Oleh
: Letjen TNI (Purn) Tjokropranolo
Pak Dirman
Ada di Tengah-Tengah Kita
Pak Dirman Mimpin Kita !
Hidup Pak Dirman
Penyerbuan
Belanda secara mendadak atas Ibukota RI di Yogyakarta dengan
harapan bahwa pemerintah RI akan dapat ditaklukan secepatnya,
ternyata meleset. Pasukan Belanda dengan perangkat mesin perangnya
yang mutakhir bergerak dengan menerapkan taktik blitzkrieg
ala Nazi Hitler sewaktu Jerman Raya menyerbu negeri Belanda
tahun 1940. Mereka tidak menyadari dan tidak membaca pertanda
zaman bahwa pada jiwa dan semangat bangsa Indonesia waktu
itu sudah terjadi perubahan besar sejak Proklamasi Kemerdekaan
di tahun 1945.
Demikian
pula timbulnya rasa dan kepercayaan atas kemampuan bangsa
Indonesia sendiri, sebagai akibat dari apa yang telah diperlihatkan
oleh Jepang pada teater Asia dan Pasifik, yaitu penaklukan
atas penjajah bangsa Eropa (Inggris, Belanda, Prancis) dan
Amerika. Bersamaan waktu itu pula di Kaliurang, dekat Kota
Yogyakarta, tengah berlangsung perundingan antara pihak Indonesia
dan Belanda di bawah pengawasan KTN (Komisi Tiga Negara) selaku
wakil Dewan Keamanan PBB. Tentu saja para diplomat kita termasuk
Bung Hatta, selaku Perdana Menteri RI yang mengikuti perundingan
itu amat terkejut atas peristiwa penyerbuan Belanda tersebut.
Sehari
sebelum Belanda melancarkan surprise attack atau serangan
mendadak, Wakil II Kasap Kolonel T.B. Simatupang pada pagi
harinya, tanggal 18 Desember 1948, telah datang untuk menghadap
dan melaporkan kepada Pak Dirman di rumahnya, mengenai jalannya
dan hasil perundingan di Kaliurang yang telah ia hadiri selaku
wakil dari Angkatan Perang dalam Delegasi RI, bahwa perundingan
tersebut berjalan sangat seret tetapi diharapkan masih tetap
berlanjut.
Pengalaman
dari perundingan Linggarjati dan Renville menunjukan pihak
Belanda selalu mengingkari isi seluruh perjanjian dan kemudian
mengadakan penyerbuan ke daerah RI. Tata cara pihak Belanda
untuk memacetkan perundingan merupakan isyarat yang jelas
supaya pihak Indonesia tetap waspada terhadap gelagat Belanda.
Untuk kepentingan siasat dan menjaga kesehatannya, sebenarnya
Pak Dirman sudah diminta oleh beberapa stafnya agar segera
meninggalkan Yogya, dan untuk beliau sudah disediakan suatu
tempat yang dipandang aman apabila sewaktu-waktu Belanda menyerang.
Tetapi
beliau tetap menolaknya, bahkan mengatakan bahwa beliau hanya
akan meninggalkan kota jika pasukan pertama Belanda masuk
kota. Beliau adalah seorang yang mempunyai rasa percaya akan
diri sendiri, selalu mempunyai perhitungan yang unik, keberanian
yang luar biasa, dan memiliki ketenangan didalam mengambil
langkah-langkah tindakannya.
Meskipun
Panglima Besar Soedirman masih dalam keadaan sakit dan oleh
dokter belum boleh bangun dari tempat tidurnya, pada waktu
penyerbuan Belanda tanggal 19 Desember 1948 itu, syukur Alhamdulillah
Panglima Besar sehari sebelumnya mengumumkan bahwa beliau
mengambil alih dan memegang kembali tampuk pimpinan Angkatan
Perang RI (APRI), sehingga seluruh kesatuan komando dan mental
para prajurit TNI bagaikan bangkit kembali bersamaan dengan
pancaran sinar matahari yang amat cerah pada pagi hari itu.
Situasi Indonesia pun telah berubah menjadi begitu gawat sebagai
akibat tindakan serangan Belanda yang dipimpin oleh Bell-Spoor
dengan sistem doorstoot atau serbuan menusuk ke Yogya itu.
Serangan itu jelas sekali mendapat restu dari pemerintah Belanda,
walaupun harus melalui serangkaian protes dari kelompok PvdA
(Partij van de Arbeid = Partai Buruh) di Parlemen Belanda
yang bersikeras dan mengusulkan agar rencana aksi militer
tersebut sebaiknya ditunda atau dibatalkan saja. Namun pihak
KVP (Partai Katolik) di bawah pimpinan Romme tetap mendukung
suatu upaya penyerangan tuntas dan final terhadap Indonesia.
Akhir dari serangan tersebut telah membawa kabinet Belanda
ke ambang situasi krisis politik.
Serbuan
itu mula-mula didahului dengan suatu manuver Angkatan Udara,
dilanjutkan dengan pemboman dan tembakan gencar dari pesawat
udara Belanda yang langsung menyerang Pangkalan Udara Maguwo
(sekarang Adisucipto). Setelah mereka merasa berhasil melumpuhkan
Maguwo, barulah dilakukan penerjunan dari udara oleh sejumlah
pasukan para militer elit Belanda sekitar pukul 05.45 BBWI.
Pemboman dan penembakan mitraliur dari pesawat-pesawat udara
Belanda serta penerjunan pasukan paranya itu, berlangsung
tanpa perlawanan yang berarti dari pihak tentara Indonesia
karena selain belum siaga, juga karena TNI belum memiliki
peralatan anti serangan udara yang memadai. Bahkan banyak
juga dari mereka yang mengira bahwa peristiwa hingar bingar
itu berasal dari pihak TNI sendiri yang sedang mengadakan
latihan perang-perangan di sekitar Maguwo. Sungguh tragis!
Sesuai
dengan pengumuman tentang akan adanya rencana latihan perang-perangan
pada hari-hari itu, ternyata Belanda memanfaatkan rencana
TNI tersebut dan betul-betul TNI diserang habis-habisan oleh
musuh. Perlawanan hanya dapat dilakukan oleh sedikit dari
pasukan yang berada di lapangan udara tersebut, khususnya
TNI AU, yang telah terjebak dalam serbuan Belanda.
Pasukan
yang menjaga di pangkalan udara itu telah dibuat kocar-kacir,
sehingga perlawanan seporadis yang dilakukan oleh kesatuan-kesatuan
kecil pasukan dan Laskar bersenjata yang ada, hanya berhasil
menghambat pasukan Belanda yang akan bergerak menuju ke jantung
Ibu kota RI Yogyakarta. Setelah penerjunan pasukan paranya
di Maguwo, untuk sementara mereka berkumpul di situ untuk
mengkonsolidasikan pasukannya dan menunggu pasukan-pasukan
Belanda lainnya, yang bergerak lewat darat dari jurusan Barat
dan Timur kota Yogya. Pasukan Belanda juga membom dan menembaki
benteng Vredenburg, yang berada di depan Gedung Agung (Istana
Presiden) yang dipakai sebagai kementerian pertahanan RI.
