MARS ”KRI Abdul Halim Perdanakusuma” pun dinyanyikan prajurit Kapal Republik Indonesia Abdul Halim Perdanakusuma 355 dengan lantang. Lagu yang syairnya membakar semangat dan membangkit emosi petarung samudra itu kini menjadi saluran untuk meluapkan kegembiraan. Mereka menunaikan misi dengan prestasi yang tak ada takarannya. Misi yang diemban dijalankan dengan baik.
Lagu itu dinyanyikan di hadapan Panglima Komando Armada Republik Indonesia Kawasan Timur Laksamana Muda Arie H Sembiring, yang menyambangi kapal itu saat berlabuh di Pangkalan Utama TNI Angkatan Laut (Lantamal) IX Ambon, Maluku, pekan lalu. Arie hadir untuk menyampaikan apresiasi atas keberhasilan anak buahnya saat berpatroli di Laut Arafura.
Kapal pabrikan galangan NV Koninlijke Maatscappy de Schelde Vlischingen, Belanda, tahun 1967 itu baru mengamankan delapan kapal yang diduga melakukan pencurian ikan. Dengan kecepatan maksimal 20 knot, kapal yang memiliki panjang 113,42 meter dan lebar 12,506 meter itu menyergap kapal yang selama ini bebas melakukan pelanggaran di Laut Arafura.
”Bapak-bapak sudah melaksanakan tugas dengan baik, menjaga kedaulatan negara di perairan timur Indonesia. Ini prestasi yang sangat membanggakan. Selamat untuk keberhasilan ini,” kata Arie, yang didampingi Komandan Lantamal IX Ambon Laksamana Pertama Arusukmono Indra Sucahyo dan Komandan Kapal Republik Indonesia Abdul Halim Perdanakusuma (KRI AHP) 355 Kolonel Laut (P) Dato Rusman SN.
Dato, pimpinan operasi itu, menuturkan, KRI AHP 355 meninggalkan pangkalan di Surabaya, Jawa Timur, pada 18 Oktober untuk melakukan patroli alur laut dengan sandi operasi Lintas Sakti. Kapal dengan bobot 2.800 gros ton (GT) itu menyusuri selatan perairan Indonesia dengan melewati Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Maluku, hingga Papua.
Lima hari kemudian, mereka tiba di ujung timur perairan Indonesia yang berbatasan langsung dengan Papua Niugini. Jarak yang ditempuh dari Surabaya hingga batas paling timur itu sekitar kurang 1.800 mil laut (3.333,6 kilometer). Bahan bakar yang dihabiskan sekitar 150.000 liter solar.
Setibanya di perairan yang tingkat pencurian ikannya paling tinggi itu, mereka intens melakukan pemantauan. Semua sasaran permukaan didatangi untuk dicek kelengkapan dokumennya. Sebanyak 48 kapal diperiksa.
Pada 7 Desember, lanjut Dato, KRI AHP 355 menangkap dua kapal, yakni Kapal Motor (KM) Century 04 dan KM Century 07. Dua kapal yang berbendera Papua Niugini itu sedang beraktivitas di selatan Merauke, Papua, dekat perbatasan Papua Niugini.
”Kapal itu hendak melarikan diri hingga sempat masuk ke perairan Papua Niugini, tetapi bisa dihentikan setelah kami melakukan pengejaran seketika. Kami mengeluarkan tembakan peringatan sebanyak dua kali,” ucap Darto.
Setelah diperiksa, ternyata dua kapal itu milik pengusaha Thailand yang bernama Somporn Kitporka yang beralamat di Distrik Krokkrak, Provinsi Amphoe Muang Samutsakhon. KM Century 04 berbobot 200 GT membawa 20 ton ikan campuran dan KM Century 07 yang berbobot 250 GT mengangkut 43 ton ikan.
”Setelah kami periksa dan dinyatakan ada dugaan illegal fishing, semua anak buah kapal (ABK) di dua kapal yang terdiri dari 45 orang Thailand dan 17 orang Kamboja itu kami perintahkan masuk ke KRI AHP 355. Petugas kami yang mengambil alih kemudi kapal mereka,” kata Dato.
Ganti bendera
Eumet Thamaroj (40), ABK KM Century 04, ketika ditemui di Lantamal IX Ambon mengungkapkan, modus yang dipakai untuk mengelabui aparat di Indonesia adalah mengganti bendera Thailand dengan bendera Papua Niugini. ”Kalau masuk Indonesia, kami ganti dengan bendera Indonesia,” kata Eumet yang mengaku sudah delapan tahun mencari nafkah di perairan Indonesia.
Patroli kembali dilanjutkan pada 8 Desember 2014. Setelah mendapatkan informasi dari data automatic identification system, KRI AHP 355 kembali mendatangi kerumunan kapal di perairan yang sama, Laut Arafura, tepatnya sebelah barat Pulau Dolak. Mereka menemukan enam kapal lain, yakni KM Sino 15, KM Sino 26, KM Sino 36, KM Sino 35, KM Sino 33, dan KM Sino 27.
