kini berjumlah 240 juta jiwa, adalah potensi pasar yang sangat besar bagi produk negara maju, obyek globalisasi, (ii) mendiami gugusan pulau 17.449 yang terbentang kurang lebih 5000 mil timur barat, dan 1700 mil utara selatan, yang secara alamiah memiliki domestic life lines terpanjang di dunia, (iii) memiliki kekayaan alam di darat (30%) dan di laut (70%) yang belum terinventarisasi secara baik dan terpadu.
Strategi pembangunan nasional membutuhkan informasi yang aktual dan akurat mengenai ketiga poin tersebut, dan perlu pula dibagi dalam tiga blok, yaitu basic descriptive elements, current reportorial elements, dan predictive-evaluative elements. Secara teoritik, penyiapan program pembangunan nasional juga memerlukan dukungan intelijen yang meliput tujuh aspek globalisasi, yakni: ekonomi, politik, hankam, lingkungan, kesehatan, sosial dan budaya.
Akan tetapi ada beberapa indikator yang mengisyaratkan bahwa dukungan intelijen nasional yang tersedia, sepertinya kurang memadai. Tidak mengherankan apabila para arsitektur program tersebut, cenderung menggunakan asumsi, sintesa, dan sebagainya, untuk mengisi kekosongan informasi terkait.
Beberapa indikator tersebut, adalah; (i) arti pentingnya transportasi laut untuk mengisi domestic life lines yang terpanjang di dunia, kurang mendapatkan atensi yang proporsional, (ii) kondisi ekonomi daerah di 514 kabupaten/kota tidak sama ‘sehat’, dan tidak siap untuk menghadapi era pasar bebas, misalnya AFTA, agenda ASEAN Economic Community, Trans Pacific Partnership, (iii) legislasi untuk pengamanan kekayaan alam, tidak lagi mengakar pada pasal 33 UUD NRI 1945, sebaliknya membuka lebar akses bagi kekuatan ekonomi global.
Situasi di atas menyiratkan secara jelas bahwa NKRI masih miskin intelijen maritim, dan dampaknya adalah perumusan kebijakan dan strategi menjadi tidak jelas (blurred). Bukan suatu kebetulan apabila Information Sharing Center, Information Fusion Center di bidang keamanan maritim untuk ASEAN bermarkas di Singapore. Dalam bahasa teknis artinya supremasi informasi keamanan maritim ada di pihak Singapore, dan mereka pula yang mengendalikan keamanan maritim di seluruh perairan Asia Tenggara.
Peta kebutuhan informasi bagi NKRI, perlu menaruh perhatian yang proporsional terhadap ‘tumpah darah’ di laut yang luasnya duapertiga dari wilayah darat. Konon disana ada potensi ekonomi yang sangat besar dan mampu mengangkat NKRI menjadi lima besar dunia.
Langkah Ke Depan
Mewujudkan supremasi intelijen di era globalisasi untuk kejayaan NKRI, bukanlah perkara sesulit seperti membuat roket luar angkasa. Modal dasarnya adalah kemauan yang kuat, dan janganlah terlalu ‘Clausewitzian’. Kemauan yang kuat didasarkan pada kebutuhan yang bersifat mandatory, katakanlah – to be or not to be, oleh karena tidak ada pilihan lainnya.
Langkah awal adalah membenahi arsitektur jajaran intelijen, menata kedudukannya sesuai aras kepentingan, berada pada strata nasional, stratejik, operasional dan mungkin sampai pada aras teknis. Ada kebutuhan untuk membentuk embrio intelijen pada sektor stratejik yang dipandang perlu dukungan intelijen, misalnya pada sektor ekonomi, perdagangan, perbankan.
Secara khusus perlu juga meninjau peran intelijen militer, sebaiknya tidak membatasi pada dimensi pengamanan dan sektoral. Misalnya TNI-AL tidak membatasi pada naval intelligence, tetapi lebih luas yaitu maritime intelligence, yang mampu menyediakan informasi kepada semua pemangku kepentingan maritim nasional.
Langkah berikutnya adalah membangun kapasitas untuk memenuhi semua aras, dan sektor kepentingan, yang berkembang mengikuti perubahan lingkungan stratejik. Membangun kapasitas dalam pengertian untuk mengawaki wadah ‘baru’ intelijen, bukan karena ‘latah’ mencontoh pihak lain, tetapi karena ada enam faktor berpengaruh, yaitu;
★ (i) the changing nature of threats,
★ (ii) the changing nature of peace,
★ (iii) the changing nature of warfare,
★ (iv) the changing nature of information,
★ (v) the changing national security strategy,
★ (vi) the pace of technological change.
Penulis tidak menafikan bahwa ada kesulitan yang tersembunyi untuk membangun arsitektur intelijen yang ‘baru’, yaitu kultur ego-sektoral yang sangat kuat melekat pada semua jajaran intelijen yang eksis.
Bagi NKRI yang kekuatan ekonomi masih lemah dan belum mampu membangun arsitektur intelijen yang besar dan perkasa, pilihan yang tersedia adalah konsolidasi jajaran intelijen nasional, untuk ditransformasikan menjadi institusi yang modern, dan memilki kesadaran yang kuat mengenai lingkungan stratejik. Seperti pesan Sun Tzu : know yourself, and know the enemy, and you will not be peril.
*Penulis adalah Laksda TNI (Purn), alumni AAL-XIV tahun 1968, pengalaman penugasan diantaranya sebagai Naval Attache pada KBRI Manila, Filipina (1988-1991), BAIS ABRI (1991-1996) dan Penasehat Militer pada PTRI untuk PBB, New York (1996-1999). Kini menjabat sebagai Ketua FKPM dan Tenaga Profesional Tetap di Lemhanas, Jakarta.
★ JMOL
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.