Pasukan Belanda pun sebenarnya merasa khawatir dan memperkirakan
akan mendapatkan perlawanan yang hebat di Yogya. Dan bukan
mustahil mereka akan berhadapan pula dengan perlawanan dari
sejumlah snipers (penembak tersembunyi) yang ditempatkan oleh
TNI di dalam kota Yogya. Oleh karena kekhawatiran itulah pasukan
Belanda yang telah mendarat di Maguwo, sekitar pukul 06.00
BBWI, baru berusaha memasuki kota dan mencapai Gedung Agung
sekitar pukul 14.00 BBWI.
Kurang
adanya perlawanan yang berarti terhadap pasukan Belanda itu
karena kebetulan sekali pada hari-hari itu sebagian besar
pasukan TNI berada di luar kota dan sedang bertugas, antara
lain : melakukan pembersihan di kantong-kantong wilayah eks
PKI, menjaga garis demarkasi pertahanan Indonesia-Belanda
sesuai persetujuan Renville, latihan perang-perangan “atas
serbuan ke Yogya” yang telah di umumkan sebelumnya, berlangsungnya
kesibukan reorganisasi di komando Yogya (KMK) yang baru saja
dimulai, dan juga berbagai kesibukan puncak lainnya seperti
pertahanan linier ke Gerilya dan Wingate pasukan Siliwangi
dari daerah Jawa Tengah ke Jawa Barat. Bahkan sebagian dari
Batalyon Rukman, yaitu Divisi Siliwangi, sudah berangkat ke
daerah Cirebon. Sedang Kepala Negara Bung Karno juga tengah
melakukan persiapan terakhir untuk kunjungan kenegaraan ke
New Delhi (India).
Banyak
hal yang terjadi di antara waktu pasukan Para Belanda terjun
di Maguwo pada pagi hari, dan sewaktu mereka tiba pada sore
harinya di Gedung Agung, tempat kediaman/kantor Presiden RI.
Menjelang serbuan mendadak Belanda itu, sebagian pasukan mobil
PT/CPM yang saya pimpin baru saja semalam suntuk selesai menjalankan
tugas membersihkan sisa-sisa kekuatan PKI di daerah Yogya.
Kabarnya, sisa-sisa komunis ini akan mengadakan aksi pemberontakan
ulangan. Informasi itu diperoleh dari Kepala Polisi Yogya.
Operasi itu dipimpin Letkol Mokoginta yang pada waktu itu
menjabat sebagai Panglima PT/CPM Indonesia. Sekitar pukul
06.00 BBWI pada tanggal 19 Desember 1945 itu, saya yang sedang
menjalankan tugas semalam suntuk dan memegang pimpinan Kompi
“T” (Kie Tjokropranolo) dan sebagian pasukan mobil
Yon PT/CPM, telah menerima informasi atas gerakan pasukan-pasukan
militer asing di Maguwo dan mengetahui dengan pasti adanya
penerjunan pasukan Belanda di Maguwo.
Oleh karena
itu saya ambil kebijaksanaan melepaskan semua tahanan PKI
yang waktu itu terkena tindakan pembersihan, agar dapat lebih
memusatkan diri pada tugas utama saya. Kemudian secepatnya
saya mengadakan konsolidasi pasukan PT/CPM yang saya pimpin,
bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan yang segera dapat
terjadi, karena pasukan Belanda pastilah akan bergerak menuju
jantung kota Yogya, lewat Pakualaman, ke kediaman Pak Dirman
dan menahan Panglima Besar yang sedang sakit keras di Wirogunan.
Karena
situasi sudah semakin gawatnya, saya mengambil langkah-langkah
yang cepat sebagai berikut : Pertama, atas permintaan Mayor
Sakri Soenarto Ko Bat PT/CPM yang baru kembali dari tahanan
PKI, agar saya memeriksa kesiagaan pasukan pengawal Presiden
RI dan Wakil Presiden yang tugas pengawalannya akan diserahkan
dan dilaksankan oleh Kie Soesatio. Mayor Sakri Soenarto sedang
mengadakan konsolidasi pasukan-pasukan PT/CPM lainnya. Kedua,
saya harus meneliti kelengkapan dan kesiagaan pasukan pengawal
Panglima Besar yang ditugaskan kepada Pleton Djoemadi, dengan
kekuatan personelnya yang terdiri dari 80 orang prajurit dari
Kie “T”. Pasukan-pasukan lain dari Kie “T”
dipersiapkan menuju ke Yogya Utara, daerah Kaliurang, di kaki
gunung Merapi, yaitu tempat basis gerilya yang telah ditetapkan.
Mobil
Batalyon yang dipimpin oleh Sakri Soenarto yaitu mobil Yon
“A”, mula-mula bergerak ke arah Selatan Yogya, kemudian
berpindah tempat ke daerah Kaliurang, tempat logistik Kie
“T” yang telah dipersiapkan sejak lama sebagai basis
utama untuk berperang secara gerilya. Sesudah memberikan petunjuk-petunjuk
itu kepada Djoemadi, saya bermaksud akan membantu pasukan
Infanteri yang ada di kota guna mencegah pasukan Belanda yang
bergerak memasuki Yogya, lewat Pakualaman. Hanya dari arah
inilah pasukan Belanda mungkin berhasil mencapai ke arah kediaman
Pak Dirman, dan selanjutnya akan dapat menerobos terus ke
Gedung Agung, yaitu tempat kediaman resmi Presiden RI. Akan
tetapi karena tidak ada pasukan Infanteri kita yang berada
di sekitar daerah itu dan yang ada adalah pasukan saya yang
tengah menjaga keamanan di rumah Pak Dirman, dan selanjutnya
akan dapat menerobos terus ke Gedung Agung, yaitu tempat kediaman
resmi Presiden RI. Akan tetapi karena tidak ada pasukan infanteri
kita yang berada di sekitar daerah itu dan yang ada adalah
pasukan saya yang tengah menjaga keamanan di rumah Pak Dirman,
saya bertekad dengan pasukan yang ada untuk sebisanya mempertahankan
daerah sekitar Pakualaman, sampai waktunya Pak Dirman menetapkan
sendiri kapan keberangkatan ke luar kota akan dilaksanakan,
yaitu berangkat menuju Jawa Timur.
Untuk
itu saya tempatkan mitraliur-mitraliur anti anti serangan
udara dan darat di halaman depan Puri Pakualaman. Atas permintaan
Sri Pakualam pribadi untuk segera menyingkirkan semua persenjataan
artileri dari tempat itu, saya tidak bisa berbuat lain, kecuali
harus memindahkan peralatan tersebut ke lokasi yang lain.
Belakangan barulah saya menyadari bahwa permintaan itu bertujuan
agar pasukan Belanda tidak menjatuhkan bom atau menembaki
Puri Pakualaman. Dengan demikian, Puri Pakualaman terhindar
dari kehancuran dan tetap utuh.
