Naskah : Paguyuban Dharma Sadtri Tidar 63'
Tulisan : Sukarno
Tulisan : Sukarno
Pengantar
Lembah Long Bawan termasuk Kalimantan Timur. Operasi ini dilaksanakan pada bulan Januari – April 1968. Selaku Komandan Kompi 372 pada Detasemen Tempur 37 RPKAD dengan pangkat Letnan Satu, pada tanggal 7 Januari 1968 aku mendapat perintah dari Dan Yon 3 RPKAD di Kartosuro untuk konsinyir tempur dan siap berangkat ke Jakarta untuk selanjutnya akan diterjunkan di daerah operasi Kalimantan Timur.
Belum ada penjelasan yang lengkap tentang situasi kecuali hari itu dilakukan reorganisasi Den Pur 37 dan Kompi 372. Aku tidak tahu mengapa mesti Kompi-ku yang harus berangkat padahal ada 2 Kompi lain yaitu Kompi 371 (dengan Dan Ki Lettu Kilian Sidabutar) dan Kompi 373 (dengan Dan Ki Lettu Suhana Budjana). Apalagi beberapa bulan yang lalu Kompi ini baru selesai bertugas menghancurkan sisa-sisa kekuatan G-30-S/PKI yang didukung oleh kekuatan-kekuatan liar (desertir TNI/Polri) bersenjata, dengan kedok padepokan mbah Suro di desa Ninggil, yang terletak di tepi Bengawan Solo dekat Randu-blatung, di pinggir hutan jati. Ki 371 di Kartosuro sedangkan Ki 371 dan Ki 373 berada di Semarang. Waktu aku tanyakan kepada Dan Den Pur 37 (Lettu Sumarna/Angkatan 45) dia hanya katakan bahwa ini perintah langsung dari Dan RPKAD (Brigjen Widjojo Sujono waktu itu).
Dijelaskan kepadaku tentang susunan tempur/organisasi khusus menghadapi tugas mendadak ini sebagai berikut : Wadan Yon, Kapten Inf. Alex Setiabudi akan menjadi Komandan Detasemen. Kelompok Komando Detasemen, dibentuk baru dengan Perwira Operasinya Kapten Inf. Sembiring Meliala. Komandan Detasemen Tempur 37, Lettu Inf. Sumarna ditunjuk sebagai Dan Ki 372 (sementara) dimana Dan Ki 372, Lettu Inf. Soekarno menjabat Wadan Ki (sementara). Para Dan Ton yang tua-tua diganti, maka masuklah Letda Inf. Tarub sebagai Dan Ton 2 dan Letda Inf. T. Sumarna sebagai Dan Ton 3. Sedangkan Dan Ton 1 tetap Letda Inf. Tanu Margono.
Di Jakarta telah siap 1 Prayudha dipimpin Kapten Inf. Kentot Harseno akan masuk sebagai kekuatan B/P Den ini.
Operasi diberi nama Operasi X/ Linud.
Malam hari semua sudah siap tempur dan pagi-pagi tanggal 8 Januari 1968 berangkat ke Jakarta dengan kereta api dari Semarang Tawang, jam 20.00 tiba di Markas Cijantung. Para Dan Ton ke atas langsung mendapatkan briefing dari As Ops dan Komandan RPKAD tentang situasi terakhir serta mengapa kita harus atasi. Mendengarkan briefing tersebut sungguh seram, karena tentang SBM dan persenjataan yang dimiliki lawan, serta disposisi gelar pasukan musuh cukup jelas, musuh telah menguasai medan-medan kritis. Disinilah seni bagaimana menjelaskan kepada anak buah, agar spirit bertempur dan rela berkorban tetap membara di dada setiap prajurit.
Tanggal 9 Januari pasukan diberi waktu istirahat 1 hari sambil persiapan terakhir termasuk logistik dan alat-alat komunikasi, serta para Komandan akan mendapatkan briefing-briefing terakhir tentang perkembangan situasi.
