Artikel dikutip sebagian teknis militer berserta sejarahnya dari Buku Memoar Ventje H.N. Sumual. Suntingan Sdr. Edi Lapian, Frieke Ruata dan BE Matindas. - Terbitan Bina Insani Jakarta 2009.
Serangan Umum 1 Maret
Agresi besar-besaran yang dilancarkan tentara Belanda pada 19 Desember
1948 merupakan keberhasilan luar biasa dipihak mereka, baik secara militer
maupun politik. NKRI yang secara de facto sudah mengecil wilayahnya,
kali ini langsung sekaligus hendak dimusnahkan dengan cara menduduki
langsung Ibukotanya, Yogyakarta. Pemerintah Belanda ternyata sudah
merancang dengan sangat matang agresi mereka kali ini. Semua
perlengkapan dan mesin perang termodern yang ada dalam inventorinya
dikerahkan. Dengan mengandal kan armada udaranya beserta pasukan lintas
udara, langsung menghujam ke jantung pemerintahan RI.
Serangan berlangsung pada hari Minggu agar tidak terduga, karena Belanda yang Kristen biasanya ke Gereja. Pasukan mereka sejak dinihari lagi mulai bergerak menuju Jogja, saat semua orang masih terlelap dimalam dingin penghujung Bulan Desember yang biasanya selalu turun hujan. Dan dipagi buta itu juga, PM Kerajaan Belanda dan Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Dr. L.J.M. Bell mengumumkan secara sepihak pembatalan gencatan senjata dan perjanjian Renville. Pengumuman yang tentu saja hanya tatakrama, agar didengar di dunia internasional.
Pukul 05.45, 13 pesawat tempur Belanda membombardir Lapangan Terbang Maguwo, kemudian diikuti dengan Dakota yang menerjunkan pasukan Linud. Pertahanan Maguwo ternyata sangat lemah, tidak seperti yang digembar-gemborkan beberapa perwira MBT. Maguwo hanya dijaga oleh seratusan tentara dengan persenjataan minim. Mitraliyur 12.7 mm hanya sebuah. Ada 1 Kompi AD, tapi entah kenapa beberapa jam sebelum serangan justru ditarik keluar Jogja. 14 pesawat milik kita, antaranya 8 buah dalam hanggar, hancur terbakar. Ditambah sebuah pesawat Catalina AURI yang kembali dari Sumatera dan tidak mengira kalau Maguwo sudah dikuasai oleh musuh, ditembak jatuh. Setelah tidak sampai 1 jam Maguwo sudah dikuasai, berturut-turut tiba Dakota menerjunkan pasukan dalam jumlah besar. 15 Dakota Belanda mondar mandir Semarang-Maguwo menjemput dan menerjunkan pasukan dan peralatan. Sementara digerbang Jogja pasukan darat Belanda lengkap dengan lapis bajanya merangsek dengan cepat memasuki Kota Jogja.
Pukul 10.00 posisi-posisi vital di Jogja sudah menerima tekanan hebat dari Belanda baik darat maupun udara. Kekuatan Pasukan Pertahanan Kota sangat kecil dan tidak dapat berbuat banyak menghadapi serangan dadakan ini. Ini juga karena memang sudah adanya perintah menyingkir ke daerah gerilya yang langsung dilaksanakan pada jam itu juga.
Pasukan Belanda dengan Tijger Brigade nya dibawah pimpinan Kolonel Van Langen menyerbu Gedung Agung, tempat kediaman Presiden dan Wakil Presiden. Pucuk pimpinan RI, beberapa Menteri, KSAU kemudian menjadi tawanan dan diseret untuk menghadap Mayjen Meir, pimpinan Agresi Belanda untuk dipaksa menyerahkan kekuasaan. Karena Bung Karno menolak, dia beserta Hatta dan sejumlah menteri diasingkan ke Sumatera. Sejak ditangkap, maupun saat sudah ditempat pengasingan, beberapa kali Bung Karno dan Bung Hatto nyaris dihabisi.