Kapal-kapal eks Tiongkok itu berbendera Indonesia, tetapi melakukan penangkapan di daerah tangkap yang tidak sesuai dengan surat izin penangkapan ikan. Pemilik kapal itu adalah PT Sino Indonesia Sunlida Fishing yang beralamat di Kampung Timur Nomor 206, Kelurahan Seringgu Jaya, Merauke, Papua.
Persoalan semakin kompleks. Dengan jumlah personel KRI AHP 355 yang terbatas, yakni 114 orang, mereka harus mengawal delapan kapal beserta 154 ABK. Namun, dengan memaksimalkan kekuatan yang dimiliki, mereka membawa kapal yang diduga melakukan pencurian ikan di perairan Indonesia itu menuju Lantamal IX Ambon dan tiba pada Sabtu, 13 Desember.
Belum efektif
Kendati dalam waktu dua hari bisa menangkap delapan kapal, jumlah itu masih jauh dari potensi pencurian ikan di Laut Arafura. Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan, dalam satu tahun terdapat setidaknya 8.484 kapal yang tidak sesuai izin operasi melakukan aktivitas di Laut Arafura. Kapal-kapal itu berukuran besar dan mampu menampung lebih dari 2,02 ton ikan. Kerugian negara ditaksir mencapai Rp 40 triliun per tahun.
Masalahnya, hanya ada satu kapal yang berpatroli di Laut Arafura. Komando Armada Republik Indonesia Kawasan Timur tidak bisa mengoperasi empat kapal sejenis yang semula diandalkan untuk melakukan patroli. Penyebabnya adalah kekurangan bahan bakar.
”TNI Angkatan Laut tidak mempunyai bahan bakar yang cukup untuk mengoperasikan kapal-kapal itu,” kata Arie. Satu kapal membutuhkan 30.000 hingga 50.000 liter solar setiap hari. Seperti KRI AHP 355, daya tampung bahan bakar maksimal 556.000 liter.
Minimnya kapal patroli, lanjut Arie, membuat pengawasan di Laut Arafura tidak efektif. Banyak kapal yang diduga mencuri ikan tidak bisa ditangkap. ”Pada saat kami memeriksa satu kapal, (kapal) yang lain lari,” katanya.
Ketika menghadiri peresmian Pengadilan Perikanan pada Pengadilan Negeri Ambon, beberapa waktu lalu, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menyatakan, perairan timur Indonesia, terutama Laut Arafura, rawan pencurian ikan. Ia bertekad mengusir semua nelayan asing di perairan itu. Tekad Susi mendapatkan apresiasi dan dukungan TNI AL. Namun, faktor pendukung, seperti bahan bakar, juga perlu diberi perhatian.[Kenyot10]
Lagu itu dinyanyikan di hadapan Panglima Komando Armada Republik Indonesia Kawasan Timur Laksamana Muda Arie H Sembiring, yang menyambangi kapal itu saat berlabuh di Pangkalan Utama TNI Angkatan Laut (Lantamal) IX Ambon, Maluku, pekan lalu. Arie hadir untuk menyampaikan apresiasi atas keberhasilan anak buahnya saat berpatroli di Laut Arafura.
Kapal pabrikan galangan NV Koninlijke Maatscappy de Schelde Vlischingen, Belanda, tahun 1967 itu baru mengamankan delapan kapal yang diduga melakukan pencurian ikan. Dengan kecepatan maksimal 20 knot, kapal yang memiliki panjang 113,42 meter dan lebar 12,506 meter itu menyergap kapal yang selama ini bebas melakukan pelanggaran di Laut Arafura.
”Bapak-bapak sudah melaksanakan tugas dengan baik, menjaga kedaulatan negara di perairan timur Indonesia. Ini prestasi yang sangat membanggakan. Selamat untuk keberhasilan ini,” kata Arie, yang didampingi Komandan Lantamal IX Ambon Laksamana Pertama Arusukmono Indra Sucahyo dan Komandan Kapal Republik Indonesia Abdul Halim Perdanakusuma (KRI AHP) 355 Kolonel Laut (P) Dato Rusman SN.
Dato, pimpinan operasi itu, menuturkan, KRI AHP 355 meninggalkan pangkalan di Surabaya, Jawa Timur, pada 18 Oktober untuk melakukan patroli alur laut dengan sandi operasi Lintas Sakti. Kapal dengan bobot 2.800 gros ton (GT) itu menyusuri selatan perairan Indonesia dengan melewati Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Maluku, hingga Papua.
Lima hari kemudian, mereka tiba di ujung timur perairan Indonesia yang berbatasan langsung dengan Papua Niugini. Jarak yang ditempuh dari Surabaya hingga batas paling timur itu sekitar kurang 1.800 mil laut (3.333,6 kilometer). Bahan bakar yang dihabiskan sekitar 150.000 liter solar.
Setibanya di perairan yang tingkat pencurian ikannya paling tinggi itu, mereka intens melakukan pemantauan. Semua sasaran permukaan didatangi untuk dicek kelengkapan dokumennya. Sebanyak 48 kapal diperiksa.