Istana
adalah salah satu dari “tetenger” budaya Bangsa
Indonesia. Berdasarkan pertimbangan itu, penjagaan saya pusatkan
di sekitar rumah kediaman Pak Dirman yaitu sebuah lokasi yang
menghadap ke arah jurusan jalan Maguwo.
Mendengar bahwa saya sudah berada di situ, Pak Dirman memerintahkan
salah seorang yang kebetulan berada di kamarnya untuk memanggil
“Nolly” (panggilan akrab beliau dan keluarga terhadap
saya) supaya segera datang dan menghadap. Ketika saya masuk
kamar Pak Dirman, saya temui beliau masih terbaring di tempat
tidurnya. Setelah saya memberi hormat sambil mengucapkan “siap”,
Pak Dirman memerintahkan kepada saya agar menyiapkan kendaraan
dan para pengawal untuk pergi ke Gedung Agung.
Dalam keadaan fisik yang masih lemah karena baru saja menjalani
operasi paru-paru, beliau memaksakan diri untuk pergi ke Gedung
Agung guna menemui Presiden Soekarno. Tanpa pikir panjang,
saya menyiapkan sebuah mobil sedan dan sebuah kendaraan pick-up
untuk membawa beliau dan para pengawalnya. Maksud Pak Dirman
menemui Presiden ialah untuk mendapatkan keputusan-keputusan
berkenaan dengan situasi terakhir yang sudah sangat kritis
itu. Kapten Soepardjo Rustam yang diutus oleh Pak Dirman ke
Kepresidenan, setelah lama ditunggu-tunggu ternyata belum
juga kembali, sementara Pak Dirman sudah tidak sabar untuk
menunggu lebih lama lagi. Oleh karena itu ia merasa perlu
segera pergi menemui Presiden di Gedung Agung. Ibu Soedirman
dihadapan dokter pribadi, yaitu Mayor Dr. Soewondo dan saya,
berusaha mencegah Pak Dirman untuk berangkat ke Gedung Agung
dan menyarankan agar bersabar dulu menunggu datangnya Pak
Pardjo, tetapi tampaknya Pak Dirman sudah tidak sabar dan
memutuskan untuk pergi sendiri. Panglima mencium sesuatu yang
tidak beres sedang terjadi di Istana. Nalurinya mulai bekerja
dan ada sesuatu hal penting yang meresahkan pikirannya.
Beliau,
seperti menerima kekuatan gaib, bangun dari tempat tidurnya,
perlahan-lahan berdiri dan dengan hanya mengenakan pakaian
piama ditutupi mantel tebal berwarna coklat, mulai berjalan
meskipun harus dipapah dan dibantu oleh dokter Soewondo dan
saya, menuju kedalam mobil yang sudah saya siapkan di depan
rumah.
Dalam
perjalanan itu dokter Wondo duduk di belakang sambil mendampingi
Pak Dirman, sedang saya duduk di samping supir dengan perasaan
prihatin dan was-was. Atas terjadinya agresi pihak militer
Belanda yang untuk kedua kalinya ini Jenderal Soedirman kemudian
mengeluarkan sebuah perintah, yang isinya sebagai berikut :
Perintah Kilat No. 1/PB/D/48
1. Kita telah diserang
2. Pada tanggal 19 Desember 1948 Angkatan Perang Belanda menyerang kota Yogyakarta dan Lapangan Terbang Maguwo
3. Pemerintah Belanda telah membatalkan persetujuan gencatan senjata
4. Semua Angkatan Perang menjalankan rencana yang telah ditetapkan untuk menghadapi serangan Belanda
Dikeluarkan di : Jakarta
Tanggal : 19 Des 1948
Jam : 08.00
Panglima Besar Angkatan Perang Republik Indonesia
Letnan Jenderal Soedirman
Setelah
perintah kilat ini dikeluarkan, dengan sendirinya strategi
kita adalah meninggalkan penerapan sistem pertahanan Linier
dan beralih kepada penerapan strategi perang geriliya. Dengan
kata lain kota Yogya tidak akan bisa pertahankan dengan pasukan
besar secara linier, tetapi akan beralih ke perang geriliya,
berperang dan bertahan di desa-desa, gunung-gunung dan hutan
belantara. Dengan pasukan-pasukan kecil di luar kota, dan
terus-menerus tanpa mengenal waktu dan lelah, kita menyerang
pasukan-pasukan Belanda dimana saja mereka berada, sesuai
dengan Surat Perintah yang dikeluarkan sebelumnya yaitu Perintah
Siasat No. 1 Mei ’48. Strategi inilah yang ternyata dikemudian
hari dapat mengalahkan strategi pihak pemerintah Belanda untuk
menjajah kembali Indonesia. Belanda dengan strategi TNI ini
tidak dapat menghancurkan TNI yang didukung serta dilindungi
oleh rakyatnya yang ingin merdeka.
Memang
mereka dapat memenangkan suatu pertempuran seperti halnya
pertempuran di Yogya. Namun secara strategis dalam jangka
panjang, mereka akan kalah, tinggal masalah waktu saja. Mereka
tidak akan bertahan dalam waktu lama dan akan segera jera
karena tidak dapat menghancurkan TNI, bahkan TNI sebaliknya
dapat menyusup ke daerah-daerah yang sudah diduduki Belanda.
Pasukan-pasukan
dari Divisi ke Jawa Barat, Divisi Brawijaya ke Ujung Timur
Jawa-Surabaya dan Malang, Divisi Diponegoro ke Semarang, Banyumas,
Pekalongan dan Pati.
Di Sumatera, TNI bergerak masuk ke hutan-hutan. Belanda akan
jera karena biaya perang mereka semakin lama semakin membesar
dan mahal. Juga jera karena moril tentara mereka makin lama
akan merosot karena jauh dari negaranya serta memerlukan dana/logistik
yang besar dan cepat, tetapi juga menuntut loyalitas para
prajurit mereka di dalam melakukan perang yang berkepanjangan.
Selain itu pula mereka tidak habis-habisnya diganggu serta
diserang terus-menerus oleh TNI, yang tiba-tiba menyusup dan
datang dari desa-desa, gunung-gunung, dan hutan-hutan.