Serangan berlangsung pada hari Minggu agar tidak terduga, karena Belanda yang Kristen biasanya ke Gereja. Pasukan mereka sejak dinihari lagi mulai bergerak menuju Jogja, saat semua orang masih terlelap dimalam dingin penghujung Bulan Desember yang biasanya selalu turun hujan. Dan dipagi buta itu juga, PM Kerajaan Belanda dan Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Dr. L.J.M. Bell mengumumkan secara sepihak pembatalan gencatan senjata dan perjanjian Renville. Pengumuman yang tentu saja hanya tatakrama, agar didengar di dunia internasional.
Pukul 05.45, 13 pesawat tempur Belanda membombardir Lapangan Terbang Maguwo, kemudian diikuti dengan Dakota yang menerjunkan pasukan Linud. Pertahanan Maguwo ternyata sangat lemah, tidak seperti yang digembar-gemborkan beberapa perwira MBT. Maguwo hanya dijaga oleh seratusan tentara dengan persenjataan minim. Mitraliyur 12.7 mm hanya sebuah. Ada 1 Kompi AD, tapi entah kenapa beberapa jam sebelum serangan justru ditarik keluar Jogja. 14 pesawat milik kita, antaranya 8 buah dalam hanggar, hancur terbakar. Ditambah sebuah pesawat Catalina AURI yang kembali dari Sumatera dan tidak mengira kalau Maguwo sudah dikuasai oleh musuh, ditembak jatuh. Setelah tidak sampai 1 jam Maguwo sudah dikuasai, berturut-turut tiba Dakota menerjunkan pasukan dalam jumlah besar. 15 Dakota Belanda mondar mandir Semarang-Maguwo menjemput dan menerjunkan pasukan dan peralatan. Sementara digerbang Jogja pasukan darat Belanda lengkap dengan lapis bajanya merangsek dengan cepat memasuki Kota Jogja.
Pukul 10.00 posisi-posisi vital di Jogja sudah menerima tekanan hebat dari Belanda baik darat maupun udara. Kekuatan Pasukan Pertahanan Kota sangat kecil dan tidak dapat berbuat banyak menghadapi serangan dadakan ini. Ini juga karena memang sudah adanya perintah menyingkir ke daerah gerilya yang langsung dilaksanakan pada jam itu juga.
Pasukan Belanda dengan Tijger Brigade nya dibawah pimpinan Kolonel Van Langen menyerbu Gedung Agung, tempat kediaman Presiden dan Wakil Presiden. Pucuk pimpinan RI, beberapa Menteri, KSAU kemudian menjadi tawanan dan diseret untuk menghadap Mayjen Meir, pimpinan Agresi Belanda untuk dipaksa menyerahkan kekuasaan. Karena Bung Karno menolak, dia beserta Hatta dan sejumlah menteri diasingkan ke Sumatera. Sejak ditangkap, maupun saat sudah ditempat pengasingan, beberapa kali Bung Karno dan Bung Hatto nyaris dihabisi.
Menjadi Komandan Sektor Barat, SWK 103 / SWK 103A
Pesawat-pesawat tempur Belanda sejak pagi menderu-deru dilangit Yogyakarta. Ada sekitara 20 pesawat yang terdiri dari Jager, Bomber, dan Fighter bergentayangan sambil terus menerus memuntahkan tembakannya. Mereka menembak setiap objek yang terlihat dan bergerak. Mobil, delman, gerobak, kereta api, sepeda, mobil, juga penduduk yang berlarian mengungsi tidak luput dari hantaman mereka. Mayat bergelimpangan, korban jatuh dimana-mana.
Saya melaju dengan sepeda ke arah Pingit, Markas Brigade XVI. Maksud saya, sebagai Komandan Depo Persenjataan/Perbekalan, mau mengajak staf Brigade yang saya tahu ada di markas : Piet Ngantung, Empie Kanter, Eddy Gagola, serta para perwira lainnya untuk mengatur kordinasi pasukan.