Pada 7 Desember, lanjut Dato, KRI AHP 355 menangkap dua kapal, yakni Kapal Motor (KM) Century 04 dan KM Century 07. Dua kapal yang berbendera Papua Niugini itu sedang beraktivitas di selatan Merauke, Papua, dekat perbatasan Papua Niugini.
”Kapal itu hendak melarikan diri hingga sempat masuk ke perairan Papua Niugini, tetapi bisa dihentikan setelah kami melakukan pengejaran seketika. Kami mengeluarkan tembakan peringatan sebanyak dua kali,” ucap Darto.
Setelah diperiksa, ternyata dua kapal itu milik pengusaha Thailand yang bernama Somporn Kitporka yang beralamat di Distrik Krokkrak, Provinsi Amphoe Muang Samutsakhon. KM Century 04 berbobot 200 GT membawa 20 ton ikan campuran dan KM Century 07 yang berbobot 250 GT mengangkut 43 ton ikan.
”Setelah kami periksa dan dinyatakan ada dugaan illegal fishing, semua anak buah kapal (ABK) di dua kapal yang terdiri dari 45 orang Thailand dan 17 orang Kamboja itu kami perintahkan masuk ke KRI AHP 355. Petugas kami yang mengambil alih kemudi kapal mereka,” kata Dato.
Ganti bendera
Eumet Thamaroj (40), ABK KM Century 04, ketika ditemui di Lantamal IX Ambon mengungkapkan, modus yang dipakai untuk mengelabui aparat di Indonesia adalah mengganti bendera Thailand dengan bendera Papua Niugini. ”Kalau masuk Indonesia, kami ganti dengan bendera Indonesia,” kata Eumet yang mengaku sudah delapan tahun mencari nafkah di perairan Indonesia.
Patroli kembali dilanjutkan pada 8 Desember 2014. Setelah mendapatkan informasi dari data automatic identification system, KRI AHP 355 kembali mendatangi kerumunan kapal di perairan yang sama, Laut Arafura, tepatnya sebelah barat Pulau Dolak. Mereka menemukan enam kapal lain, yakni KM Sino 15, KM Sino 26, KM Sino 36, KM Sino 35, KM Sino 33, dan KM Sino 27.
Kapal-kapal eks Tiongkok itu berbendera Indonesia, tetapi melakukan penangkapan di daerah tangkap yang tidak sesuai dengan surat izin penangkapan ikan. Pemilik kapal itu adalah PT Sino Indonesia Sunlida Fishing yang beralamat di Kampung Timur Nomor 206, Kelurahan Seringgu Jaya, Merauke, Papua.
Persoalan semakin kompleks. Dengan jumlah personel KRI AHP 355 yang terbatas, yakni 114 orang, mereka harus mengawal delapan kapal beserta 154 ABK. Namun, dengan memaksimalkan kekuatan yang dimiliki, mereka membawa kapal yang diduga melakukan pencurian ikan di perairan Indonesia itu menuju Lantamal IX Ambon dan tiba pada Sabtu, 13 Desember.
Belum efektif
Kendati dalam waktu dua hari bisa menangkap delapan kapal, jumlah itu masih jauh dari potensi pencurian ikan di Laut Arafura. Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan, dalam satu tahun terdapat setidaknya 8.484 kapal yang tidak sesuai izin operasi melakukan aktivitas di Laut Arafura. Kapal-kapal itu berukuran besar dan mampu menampung lebih dari 2,02 ton ikan. Kerugian negara ditaksir mencapai Rp 40 triliun per tahun.
Masalahnya, hanya ada satu kapal yang berpatroli di Laut Arafura. Komando Armada Republik Indonesia Kawasan Timur tidak bisa mengoperasi empat kapal sejenis yang semula diandalkan untuk melakukan patroli. Penyebabnya adalah kekurangan bahan bakar.
”TNI Angkatan Laut tidak mempunyai bahan bakar yang cukup untuk mengoperasikan kapal-kapal itu,” kata Arie. Satu kapal membutuhkan 30.000 hingga 50.000 liter solar setiap hari. Seperti KRI AHP 355, daya tampung bahan bakar maksimal 556.000 liter.
Minimnya kapal patroli, lanjut Arie, membuat pengawasan di Laut Arafura tidak efektif. Banyak kapal yang diduga mencuri ikan tidak bisa ditangkap. ”Pada saat kami memeriksa satu kapal, (kapal) yang lain lari,” katanya.
Ketika menghadiri peresmian Pengadilan Perikanan pada Pengadilan Negeri Ambon, beberapa waktu lalu, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menyatakan, perairan timur Indonesia, terutama Laut Arafura, rawan pencurian ikan. Ia bertekad mengusir semua nelayan asing di perairan itu. Tekad Susi mendapatkan apresiasi dan dukungan TNI AL. Namun, faktor pendukung, seperti bahan bakar, juga perlu diberi perhatian.[Kenyot10]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.