Perintah
Kilat tersebut ditulis tangan sendiri oleh Pak Dirman dalam
secarik kertas yang hurufnya terlihat samar-samar, tetapi
dapat terbaca dengan jelas oleh kapten Pardjo (ajudan Pak
Dirman). Kemudian teks perintah tersebut diberikan kepada
Vaandrig Kadet Utoyo Kolopaking (sekarang dosen pada Fakultas
Hukum UI di Jakarta), agar ia segera meneruskannya lewat telepon
ke RRI Yogya dan meminta agar segera mungkin teks tersebut
dapat disiarkan. Isi perintah kilat ini diumumkan, sesuai
penjelasan dari Kol. Nasution dalam rapat sewaktu Perintah
Siasat No. 1 Mei ’48 ditandatangani oleh Pak Dirman,
maka bagi para komandan kesatuan masing-masing dibenarkan
untuk mengambil inisiatif dan mengubah taktik perlawanan dari
linier atau konvensional. Desa-desa, hutan-hutan dan gunung-gunung
dijadikan terugval basis, yaitu tempat berlindung, dan dari
tempat ini pula pasukan TNI mengorganisir penyerangan atau
penghadangan terhadap musuh. Pak Dirman di dalam pidato-pidatonya,
selalu mengungkapkan bahwa beruntung Allah SWT telah memberikan
kepada kita gunung-gunung, lembah-lembah, hutan-hutan, sungai-sungai
dan kekayaan alam lainnya yang memungkinkan kita bisa bertahan
melakukan perang gerilya melawan musuh yang alat persenjataannya
jauh lebih lengkap, dengan jiwa dan semangat perjuangan yang
lebih teguh daripada lawan. Dalam salah satu pidato sebelum
tanggal 19 Desember 1948 Pak Dirman mengatakan :
…..“Bukan
kemungkinan lagi, tapi hal yang nyata Belanda Menjalankan
Plan B” .
1. Percaya
kepada diri sendiri, jangan hendaknya menantikan pertolongan
dan bantuan dari luar negeri.
2. Teruskan perjuangan sekarang ini, hendaknya jangan ada
di antara kita yang kandas di tengah jalan.
3. Pertahankan dengan segenap tenaga pekarangan dan rumah
kita. Rebut kembali apa-apa yang sudah di tangan musuh.
4. Jangan ada di antara kita yang mempunyai sifat menyerah,
menyerah berarti berkhianat terhadap saudara dan kawan kita
yang dengan ikhlas sudah mengorbankan jiwanya guna kepentingan
Tanah Air kita.
5. Tunduk lahir dan batin kepada disiplin Tentara …”
Sebelum
Belanda menyerang, Pak Dirman pun telah berpidato dan memberikan
petunjuk-petunjuk mengenai siasat dan taktik perang gerilya
yang untungnya karena selalu dianggap remeh, kurang diperhatikan
Belanda, yaitu :
Amalkanlah
Janji dan Tekad
…..” Di dalam kita menghadapi ujian sejarah yang
sedahsyat seperti sekarang ini, kita tidak boleh bimbang-bimbang,
kita tidak boleh was-was. Kita percaya kepada kekuatan lahir
dan batin kita. Dengan kekuatan yang nyata, dengan cara yang
sesuai dengan kekuatan serta keadaan alam sekitar kita, kita
pertahankan segala hak milik kita. Telah menjadi kodrat Ilahi,
bahwa keadaan di bumi Indonesia mewujudkan suatu senjata yang
amat kuat. Senjata yang amat tajam, untuk menjalankan pertahanan
dan pertempuran senjata apapun juga. Percaya dan yakinlah,
bahwa kita sekalian telah cukup kuat dan sanggup pula dengan
alat yang ada pada kita, untuk melakukan pertempuran secara
apapun juga. Dan secara besar-besaran. Hanya ada satu syarat
yang perlu sekali dipenuhi oleh rakyat seluruhnya, ialah kita
masing-masing harus insyaf dan ikhlas meninggalkan harta-benda
kita, gedung-gedung kita dan anak-istri kita, jika setiap
waktu ada perintah, untuk kepentingan Nusa, Bangsa dan Agama
kita.
Nanti,
nanti tentu ada perintah yang sangat pahit, perintah mana
semata-mata, untuk menyempurnakan pertahanan dan siasat pertempuran
kita. Jalankan perintah itu nanti dengan penuh rasa ta’at
dan ikhlas hati.
Kita dasarkan
perjuangan sekarang ini atas dasar kesucian. Kami yakin, bahwa
Tuhan YME tidak akan melalaikan hamba-Nya yang memperjuangkan
sesuatu yang adil berdasarkan atas kesucian batin. Maka saudara-saudara
sekalian dan Tentara seluruhnya! Jangan khawatir, jangan berputus
asa, meskipun kita sekalian menghadapi macam-macam kesukaran
dan menderita segala kekurangan, karena kita Insya Allah akan
menang, jika berjuang kita sungguh berdasarkan kesucian, membela
kebenaran dan keadilan.
Ingatlah
pada firman Tuhan dalam Qur’an surat Al-Imran, ayat 138
:
“Wa laa tahinnu wa laa tahzanmu, wa antumul a’la
inkuntum mukminin (jangan kamu merasa rendah, jangan kamu
merasa bersusah hati, sedang kamu sesungguhnya lebih tinggi
jika kamu mukmin!).”
Janji
sudah kita dengungkan, tekad sudah kita tanam. Semua ini tidak
akan bermanfaat bagi Tanah air kita, apabila tekad ini tidak
kita amalkan dengan amalan yang nyata.
“Rakyat Indonesia dan tentara seluruhnya ….. siap!
Tunggulah satu komando …”
Sebelum perintah kilat No. 1. PB/D/48, TNI sudah merencanakan
dan memperhitungkan dengan kesepakatan bulat dalam sebuah
rencana guna menghadapi aksi penyerbuan. Dalam rapat para
Panglima yang dipimpin oleh Pak Dirman, Kol. Nasution memberikan
penjelasan panjang lebar mengenai suatu perencanaan yang telah
dipikirkan dan dipersiapkan sebagai suatu strategi umum TNI
di dalam menghadapi kemungkinan kehadiran kembali Angkatan
Perang Kerajaan Belanda. Rapat itu berhasil merampungkan suatu
keputusan berupa Perintah Siasat yang ditandatangani oleh
Pak Dirman dihadapan para panglima yang hadir, isinya :
Perintah
Siasat No. I/Stop/48/5/48
1. Tidak akan melakukan pertahanan yang linier.
2. Tugas memperlambat kemajuan serbuan musuh serta pengungsian
total (semua pegawai dan sebagainya), serta bumi hangus total.
3. Tugas membentuk kantong-kantong di tiap onderdistrik militer
yang mempunyai pemerintahan gerilya (disebut “wehrkreise”),
yang totaliter dan mempunyai pusat di beberapa komplek pegunungan.
4. Tugas pasukan-pasukan yang berasal dari “daerah federal”
untuk “berwingate” (menyusup kembali ke daerah asalnya)
dan membentuk kantong-kantong, sehingga seluruh pulau Jawa
akan menjadi suatu medan perang gerilya yang besar.
Dengan
dikeluarkan dan diumumkannya Perintah Kilat yang menunjuk
kepada isi dari perintah Siasat tersebut di atas, maka jelas
apa yang harus diperbuat oleh setiap Panglima dan Komando
Daerah dan Komando Kesatuan Militer dalam aktivitasnya masing-masing
di dalam melawan pasukan Belanda. Perang gerilya semacam ini
sudah dijalankan di berbagai negara yang kurang unggul dalam
persenjataannya didalam menghadapi lawan yang lebih adidaya,
seperti halnya ketika Rusia yang persenjataannya kurang lengkap
harus berperang melawan Napoleon dari Prancis, Yugoslavia-Tito
melawan Jerman yang dahsyat dan modern senjatanya. Raja Etiopia
melawan Italia, Cina melawan Jepang dalam Perang Dunia Kedua,
dan lain-lainnya.