Dalam briefing terakhir disebutkan bahwa seluruh senjata yang ditinggalkan ex-Dwikora sudah berada di tangan musuh dan pembunuhan-pembunuhan telah terjadi. Sesampai di lokasi penerjunan dalam waktu 2 x 24 jam akan link-up dengan pasukan dari Kodam IX/Mulawarman (pada kenyataannya baru setelah 1 bulan pasukan Kodam datang, bertemu aku di Babinuang, itupun hanya terdiri dari 10 prajurit dipimpin Letda Inf. Made (mungkin Akmil angkatan ’65). Logistik mereka sudah berantakan, dan setelah aku bantu logistik seadanya, esok harinya mereka aku minta melapor ke Dan Den (Kapt. Alex Setiabudi) di Long Bawan, yang masih 2 hari lagi perjalanan menembus hutan.
Akhirnya dengan 8 buah truk pada jam 23.00 berangkatlah kami 1 Detasemen ke lapangan udara Halim. Di sana telah siap 2 buah pesawat Hercules.
Pasukan langsung masuk pesawat sesuai rencana dan urutan terjun. Aku masuk terakhir karena harus terjun yang pertama diikuti oleh 9 anggotaku, bertugas pengamanan penerjunan dan bila perlu melakukan pengalihan dropping zone jika lokasi tidak memungkinkan. Aku akan keluar dari pintu kanan sedangkan dari pintu kiri Kapt. Alex Setiabudi (Dan Den). Beliau minta terjun duluan juga karena segera akan mencari kontak dengan local friend yang telah direkrut selama operasi Dwikora sebelumnya, orang tersebut bernama pak Bina, orang Paputuk.
Saya terakhir naik pesawat, ternyata De Ops Men Pangad (Mayjen Mursyid) berada di samping pintu pesawat, menyalamiku sambil menepuk-nepuk pundakku karena beliau tahu saya adalah Wakil Komandan Kompi pasukan ini dan mengucapkan Selamat & Sukses, beliau membantu mendorong ranselku yang berat itu masuk ke pesawat. Tepat pukul 02.00 Hercules take off.
Di dalam pesawat aku tidur-tidur ayam, sambil memperhatikan seluruh anggota pasukanku, siapa tahu di antara mereka akan ada yang gugur beberapa jam lagi. Tapi sudahlah, semua urusan itu di tangan Yang Maha Kuasa, ini adalah tugas negara.
Komando !
Sekitar jam 06.00 -07.00 aku dan pasukanku terjun di dekat desa Paputuk. Begitu lampu hijau hidup dan jump-master teriak ”Go”, maka aku lempar kaki kiriku dan dredet-dredet tali payung tertarik dan payungku mengembang, sekejap sunyi, kuperhatikan dropping-zone, sawah sempit yang baru dipanen. Aku coba dengarkan dan perhatikan reaksi-reaksi dari darat, tidak ada tembakan. Padahal aku sudah siap bereaksi jika ada perlawanan dari bawah. Akhirnya aku aman landing, pasukan di pesawat aku beri kode aman dan terjunlah seluruh pasukan.
Di bawah ini sebagian kisah-kisah operasi tersebut dan juga tentang bagian negeriku yang indah di perbatasan Kaltim dengan Malaysia, yang diceritakan oleh sahabatku Lettu Czi. Max Turumbe Manikoe (Akmil ’63) yang pada tahun 1965-an aktif dalam mendukung operasi Dwikora di wilayah tersebut, diantaranya menyiapkan Helipad dan lapangan terbang darurat.
Semoga dengan pengantar yang singkat ini, ada nilai-nilai kejuangan yang terukir sekecil apapun, sebagai kontribusi abiturient Akmil ’63 dalam ikut menjaga keutuhan NKRI tercinta.
Hanya sangat disayangkan bahwa operasi Linud-X yang singkat, mendesak dan cukup penting ini ternyata tidak tercatat dalam dokumen-dokumen resmi di TNI-AD bahkan di Kopassus sendiri. Mungkin karena ternyata di lapangan tidak terjadi perlawanan heroik, maka operasi ini termarjinalkan dan dilupakan.
