Situasi aman kembali.
Ternyata kerusuhan sudah berakhir dengan
...... semua pendatang Sukwan Guru dan Sukwan Tempur Dwikora ......
terbunuh habis, termasuk pimpinannya Max Buley. Disamping itu jatuh
korban juga dari pihak penduduk asli Krayan, suku Lundayeh. Suasana
wilayah telah dikuasai oleh para Kepala Kampung dan Kepala Suku
masyarakat sekitar Long Bawan. Masyarakat yang bekerjasama dengan kami
memberikan bantuan yang besar terutama melalui pak Rika, seorang tokoh
masyarakat yang sangat dihormati.
Markas Detasemen didirikan di Long Bawan, dekat gudang senjata dan lapangan terbang yang pada waktu Dwikora diperkuat oleh sahabat Lettu Max Turumbe Manikoe (pasukan Zipur-5) untuk pendaratan helicopter besar jenis Mi-6.
Kami mengumumkan, bahwa dalam waktu 3 x 24 jam semua senjata harus diserahkan kepada pasukan RPKAD. Disini terlihat kerjasama yang begitu akrab dari masyarakat yang dengan sukarela menyerahkan senjata yang mereka pegang.
Ternyata keakraban ini sudah dibina dengan baik oleh Kapt. Kentot Harseno dan Kapt. Alex Setiabudi pada waktu pasukannya terjun di daerah ini pada tahun 1965. Hidup RPKAD !!..... itu yang kami dengar dari mereka.
Dalam waktu 2 minggu ratusan senjata sudah terkumpul karena adanya kepatuhan dan kesadaran masyarakat. Dengan alasan situasi dan tidak adanya transportasi udara, maka ratusan senjata dan ribuan munisi, termasuk munisi mortir 8 dan mortir 6 di gudang senjata akhirnya di disposal, atas persetujuan dari pusat Jakarta.
Selanjutnya kami mengadakan patroli bersama masyarakat ke kampung-kampung dan hutan sekitar Long Bawan untuk mencari sisa-sisa perusuh dan senjata yang tersembunyi, maupun senjata yang masih ada di tangan penduduk. Dalam hal ini besar sekali peran para Kepala Kampung dan Kepala Suku Lundayeh serta tokoh-tokoh masyarakat.
Kami melakukan patroli ke Paputuk, Wailaya, Long Api, Pamatung, serta ke kampung-kampung yang harus ditempuh dalam 1 sampai 3 hari perjalanan, seperti ke Long Rian, Baliku dan Babinuang.
Di Babinuang masih ada sisa-sisa landasan helicopter yang diperkuat dengan kayu yang dibuat oleh Peleton Zipur 5 / Brawijaya yang dipimpin oleh sahabat Max Turumbe. Tetapi menurut kata Max, sampai Dwikora selesai tak ada satupun helicopter yang mendarat di situ, walaupun setiap hari tetap dijaga oleh 2 orang anggota Zipur 5. Kami berada di Long Bawan selama 4 bulan, dan selama penugasan itu kami menerima 2 kali pengiriman logistik yang diangkut pesawat Hercules dan dijatuhkan dengan terbang rendah di sekitar hutan tempat jatuhnya pesawat Hercules tahun 1965 dekat lapangan terbang Long Bawan. Syukur kepada Tuhan bahwa tugas negara yang dibebankan kepada Detasemen RPKAD ini telah kami laksanakan dengan mengamankan Tanah Krayan Kaltim dari kerusuhan.
Markas Detasemen didirikan di Long Bawan, dekat gudang senjata dan lapangan terbang yang pada waktu Dwikora diperkuat oleh sahabat Lettu Max Turumbe Manikoe (pasukan Zipur-5) untuk pendaratan helicopter besar jenis Mi-6.
Kami mengumumkan, bahwa dalam waktu 3 x 24 jam semua senjata harus diserahkan kepada pasukan RPKAD. Disini terlihat kerjasama yang begitu akrab dari masyarakat yang dengan sukarela menyerahkan senjata yang mereka pegang.
Ternyata keakraban ini sudah dibina dengan baik oleh Kapt. Kentot Harseno dan Kapt. Alex Setiabudi pada waktu pasukannya terjun di daerah ini pada tahun 1965. Hidup RPKAD !!..... itu yang kami dengar dari mereka.
Dalam waktu 2 minggu ratusan senjata sudah terkumpul karena adanya kepatuhan dan kesadaran masyarakat. Dengan alasan situasi dan tidak adanya transportasi udara, maka ratusan senjata dan ribuan munisi, termasuk munisi mortir 8 dan mortir 6 di gudang senjata akhirnya di disposal, atas persetujuan dari pusat Jakarta.
Selanjutnya kami mengadakan patroli bersama masyarakat ke kampung-kampung dan hutan sekitar Long Bawan untuk mencari sisa-sisa perusuh dan senjata yang tersembunyi, maupun senjata yang masih ada di tangan penduduk. Dalam hal ini besar sekali peran para Kepala Kampung dan Kepala Suku Lundayeh serta tokoh-tokoh masyarakat.
