Jakarta Hari Kamis (7/2/2013) tepat pukul 10.00, rombongan juru kasir Bank
Indonesia berangkat dari Jayapura menuju ke Pulau Supiori di kawasan
Biak, Papua. Dengan kawalan TNI Angkatan Laut, mereka berangkat
menggunakan KRI Sultan Nuku. Rombongan ini membawa uang senilai Rp 7
miliar untuk menggantikan uang rupiah yang sudah tidak layak di kawasan
pulau-pulau terkecil.
Untuk mencapai Pulau Supiori, dibutuhkan waktu tempuh selama sekitar 40
jam. Perjalanan yang cukup lama dan melelahkan. Apalagi berada di dalam
kapal patroli TNI AL dengan gelombang air laut yang cukup tinggi.
Guncangan kapal cukup keras sehingga beberapa anggota rombongan muntah-
muntah.
Meski banyak tantangan yang harus dihadapi, rupiah harus tiba di Pulau
Supiori. Saat melepas rombongan, Komandan Lantamal X Laksamana Pertama I
Gusti Putu Wijamahadi mengatakan, kehadiran rupiah di pulau-pulau
terluar Indonesia menjadi simbol penting bagi kedaulatan negara. ”Kita
punya 17.499 pulau dan perbatasan langsung dengan 11 negara tetangga.
Karena itu, kedaulatan negara harus dijaga betul,” katanya.
Dia menjelaskan, saat menghadapi sengketa perbatasan Sipadan-Ligitan
dengan Malaysia, salah satu pertimbangan wilayah itu menjadi milik
Malaysia karena mata uang yang digunakan adalah ringgit. ”Masyarakat di
situ lebih suka menggunakan ringgit daripada rupiah. Jangan sampai itu
terulang kembali. Ini menjadi tugas Bank Indonesia,” ujarnya.
Perjalanan ini menggunakan KRI Sultan Nuku dengan kecepatan jelajah 15
knot, dibantu 84 anak buah kapal. Kapal bernomor lambung 373 itu dibuat
di galangan VEB Penne Werft GmbH Wplgast, Jerman Timur, tahun 1982. Saat
itu, kapal diluncurkan dengan nama Waren-224. Setelah dibeli Pemerintah
Indonesia, dibuat beberapa perubahan, hingga kemudian berganti nama
menjadi KRI Sultan Nuku dan berada di jajaran satuan kapal ekskorta
Armada RI Kawasan Timur.
Sultan Nuku adalah sultan dari Tidore yang terkenal dengan taktik perang
dwimantra. Taktik tersebut berupa penggabungan perang gerilya di laut
dan darat. Sultan Nuku juga dikenal sebagai diplomat piawai.
Sabtu (9/2/2013) pukul 07.00, rombongan mendarat di Pelabuhan Biak.
Untuk bisa sampai ke Kabupaten Supiori, masih harus melakukan perjalanan
darat selama sekitar 2,5 jam. Setiba di Supiori, para juru kasir segera
menyiapkan uang yang ditaruh di dalam brankas. Dengan mengambil tempat
teras Bank BRI setempat, mulailah juru kasir menawarkan jasa penukaran
uang.
Tak lama kemudian, masyarakat pun berdatangan. Awalnya mereka masih
bingung karena sebelumnya tidak pernah ada layanan penukaran uang.
Begitu mengetahui, mereka pun berbondong-bondong membawa uang lusuh dan
uang pecahan besar. ”Saya mau tukar uang Rp 1 juta pecahan Rp 100.000
dengan pecahan Rp 1.000, Rp 2.000, dan Rp 5.000,” kata Mochtar (52),
pemilik warung makan.
Layanan teratur
Dia sengaja menukarkan uang pecahan besar karena selama ini kesulitan
mencari uang pecahan kecil. Padahal, sebagai pemilik warung, dia harus
selalu menyediakan uang pecahan kecil untuk kembalian. ”Memang bisa
tukar di Bank BRI, tetapi pasokannya sering kali terbatas sehingga saya
tidak bisa menukarnya. Saya penginnya ada layanan seperti ini secara
teratur,” ujarnya.