Dalam perjalanan menuju Pingit, saya beberapa kali berpapasan dengan pasukan darat Belanda yang sedang menyerbu masuk ke tengah kota Jogja. Tapi saya sempat menghindar, walau sempat ditembaki juga. Tapi karena saya sedang menuju utara Pingit, sedangkan Belanda masuk dari arah utara, maka makin sering saya berpapasan dengan mereka, bahkan sempat nyaris dalam posisi terkepung. Maka saya putuskan untuk berbelok ke arah kiri, menjauh ke arah barat, nanti kemudiannya cari jalan lagi kearah Pingit.
Ternyata di barat saya bertemu rombongan-rombongan pasukan yang mengungsi, termasuk rombongan Brigade XVI. Pertama saya bertemu dengan rombongan Kapten Frits Runtunuwu dan Jan Wowiling, saya langsung menggabungkan diri dengan mereka. Kemudian kami bertemu juga dengan rombongan pasukan pimpinan Gerard Lombogia. Dipinggiran barat Jogja terdapat Markas Batalyon salah satu pasukan kami, yaitu Yon Palar. Maka saya putuskan untuk berhenti saja disini, tidak mengungsi terlalu jauh. Rombongan Brigade XVI pun secara bertahap berhenti di markas Yon Palar, stelling mengantisipasi serangan musuh. Rombongan TNI mengungsi melewati daerah Yon Palar semakin banyak, mengalir dari dalam kota lengkap dengan keluarganya masing-masing. Stelling kami di daerah Yon Palar secara tidak langsung melindungi bagian belakang pengungsian pasukan-pasukan TNI yang mengalir dari dalam kota mengungsi kearah selatan, menghindari gempuran pasukan Belanda dari arah utara.
Untuk lebih mengamankan pengungsian pasukan yang tidak putus-putus, khususnya ribuan pasukan Siliwangi yang bergerak kearah barat daya, untuk kemudiannya kembali ke Jawa Barat sesuai dengan rencana induk gerilya, pasukan Brigade XVI setelah konsolidasi singkat kembali ke arah kota. Secara hit and run kami bertempur dengan ujung tombak pasukan Belanda yang mencoba mengejar rombongan-rombongan pasukan Siliwangi yang hendak melaksanakan long march. Begitulah, hingga sore kami terus menerus kucing-kucingan dengan tentara Belanda. Setelah kami pastikan rombongan Siliwangi sudah cukup jauh kearah barat daya, dan dengan perkiraan tidak ada lagi pasukan TNI yang mengungsi dari dalam kota, kami pun kembali stelling di tempat semula, daerah Yon Palar sebelah barat kota Jogja.
Sekitar pukul 16.00, saya melihat serombongan kecil perwira TNI datang dari arah barat daya. Dari jauh langsung terkesan, mereka lagi mengiringi seorang pimpinan tinggi TNI. Ternyata mereka rombongan dari MBKD (Markas Besar Komando Djawa), dipimpin Letkol Sukanda Bratamanggala. Ada Mayor Abdul Ghani juga, mereka sedang berkeliling melakukan konsolidasi. Letkol Sukanda Bratamanggala adalah Wakil Kepala Staf Teritorial, tapi sekarang ia satu-satunya perwira tertinggi Komando Djawa yang ada di ibukota. Para pejabat lainnya sedang mengikuti Panglima MBKD Kolonel AH. Nasution ke Jawa Timur sejak beberapa hari lalu. Saya dengan Pak Sukanda sudah saling kenal sebelumnya. Setelah saya jelaskan tentang kami, Brigade XVI, Letkol Sukanda lalu bertanya,
“Je, mau mengungsi kemana?”
“Tidak, kami disini saja,” jawab saya.