Kami melakukan patroli ke Paputuk, Wailaya, Long Api, Pamatung, serta ke kampung-kampung yang harus ditempuh dalam 1 sampai 3 hari perjalanan, seperti ke Long Rian, Baliku dan Babinuang.
Di Babinuang masih ada sisa-sisa landasan helicopter yang diperkuat dengan kayu yang dibuat oleh Peleton Zipur 5 / Brawijaya yang dipimpin oleh sahabat Max Turumbe. Tetapi menurut kata Max, sampai Dwikora selesai tak ada satupun helicopter yang mendarat di situ, walaupun setiap hari tetap dijaga oleh 2 orang anggota Zipur 5. Kami berada di Long Bawan selama 4 bulan, dan selama penugasan itu kami menerima 2 kali pengiriman logistik yang diangkut pesawat Hercules dan dijatuhkan dengan terbang rendah di sekitar hutan tempat jatuhnya pesawat Hercules tahun 1965 dekat lapangan terbang Long Bawan. Syukur kepada Tuhan bahwa tugas negara yang dibebankan kepada Detasemen RPKAD ini telah kami laksanakan dengan mengamankan Tanah Krayan Kaltim dari kerusuhan.
Meninggalkan Tanah Krayan.
Setelah tugas
selesai, kami meninggalkan Tanah Krayan, suatu kawasan yang sangat
cantik dan subur, untuk kembali ke Markas Komando RPKAD di Jakarta.
Tidak adanya transportasi udara, mengharuskan semua personil kembali melalui jalan darat. Kisah yang sama juga pernah dialami oleh sahabat Sintong Panjaitan yang diterjunkan di lembah X Papua, harus kembali melalui jalan darat menjelajah hutan rimba bumi Cendrawasih.
Demikianlah kami pelaksana operasi Lintas Udara X juga harus kembali dengan menjelajahi hutan rimba bumi Kalimantan. Itulah kebanggaan pasukan kami RPKAD mengamankan bumi Pertiwi tercinta Indonesia.
Tidak adanya transportasi udara, mengharuskan semua personil kembali melalui jalan darat. Kisah yang sama juga pernah dialami oleh sahabat Sintong Panjaitan yang diterjunkan di lembah X Papua, harus kembali melalui jalan darat menjelajah hutan rimba bumi Cendrawasih.
Demikianlah kami pelaksana operasi Lintas Udara X juga harus kembali dengan menjelajahi hutan rimba bumi Kalimantan. Itulah kebanggaan pasukan kami RPKAD mengamankan bumi Pertiwi tercinta Indonesia.
Tujuh hari di dalam hutan.
Dalam
perjalanan pulang, pasukan kami dibagi dalam 2 Tim. Pasukanku mengambil
route : Long Bawan – Wailaya – Long Rian – Babinuang dalam waktu 2
hari. Di Babinuang kami bermalam dan menyiapkan segala sesuatunya untuk
melakukan pelintasan dan pengembaraan hutan belantara, selama berhari
hari tanpa melewati kampung untuk kami bermalam. Bukan menghindari
kampung, tetapi memang tidak ada satupun kampung di sepanjang route ke
Semamu ini selama 7 hari. Wow.... bukan main banyaknya sungai yang
berliku. Kami sering harus tidur di atas batu-batu besar di tepi sungai.
Namun kami harus siaga ketat, sebab walau cuaca cerah bisa saja tiba-tiba banjir datang, karena hujannya di hulu sungai ... kata penunjuk jalan kami dari Babinuang. Sesekali kami berjumpa dengan rombongan suku Dayak Punan yang hidup nomaden, mereka mengembara di dalam rimba raya dan tidak punya kampung yang tetap. Mereka berkelana di dalam hutan sepanjang hidupnya, membawa serta anak dan istrinya yang menggendong bayinya, diiringi oleh puluhan ekor anjing pemburu yang berbadan kurus dan panjang itu. Ramai dan meriah gonggongan anjing-anjing itu. Jadi bisa dibayangkan suara nyanyian merdu terdengar apabila berjumpa dengan iringan mereka. Mereka membawa senjata tradisionil lengkap seperti pedang mandau, pisau kecil, parang, tombak dan sumpit. Betul-betul seram melihatnya, tapi mereka pada umumnya ramah dan bersahabat, karena seringnya mereka berjumpa dengan tentara selama Dwikora, yang melintasi wilayahnya. Keluarga suku Dayak Punan itu berjalan terus sambil berburu untuk mendapatkan makanan mereka. Kami dapat berkomunikasi hanya bahasa isyarat (bahasa Tarzan) dengan kode-kode tangan diiringi gelak tertawa ... tapi asyik juga. Bila anjing-anjing mereka mencium binatang buruan, langsung berlarian ke sasaran sambil menggonggong dengan riuhnya dan menggiring binatang buruan itu mendekat ke-”tuan”-nya. Tuan-nya tinggal mengayunkan tombak. Antik dan pintar juga mereka.
