Navigator pesawat Hercules A-1319 milik TNI AU, Kapten Nav Feisal Rachman, di hanggar Skadron 31 Udara Pangkalan TNI AU Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta, Jumat (2/12). CNN Indonesia/ Hanna Azarya Samosir
"Begitu Lettu Erwin (Tri Prabowo, Kopilot Hercules A-1319) mendapat foto jenazah, artinya pekerjaan tidak sia-sia. Ada kelegaan," ujar Feisal di atas mobil menuju markas Skadron Udara 31 di Pangkalan TNI AU Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta, Jumat (2/12).
Kapten Nav Feisal Rachman nama lengkap sekaligus pangkatnya. Ia adalah navigator Hercules A-1319, pesawat TNI AU yang pertama kali menemukan jasad dari penumpang AirAsia QZ8501.
Selasa, 30 Desember 2014, hari ketiga pencarian AirAsia QZ8501. Tim pencari di bawah komando Badan SAR Nasional (Basarnas) belum juga menemukan jejak keberadaan pesawat nahas yang mengangkut 155 penumpang itu.
Sekitar pukul 09.30 WIB hari itu, Panglima Komando Operasional TNI Angkatan Udara I Marsekal Muda A. Dwi Putranto yang berada di pesawat CN-295 dengan Kapten Ahmad Reza Pahlevi menyiarkan bahwa timnya melihat puing di Selat Karimata. Ia lantas memberitahukan koordinat dan memerintahkan Hercules A-1319 untuk langsung menuju lokasi.
"Kita kan perintahnya untuk mencari, dan harus ketemu. Akhirnya kami melakukan holding pattern area selama 30 menit," tutur Feisal mengisahkan proses pencarian hari itu.
Awalnya, mereka hanya melihat objek berwarna oranye. "Lalu, Lettu Erwin melihat sesosok benda yang diperkirakan mayat," ucap Feisal.
Setelah gambar jenazah tertangkap kamera, Feisal mengaku lega sekaligus bangga. Perasaan tersebut memang patut bernaung dalam hati Feisal. Pasalnya, dalam suatu misi Search and Rescue (SAR) yang dilaksanakan pesawat Hercules, navigator bertindak sebagai perencana yang dikomandani oleh kapten pilot.
"Kami sebagai mission planner, kami merencanakan sesuatu dalam hal misi. Kalau misi itu berjalan lancar tentunya bangga," ujar Feisal sembari sesekali menenggak kopi di tangannya.
Seorang navigator, menurut Feisal, akan mengolah rencana dari sejak titik koordinat lokasi ditentukan hingga dilaporkan ke kapten pilot untuk dieksekusi.
"Profil seperti apa kita yang merencanakan, penerbangan, mau ke mana, harus bagaimana, sampai keep area agar tetap di koordinat yang ditentukan," papar Feisal.
Ayah dari satu putra ini kemudian memberikan contoh dengan situasi yang dialami saat pencarian AirAsia QZ8501.
Tiga puluh menit berputar di udara tersebut bukan tanpa bahaya. Pesawat Hercules yang biasanya terbang di ketinggian 1.000 kaki, harus terbang rendah di ketinggian 500 kaki demi mendapatkan foto jasad yang mereka lihat.
"Ketinggian segitu susah membedakan warna langit dan laut, bisa jatuh. Tugas navigator untuk menjaga tetap di-track," papar perwira lulusan Akademi Angkatan Udara tahun 2006 ini.
Dengan tugas seberat itu, dibutuhkan seorang yang memang andal. Feisal sendiri berhasil lolos dari proses seleksi ketat. "Dari 155 hanya 10 yang terseleksi," ungkap pria kelahiran Samarinda, Kalimantan Timur, 30 tahun silam ini.
Dengan jam terbang mencapai 4.000-an jam, Feisal telah melakukan misi-misi SAR besar seperti gempa di Mentawai, banjir bandang di Ambon, sampai topan Haiyan di Filipina.
Kendati demikian, Feisal mengaku kesuksesan sebuah misi merupakan hasil kerja sama tim yang kuat. Pria berkulit sawo matang ini kemudian menjabarkan pembagian tugas dari masing-masing personel tim penyelamat.
"JRU (Juru Radio Udara) melaksanakan koordinasi dengan posko, sementara engineer terus mengecek engine pesawat. Load master harus menjamin keselamatan penumpang dan barang dalam pesawat," paparnya.