Pak Dirman
di Gedung Agung
Perjalanan Pak Dirman yang berkendaraan mobil ke Gedung Agung,
harus dilakukan dengan penuh kewaspadaan dan lebih berhati-hati,
mengingat pesawat-pesawat pemburu Belanda masih terus melakukan
pengintaian dan pengejaran dengan manuver-manuver terbang
rendah, tepat di atas kota dan sekitarnya sehingga bisa mengawasi
gerak-gerik di darat dengan lebih jelas. Sewaktu keadaan tampak
membahayakan, saya perintahkan supir mobil untuk berhenti
dan bersembunyi di tempat yang terlindung seperti, pohon besar
atau bangunan yang tidak nampak dengan jelas dari ketinggian
udara.
Pak Dirman
untuk sementara, dengan hati-hati dipapah keluar kendaraan
untuk berlindung di bawah pohon asem. Jarak antara pohon asem
di sepanjang jalan dekat pusat pemerintahan Indonesia dengan
benteng Vreddenburg yang sebelumnya sudah ditembaki pesawat-pesawat
Belanda, kurang lebih 200 meter dari tempat Pak Dirman berlindung.
Setelah aman dari penembakan-penembakan pesawat pemburu dan
bomber Belanda atas beberapa gedung, perjalanan dilanjutkan
kembali. Kelemahan TNI pada masa itu adalah tidak memiliki
kekuatan udara dan alat anti serangan udara yang baik, begitu
pula dengan senjata-senjata lengkung (meriam, mortir) dan
kendaraan lapis baja.
Setibanya
di Gedung Agung, saya melihat telah ada beberapa orang menteri
dan para pemimpin penting yang sudah berada di situ, diantaranya
Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Ir. Juanda, Sutan Syahrir, Dr.
Asikin dan lain-lainnya. Sewaktu melihat Pak Dirman keluar
dari mobilnya dan dipapah masuk ke serambi depan Gedung Agung,
Dr. Asikin tampak terperanjat sekali. Seketika itu juga Dr.
Asikin, yang mengenal pribadi saya dengan baik seolah-olah
seperti saudara sendiri, dan yang bertanggung jawab atas operasi
paru-paru Pak Dirman, menghampiri saya dan meminta supaya
pak Dirman sebaiknya segera dibawa pulang saja. Ia bermaksud
baik, jangan sampai Pak Dirman mengalami kejutan dan kondisi
kesehatan yang akan menjadi lebih buruk lagi. Akibatnya bisa
fatal karena beliau sebenarnya belum sembuh. Karena posisi
saya yang terjepit atas permintaan Dr. Asikin tersebut, saya
jawab : “Prof. Saya ini diperintah oleh Pak Dirman untuk
membawa beliau ke Gedung Agung. Beliau ingin menerima petunjuk/perintah
langsung dari Presiden sendiri mengenai kebijaksanaan yang
perlu diambil sebelum pasukan Belanda masuk kota. Oleh karena
itu saya mohon supaya Profesor sajalah yang menyampaikan hal
itu sendiri kepada Pak Dirman,” kata saya.
Ternyata
beliau pun tidak sampai hati untuk menyampaikan maksudnya
kepada Pak Dirman dan bahkan cepat-cepat menyiapkan sebuah
kamar yang terletak di sebelah kanan Gedung Agung dan meminta
agar Pak Dirman memakai ruangan tersebut dan bisa beristirahat
dulu. Walaupun beliau memakai kamar tersebut untuk sebentar
beristirahat, beliau lalu duduk di ruang tamu. Panglima terlihat
tenang sekali, tetapi saya merasakan kegelisahan yang meliputi
pikirannya. Sidang darurat kabinet belum juga dimulai, agaknya
masih harus menunggu kedatangan beberapa pejabat tinggi lainnya,
antara lain Wakil Presiden yang merangkap Perdana Menteri,
Bung Hatta, yang pada waktu itu masih berada di Kaliurang
dan menurut keterangan sedang diupayakan untuk dijemput.
Sementara
menunggu, Pak Dirman memerintahkan saya untuk segera kembali
ke Wirogunan dan membakar semua dokumen rahasia yang penting
dan membawa keluarga Pak Dirman ke tempat lain yang lebih
aman. Dalam mengusahakan sebuah tempat untuk keluarga Pak
Dirman, saya memperoleh keterangan bahwa di dalam salah satu
benteng kompleks Keraton Yogyakarta, secara khusus telah disediakan
tempat tinggal bagi keluarga para pemimpin kita. Ini merupakan
kebijaksanaan Sri Sultan yang luar biasa beraninya untuk melindungi
keluarga-keluarga yang suaminya akan berangkat dan berjuang
bergerilya ke luar kota. Bantuan dan uluran tangan Sri Sultan
ini dimaksudkan untuk mencegah suatu kemungkinan keluarga
para pemimpin kelak akan diganggu atau diperalat pihak Belanda.
Dan atas izin Sri Sultan pula, keluarga Pak Dirman segera
menempati Gedung mangkubumen Jl. Polowijan (sekarang Universitas
Widya Mataram) di Kabupaten Yogyakarta. Dr. Suwondo diperintahkan
oleh Pak Dirman untuk meninjau dulu tempat tersebut dan melapor
kembali apabila segala sesuatunya telah disiapkan dengan baik
dan aman.
Sri Sultan
orang yang sangat berpengaruh di Jawa Tengah, segera mengambil
langkah strategis dari keputusan penting untuk mendukung perjuangan
Republik Indonesia, seperti : Pertama, menyerahkan Daerah
Swatantra Yogya kepada Pemerintah RI, sehingga secara yuridis
beliau tidak lagi mempunyai kekuasaan adalah pengorbanan pertama
yang beliau lakukan demi kesatuan dan persatuan Indonesia
yang mempunyai arti teramat penting. Kedua, ketegasan sikap
dan dukungan bahwa Sri Sultan yang berdiri di belakang perjuangan
Pemerintah RI dalam satu pengumuman resmi, yang luar biasa
dampak pengaruhnya, baik di Indonesia sendiri maupun di negeri
Belanda. Yang terakhir, sebagian kekayaan kekayaan pribadi
dan keraton, karena jelas sekali Pemerintah RI tidak mempunyai
uang, disumbangkan kepada perjuangan melalui Bung Karno. Tanpa
menghiraukan kemungkinan pembalasan pihak Belanda atas diri
dan takhtanya, sewaktu Maguwo diduduki, beliau sendirilah
yang berangkat dan menjemput Bung Hatta, yang tentunya bukan
tanpa risiko akan menjadi sasaran empuk dari pesawat terbang
pemburu. Bujukan dari pihak militer Belanda yang ingin mempengaruhi
Sri Sultan supaya sudi ikut pemerintah Belanda, ditolaknya
mentah-mentah.