Setelah menyeberangi sungai yang ke-21, yaitu sungai Semamu, dan bergumul dengan lintah tanah dan lintah daun yang menghisap darah kami, sampailah rombongan kami di Semamu. Ternyata sahabat Max Turumbe juga pernah melintasi daerah ini pada waktu Dwikora menggerakkan peleton Zipur-5/Ki C/ Brawijaya tahun 1965, dalam status BP Yonif 509 Brigif-9 Brawijaya, menuju ke perbatasan Long Bawan disatu hamparan lembah persawahan yang luas, termasuk di Paputuk. Untuk logistik di perjalanan kami siapkan beras untuk 7 hari dengan sedikit ikan asin dan garam bleng produksi rakyat setempat. Sayuran dan ikan bisa mencari di perjalanan. Sayur daun pakis dan mangga pakel yang agak gatal menjadi sedap sekali rasanya di situasi survival seperti itu.
Tanah Krayan memang sangat jauh dari tepi laut, sehingga garam menjadi masalah. Tetapi Tuhan Maha Penyayang, di kampung Pamatung dekat Long Bawan, ada sumber air asin. Di sinilah penduduk dari seluruh wilayah Krayan datang untuk membuat garam, yang disebut garam bleng yang kami bawa dari Paputuk.
Setiba di Semamu kami langsung menghubungi Kepala Kampung untuk mencari perahu yang akan dapat membawa kami melanjutkan perjalanan pulang ini dengan berhanyut ke hilir sungai dengan tantangan baru, yaitu melintasi jeram ... bagaikan lomba arung jeram yang cukup mendebarkan tetapi mengasyikkan juga.
Namun kami harus siaga ketat, sebab walau cuaca cerah bisa saja tiba-tiba banjir datang, karena hujannya di hulu sungai ... kata penunjuk jalan kami dari Babinuang. Sesekali kami berjumpa dengan rombongan suku Dayak Punan yang hidup nomaden, mereka mengembara di dalam rimba raya dan tidak punya kampung yang tetap. Mereka berkelana di dalam hutan sepanjang hidupnya, membawa serta anak dan istrinya yang menggendong bayinya, diiringi oleh puluhan ekor anjing pemburu yang berbadan kurus dan panjang itu. Ramai dan meriah gonggongan anjing-anjing itu. Jadi bisa dibayangkan suara nyanyian merdu terdengar apabila berjumpa dengan iringan mereka. Mereka membawa senjata tradisionil lengkap seperti pedang mandau, pisau kecil, parang, tombak dan sumpit. Betul-betul seram melihatnya, tapi mereka pada umumnya ramah dan bersahabat, karena seringnya mereka berjumpa dengan tentara selama Dwikora, yang melintasi wilayahnya. Keluarga suku Dayak Punan itu berjalan terus sambil berburu untuk mendapatkan makanan mereka. Kami dapat berkomunikasi hanya bahasa isyarat (bahasa Tarzan) dengan kode-kode tangan diiringi gelak tertawa ... tapi asyik juga. Bila anjing-anjing mereka mencium binatang buruan, langsung berlarian ke sasaran sambil menggonggong dengan riuhnya dan menggiring binatang buruan itu mendekat ke-”tuan”-nya. Tuan-nya tinggal mengayunkan tombak. Antik dan pintar juga mereka.
Setelah menyeberangi sungai yang ke-21, yaitu sungai Semamu, dan bergumul dengan lintah tanah dan lintah daun yang menghisap darah kami, sampailah rombongan kami di Semamu. Ternyata sahabat Max Turumbe juga pernah melintasi daerah ini pada waktu Dwikora menggerakkan peleton Zipur-5/Ki C/ Brawijaya tahun 1965, dalam status BP Yonif 509 Brigif-9 Brawijaya, menuju ke perbatasan Long Bawan disatu hamparan lembah persawahan yang luas, termasuk di Paputuk. Untuk logistik di perjalanan kami siapkan beras untuk 7 hari dengan sedikit ikan asin dan garam bleng produksi rakyat setempat. Sayuran dan ikan bisa mencari di perjalanan. Sayur daun pakis dan mangga pakel yang agak gatal menjadi sedap sekali rasanya di situasi survival seperti itu.
Tanah Krayan memang sangat jauh dari tepi laut, sehingga garam menjadi masalah. Tetapi Tuhan Maha Penyayang, di kampung Pamatung dekat Long Bawan, ada sumber air asin. Di sinilah penduduk dari seluruh wilayah Krayan datang untuk membuat garam, yang disebut garam bleng yang kami bawa dari Paputuk.
Setiba di Semamu kami langsung menghubungi Kepala Kampung untuk mencari perahu yang akan dapat membawa kami melanjutkan perjalanan pulang ini dengan berhanyut ke hilir sungai dengan tantangan baru, yaitu melintasi jeram ... bagaikan lomba arung jeram yang cukup mendebarkan tetapi mengasyikkan juga.
