Rapat Kabinet Jepang yang Pertama di awal tahun baru |
MINGGU
depan PM Jepang Shinzo Abe akan mengunjungi Indonesia, berarti yang
pertama kali dalam kunjungan resmi sebagai PM Jepang ke luar Jepang,
yang sebelumnya direncanakan pertama kali justru ke Amerika Serikat. Hal
ini perlu dicatat dan diingat sekali, karena kunjungan pertama dalam
diplomasi luar negeri, memiliki arti yang sangat besar. Betapa
pentingnya hubungan Jepang-Indonesia, dikunjungi pertama kali oleh
seorang Kepala Negara negeri Sakura. Belum pernah hal ini terjadi dalam
sejarah hubungan kedua negara yang telah mencapai 60 tahun.
Kini
kunjungan negara dan juga sahabat tercinta kita Jepang sudah di depan
mata. Ada apa gerangan Jepang melihat begitu pentingnya hubungan
Jepang-Indonesia saat ini?
Pertama,
basa-basi diplomasi di mana pun sama, setelah dilantik tanggal 26
Desember 2012, bagi Indonesia Hari Natal Kedua, Abe ingin “sowan”, ingin
melakukan kunjungan kehormatan, kepada negara tetangganya yang paling
disayanginya, Indonesia.
Kedua,
hubungan kedua negara terutama di bidang bisnis dan bantuan keuangan
Jepang sangat besar kepada Indonesia. November lalu Jepang sepakat
memberikan pinjaman 3,4 triliun yen kepada Indonesia, untuk berbagai
pembangunan infrastruktur, terlebih penyiapan lokasi kawasan industri di
Tangerang untuk kompleks industri berbagai pabrik Jepang di tahun-tahun
mendatang, yang kita kenal dengan sebutan Smart City.
Perdagangan, ekspor impor, dan investasi Jepang di Indonesia sangat raksasa apabila dijumlah bersama, mencapai puluhan miliar dolar AS setiap tahunnya. Keberadaan bisnis Jepang di Indonesia, terbesar kedua setelah Cina.
Melihat
besarnya keterlibatan bisnis Jepang di Indonesia, sebagai kepala
negara, Abe sangat bertanggungjawab menjaga kelancaran bisnis dan ekonomi Jepang dengan
Indonesia, setelah September tahun lalu dihajar habis oleh unjuk rasa
dan keributan besar di Cina, gerakan anti Jepang besar-besaran, yang
tetap terasa dampaknya hingga kini di bidang bisnis kedua negara.
Padahal jumlah terbesar bantuan Jepang ke luar negeri lewat Official
Development Assistance (ODA) adalah kepada Cina. Ibaratnya, kucing lupa
sama kulitnya. Sudah dibantu, kini malahan seolah lupa kepada jasa si
pemberti bantuan.
Ketiga,
inilah yang terpenting. Sampai dengan hari ini kapal-kapal Cina masih
saja mendekati kepulauan Senkaku yang dijaga ketat oleh kapan perairan
Jepang. Bahkan pernah kapal terbang perang Jepang ikut menjaga kepulauan
Senkaku yang nyata-nyata milik Jepang itu, untuk mengusir kapal-kapal
laut Cina dan juga kapal terbang Cina yang terbang mendekati kepulauan
Senkaku.
Cina
pun dengan terbuka menggembar-gemborkan berita mengenai kapal perang
penjelajahnya yang besar itu, dengan dalih latihan militer bergerak ke
lautan bebas. Mungkin maksudnya menyatakan kepada dunia, bahwa Cina
telah siap menghadapi musuh, entah siapa musuh yang dimaksud tak ada
yang tahu.
Gangguan
kapal-kapal Cina, termasuk kapal laut resmi pemerintah Cina yang
berlayar mendekati sekali kepulauan Senkaku, hampir setiap hari pada
akhir-akhir ini, jelaslah membuat pusing pemerintahan Abe. Padahal
pemerintah Jepang telah berkali-kali menegor dan protes hal itu lewat
Kedutaan Cina yang ada di Tokyo.
Kepusingan
inilah membuat Abe yang dianggap sangat nasionalis oleh rakyatnya,
gerah juga melihat hal-hal yang membuat tegang hubungan kedua negara
tersebut hingga detik ini. Padahal urusan dalam negeri Jepang banyak
sekali yang harus diselesaikan, termasuk dampak gempa bumi 9 skala
Richter tanggal 11 Maret 2011 belum juga pulih kembali sampai saat ini.