Masih
banyak lagi bantuan Sri Sultan yang tidak ternilai harganya
yang diberikan kepada negara RI dan rakyat Indonesia yang
sedang mengalami bencana dan ancaman kembali penjajahan Belanda.
Tidaklah mudah mengadakan mobilisasi perlawanan rakyat semesta,
tanpa mendapat restu dari Sri Sultan, khususnya di Jawa Tengah
dan Yogyakarta yang menjadi pusat pemerintahan Indonesia yang
resmi waktu itu. Ketegasan sikap Sri Sultan ini sangat membingungkan
dan mengecewakan pihak Belanda dalam upaya mereka melumat-tuntaskan
pemerintah Soekarno-Hatta.
Pada saat
Dr. Soewondo tiba kembali di Gedung Agung, pesawat terbang
Belanda masih meraung-raung dan menembaki beberapa tempat
di kota hingga keadaan menjadi semakin berbahaya. Pak Dirman
memutuskan untuk segera meninggalkan Gedung Agung, ini terjadi
sebelum sidang kabinet, karena Bung Hatta sebagai PM yang
ditunggu-tunggu belum juga datang juga dari Kaliurang. Oleh
karena saya sendiri tengah sibuk mengatur pasukan pengawal
Presiden di Gedung Agung, maka saya tidak mengetahui apakah
Pak Dirman telah bertemu atau sempat diterima oleh Bung Karno,
dan telah menerima perintah atau petunjuk-petunjuk yang terakhir.
Setibanya Pak Dirman di Bintaran, beliau mengatakan bahwa
ia tidak mau beristirahat dan bahkan pergi ke luar untuk melihat
pesawat terbang belanda yang berpesta-pora di udara dan menjatuhkan
bom-bom maut mereka pada beberapa tempat di kota. Tidak lama
kemudian, bekas benteng Vredenburg yang terletak di depan
Geedung Agung dihantam oleh bom dan dihujani tembakan mitraliyur.
Hancurlah sebagian bangunan Kementerian Pertahanan RI itu!.
Makin
gencarnya serangan Belanda membuat kacau dan rasa tidak aman
dimana-mana. Termasuk juga di Bintaran. Tidak mustahil pula
Belanda akan secepatnya menyerang dan mengepung rumah kediaman
Pak Dirman. Setelah membakar seluruh dokumen penting yang
berada di rumah kediaman Panglima agar tidak jatuh ke tangan
Belanda, saya diberitahu oleh salah seorang bawahan saya bahwa
Belanda sudah bergerak menuju ke Yogya. Karena itu pukul 11.30
BBWI, Pak Driman beserta rombongan termasuk saya berangkat
ke Kadipaten. Setibanya di sana, beliau sempat beristirahat
sejenak sampai tiba-tiba pada jam 14.00 BBWI, Letnan Kolonel
Abdul Latief Hendraningrat, Komandan Keamanan Kota (KKK) Yogyakarta
datang dan melaporkan bahwa tentara Belanda sudah masuk ke
dalam kota. Setelah menerima laporan itu, Pak Dirman memerintahkan
kita supaya segera bersiap meninggalkan Kota Yogya dan menuju
ke Kediri sesuai rencana. Semua anggota rombongan tahu bahwa
Panglima Besar Soedirman tidak akan menyerah. Beliau berpegang
teguh pada Sumpah TNI, yaitu : mempertahankan negara RI sampai
titik darah penghabisan. Oleh karena itulah, sesuai dengan
rencana, beliau akan memimpin sendiri dan memutuskan perlawanan
dari Kota Kediri.
Rombongan
harus mengambil jalan Selatan yang merupakan satu-satunya
jalan yang dipandang paling aman untuk mencapai Kediri. Komandan
Peleton Pengawal Pak Dirman dibawah pimpinan Letnan Djoemadi,
saya perintahkan mengikuti dan membayangi gerakan Pak Dirman
dengan mengambil jalan lewat Selatan menuju wilayah Jawa Timur,
sekitar barat daya daerah Kediri, dengan berjalan kaki.
Ketika masih ada waktu dan kesempatan untuk berpamitan dengan
seluruh keluarga, Pak Dirman meninggalkan pesan kepada Ibu
Dirman supaya senantiasa berdoa bagi keselamatan negara dan
bangsa, dan menjaga keluarga dengan baik. Dengan berat hati
dan diliputi perasaan haru, Ibu Dirman sekeluarga harus melepas
keberangkatan Pak Dirman ke luar kota, dalam keadaan kesehatan
yang memperihatinkan dan tanpa membawa obat-obatan yang cukup
(satu-satunya obat yang terbaik bagi kesehatan Pak Dirman
pada saat itu adalah penicilin yang sukar diperoleh). Tidak
ada yang dapat diperbuat! Pasrah dan mempercayakan kepada
mereka yang dekat dengan beliau dan pengawal Pak Dirman, seperti
Pak Pardjo (ajudan), saya (pengawal pribadi), Pak Wondo (dokter
pribadi), dan prajurit lainnya. Karena pasukan darat Belanda
yang datang dari arah Magelang dan Salatiga mendapat perlawanan
dari pasukan TNI dengan cara memutuskan jembatan-jembatan
dan melakukan perlawanan kecil yang ternyata berhasil memperlamban
gerak maju Belanda memasuki Kota Yogya. Hal ini memberikan
peluang pada pemerintah RI mengadakan sidang darurat dan pada
Pak Dirman masih sempat untuk bersama Ibu masuk keraton, termasuk
membakar dokumen-dokumen yang penting.
Menuju
Parangtritis
Mula-mula saya coba membawa Pak Dirman ke luar kota melalui
Alun-alun Kidul (Kandang Gajah), tetapi tiba-tiba di depan
Istana Tamansari salah seorang “sekko” (pengintai
depan yang mengamati situasi di depan dan sekelilingnya) memberitahukan
dan menyarankan agar rombongan mengambil jalan Selatan dan
menghindari Alun-alun Kidul, karena kurang pasti keamanannya.
Tidak lama kemudian kita bertemu dengan Letkol Soeadi yang
menyampaikan berita yang sama, bahwa pasukan Belanda sudah
masuk kota sampai di daerah Pakualaman. Setelah menerima berita
itu, saya segera mengubah arah rombongan Pak Dirman yang berkendaraan
mobil untuk menuju Pojok Beteng, ke arah Tejokusuman dan terus
menyusuri pantai Parangtritis. Daerah Parangtritis dan Bantul
ini tidak asing lagi bagi saya karena ketika paman saya menjabat
sebagai Bupati bantul, saya sering singgah dan main-main pada
hari libur sewaktu masih bersekolah di Yogya. Terlintas dalam
pikiran saya, jika perlu Pak Dirman dapat berlindung dalam
salah satu goa yang banyak terdapat di sekitar Parangtritis.