Sekitar jam 06.00 -07.00 aku dan pasukanku terjun di dekat desa Paputuk. Begitu lampu hijau hidup dan jump-master teriak ”Go”, maka aku lempar kaki kiriku dan dredet-dredet tali payung tertarik dan payungku mengembang, sekejap sunyi, kuperhatikan dropping-zone, sawah sempit yang baru dipanen. Aku coba dengarkan dan perhatikan reaksi-reaksi dari darat, tidak ada tembakan. Padahal aku sudah siap bereaksi jika ada perlawanan dari bawah. Akhirnya aku aman landing, pasukan di pesawat aku beri kode aman dan terjunlah seluruh pasukan.
Di bawah ini sebagian kisah-kisah operasi tersebut dan juga tentang bagian negeriku yang indah di perbatasan Kaltim dengan Malaysia, yang diceritakan oleh sahabatku Lettu Czi. Max Turumbe Manikoe (Akmil ’63) yang pada tahun 1965-an aktif dalam mendukung operasi Dwikora di wilayah tersebut, diantaranya menyiapkan Helipad dan lapangan terbang darurat.
Semoga dengan pengantar yang singkat ini, ada nilai-nilai kejuangan yang terukir sekecil apapun, sebagai kontribusi abiturient Akmil ’63 dalam ikut menjaga keutuhan NKRI tercinta.
Hanya sangat disayangkan bahwa operasi Linud-X yang singkat, mendesak dan cukup penting ini ternyata tidak tercatat dalam dokumen-dokumen resmi di TNI-AD bahkan di Kopassus sendiri. Mungkin karena ternyata di lapangan tidak terjadi perlawanan heroik, maka operasi ini termarjinalkan dan dilupakan.
Dropping Zone Long Bawan
Tanah Krayan semasa Dwikora
Tanah Krayan semasa Dwikora
Tanah pegunungan yang hijau dengan lembah luas membentang yang subur diwarnai padi menguning serta liku-likunya sungai, benar-benar satu paduan pesona alam yang sangat indah. Itulah gambaran Tanah Krayan yang membentang di perbatasan dengan negara jiran Malaysia.
Long Bawan ibu kota kecamatan berada di perbatasan, hingga sering menerima hujan mortir dan peluru meriam/kanon dari tentara Gurkha Inggris, pada waktu operasi Dwikora ”Mengganyang Malaysia” 1964-1966.
Suasana perang mengusik kehidupan yang aman tenteram dari suku Lundayeh penduduk asli Tanah Krayan.
Pasukan TNI dan sukarelawan silih berganti datang dan melintasi bumi mereka.
Penduduk Long Bawan dan kampung-kampung di depannya harus mengungsi dan menyelamatkan diri menghindari hujan mortir musuh, sampai keadaan menjadi damai kembali.
Kerusuhan terjadi tahun 1968.
Pada tanggal 11 Agustus 1966 ditandatangani Perjanjian Bangkok dan sejak itu usailah perseteruan dengan negara serumpun Malaysia. Usai pula hiruk pikuk bom dan mortir serta desingan pesawat jet tempur Sabre Inggris di bumi Krayan yang tenteram, cantik dan subur itu.
Pasukan tempur TNI dan Sukwan mulai ditarik berangsur-angsur meninggalkan Long Bawan dan sekitarnya, dari lembah-lembah yang menguning dengan hamparan padi yang luas terbentang.
Karena tidak tersedianya transportasi udara, maka penarikan pasukan berlangsung cukup lama. Banyak personil Sukwan yang masih tinggal, logistik perang juga terpaksa ditinggalkan karena perjalanan pulang hanya dapat dilakukan lewat darat dan memerlukan waktu berhari-hari bahkan berminggu-minggu baru bisa tiba di Malinau yang mempunyai pelabuhan sungai, sehingga pasukan dapat diangkut dengan kapal laut ke Tarakan.