Lomba Arung Jeram.
Kami mendapat 4 buah perahu Dayak untuk
rombonganku yang pertama, agar dapat saling membantu bila ada masalah di
tengah sungai yang ganas dan menderu-deru suaranya itu.
Perahu dengan ukuran 5 - 6 meter, terbuat dari batang kayu utuh yang dilubangi dengan alur di tengahnya selebar 50 - 80 centimeter. Sangat labil, salah keseimbangan sedikit saja pasti perahu akan terbalik. Akan tetapi kalau sarat muatan dan cukup berat, justru perahu menjadi lebih stabil. Personil 5 – 7 orang yang tegap dan kekar, bertelanjang dada berdiri memegang galah bambu sepanjang 3 – 4 meter. Bambu itu untuk dihunjam pada batu-batu yang merintangi jalur lintasan perahu. Hanya kami ber-empat anggota di atas perahu dengan 5 orang awak. Nyawa kami tergantung kepada Kepala Perahu yang berada di depan, yang dengan cepat dan sigap melihat batu-batu di depan dan menepisnya dengan galah bambu itu, untuk menghindarkan perahu dari benturan dengan batu-batu. Karena bila hal ini sampai terjadi, bisa dibayangkan akibatnya, karena perahu kami meluncur dengan sangat cepat mengikuti derasnya arus sungai sekitar 30 – 40 kilometer/jam. Tetapi para awak perahu sudah sangat profesional betul dalam melakukan tugasnya yang sudah bertahun-tahun dilakukannya. Bahkan selama Dwikora 1964 - 1966 mungkin telah dilakukan perjalanan hilir mudik ini lebih dari 100 kali mengangkut bapak-bapak tentara ... tutur pak Lalung Bazar sang Kepala Perahu yang kami tumpangi.
Walau mereka sudah begitu menguasai tugasnya, sebelum berangkat aku tak lupa berdoa memohon kiranya Tuhan akan melindungi perjalanan kami. Amin.
Perahu dengan ukuran 5 - 6 meter, terbuat dari batang kayu utuh yang dilubangi dengan alur di tengahnya selebar 50 - 80 centimeter. Sangat labil, salah keseimbangan sedikit saja pasti perahu akan terbalik. Akan tetapi kalau sarat muatan dan cukup berat, justru perahu menjadi lebih stabil. Personil 5 – 7 orang yang tegap dan kekar, bertelanjang dada berdiri memegang galah bambu sepanjang 3 – 4 meter. Bambu itu untuk dihunjam pada batu-batu yang merintangi jalur lintasan perahu. Hanya kami ber-empat anggota di atas perahu dengan 5 orang awak. Nyawa kami tergantung kepada Kepala Perahu yang berada di depan, yang dengan cepat dan sigap melihat batu-batu di depan dan menepisnya dengan galah bambu itu, untuk menghindarkan perahu dari benturan dengan batu-batu. Karena bila hal ini sampai terjadi, bisa dibayangkan akibatnya, karena perahu kami meluncur dengan sangat cepat mengikuti derasnya arus sungai sekitar 30 – 40 kilometer/jam. Tetapi para awak perahu sudah sangat profesional betul dalam melakukan tugasnya yang sudah bertahun-tahun dilakukannya. Bahkan selama Dwikora 1964 - 1966 mungkin telah dilakukan perjalanan hilir mudik ini lebih dari 100 kali mengangkut bapak-bapak tentara ... tutur pak Lalung Bazar sang Kepala Perahu yang kami tumpangi.
Walau mereka sudah begitu menguasai tugasnya, sebelum berangkat aku tak lupa berdoa memohon kiranya Tuhan akan melindungi perjalanan kami. Amin.
Meluncur di Atas Jeram.
Kepala
perahu sudah tahu dan hafal betul letak batu-batu besar yang di kiri
kanan jalan yang kami lintasi dengan cepat, yang hanya berjarak 1 – 2
meter saja. Pengarah perahu mematuhi isyarat dan teriakan aba-aba dari
kepala perahu di depan. Bila pada jarak 200 meter di depan perahu
mendekati suatu jeram, kepala perahu dan seluruh awak perahu memberi
peringatan, agar kita semua memeriksa pelampung dan berpegang erat pada
kedua tepi perahu agar tidak terlempar keluar perahu.
Jeram itu berupa air terjun setinggi sekitar 3 – 10 meter, karena adanya keterjalan dasar sungai, sehingga air sungai jatuh bebas setinggi itu. Penduduk setempat menyebut jeram dengan kata geram, yah enak juga didengar, seenak meluncur di atas punggung jeram itu sendiri. Boleh dicoba bila dikemudian hari nanti daerah ini menjadi daerah wisata yang ada kalender arung jeram internasional, pasti ramai dikunjungi wisatawan manca negara.
