“Dialah satu-satunya fighter yang menembak jatuh pesawat musuh. Dia juga yang mendamaikan dua pasukan saling baku tembak di Halim, Oktober 1965. Namun siapa yang peduli, ketika dia jadi sopir pick-up bermuatan kelapa menjalani rute Banten-Jakarta.”
Ignatius Dewanto |
☆ 'Ace' Pertama Indonesia
Apron Liang, 18 Mei 1958. Kapten Udara Ignatius Dewanto tengah bersiap di kokpit P-51 Mustang. Pagi itu, dia ditugaskan menyerang pangkalan udara Aurev (Angkatan Udara Revolusioner, AU Permesta) di Sulawesi Utara. Roket-roket menggantung di sayap pesawat, seperti tak sabar menyiulkan nyanyian kematian. Saat itulah, hanya beberapa saat sebelum Dewanto take off menuju Manado, sebuah berita memaksanya membatalkan serangan ke Manado dan harus mengarahkan pesawat ke Ambon. Apa yang terjadi?
Ambon
dibom B-26 Invader Aurev! Mesin segera dihidupkan. Empat bilah
baling-baling memutar mesin Rolls-Royce Merlin berkekuatan 1.590 tenaga
kuda. Dewanto lepas landas dan seperti tidak sabar, memacu pesawatnya.
Ketika
di udara, Dewanto mendapatkan Ambon mengepulkan asap di mana-mana.
Puing-puing berserakan, menandakan baru saja mendapat serangan udara.
Berputar sejenak, B-26 tak kunjung terlihat. Pesawat kemudian
diarahkannya ke barat. Ferry tank dilepas untuk menambah kelincahan
pesawat. Dewanto terbang rendah. Berbarengan saat pandangannya
tertumbuk ke konvoi kapal ALRI, sekelebat dilihatnya sebuah pesawat.
“B-26,” gumamnya. Celaka, pesawat buruannya ternyata tengah melaju ke
arah konvoi kapal. Dewanto menambah kecepatan, mengejar. Beruntung dia,
karena persis berada di belakang B-26. Walau sempat ragu karena posisi
musuh tepat antara kapal dan dia, Dewanto langsung melontarkan roketnya.
Satu, dua, tiga roket, semua luput. Tak satupun mengenai sasaran. Dalam
waktu yang begitu cepat, disusulnya dengan rentetan senapan mesin 12,7.
Dewanto yakin, tembakannya menghantam sasaran. Saat bersamaan, KRI
Sawega tak ketinggalan. Bofors, Oerlikon, 12,7, water mantle 7.62,
menyalak berbarengan. Tak ketinggalan pasukan di geladak, menembakkan
senjata yang kebetulan ada di tangan mereka. “Pesawat musuh kena,”
teriak personil yang ada di atas kapal, Alhasil, B-26 yang diterbangkan
seorang serdadu bayaran bernama Allen Lawrence Pope beserta juru radio
Hary Rantung (bekas AURI), terbakar dan tercebur ke laut.
Bagi Dewanto, ketegangan belum berakhir. Allen Pope Pope dalam persidangan di Jakarta Saat dalam perjalanan pulang, Dewanto berpapasan dengan B-26 lainnya. Head on attack perang udara berhadap-hadapan tak terelakkan. Dengan beraninya Dewanto menghujani B-26 yang diterbangkan Cony, penerbang berkulit putih, dengan senapan mesinnya. Begitu juga Cony, “Balas menembak hingga pelurunya habis,” tutur Petit Muharto, mantan Panglima AU Permesta kepada Angkasa.
Baik pesawat Dewanto maupun Cony, mengalami kerusakan akibat pertempuran udara itu. Ban pesawat Cony kena. Hal itu menurut Petit, diketahui ketika mendarat di Mapanget pesawatnya menggelosor masuk parit. Sementara Dewanto mengatakan, sirip tegak pesawatnya terkena peluru. “Dia pilot pemberani,” ucap Cony kepada Petit begitu mendarat.
Lama setelah peristiwa itu berlalu, Petit bertemu dengan Dewanto. Petit bertanya, “Mengapa ketika bertemu Cony, kamu tidak menggunakan roket untuk menjatuhkan dia.” Dijawab Dewanto, “Roket-roket saya sudah habis ditembakkan ketika bertemu B-26 lainnya (Allen Pope).” Artinya, Pope ditembak jatuh oleh Dewanto, polemik ini belum selesai, karena AL mengklaim kapalnya yang menembak. Sayang, kita tidak bisa bertanya kepada Dewanto, penerbang yang oleh kehebatannya pantas mendapat julukan ace gelar kehormatan bagi penerbang yang menembak jatuh pesawat musuh.
Istilah ace diambil dari kartu ‘as’, kartu mematikan yang jika dimainkan langsung mengalahkan lawan. Beragam dasar pemberian gelar ace. Di Amerika, misalnya, dianugerahkan kepada penerbang yang menembak jatuh sedikitnya lima pesawat. Perang Dunia II melahirkan 268 aces P-51 Mustang.