Dia heran, sebab posisi kami sekarang sebenarnya belum terhitung pengungsian, masih terlalu dekat dalam jangkauan musuh yang sudah menguasai kota. Saya balas,
“Kan kita sekarang bergerilya.....”
“ohh..ya..ya! Betul” kata Pak Sukanda. Ia tersenyum senang
Saya juga menjelaskan kalau wilayah ini memang tanggungjawabnya salah satu pasukan kami, Yon Palar.
“Baiklah kalau begitu. Mulai sekarang Mayor Sumual kami angkat menjadi komandan disektor ini. Sektor Barat!”
“Siappp!”
Kembali ternyata kami salah duga, ternyata masih ada lagi rombongan-rombongan pasukan TNI yang mengungsi melewati pasukan kami, terus mengalir sampai malam. Kamu mulai menyiapkan akomodasi untuk pasukan-pasukan. Mulai berusaha mengenali medan, buat tempat berlindung. Markas Komanda saya akan ditempatkan lebih ke barat, tepatnya didesa Jering, Godean. Tidak menunggu lama, sayapun sudah mempersiapkan pasukan untuk melakukan gangguan kedalam kota malamnya.
Sekitar jam 20.00 saat pasukan sedang mengaso dalam perjalanan masuk ke kota, dari arah selatan datang rombongan kecil, dikawal oleh beberapa anak buah saya. Ternyata rombongan Letkol Soeharto, Komandan Brigade X. Letkol Soeharto sedang berkeliling melakukan konsolidasi. Teritori Brigade X memang meliputi seluruh wilayah Kesultanan Yogyakarta, termasuk daerah Godean ini. Markas komandonya sekarang berpindah ke Segoroyoso, sebelah timur Kali Opak, sebelah tenggara kota Jogja. Jadi ia sudah jauh berkeliling melakukan konsolidasi.
Sebelum sampai ke markas saya, ia mampir dulu kerumah keluarganya di
Rewulu. Katanya, semula ia mengira pasukan-pasukan kami adalah rombongan
Siliwangi yang akan meneruskan perjalanan ke Jawa Barat. Saya dan Pak
Harto memang sudah saling mengenal, kami kemudian larut dalam
perbicaraan. Dia bercerita pengalamannya dalam kota saat serangan
Belanda tiba tadi pagi, lalu mengungsi ke selatan, kemudian konsolidasi
sejak siang tadi.
“Terus, Tje mau bergerilya kemana?” tanya Letkol Soeharto.
“Disini. Kami disini saja.“
“Apa ndak terlalu dekat markas Belanda? Saya dengar mereka di Tugu.”
“Ah jauh. Ndak apa-apa,” jawab saya.
“Baiklah. Sekarang saya angkat Mayor Sumual jadi Komandan Sektor Barat“
Jadi dalam beberapa jam saya saya sampai dua kali diangkat menjadi Komandan Sektor Barat. Mungkin karena saya tidak suka banyak bicara, saya tidak bilang ke Soeharto tentang pengangkatan saya oleh MBKD sebelumnya. Memang saya merasa tidak perlu mempermasalahkan masalah ini. Istilah “Pasukan Gerilya Sektor Barat” tersebut lantas dipakai terus, walaupun kemudian sudah ada nama SWK, Sub-Wehrkreise. Malam tanggal 19 Desember itu juga, kami di Sektor Barat melakukan serangan kedalam kota. Masih saya ingat pertempuran seru di Jl. Tanjung yang dilancarkan Pasukan Combat Brigade XVI pimpinan Letnan Sigar.
Penyerangan malam ini memang tidak direncanakan sebelumnya, namun diperjalanan bergabung pasukan Yon 151 yang dari sektor lain. Memang serangan kami ini hanya spontan saja, begitu juga Yon 151 yang spontan bergabung. Dalam kontak senjata di daerah Tugu, Komandan Yon 151 Kapten F. Hariadi gugur bersama sepuluhan anggotanya. Selanjutnya Yon 151 yang baru saja kehilangan pimpinannya meminta bergabung dengan kami untuk seterusnya.
Pasukan Sektor Barat kami hampir tiap malam melakukan penyusupan-penyusupan dan serangan kedalam kota. Inilah sebetulnya konsep prinsip gerilya, kami yang menentukan kapan dan dimana untuk bertempur, bukan pihak musuh. Begitu juga ketika tanggal 22 Desember Letkol Soeharto meminta bantuan saat ia memimpin pasukan masuk kedaerah Taman Sari dekat Kraton, saya kirim pasukan Combat Brigade XVI yang dipimpin langsung oleh komandannya, Kapten Kandou, biasa dipanggil Bos!.
“Terus, Tje mau bergerilya kemana?” tanya Letkol Soeharto.
“Disini. Kami disini saja.“
“Apa ndak terlalu dekat markas Belanda? Saya dengar mereka di Tugu.”
“Ah jauh. Ndak apa-apa,” jawab saya.
“Baiklah. Sekarang saya angkat Mayor Sumual jadi Komandan Sektor Barat“
Jadi dalam beberapa jam saya saya sampai dua kali diangkat menjadi Komandan Sektor Barat. Mungkin karena saya tidak suka banyak bicara, saya tidak bilang ke Soeharto tentang pengangkatan saya oleh MBKD sebelumnya. Memang saya merasa tidak perlu mempermasalahkan masalah ini. Istilah “Pasukan Gerilya Sektor Barat” tersebut lantas dipakai terus, walaupun kemudian sudah ada nama SWK, Sub-Wehrkreise. Malam tanggal 19 Desember itu juga, kami di Sektor Barat melakukan serangan kedalam kota. Masih saya ingat pertempuran seru di Jl. Tanjung yang dilancarkan Pasukan Combat Brigade XVI pimpinan Letnan Sigar.
Penyerangan malam ini memang tidak direncanakan sebelumnya, namun diperjalanan bergabung pasukan Yon 151 yang dari sektor lain. Memang serangan kami ini hanya spontan saja, begitu juga Yon 151 yang spontan bergabung. Dalam kontak senjata di daerah Tugu, Komandan Yon 151 Kapten F. Hariadi gugur bersama sepuluhan anggotanya. Selanjutnya Yon 151 yang baru saja kehilangan pimpinannya meminta bergabung dengan kami untuk seterusnya.
Pasukan Sektor Barat kami hampir tiap malam melakukan penyusupan-penyusupan dan serangan kedalam kota. Inilah sebetulnya konsep prinsip gerilya, kami yang menentukan kapan dan dimana untuk bertempur, bukan pihak musuh. Begitu juga ketika tanggal 22 Desember Letkol Soeharto meminta bantuan saat ia memimpin pasukan masuk kedaerah Taman Sari dekat Kraton, saya kirim pasukan Combat Brigade XVI yang dipimpin langsung oleh komandannya, Kapten Kandou, biasa dipanggil Bos!.
Pengorganisasian baru berlangsung awal Januari 1949. Letkol Soeharto memimpin Wehrkreise III atau WK-III. Membawahi 6 Sub-Wehrkreise atau SWK :
SWK 101 di daerah Bantul Timur dengan Komandan Mayor Sekri Soenarto.
SWK 102 di daerah Bantul Barat dengan Komandan Mayor Sardjono.
SWK 103 di daerah Godean dengan Komandan Mayor Ventje HN. Sumual.
SWK 104 di daerah Sleman dengan Komandan Mayor Soekasno.
SWK 105 di daerah Gunung Kidul dengan Komandan Mayor Sardjono.
SWK 106 di daerah Kulon Progo dengan Komandan Letkol R. Soedarto.
Dalam perkembangan selanjutnya disesuaikan dengan pergeseran real di pasukan-pasukan, juga dengan pertimbangan-pertimbangan lain. Sejak pertengahan Januari, beberapa perubahan dilakukan.