Jeram ... atau geram pertama sudah ada di depan mata, jangan pejamkan mata dan selalu siaga agar bisa merespon dengan cepat segala situasi yang terjadi. Semua sudah berpegang erat dan wow ... perahu meluncur dengan sangat cepat ... dan sudah di punggung jeram. Tiba-tiba .... plung !! perahu terdorong dengan hebat ke depan, lalu .... kami sudah berada di dalam air, karena begitu jatuh dihempas jeram perahu meluncur ke dalam air. Perahu tetap bergerak perlahan dan kira-kira sekitar 100 meter perahu muncul kembali di atas permukaan air, kamipun bernafas lega. Tetapi hal itu tidak terlalu lama, sebab di depan kita sudah sederet tantangan menanti, batu-batu besar dan jeram atau geram itu. Betapa nikmatnya mengingat saat berada di atas punggung jeram walau hanya sesaat, tiba-tiba perahu terlempar ke depan dan ... jatuh ke dalam air.
Bisa dibayangkan bahwa ada 9 buah jeram yang harus dilalui sepajang sungai yang terus bergemuruh itu. Dan sahabat Max Turumbe juga melewati 9 jeram ini, ke hilir (turun) dan juga ke hulu (naik) ke Semamu. Hebatnya, kata awak perahu, kalau naik ke Semamu semua muatan harus dibongkar dan perahunya dipikul ramai-ramai melewati batu-batu di tepi sungai yang menanjak, betapa repot dan lelahnya. Ada 2 jeram besar, yaitu geram Belalau (+ 10 meter) dan geram Kayan (+ 6 meter).
Berkat pertolongan Tuhan pada jam 16.30 kami tiba dengan selamat di Babinuang.
Pada jam 17.00 kami diangkut dengan speed boat dan perahu motor menuju ke Malinau, dimana terdapat pelabuhan kapal.
Perjalanan kami selanjutnya menuju ke Tarakan dan Balikpapan.
Di Kodam IX/Mulawarman kami menyerahkan 2 orang tokoh masyarakat Krayan yang kami bawa, pak Tifa dan pak Paul untuk dimintai keterangannya tentang peristiwa kerusuhan yang terjadi.
Aku sempat ditugasi oleh Jakarta untuk mendampingi Kodam IX/Mulawarman selama pemeriksaan 2 tokoh ini, dimana pada saat itu pasukan telah kembali ke Jakarta. Setelah kurang lebih 2 minggu baru aku kembali ke induk pasukan.
E N D
Sukarno/Max Turumbu: September 2010
Jeram itu berupa air terjun setinggi sekitar 3 – 10 meter, karena adanya keterjalan dasar sungai, sehingga air sungai jatuh bebas setinggi itu. Penduduk setempat menyebut jeram dengan kata geram, yah enak juga didengar, seenak meluncur di atas punggung jeram itu sendiri. Boleh dicoba bila dikemudian hari nanti daerah ini menjadi daerah wisata yang ada kalender arung jeram internasional, pasti ramai dikunjungi wisatawan manca negara.
Jeram ... atau geram pertama sudah ada di depan mata, jangan pejamkan mata dan selalu siaga agar bisa merespon dengan cepat segala situasi yang terjadi. Semua sudah berpegang erat dan wow ... perahu meluncur dengan sangat cepat ... dan sudah di punggung jeram. Tiba-tiba .... plung !! perahu terdorong dengan hebat ke depan, lalu .... kami sudah berada di dalam air, karena begitu jatuh dihempas jeram perahu meluncur ke dalam air. Perahu tetap bergerak perlahan dan kira-kira sekitar 100 meter perahu muncul kembali di atas permukaan air, kamipun bernafas lega. Tetapi hal itu tidak terlalu lama, sebab di depan kita sudah sederet tantangan menanti, batu-batu besar dan jeram atau geram itu. Betapa nikmatnya mengingat saat berada di atas punggung jeram walau hanya sesaat, tiba-tiba perahu terlempar ke depan dan ... jatuh ke dalam air.
Bisa dibayangkan bahwa ada 9 buah jeram yang harus dilalui sepajang sungai yang terus bergemuruh itu. Dan sahabat Max Turumbe juga melewati 9 jeram ini, ke hilir (turun) dan juga ke hulu (naik) ke Semamu. Hebatnya, kata awak perahu, kalau naik ke Semamu semua muatan harus dibongkar dan perahunya dipikul ramai-ramai melewati batu-batu di tepi sungai yang menanjak, betapa repot dan lelahnya. Ada 2 jeram besar, yaitu geram Belalau (+ 10 meter) dan geram Kayan (+ 6 meter).
Berkat pertolongan Tuhan pada jam 16.30 kami tiba dengan selamat di Babinuang.
Pada jam 17.00 kami diangkut dengan speed boat dan perahu motor menuju ke Malinau, dimana terdapat pelabuhan kapal.
Perjalanan kami selanjutnya menuju ke Tarakan dan Balikpapan.
Di Kodam IX/Mulawarman kami menyerahkan 2 orang tokoh masyarakat Krayan yang kami bawa, pak Tifa dan pak Paul untuk dimintai keterangannya tentang peristiwa kerusuhan yang terjadi.
Aku sempat ditugasi oleh Jakarta untuk mendampingi Kodam IX/Mulawarman selama pemeriksaan 2 tokoh ini, dimana pada saat itu pasukan telah kembali ke Jakarta. Setelah kurang lebih 2 minggu baru aku kembali ke induk pasukan.
E N D
Sukarno/Max Turumbu: September 2010
Catatan :
Ketika di Kalimantan Barat dilakukan operasi penumpasan grombolan PGRS/PARAKU tahun 1967, Batalyon organic Kodam XII/Tanjungpura, yakni Batalyon 641 menduduki kawasan Kabupaten Bengkayang perbatasan Indonesia Malaysia, (Kabupaten Bengkayang dan Serawak). Kompi saya, kompi B Yonif 641 menduduki Desa Sungkung, Kecamatan Siding kab. Bengkayang.
Desa Sungkung terdiri dari 4 dusun, yaitu Sungkung Senuling, Sungkung Akit, Sungkung Sinebeh dan Sungkung Medeng. Kepala desa waktu itu berkedudukan di S.Akit. Letak masing masing dusun tidak terlalu jauh. Lima sampai sepuluh menit kira-kira ditempuh dengan jalan kaki. Masing masing desa diduduki satu pleton. Atau bila dipandang perlu saja sedang lainnya dikontrol dengan kegiatan patroli.
Dalam operasi ini peran tokoh masyarakat sangat diperlukan sebagai penggerak semangat rakyatnya dan juga sebagai informan. Karenanya kita lakukan pembinaan secara intensif. Kami menduduki desa Sungkung Cukup lama, hampir sepanjang masa tugas operasi selama 9 bulan. Desa lainnya terkontrol dengan patroli. Maka dari itu interaksi kami dengan masysrakat cukup kental.
Adalah seorang tokoh masyarakat,kepala suku di desa Sungkung Sibebeh. Usianya kurang lebih 50 tahun. Ia amat enerjig. Semangat tinggi, berani, berwibawa dan karenanya sangat disegani rakyatnya. Dalam hal membantu pasukan, banyak pengorbanannya. Baik tenaga maupun informasi dan jaminan keamanan bagi wilayah kekuasaannya. Bahkan dia berani berertanggung jawab bila wilayahnya sampai dijamah musuh. “Saya jaminannya” katanya. Bapak-bapak boleh tinggalkan kampong kami, saya yang tanggung jawab atas keamanan desa kami.
Lelaki ini namanya SUTIMAN. Lho, ini kan nama orang Jawa pada
umumnya. Tidak mungkin ada nama seperti ini di kalangan orang Dayak.
Setelah ditelusuri, menurut pengakuan yang bersangkutan ia dilahirkan
dari ibu orang Dayak dan Bapak orang Jawa.
Soal sebab musabab asimilasi Dayak Jawa disini tentu ia tidak bisa cerita lebih banyak. Kami maklumlah. Walaupun kami ini pasukan organic Kalimantan, namun mayoritas anggotanya dan para pimpinannya berasal dari daerah lain. Jawa masih yang terbanyak.
Mengetahui bahwa kami para pimpinan pasukan ini orang Jawa, menambah kebanggaannya menyandang nama Sutiman dan keturunan orang Jawa. Para pimpinan waktu itu antara lain: Lettu Mulyono (almarhum), alumni AMN 62, sebagai Komandan Kompi, saya sendiri Wadan Ki dan Letda Muhargo, salah seorang Dan Ton .
Banyak hal yang masih harus dijelaskan kepada masyarakat tentang kesadarannya sebagai warga Negara Indonesia. Ini sangat bisa dimaklumi karena mereka hidup dilingkungan yang amat terpencil. Tidak dijangkau oleh aktifitas Pemerintahan daerah setempat. Bahkan polisipun tidak ada dan tidak diperlukan disini, karena semua perkara cukup diproses secara adat (hukum adat).
Jangkauan kearah lingkungan negeri sendiri terkendala oleh akses yang sangat sulit dan jauh. Akhirnya masyarakat lebih banyak, ya hampir seluruhnya berinteraksi dengan Negara tetangga Serawak Malaysia. Hasil pertaniannya dijual ke Serawak, barter dengan barang kebutuhan mereka (sembako, alat alat kerja, dll). Terjadilah kegiatan lintas batas, yang akhirnya dilegalkan juga.
Berkaitan dengan itu pengaruh lingkungan Malaysia lebih dominant dibanding dengan pengaruh lingkungan Indonesia. Sejak Zaman konfrontasi mereka tetap beranggapan bahwa pesawat pesawat terbang (bahasa mereka, pesawat = bilon) yang mereka lihat mondar mandir di langit mereka itu kepunyaan Malaysia / Inggris, padahal itu pesawat kita, helicopter kita. Siaran radio RRI pusat dan RRI regional Pontianak tidak tertangkap di daerah Sungkung dan daerah perbatasan pada umumnya. Tetapi Siaran Radio Malaysia sangat jelas.
Timbul gagasan, untuk membawa Pak Sutiman turun kekota untuk mengeliminir anggapan yang keliru dari masyarakat tersebut. Maka ketika pasukan kami turun karena berakhirnya tugas, Kepala Suku Sutiman saya ajak turun bersama pasukan. Pertama kami ajak turun di Kecamatan Pemangkat Kabupaten Samabas, home base Kompi B 641. Selanjutnya kami kirim ke Singkawang Kalbar Ibu kota kab Sambas, Mako-Yon 641. Setelah puas dikota Singkawang, oleh Batalyon dibawa ke Kodam di Pontianak. Proses selanjutnya sudah diluar pengetahuan saya. Saya sudah konsulidasi di Home Base. Itu urusan Kodam.
Karena kami yang membawa turun, mau tak mau saya memonitor seperlunya. Ketika di Jakarta (entah urusan siapa di Jakarta), tetapi waktu itu urusan operasi kan ditangani Kopkamtib. Jadi ya merekalah yang mengurus. Kabarnya di Jakarta ia dibawa ke Lanud Halim dan Kemayoran untuk melihat-lihat pesawat terbang. Juga ketempat-tempat lainnya, termasuk merasakan naik kereta api. Entah dari mana kemana ndak jelas.
Disamping itu yang paling penting kabarnya dia diajak menghadap Bapak Presiden Suharto di Istana.
Selang beberapa minggu Sutiman dipulangkan. Seorang petugas dari Batalyon menyerahkan Sutiman kepada kami di Pemangkat, Markas Kompi B. Untuk beberapa hari ia tinggal dirumah saya. Dari Jakarta oleh oleh yang paling berharga adalah Surat penghargaan dari Presiden Suharto, yang di masukkan dalam sebuah map warna biru. Kedua adalah sebilah pisau belati dengan sarungnya yang bagus, juga dari Presiden. Selembar pita merah putih diikatkan dihulu belati itu. Ia amat bangga dengan hadiah Presiden tersebut.
Ia cerita banyak tentang Jakarta. Salah satu yang agak menggelikan adalah pengalamannya ketika naik kereta api. Pada saat ia tertidur gigi emasnya hilang. Rupanya ada orang jahil yang sengaja mencopet tlasah emas dari mulut kepala suku ini.
Selama dirumah saya sudah saya anggap seperti keluarga. Ia betah tinggal di Pemangkat karena hampir semua anggota saya kenal sama dia. Dia berkunjung kerumah-rumah anggota, dan diterima baik oleh mereka. Selama dirumah saya ia tertarik dengan sebuah tempayan kaca yang saya pakai untuk memelihara ikan hias. Tempayan itu berasal dari botol kaca besar bekas tempat cuka. Di Kalimantan banyak ditemukan ditoko-toko klontong. Biasanya leher botol itu dipotong, lalu diisi air untuk aquarium. Kelihatannya Sutiman kepingin banget dengan tempayan itu (Tempayan atau guci banyak digemari orang dayak). Maka tempayan itupun saya berikan kepadanya. Selain itu saya punya sepasang angsa. Didesanya Sutiman ada sungai yang airnya jernih. Saya sengaja menghadiahkan sepasang angsa itu kepada Sutiman.
Diantar ramai ramai oleh anggota saya, Sutiman melambaikan tangannya, menaiki perahu menuju Sambas, dari Sambas masih terus dengan perahu ke Seluas. Masih dengan perahu dari Seluas menuju Bunbung. Dari Bumbung jalan kaki ke Tawang dan akhirnya Sungkung. Perjalanan itu bisa memakan waktu 4 hari.
Selamat Jalan Pak Sukitman...
Soal sebab musabab asimilasi Dayak Jawa disini tentu ia tidak bisa cerita lebih banyak. Kami maklumlah. Walaupun kami ini pasukan organic Kalimantan, namun mayoritas anggotanya dan para pimpinannya berasal dari daerah lain. Jawa masih yang terbanyak.
Mengetahui bahwa kami para pimpinan pasukan ini orang Jawa, menambah kebanggaannya menyandang nama Sutiman dan keturunan orang Jawa. Para pimpinan waktu itu antara lain: Lettu Mulyono (almarhum), alumni AMN 62, sebagai Komandan Kompi, saya sendiri Wadan Ki dan Letda Muhargo, salah seorang Dan Ton .
Banyak hal yang masih harus dijelaskan kepada masyarakat tentang kesadarannya sebagai warga Negara Indonesia. Ini sangat bisa dimaklumi karena mereka hidup dilingkungan yang amat terpencil. Tidak dijangkau oleh aktifitas Pemerintahan daerah setempat. Bahkan polisipun tidak ada dan tidak diperlukan disini, karena semua perkara cukup diproses secara adat (hukum adat).