☆ Permesta
Empat hari sebelumnya, Dewanto terlibat dalam operasi penggempuran pangkalan udara AU Permesta di Mapanget (sekarang Sam Ratulangi Manado), Tasuka (dekat danau Tondano), Morotai, dan Jailolo (Halmahera). Dalam operasi ini, lima P-51 Mustang serta empat B-25 Mitchell diberangkatkan dari tempat terpisah.
Leo Wattimena telah memberikan briefing kilat kepada para penerbang. Leo berkata singkat: esok subuh akan dilakukan penyerangan untuk merebut keunggulan di udara di Indonesia Timur. Sorenya, “Sekitar jam 15.00,” aku Sri Mulyono, sembilan pesawat berangkat dari pangkalan masing-masing menuju tiga tempat yang telah di tentukan di sekitar pulau Ambon. Di sini, mereka bermalam. Sampai di Ambon, matahari telah tenggelam jauh. Satu per satu, pesawat mendarat dengan hati-hati. Sebagaimana biasa, Allen Lawrence Pope, penerbang bayaran yang “disewa” Permesta, tidak (pernah) muncul di malam hari. Dini hari, 15 Mei, Leo memulai misinya. Sesuai perkiraannya, saat matahari terbit pukul 05.45, iring-iringan pesawat sudah sampai di lokasi.
Berdasarkan informasi intelijen, Permesta saat itu memiliki lebih kurang 10 pesawat. Mulai dari pembom B-26, P-51, dan pesawat ampibi PBY Catalina. Dalam episode inilah Dewanto, Leo Wattimena dan Rusman yang memayungi B-25 yang diterbangkan Sri Mulyono, Soewoto Sukendar, dan Sudarman, menghancurkan sarang AU Permesta yang sangat ditakuti TNI.
Kisah heroik ini didramatisir Noordono pelukis kedirgantaraan di atas kanvas. Guratan tangannya memperlihatkan sebuah B-25 AURI bernomor M-429 baru saja berlalu. Bom yang dijatuhkannya meninggalkan ledakan hebat di landasan. Pesawat Catalina yang diparkir, sepertinya di depan ruang operasi, mengepulkan asap tanda terbakar. Dari operasi udara besar-besaran ini, akhirnya keunggulan udara berhasil direbut. “Delapan pesawat kita hancurkan,” aku Sri Mulyono.
☆ Totok
Dipanggil Totok Siapa sesungguhnya Ignatius Dewanto? Sedikit
orang yang bisa menjawab pertanyaan ini. Begitupun perihal namanya.
“Dia minta namanya di tulis Dewanta, bukan Dewanto. Namun orang lebih
banyak mengenalnya sebagai Dewanto,” aku Sri Mulyono. Sebut saja
Marsekal (Pur) Saleh Basarah, Marsdya (Pur) Omar Dhani, Marsda (Pur) Sri
Mulyono Herlambang, Marsda (Pur) Wisnu Djajengminardo, Marsma (Pur)
Agustinus Andy Andoko (bekas teman seangkatan di TALOA), Mayor (Pur)
Petit Muharto, hingga Kolonel (Pur) PGO Noordraven dan mungkin banyak
nama lagi yang tidak bisa disebutkan satu per satu sepakat mengucapkan
satu kata yang sama : Dewanto seorang pemberani! “Kami memanggilnya
Totok,” ujar Saleh Basarah.
Dibalik kekerasan wataknya, sebenarnya Dewanto periang. “Dia all round. Bisa piano, nyanyi, renang, atletik, suka bergaul, riang sekali. Dibanding teman-teman lainnya,” lanjut Omar Dhani yang menyebut dirinya pengamat bagi teman-temannya, “grafik progresnya relatif lebih tinggi dari yang lain.” Lain lagi Wisnu. Dimatanya, Dewanto si pemelihara kumis melintang itu sebenarnya sosok yang halus. “Beda dengan Leo,” tambah Wisnu sambil tertawa. Ditambahkan Saleh Basarah, selain berpendirian teguh, IQ (intelligence quotient) Dewanto termasuk di atas rata-rata.
Lahir dari pasangan penganut Katolik yang taat, M. Marjahardjana dan Theresia Sutijem di Kalasan, Yogjakarta 9 Agustus 1929, rupanya atmosfer perang kemerdekaan yang membara, merasuk ke jiwanya. Membakar ruh Totok muda. Letusan senapan, ledakan bom, jeritan rakyat disiksa, dan “dongeng” kepahlawanan mereka-mereka yang berada di garis depan perjuangan, mengkristal dalam diri Totok.
Bapaknya yang seorang guru, tak kuasa membendung keinginan anak pertamanya memanggul senapan. Solo dipilihnya. Totok lebur ke dalam kesatuan tempur, yang dalam babak sejarah terkenal sebagai “anak-anak Solo”. Tentara Pelajar (TP) namanya. Totok tergabung ke dalam kesatuan Slamet Riyadi.
Karirnya cukup gemilang hingga dipercaya sebagai kepala regu (1950). Sebelumnya (1948) pernah menjadi kepala pabrik granat di TP. “Kita satu lichting, tapi dia diseniorkan karena memiliki sifat kepemimpinan. Ini mungkin karena Totok pernah kuliah di bagian teknik Universitas Gajah Mada,” jelas Sri Mulyono yang punya cukup cerita untuk menggambarkan nekadnya Dewanto. