Suatu hari di akhir-akhir tahun 1945. Sebuah iring-iringan konvoi pasukan Inggris dari British Indian Army (BIA) dihadang sekelompok lasykar republik di Bogor. Para penghadang terdiri dari anak-anak muda bersenjatakan beberapa pucuk bedil usang dan parang. Namun dalam waktu cepat, para serdadu BIA yang jauh lebih berpengalaman itu justru malah balik bisa mengepung dan menjadikan anak-anak muda tersebut bertekuk lutut.
Usai mengumpulkan para tawanan, salah seorang opsir mereka menyampaikan ceramah pendek di hadapan anak-anak muda itu. “Isinya nasehat supaya anak-anak kita jangan melawan, karena katanya mereka bersimpati terhadap perjuangan kita. Dianjurkan pula oleh opsir itu agar anak-anak berlatih dahulu sebelum turun dalam suatu pertempuran sungguh-sungguh…” ungkap Jenderal (Purn) A.H Nasution dalam Sekitar Perang Kemerdekaan Jilid 2.
Menurut Nasution, adanya rasa simpati pasukan Inggris asal Asia Selatan (India/Pakistan) terhadap perjuangan orang-orang Indonesia tentunya bukan tanpa dasar. Bukan rahasia lagi jika sebagian besar bangsa India/Pakistan saat itu menyimpan rasa kurang suka terhadap Belanda, yang menjadi musuh orang-orang Indonesia. Hal itu terkait dengan kejadian di Afrika Selatan, di mana perlakuan rasis keturunan Belanda berlangsung secara kencang terhadap orang-orang keturunan India di sana.
Namun para peneliti sejarah BIA di Indonesia seperti Firdaus Sjam dan Zahir Khan menyebut faktor agama-lah yang menjadi pemicu utama munculnya rasa simpati tersebut. “Faktor ini yang melahirkan sikap mereka untuk bahu membahu dengan para pejuang republik berperang melawan penjajah sebagai satu fisabilillah…” tulis mereka dalam Peranan Pakistan di Masa Revolusi Kemerdekaan Indonesia.
Menurut Firdaus Syam dan Zahir Khan, ada sekitar 600 prajurit Inggris asal India/Pakistan yang membelot ke kubu kaum republik. Mereka tersebar bukan saja di kota-kota besar pulau Jawa namun juga tersebar di wilayah-wilayah Sumatera. ”Sumatera Utara khususnya Medan merupakan basis terbesar para pembelot tersebut bahkan mereka sempat membuat suatu kesatuan khusus terdiri dari kalangan mereka guna melawan militer Belanda disana,” tulis Firdaus Syam dan Zahir Khan.
Nama kesatuan itu adalah Bataliyon Putra Asia (masuk dalam Resimen III Divisi X) pimpinan Mayor Abdul Sattar, seorang bangsa India muslim yang sejak sebelum terjadinya Perang Kemerdekaan, sudah lama tinggal di Medan.
Menurut Muhammad TWH, selama Perang Kemerdekaan berlangsung, Bataliyon Putra Asia banyak dilibatkan dalam berbagai operasi tempur di wilayah Medan dan sekitarnya. Bahkan, sebagai tenaga bantuan latih sekaligus petempur, mereka pernah mengirimkan 17 anggota ke palagan Aceh dengan diikuti oleh seorang prajurit Inggris totok yang membelot bernama John Edward (setelah masuk Islam lebih dikenal sebagai Abdullah Inggris). Karena kelihaiannya dalam beretorika dan berpidato, John bersama seorang pembelot BIA bernama Chandra lantas didapuk menjadi penyiar Radio Perjuangan Rimba Raya (memiliki kekuatan daya pancar hingga Australia dan India) masing-masing untuk program bahasa Inggris dan bahasa Urdhu (India). ”Rimba Raya hadir pada saat sebagian besar radio-radio kaum republik mati karena dibungkam Belanda,” ujar Muhammad TWH.