Di akhir perbincangan, Feisal mengaku bangga kepada Tim SAR Indonesia, baik Basarnas, TNI AD, TNI AL, TNI AU, Kepolisian RI karena dalam waktu hanya 3 hari sudah bisa menemukan bukti area lokasi jatuhnya pesawat AirAsia QZ8501.(obs)
"Begitu Lettu Erwin (Tri Prabowo, Kopilot Hercules A-1319) mendapat foto jenazah, artinya pekerjaan tidak sia-sia. Ada kelegaan," ujar Feisal di atas mobil menuju markas Skadron Udara 31 di Pangkalan TNI AU Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta, Jumat (2/12).
Kapten Nav Feisal Rachman nama lengkap sekaligus pangkatnya. Ia adalah navigator Hercules A-1319, pesawat TNI AU yang pertama kali menemukan jasad dari penumpang AirAsia QZ8501.
Selasa, 30 Desember 2014, hari ketiga pencarian AirAsia QZ8501. Tim pencari di bawah komando Badan SAR Nasional (Basarnas) belum juga menemukan jejak keberadaan pesawat nahas yang mengangkut 155 penumpang itu.
Sekitar pukul 09.30 WIB hari itu, Panglima Komando Operasional TNI Angkatan Udara I Marsekal Muda A. Dwi Putranto yang berada di pesawat CN-295 dengan Kapten Ahmad Reza Pahlevi menyiarkan bahwa timnya melihat puing di Selat Karimata. Ia lantas memberitahukan koordinat dan memerintahkan Hercules A-1319 untuk langsung menuju lokasi.
"Kita kan perintahnya untuk mencari, dan harus ketemu. Akhirnya kami melakukan holding pattern area selama 30 menit," tutur Feisal mengisahkan proses pencarian hari itu.
Awalnya, mereka hanya melihat objek berwarna oranye. "Lalu, Lettu Erwin melihat sesosok benda yang diperkirakan mayat," ucap Feisal.
Setelah gambar jenazah tertangkap kamera, Feisal mengaku lega sekaligus bangga. Perasaan tersebut memang patut bernaung dalam hati Feisal. Pasalnya, dalam suatu misi Search and Rescue (SAR) yang dilaksanakan pesawat Hercules, navigator bertindak sebagai perencana yang dikomandani oleh kapten pilot.
"Kami sebagai mission planner, kami merencanakan sesuatu dalam hal misi. Kalau misi itu berjalan lancar tentunya bangga," ujar Feisal sembari sesekali menenggak kopi di tangannya.
Seorang navigator, menurut Feisal, akan mengolah rencana dari sejak titik koordinat lokasi ditentukan hingga dilaporkan ke kapten pilot untuk dieksekusi.
"Profil seperti apa kita yang merencanakan, penerbangan, mau ke mana, harus bagaimana, sampai keep area agar tetap di koordinat yang ditentukan," papar Feisal.
Ayah dari satu putra ini kemudian memberikan contoh dengan situasi yang dialami saat pencarian AirAsia QZ8501.
Tiga puluh menit berputar di udara tersebut bukan tanpa bahaya. Pesawat Hercules yang biasanya terbang di ketinggian 1.000 kaki, harus terbang rendah di ketinggian 500 kaki demi mendapatkan foto jasad yang mereka lihat.
"Ketinggian segitu susah membedakan warna langit dan laut, bisa jatuh. Tugas navigator untuk menjaga tetap di-track," papar perwira lulusan Akademi Angkatan Udara tahun 2006 ini.
Dengan tugas seberat itu, dibutuhkan seorang yang memang andal. Feisal sendiri berhasil lolos dari proses seleksi ketat. "Dari 155 hanya 10 yang terseleksi," ungkap pria kelahiran Samarinda, Kalimantan Timur, 30 tahun silam ini.
Dengan jam terbang mencapai 4.000-an jam, Feisal telah melakukan misi-misi SAR besar seperti gempa di Mentawai, banjir bandang di Ambon, sampai topan Haiyan di Filipina.
Kendati demikian, Feisal mengaku kesuksesan sebuah misi merupakan hasil kerja sama tim yang kuat. Pria berkulit sawo matang ini kemudian menjabarkan pembagian tugas dari masing-masing personel tim penyelamat.
"JRU (Juru Radio Udara) melaksanakan koordinasi dengan posko, sementara engineer terus mengecek engine pesawat. Load master harus menjamin keselamatan penumpang dan barang dalam pesawat," paparnya.
Di akhir perbincangan, Feisal mengaku bangga kepada Tim SAR Indonesia, baik Basarnas, TNI AD, TNI AL, TNI AU, Kepolisian RI karena dalam waktu hanya 3 hari sudah bisa menemukan bukti area lokasi jatuhnya pesawat AirAsia QZ8501.(obs)
♖ CNN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.