Lain lagi dengan Hajas yang datang dengan tumpukan uang lusuh Rp 1.000
dan Rp 2.000. Menurut dia, uangnya itu adalah hasil penjualan toko
kelontongnya. Namun, karena pembeli tidak mau menerima kembalian uang
lusuh, ia menyimpannya di laci toko. ”Orang sini enggak mau dikasih uang
yang jelek. Apalagi dikasih recehan,” katanya.
Tak hanya uang lusuh, uang edisi lama pun ditukar oleh masyarakat
Supiori. Mariyam, misalnya, datang dengan membawa uang pecahan Rp 50.000
bergambar WR Supratman. Oleh juru kasir, uang itu langsung diganti
dengan pecahan Rp 50.000 edisi terbaru. Ada juga yang salah persepsi.
Seorang bapak datang membawa uang pecahan Rp 25 dan Rp 10 sen. Ia
mengira uang itu bisa ditukarkan dengan nilai yang lebih banyak. ”Kami
melayani penukaran sesuai nominalnya, Pak, tidak seperti pemburu barang
antik,” kata juru kasir.
Selesai kegiatan di Supiori, rombongan bertolak ke Pulau Bras pada Sabtu
sekitar pukul 17.00 dan tiba di pulau itu hari Minggu (10/2/2013) pukul
15.00. Kondisi pulau dengan pantai berpasir itu membuat kapal tidak
bisa menepi. Di wilayah tersebut rombongan tidak turun. Hanya beberapa
anggota pasukan TNI AL yang turun dari kapal. Mereka menggunakan sekoci
untuk sampai di Pulau Bras. Mereka adalah prajurit jaga rutin di kawasan
perbatasan. Biasanya mereka berjaga selama tiga bulan, setelah itu
barulah ganti personel.
Wilayah Pulau Bras hanya dihuni sekitar 50 keluarga. Pulau Bras adalah
pulau terluar Indonesia yang terletak di Samudra Pasifik dan berbatasan
dengan negara Palau.
Dari Pulau Bras, rombongan melanjutkan perjalanan ke Sorong. Para
wartawan yang turut dalam rombongan hanya mengikuti perjalanan sampai
Sorong. Setelah Sorong, tim masih harus melanjutkan perjalanan ke Pulau
Waigeo, Gebe, Jorongan, dan berakhir di Ternate. Sebelum menempuh
perjalanan laut, tim BI juga meninjau kawasan perbatasan darat antara
Indonesia dan Papua Niugini, yang terletak di Distrik Muara Tami, Skouw.
Di kawasan tersebut, rupiah menjadi mata uang, baik di wilayah
Indonesia maupun Papua Niugini, di sekitar perbatasan.
Menurut Kepala Departemen Pengedaran Uang BI Lambok Antonius Siahaan,
menjaga ketersediaan rupiah dalam kondisi layak menjadi tugas penting
BI. ”Uang yang kondisinya sudah tidak layak harus dikembalikan ke BI,
termasuk dari daerah-daerah terpencil,” katanya.
Beberapa indikator uang tak layak edar yang digunakan BI adalah lusuh,
berlubang, dan sobek tiga bagian. Uang tersebut dimusnahkan dan diganti
dengan uang baru. ”Semakin banyak uang yang tidak layak, produksi uang
baru juga bertambah, dan itu membuat biaya produksi naik. Karena itu
kami berupaya agar biaya pencetakan uang bisa ditekan dengan
meningkatkan kesadaran masyarakat dalam memperlakukan uang,” katanya.
Untuk menarik uang yang tidak layak edar, BI menggunakan jaringan
perbankan dan kasir toko. Sayangnya, untuk daerah- daerah terpencil,
keberadaan perbankan masih minim sehingga peredaran uang yang tidak
layak sulit terpantau.
”Di wilayah Papua, misalnya, baru ada 9 bank umum dan 8 bank perkreditan
rakyat dengan total 350 kantor cabang. Ini masih sangat kurang karena
di sini ada 40 kabupaten, 29 kabupaten di Papua dan 11 kabupaten di
Papua Barat,” kata Kepala Perwakilan BI Provinsi Papua dan Papua Barat
Hasiholan Siahaan.
Kas keliling untuk menarik uang yang tidak layak dan sosialisasi
keaslian rupiah di daerah terpencil dilakukan BI sejak tahun 2011.
Lokasi pertama di perbatasan antara Indonesia dan Filipina (Pulau
Marore, Miangas, Melonguane, dan Pulau Lirung).(ENY PRIHTIYANI)