Kebanyakan personil yang masih tinggal adalah Sukwan Tempur dan Sukwan Guru Dwikora. Mereka hidup berbaur dengan penduduk asli Krayan. Namun lama kelamaan terjadi kesenjangan, salah paham dan pada puncaknya terjadi kerusuhan besar. Pertikaian terjadi antara masyarakat pendatang dengan penduduk asli suku Lundayeh. Komandan Koramil Krayan Abdul Mukti terbunuh dalam kerusuhan itu.
Kerusuhan menjadi tak terkendali dan sadis dengan menggunakan senjata tradisionil dan senjata api yang ada di sana. Apalagi setelah gudang senjata peninggalan TNI dibongkar dan direbut para perusuh baik dari pendatang maupun penduduk. Jatuhlah banyak korban baik dari pihak pendatang ex Sukwan Dwikora maupun penduduk asli. Kerusuhan menjalar sampai ke kampung-kampung sekitar Long Bawan. Karena tidak adanya pasukan pengaman sama sekali, bisa dibayangkan betapa seram dan sadisnya kerusuhan itu.
Perlu diterjunkan RPKAD.
Kerusuhan di Tanah Krayan perbatasan Kaltim ini meresahkan Kodam IX Mulawarman. Pangdam Pak Mung, mengambil keputusan untuk segera memadamkan kerusuhan itu. Tetapi apa daya, karena jarak yang begitu jauh dan tidak tersedianya transportasi udara (helicopter), maka diputuskan untuk meminta bantuan dengan menerjunkan pasukan RPKAD di Long Bawan, kecamatan Krayan. Tidak mungkin pasukan Kodam IX Mulawarman dikirim dalam waktu singkat ke Krayan karena kendala transportasi dan medan yang berat. Bila ditempuh dengan jalan darat, sungai dan laut diperkirakan paling cepat memakan waktu sekitar 3 minggu baru tiba di Long Bawan (perkiraan ini berdasarkan pengalaman pada waktu menggerakkan pasukan tempur Dwikora ke perbatasan).
Hari H penerjunan.
Kami take off dari Halim Perdanakusuma Jakarta jam 02.00 dini hari tanggal 10 Januari 1968 dengan 2 buah pesawat Hercules. Dan Den Kapt. Alex Setiabudi dengan 105 orang anggotanya diperkuat oleh 1 Prayudha (12 orang anggota) dipimpin oleh Kapt. Kentot Harseno (Kapt Kentot Harseno pernah diterjunkan di dropping zone ini pada waktu operasi Dwikora tahun 1965, dimana pesawat Hercules mereka tertembak jatuh oleh PSU TNI sendiri di dekat lapangan terbang Long Bawan).
Sekitar jam 07.00 kami diterjunkan di dropping zone di persawahan Paputuk dekat Long Bawan. Tujuan operasi Linud ini adalah untuk dapat segera memadamkan kerusuhan di Long Bawan dan sekitarnya di kecamatan Krayan Kaltim.
Aku adalah penerjun pertama sebagai pandu udara dengan 9 orang anggota.
Penerjunan berjalan dengan lancar dan aman sampai seluruh anggota Detasemen keluar dari pesawat. Syukur kehadirat Tuhan seluruh anggota tiba di darat dengan selamat tanpa ada perlawanan dari bawah, juga setelah tiba di darat. Namun hal ini justru sangat mengejutkan dan mengherankan, sekaligus membuat kami lebih meningkatkan kesiagaan tempur untuk menghadapi segala kemungkinan yang bisa saja terjadi sewaktu-waktu dari para perusuh. Mereka mempunyai persenjataan cukup banyak yang diperoleh dari gudang senjata TNI ex Dwikora di Long Bawan.
Situasi ini sangat berbeda dengan informasi tentang daerah operasi dan kemungkinan perlawanan dari perusuh, yang kita terima pada saat briefing singkat di Jakarta sebelum berangkat.
Bersambung ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.