Oleh karena
itu kunjungan ke luar Jepang, meskipun dengan berbagai bumbu diplomatik
apa pun seperti yang disebutkan di atas, pada hakekatnya adalah untuk
meminta dukungan serta kerjasama yang lebih baik lagi, memberikan
pengertian kepada negara yang dikunjungi, terutama mengenai hubungannya
dengan Cina akhir-akhir ini.
Dengan kata sederhana, ayolah bantu kami, dukung kami, tolong sampaikan kepada Cina, agar bisa mengontrol kapal-kapalnya tidak datang
terus-menerus ke kepulauan Senkaku, dan terakhir marilah berdamai lewat
Mahmakah Internasional, tempat yang paling adil, jujur dan dapat
dipercaya oleh masyarakat dunia bagi solusi sebuah sengketa dua negara
atau lebih.
Di
sinilah letak kunci kunjungan Abe kali ini. Indonesia perlu lebih
berani mengatakan kepada Jepang bahwa Indonesia mendukung Jepang dan
akan menjadi penengah dalam sengketa kepulauan Senkaku, akan meminta
Cina maju ke Mahkamah Internasional agar sengketa bisa segera selesai.
Ketegangan
dua negara di Asia, terutama Jepang dan Cina jelas akan membuat pusing
pula negara lain karena hal ini akan berpengaruh pula pada bidang bisnis
(dan atau ekonomi) .
Apabila
terjadi keributan, ketegangan yang memuncak, tentu perekonomian akan
terganggu total, nilai mata uang asing akan terganggu total, semuanya
tak ada yang baik, bukan hanya bagi kedua negara tersebut, tetapi juga
bagi negara lain di Asia, termasuk perekonomian Indonesia dipastikan
akan berguncang pula.
Kita
berharap Cina perlu berbesar hati untuk mau maju ke Mahkamah
Internasional menyelesaikan kasus Sengkaku ini. Bukan justru dengan
berkeras kepala dan kaku, tetap saja menyatakan Sengkaku miliknya,
sehingga tak perlu ke Mahkamah Internasional. Lha, Jepang saja yang
nyata-nyata memiliki kepulauan Senkaku ingin sekali mengajukan permasalahan ke Mahkamah Internasional sejak lama, kok Cina tidak mau?
Untuk
itulah sekali lagi, Indonesia perlu lebih tegas dan segera membantu
Jepang dalam kasus Senkaku, berbicara dari hati ke hati agar Cina
bersedia maju ke Mahkamah Internasional secepat mungkin.
Segala
perkembangan ekonomi yang terjadi di Asia termasuk di Indonesia akan
langsung jatuh bagaikan kejatuhan dari tebing tinggi, apabila kedua
negara ini bertikai tegang sampai mendekati perang. Tak ada yang untung,
tak ada yang senang, kecuali industri militer yang senang, bisnis
militernya bangkit kembali, persenjataannya terpakai kembali karena ada
perang. Apakah memang perang yang diinginkan kita semua?
Oleh Richard Susilo
Koordinator Forum Ekonomi Jepang-Indonesia (JIEF) yang berdomisili di Jepang lebih dari 20 tahun.
Saya rasa tulisan diatas terlalu memposisikan Jepang sebagai yang benar.
BalasHapusSebagai koordinator JIEF mungkin RS lebih pro dgn Jepang, sehingga disebutkan China seperti "kacang lupa dengan kulitnya".
Coba kita flash back ke masa lampau. Tragedi pembantaian masal dan pemerkosaan yg dilakukan oleh Bangsa Jepang kepada rakyat China dan Korea pada saat perang. Apa Jepang hingga saat ini sudah mengakui sejarah tersebut dan meminta maaf kepada China dan Korea? Belum kan.
Belum lagi kedekatan Jepang dengan Sekutu yang jelas-jelas merupakan musuh China.
Dan raya rasa posisi Indonesia harus pada jalan yang netral (bukan hanya kita merupakan negara non blok, tetapi juga kita merupakan negara sahabat baik untuk jepang maupun untuk china). Menjadi penengah ok, tapi bila berpihak tidak.
Biarkan saja Jepang dilindas Cina, Indonesia sampai sekarang pun masih berjuang utk maju karena penjajahan Jepang dan Indonesia selalu mendapat hambatan thd penghancur/musuh2 dlm slimut NKRI.
BalasHapus