1. SWK 101 untuk clandestine dalam kota Jogja, lebih sebagai mata-mata dan satuan penghubung gerilya. Komandan Letnan Marsudi.
2. SWK 102, Komandannya tetap Mayor Sardjono, tapi wilayahnya sudah mencakup hingga Bantul Timur yang sebelumnya masuk SWK lain.
3. SWK 103, bermarkas di Gamping dengan Komandan Letkol Suhud.
4. SWK 103A, didaerah Godean tetap saya pegang. Hanya nama berubah ditambah huruf A untuk membedakan dengan SWK 103. Terkesan kami hanya bagian dari SWK 103.
5. SWK 104, di daerah Sleman tetap dengan Komandan Soekasno.
6. SWK 105, di daerah Gunung Kidul tetap dengan Komandan Soejono.
7. SWK 106, di daerah Kulon Progo tetap dengan Komandan Soedarto.
Ada yang menjelaskan kepada saya, bahwa kami menjadi SWK 103A sedangkan 103 Untuk Suhud karena pangkatnya Letkol, sehingga jangan dimasukkan komando saya yang Mayor. Padahal Gamping adalah daerah teritori kami. Memang jabatan Letkol Suhud sebelumnya bahkan pararel dengan Letkol Soeharto. Soeharto adalah Komandan Brigade X yang berkedudukan di Yogyakarta, sedangkan Suhud justru adalah Komandan Sub-Teritorium Divisi III untuk wilayah Yogyakarta.
Saya sendiri sama sekali tidak memikirkan soal-soal begitu. Rupanya meski dalam suasana darurat, dalam gerilya ada saja orang yang tetap merasa penting akan formalitas jabatan seperti itu. Padahal, dalam suasana begini yang terpenting hanyalah soal besarnya kekuatan real, jumlah pasukan, senjata, dan berani apa nggaknya maju ke medan front. Bukan soal levelitas jabatan!
Pasukan saya SWK 103A adalah yang terbesar. Ada 4 Yon Mobile, yaitu Yon Lukas Palar, Yon Andi Mattalatta (Resimen Hasanuddin), Yon Palupessy (Dulu Divisi Pattimura), dan Yon 151 dengan pimpinan Hardjosoedirjo menggantikan pimpinan asal yang gugur. Semua sektor teritori gerilya kami penuh terisi dengan pasukan dan dibagi dalam 5 sektor. Sektor 1 dipimpin oleh Kapten Frits Runtunuwu, Sektor 2 Letnan Wim Sigar, Sektor 3 Mayor Palupessy, Sektor 4 dikomandani Widarto bersama Asmasmarmo, dan Sektor 5 oleh Letnan Goenarso. SWK-SWK lain hanya berkekuatan 1 Batalyon plus, bahkan SWK 105 dan 103 hanya berkekuatan 2 Kompi plus. Juga SWK 101 yang memang tidak perlu mengefektifkan pasukan besar sebab khusus untuk clandestine dalam kota. Komandan Yon 151 Kapten F. Hariadi yang gugur dalam pertempuran malam 19 Desember, dan sejak itu pula Yon 151 ikut dalam pasukan saya. Danyon kemudiannya dipegang oleh Letnan P.C. Hardjosoedirjo. Letkol Soeharto yang langsung datang ke markas saya melantiknya.
Sejak hari-hari pertama bergerilya, telah datang bergabung dengan kami di Sektor Barat sejumlah pasukan dari luar Brigade XVI. Ada 2 pasukan Mobile Brigade Kepolisian dipimpin oleh Ajatiman dan Soebroto. Lalu ada Kolonel Laut Darwis Djamin, Panglima ALRI Pangkalan Tegal bersama-sama anak buahnya juga mengungsi kesektor kami. Pasukan Marinirnya sebenarnya punya persenjataan yang bagus dan canggih, kami beruntung mereka bergabung disektor kami dan bahu membahu bergerilya. Ada pula Laskar Burhanuddin Harahap, yang bersama beberapa politisi berlindung di sektor kami, mengkonsolidasi Barisan Hizbullah. Banyak tokoh politik berlindung di daerah sektor saya termasuk Mr. Kasman Singodimedjo, Sukarni dari KNIP, juga apa Pandu Wiguna, Ir. Sakirman, Setiadi. Chairul Saleh juga sempat berlindung disektor saya, kemudian mengatakan akan ke daerah Jawa Barat, bergerilya disana. Banyak juga yang mendapatkan jodohnya disektor ini, dan saya membantu acara pernikahan mereka.