Saya yakin Belanda tidak mungkin bisa menemukannya di situ.
Akan tetapi tempat itu terlampau terjal dan sulit dicapai,
sehingga rencana itu saya batalkan. Kecuali itu rencana Pak
Dirman ke posko (Pos Komando) yang baru di Jawa Timur, harus
tetap dapat saya laksanakan sesuai rencana. Sesungguhnya bagi
pak Dirman masih ada jalan yang terbuka menuju ke Timur melalui
Kota Gede, namun jalan ini tidak saya tempuh karena saya kurang
mengenal daerah ini. Sedangkan pasukan Djoemadi tetap saya
perintahkan untuk mengambil jalan ini menuju ke timur.
Dalam perjalanan ke luar Yogya menuju Bantul, terpaksa saya
harus duduk di atas spadbord mobil yang dipakai Pak Dirman
supaya lebih leluasa melihat keluar dan sekelilingnya. Nyatanya
masih terlihat juga pesawat terbang Belanda yang tampaknya
masih memusatkan perhatiannya pada sasaran-sasaran di sekitar
kota Yogya.
Rombongan bergerak perlahan-lahan menuju ke Selatan. Serangan-serangan
udara mengharuskan kita beberapa kali berlindung dan memperlambat
perjalanan sehingga baru jam 17.00 BBWI rombongan sampai di
Kretek, yang jaraknya hanya kurang lebih 20 km sebelah Selatan
Yogya. Di tempat ini rombongan istirahat dan merasa lega setelah
mengetahui hasil dari pemeriksaan Dr. Soewondo bahwa kondisi
Pak Dirman masih tetap stabil.
Dalam
rombongan Pak Dirman terdapat antara lain seorang penasehat
politik yaitu Harsono tjokroaminoto, selain Dr. Soewondo,
ajudan Kapten Soepardjo, Letnan muda Laut Heru Kesser, Vaandrig
Kadet Utoyo Kolopaking, Hanum Faeni (ipar Pak Dirman), Kopral
aceng dan sejumlah pengawal; sedangkan Letnan Dua Basuki baru
menyusul kemudian. Sekitar jam 18.00 BBWI Hanum Faeni dipanggil
Pak Dirman supaya bersama seorang lagi (Kopral Aceng) kembali
ke Yogya untuk meminta perhiasan dari Ibu Soedirman berupa
apa saja, sebagai bekal perang. Betapa besarnya pengorbanan
keluarga Pak Dirman yang mempergunakan perhiasan milik pribadi
“Ibu Dirman” dan juga dari Ibu Sastroatmojo (Ibu
mertua Pak Dirman) sebagai bekal dalam perang gerilya melawan
Belanda.
Ketika
rombongan berada di Kecamatan Kretek, Letnan Dua Basuki yang
baru keluar dari Yogya dan bergabung dengan rombongan, langsung
melapor kepada Pak Dirman bahwa Bung Karno, Bung Hatta dan
beberapa menteri dan komodor Suryadharma, serta pejabat tinggi
lainnya batal ke luar kota dan akhirnya dapat ditawan oleh
Belanda. Walaupun kelihatannya Pak Dirman sudah tahu kalau
Bung Karno dan Bung Hatta tidak jadi ke luar kota dan memimpin
gerilya, Pak Dirman tidak memberikan tanggapan dan reaksi
apapun. Padahal sebenarnya sesuai dengan keputusan “Dewan
Siasat” telah disiapkan satu rencana dari TNI untuk membawa
Bung karno dan Bung Hatta dan seluruh pemimpin pemerintahan
pergi menyingkir ke luar Kota Yogya. Seperti yang diutarakan
oleh Kolonel Zulkifli Lubis TK-I MBKD (Markas Besar Komando
Djawa), dulu pernah menjabat sebagai pemimpin PMC (Penyelidik
Militer Chusus). Dalam rencana tersebut, Koesno Wibowo akan
bertindak sebagai pelaksana, dan I kompie Soesatio sebagai
pengawal yang diperkuat oleh Mayor Sakri Soenarto.
Sesaat
sebelum Bung Karno dan Bung Hatta ditawan, pemerintah RI telah
melimpahkan kekuasaannya kepada Menteri Syafruddin Prawiranegara
sebagai pemimpin Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI).
Walaupun radiogram tersebut oleh sesuatu hal mungkin karena
sarana komunikasi yang tidak memadai, nyatanya tidak pernah
diterima oleh Mr. Syafruddin Prawiranegara. Beliau merasa
secara formal tidak ada pelimpahan tersebut dan oleh karenanya
ia keberatan menerimanya, bahkan enggan.
Sesungguhnya radiogram resmi tersebut hanyalah konfirmasi,
sebab mengenai soal pelimpahan kepada beliau telah ditetapkan
sebelumnya dan juga telah diberitahukan oleh pimpinan RI (Bung
Karno-Bung Hatta) sewaktu ia berada di Yogya. Barulah setelah
ditekan oleh Kolonel Hidayat. Panglima Teritorial Sumatera
bersama ajudannya. Kapten Islam Salim dan T.M. Hasan (kemudian
menjadi menteri RI), barulah ia mau mengemban tugasnya. Belanda
mengumumkan pada tanggal 19-12-1948 bahwa Bung Karno dan Bung
Hatta telah ditawan. Berarti kedua pemimpin RI tersebut sudah
tidak dapat menjalankan tugasnya dan dengan sendirinya Menteri
Syafruddin Prawiranegara harus menjalankan tugasnya tanpa
ragu-ragu.
Di dalam
radiogram disebutkan bahwa jika Menteri Syafruddin tidak dapat
menjalankan tugasnya, pimpinan Negara diserahkan kepada Duta
Besar RI di India, Dr. Soedarsono, dengan dibantu oleh L.N.
Palar. Karena pelimpahan kekuasaan terjadi sebelum Belanda
menawan pimpinan negara, sesungguhnya secara yuridis, yang
ditawan bukan Presiden dan Wakil Presiden melainkan pribadi
Bung karno dan Bung Hatta. Pandangan politik ini berubah dari
rencana yaitu rencana yang diputuskan dalam Dewan Siasat agar
pimpinan militer dan sipil keluar kota untuk bergerilya. Dalam
sidang kabinet baru diputuskan, Bung Karno dan Bung Hatta
tetap berada di dalam kota. Keputusan kabinet ini kemungkinan
telah disampaikan oleh Bung Karno kepada pak Dirman sebelum
sidang kabinet dimulai.
Jadi, tidak salahlah kalau banyak orang tidak tahu atau tidak
mau tahu mengenai perubahan politik pemerintah RI ini. Mereka
berpandangan negatif terhadap pimpinan-pimpinan pemerintah
yang dengan begitu saja mudah dapat ditawan oleh Belanda.