Saat Muhammad Hatta melakukan kunjungan ke Pematang Siantar pada awal 1948, Bataliyon Putra Asia-lah yang mendapat tugas untuk mengawal Wakil Presiden pertama RI itu. Beberapa saat usai Hatta meninggalkan kota tersebut, militer Belanda kemudian datang menyerang. Terjadilah pertempuran hebat hingga para patriot dari selatan Asia itu kehabisan amunisi. Kendati posisi mereka sudah terkepung, mereka tidak lantas menyerah, malah justru mencabut bayonet dan memutuskan untuk berduel satu lawan satu melawan prajurit-prajurit Belanda. Pertempuran jarak dekat itu mengakibatkan 15 prajurit Yon Putra Asia gugur.
“Jasad mereka lantas dimakamkan di Pematang Siantar, namun sekitar tahun 1950-an kerangka-kerangka mereka dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Medan dalam suatu upacara militer,” kata pengelola Museum Pers Sumatera Utara itu.
Mayor Abdul Sattar sendiri berhasil lolos dari maut. Lepas Perang Kemerdekaan, ia keluar dari dinas militer dan sempat berkerja secara serabutan sebelum akhirnya karena faktor kebutuhan ekonomi, ia memutuskan menjadi seorang petinju amatir. Saat menjadi petinju inilah, orang Medan lebih mengenalnya sebagai Young Sattar.
Di Jawa Barat, pada 30 Agustus 1947 sempat berdiri suatu kesatuan bernama International Volunteers Brigade (IVB). Kesatuan ini terdiri dari tentara republik yang berasal dari berbagai macam bangsa Asia (Tiongkok, Filipina, Malaysia, India dan Pakistan). Namun anggota yang paling banyak terdiri dari pasukan India dan Pakistan yang membelot dari kesatuan-kesatuan militer Inggris. Ini adalah foto langka milik IPPHOS, yang memperlihatkan seorang prajurit IVB dari India tengah melakukan suatu penghadangan terhadap konvoi militer Belanda di Jawa Barat. Mereka bahu membahu bersama pasukan TNI mempertahankan nama Republik Indonesia.[Diposkan Samuel tirta]
Usai mengumpulkan para tawanan, salah seorang opsir mereka menyampaikan ceramah pendek di hadapan anak-anak muda itu. “Isinya nasehat supaya anak-anak kita jangan melawan, karena katanya mereka bersimpati terhadap perjuangan kita. Dianjurkan pula oleh opsir itu agar anak-anak berlatih dahulu sebelum turun dalam suatu pertempuran sungguh-sungguh…” ungkap Jenderal (Purn) A.H Nasution dalam Sekitar Perang Kemerdekaan Jilid 2.
Menurut Nasution, adanya rasa simpati pasukan Inggris asal Asia Selatan (India/Pakistan) terhadap perjuangan orang-orang Indonesia tentunya bukan tanpa dasar. Bukan rahasia lagi jika sebagian besar bangsa India/Pakistan saat itu menyimpan rasa kurang suka terhadap Belanda, yang menjadi musuh orang-orang Indonesia. Hal itu terkait dengan kejadian di Afrika Selatan, di mana perlakuan rasis keturunan Belanda berlangsung secara kencang terhadap orang-orang keturunan India di sana.
Namun para peneliti sejarah BIA di Indonesia seperti Firdaus Sjam dan Zahir Khan menyebut faktor agama-lah yang menjadi pemicu utama munculnya rasa simpati tersebut. “Faktor ini yang melahirkan sikap mereka untuk bahu membahu dengan para pejuang republik berperang melawan penjajah sebagai satu fisabilillah…” tulis mereka dalam Peranan Pakistan di Masa Revolusi Kemerdekaan Indonesia.