Masih dalam suasana Natal tanggal 26 Desember 1948, saya menerima Surat Perintah Operasi dari Letkol Soeharto agar mengerahkan pasukan secara besar-besaran untuk serangan umum tanggal 29 Desember 1948. Inilah serangan umum yang pertama. Pukul 7 malam kami mulai bergerak, hampir seluruh pasukan di Sektor Barat, baik regular Brigade XVI maupun yang berlindung di sektor ini saya kerahkan. Secara tersamar kami mendekati pinggiran kota, menuju sasaran masing-masing. Pasukan kami dibagi menjadi dua, sebagian melambung ke utara, masuk Jogja dari arah utara, sebagiannya pula langsung menyerbu dari barat.
Serangan dimulai tepat pukul 21.00. Tembakan bergema diseantero kota. Letusan senjata yang diselingi siulan mortir terdengar dahsyat dari seluruh penjuru kota. Tujuan utama operasi adalah untuk mengembalikan kepercayaan rakyat, disamping mengetes dan mengetahui kekuatan pasukan lawan. Cukup banyak prajurit yang gugur malam itu. Diantaranya asisten saya sendiri, Letnan Karel Pondaag. Ia ex-KNIL, gugur berjibaku dengan bren carrier Belanda. Pertempuran berlanjut hingga pukul 03.00 dinihari, kami mengundurkan diri. Walau kelelahan ditambah udara yang cukup dingin karena musim penghujan, saya menyiapkan serangan balasan selanjutnya. Beberapa prajurit diperintahkan mengurusi jenazah mereka yang gugur, termasuk jenazah Letnan Karel Pondaag yang sudah tidak utuh lagi.
Serangan balasan tanggal 31 Desember malam berlangsung singkat namu efektif, dengan titik-titik sasaran yang tegas, serangan dari Sektor Barat ini saya pimpin sendiri. Sejumlah komandan operasi andalan Brigade XVI pun turun lapangan. Diantaranya Kapten Willy Sumanti, Kapten Runtunuwu, Mayor Gustav Kamagie, Letnan Kailola. Begitu juga jagoan-jagoan tempur Tim Khusus Combat Brigade XVI seperti Letnan Kandou, Letnan Woimbon, Letnan Sigar, dan lain-lain.
Kembali dari bertempur, kami langsung ke daerah Jering, karena harus sibuk persiapan menyambut malam perpisahan tahun. Ini memang hari terakhir tahun 1948. Sejal awal masa gerilya 1945, orang-orang asal Minahasa dalam laskar KRIS tidak pernah alpa dengan tradisi perayaan dari kampung halamannya ini. Demikian seterusnya dari tahun ke tahun, sehingga prajurit dari daerah manapun dalam Brigade XVI ini sudah ikut turut mentradisiknnya. Dan sekarang, lebih banyak teman-teman baru yang berasal dari Sulawesi Utara dalam kesatuan gerilya Sektor Barat. Malam tahun baru kami rayakan dengan meriah, walaupun tentu secara sederhana. Rakyat disektor kami turut serta bergabung bersama-sama. Terasa suasana keakraban dan persaudaraan antara TNI, Pejuang dan Rakyat. Inilah nyawa dari peperangan gerilya sebenarnya.
Bersambung ...
♜ Diposkan Erwin Parikesit (Kaskuser)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.