Mereka menjadi kecewa dan mempunyai penilaian yang kurang
baik terhadap pemimpin-pemimpin pemerintah saat itu karena
para pemimpin sebelumnya telah berjanji akan ke luar kota,
secara terbuka dan berapi-api didalam pidato-pidato mereka
di mana-mana serta disiarkan melalui RRI. Mengenai ditawannya
Presiden dan Wakil Presiden serta pejabat tinggi lainnya pada
tanggal 19 Desember 1948, menurut Kolonel Zulkifli Lubis sebenarnya
tidak perlu terjadi apabila dilihat dari persiapan yang telah
dilakukan jauh sebelum Belanda mengadakan Aksi Militer Kedua.
Sudah ada keputusan bagi seluruh pejabat tinggi negara untuk
ke luar kota dan bergerilya, termasuk Bung Karno dan Bung
Hatta, seandainya Belanda menduduki Yogya. Selanjutnya dikatakan
Kolonel Zulkifli Lubis bahwa tempat-tempat untuk berlindung
sudah disampaikan kepada Presiden. Persiapan termasuk pula
soal transportasi untuk mencapai lokasi tersebut. Mengenai
masalah ini Bp. Zulkifli menceritakan :
“Sayalah yang ditugaskan dari MBT (Markas Besar Tentara)
untuk mempersiapkan tempat yang aman bagi Presiden dan Wakil
Presiden apabila terjadi serangan mendadak. Jadi tempat yang
aman dari segi lokasi dimana Belanda tidak mudah dapat masuk
daerah itu. Daerah yang penduduknya dapat dipercaya dalam
menjaga rahasia. Tempatnya itu di sebelah Selatan Wonosari.
Waktu itu saya dibantu oleh saudara Mayjen Sapardjo (mantan
menteri sosial RI). Dia punya mertua seorang wedana di Wonosari.
Dan lokasinya itu bisa untuk berhubungan ke dunia luar, komando-komando
dan ke dalam kota Yogya. Pak Koesno Wibowo di Yogyakarta waktu
itu juga sudah mempersiapkan beberapa andong (kereta beroda
empat yang ditarik oleh kuda) kalau tidak salah sebanyak 17
kereta andong. Lewat Koesno saya kirim surat ke Pak Simatupang
untuk persiapan pengungsiannya. Tetapi pada tanggal 19 Desember
itu Pak Sim (sebutan T.B. Simatupang) kembali kirim surat
kepada saya yang isinya antara lain orang-orang sipil tetap
di dalam kota. Saya kecewa terhadap keputusan ini, karena
sebelumnya sudah ada konsensus antara sipil-militer untuk
keluar kota dan bersama-sama tetap melawan Belanda secara
bergerilya, bukan lagi perang linier. Jadi itu sudah melanggar
ketentuan tersebut, bahwa pimpinan sipil tidak ikut keluar
kota Yogya. Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk tidak
keluar, sebab sudah dipersiapkan dengan baik”.
Pernyataan
Zulkifli Lubis tersebut, sekaligus bisa menjawab dan atau
menyangkal sementara tulisan yang mengatakan, tidak ada rencana
dan persiapan dari pihak TNI untuk membawa Bung Karno dan
Bung Hatta serta pejabat tinggi lainnya ke luar Kota Yogya
pada tanggal 19 desember 1948. Seolah-olah tidak ada persiapan
sama sekali dari TNI guna menjamin keselamatan pimpinan Negara.
Alasan mengubah keputusan membiarkan diri untuk ditawan Belanda
oleh para pimpinan-pimpinan kita di Yogya, kiranya lebih menekankan
pada bidang politik yaitu perhitungan dengan kenyataan bahwa
dengan kenyataan bahwa Komisi Tiga Negara sebagai Wakil PBB
masih berada di Kaliurang.
Bagaimanapun juga pasti akan ada
reaksi dari dunia luar terhadap penyerbuan Belanda ke Yogya.
Perubahan politik adalah hak dari Presiden dan kabinet walaupun
mengecewakan mereka-mereka yang berjuang ke luar kota. Sesungguhnya
kalau ada cerita-cerita mengenai pengawalan Bung Karno dan
Bung Hatta yang bisa dijalankan dengan satu atau dua Batalyon
itu, adalah tidak masuk akal dan sia-sia belaka, karena TNI
meninggalkan sistem perang linier setelah melihat senjata
keunggulan Belanda di udara dan senjata-senjata lengkung (meriem,
mortir dan lain-lain), serta kendaraan lapis baja. Satu-satunya
jalan adalah menjalankan keputusan-keputusan sebelumnya, yaitu
ke luar kota dengan pasukan-pasukan kecil dan melaksanakan
taktik perang gerilya.
Sebenarnya perang dengan sistem linier dengan kekuatan suatu
pasukan yang besar, sama saja artinya dengan mengorbankan
anak buah pasukan-pasukan tersebut, karena tembakan udara
dan senjata lengkung Belanda akan mudah menghancurkan pasukan-pasukan
yang bertahan secara linier. Belanda secara yakin dan amat
tergesa-gesa tanpa melakukan pengecekan terlebih dahulu atas
hasil serbuan mereka, telah menyiarkan lewat radio dan juga
menyebar pamflet-pamflet yang dijatuhkan dari pesawat udara,
yang isinya menyebutkan “Presiden Soekarno dan Wakil
Presiden Hatta serta pejabat tinggi lainnya, terutama Jenderal
Soedirman, sudah berhasil ditawan, dalam tindakan yang dikatakan
sebagai hasil dari aksi Polisionilnya yang ke dua”. Berita
ikut ditawannya Panglima Besar Soedirman tentu saja kabar
yang mengejutkan dan menyedihkan semua orang karena Pak Dirman
bersama TNI-nya adalah benteng terakhir republik, dan satu-satunya
harapan rakyat. Ternyata Belanda menyiarkan berita isapan
jempol, karena sebenarnya Panglima sudah berangkat ke luar
kota walaupun sedang dalam keadaan sakit keras. Belanda mengetahui
bahwa Panglima Besar Soedirman sedang menderita sakit dan
baru saja dioperasi, tentulah menurut perhitungan Belanda
itu, masalah Panglima Besar TNI Soedirman hanya tinggal “dicomot”
dari tempat tidurnya.
Tamatlah perjuangan republik !.
Menurut perhitungan mereka
dengan alasan inilah Belanda meremehkan dan secara terburu-buru
menyiarkan bahwa Pak Dirman telah berhasil ditangkap dan kemudian
ditawan.
Berita
bahwa Pak Dirman telah turut tertawan, terbantulah ketika
tersiar sebuah berita yang kemudian bergema dan berkumandang
dari gunung, lembah ke lembah, dari desa ke desa dan meluas
ke kota-kota ke segala penjuru Nusantara; yaitu dengan disiarkannya
Perintah Kilat siaran RRI.
“Pak Dirman ada di tengah-tengah
kita!
Pak Dirman mimpin kita!
Hidup Pak Dirman”!
(Kiprah
nyata perjuangan Pak Dirman ini pernah dimuat oleh Majalah
Baret Merah Edisi Agustus 1997)