Menurut Firdaus Syam dan Zahir Khan, ada sekitar 600 prajurit Inggris asal India/Pakistan yang membelot ke kubu kaum republik. Mereka tersebar bukan saja di kota-kota besar pulau Jawa namun juga tersebar di wilayah-wilayah Sumatera. ”Sumatera Utara khususnya Medan merupakan basis terbesar para pembelot tersebut bahkan mereka sempat membuat suatu kesatuan khusus terdiri dari kalangan mereka guna melawan militer Belanda disana,” tulis Firdaus Syam dan Zahir Khan.
Nama kesatuan itu adalah Bataliyon Putra Asia (masuk dalam Resimen III Divisi X) pimpinan Mayor Abdul Sattar, seorang bangsa India muslim yang sejak sebelum terjadinya Perang Kemerdekaan, sudah lama tinggal di Medan.
Menurut Muhammad TWH, selama Perang Kemerdekaan berlangsung, Bataliyon Putra Asia banyak dilibatkan dalam berbagai operasi tempur di wilayah Medan dan sekitarnya. Bahkan, sebagai tenaga bantuan latih sekaligus petempur, mereka pernah mengirimkan 17 anggota ke palagan Aceh dengan diikuti oleh seorang prajurit Inggris totok yang membelot bernama John Edward (setelah masuk Islam lebih dikenal sebagai Abdullah Inggris). Karena kelihaiannya dalam beretorika dan berpidato, John bersama seorang pembelot BIA bernama Chandra lantas didapuk menjadi penyiar Radio Perjuangan Rimba Raya (memiliki kekuatan daya pancar hingga Australia dan India) masing-masing untuk program bahasa Inggris dan bahasa Urdhu (India). ”Rimba Raya hadir pada saat sebagian besar radio-radio kaum republik mati karena dibungkam Belanda,” ujar Muhammad TWH.
Saat Muhammad Hatta melakukan kunjungan ke Pematang Siantar pada awal 1948, Bataliyon Putra Asia-lah yang mendapat tugas untuk mengawal Wakil Presiden pertama RI itu. Beberapa saat usai Hatta meninggalkan kota tersebut, militer Belanda kemudian datang menyerang. Terjadilah pertempuran hebat hingga para patriot dari selatan Asia itu kehabisan amunisi. Kendati posisi mereka sudah terkepung, mereka tidak lantas menyerah, malah justru mencabut bayonet dan memutuskan untuk berduel satu lawan satu melawan prajurit-prajurit Belanda. Pertempuran jarak dekat itu mengakibatkan 15 prajurit Yon Putra Asia gugur.
“Jasad mereka lantas dimakamkan di Pematang Siantar, namun sekitar tahun 1950-an kerangka-kerangka mereka dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Medan dalam suatu upacara militer,” kata pengelola Museum Pers Sumatera Utara itu.
Mayor Abdul Sattar sendiri berhasil lolos dari maut. Lepas Perang Kemerdekaan, ia keluar dari dinas militer dan sempat berkerja secara serabutan sebelum akhirnya karena faktor kebutuhan ekonomi, ia memutuskan menjadi seorang petinju amatir. Saat menjadi petinju inilah, orang Medan lebih mengenalnya sebagai Young Sattar.
Di Jawa Barat, pada 30 Agustus 1947 sempat berdiri suatu kesatuan bernama International Volunteers Brigade (IVB). Kesatuan ini terdiri dari tentara republik yang berasal dari berbagai macam bangsa Asia (Tiongkok, Filipina, Malaysia, India dan Pakistan). Namun anggota yang paling banyak terdiri dari pasukan India dan Pakistan yang membelot dari kesatuan-kesatuan militer Inggris. Ini adalah foto langka milik IPPHOS, yang memperlihatkan seorang prajurit IVB dari India tengah melakukan suatu penghadangan terhadap konvoi militer Belanda di Jawa Barat. Mereka bahu membahu bersama pasukan TNI mempertahankan nama Republik Indonesia.[Diposkan Samuel tirta]
★ Garuda Militer
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.