Jangkauan kearah lingkungan negeri sendiri terkendala oleh akses yang sangat sulit dan jauh. Akhirnya masyarakat lebih banyak, ya hampir seluruhnya berinteraksi dengan Negara tetangga Serawak Malaysia. Hasil pertaniannya dijual ke Serawak, barter dengan barang kebutuhan mereka (sembako, alat alat kerja, dll). Terjadilah kegiatan lintas batas, yang akhirnya dilegalkan juga.
Berkaitan dengan itu pengaruh lingkungan Malaysia lebih dominant dibanding dengan pengaruh lingkungan Indonesia. Sejak Zaman konfrontasi mereka tetap beranggapan bahwa pesawat pesawat terbang (bahasa mereka, pesawat = bilon) yang mereka lihat mondar mandir di langit mereka itu kepunyaan Malaysia / Inggris, padahal itu pesawat kita, helicopter kita. Siaran radio RRI pusat dan RRI regional Pontianak tidak tertangkap di daerah Sungkung dan daerah perbatasan pada umumnya. Tetapi Siaran Radio Malaysia sangat jelas.
Timbul gagasan, untuk membawa Pak Sutiman turun kekota untuk mengeliminir anggapan yang keliru dari masyarakat tersebut. Maka ketika pasukan kami turun karena berakhirnya tugas, Kepala Suku Sutiman saya ajak turun bersama pasukan. Pertama kami ajak turun di Kecamatan Pemangkat Kabupaten Samabas, home base Kompi B 641. Selanjutnya kami kirim ke Singkawang Kalbar Ibu kota kab Sambas, Mako-Yon 641. Setelah puas dikota Singkawang, oleh Batalyon dibawa ke Kodam di Pontianak. Proses selanjutnya sudah diluar pengetahuan saya. Saya sudah konsulidasi di Home Base. Itu urusan Kodam.
Karena kami yang membawa turun, mau tak mau saya memonitor seperlunya. Ketika di Jakarta (entah urusan siapa di Jakarta), tetapi waktu itu urusan operasi kan ditangani Kopkamtib. Jadi ya merekalah yang mengurus. Kabarnya di Jakarta ia dibawa ke Lanud Halim dan Kemayoran untuk melihat-lihat pesawat terbang. Juga ketempat-tempat lainnya, termasuk merasakan naik kereta api. Entah dari mana kemana ndak jelas.
Disamping itu yang paling penting kabarnya dia diajak menghadap Bapak Presiden Suharto di Istana.
Selang beberapa minggu Sutiman dipulangkan. Seorang petugas dari Batalyon menyerahkan Sutiman kepada kami di Pemangkat, Markas Kompi B. Untuk beberapa hari ia tinggal dirumah saya. Dari Jakarta oleh oleh yang paling berharga adalah Surat penghargaan dari Presiden Suharto, yang di masukkan dalam sebuah map warna biru. Kedua adalah sebilah pisau belati dengan sarungnya yang bagus, juga dari Presiden. Selembar pita merah putih diikatkan dihulu belati itu. Ia amat bangga dengan hadiah Presiden tersebut.
Ia cerita banyak tentang Jakarta. Salah satu yang agak menggelikan adalah pengalamannya ketika naik kereta api. Pada saat ia tertidur gigi emasnya hilang. Rupanya ada orang jahil yang sengaja mencopet tlasah emas dari mulut kepala suku ini.
Selama dirumah saya sudah saya anggap seperti keluarga. Ia betah tinggal di Pemangkat karena hampir semua anggota saya kenal sama dia. Dia berkunjung kerumah-rumah anggota, dan diterima baik oleh mereka. Selama dirumah saya ia tertarik dengan sebuah tempayan kaca yang saya pakai untuk memelihara ikan hias. Tempayan itu berasal dari botol kaca besar bekas tempat cuka. Di Kalimantan banyak ditemukan ditoko-toko klontong. Biasanya leher botol itu dipotong, lalu diisi air untuk aquarium. Kelihatannya Sutiman kepingin banget dengan tempayan itu (Tempayan atau guci banyak digemari orang dayak). Maka tempayan itupun saya berikan kepadanya. Selain itu saya punya sepasang angsa. Didesanya Sutiman ada sungai yang airnya jernih. Saya sengaja menghadiahkan sepasang angsa itu kepada Sutiman.
Diantar ramai ramai oleh anggota saya, Sutiman melambaikan tangannya, menaiki perahu menuju Sambas, dari Sambas masih terus dengan perahu ke Seluas. Masih dengan perahu dari Seluas menuju Bunbung. Dari Bumbung jalan kaki ke Tawang dan akhirnya Sungkung. Perjalanan itu bisa memakan waktu 4 hari.
Selamat Jalan Pak Sukitman...
● Diposkan Erwin Parikesit (Kaskuser)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.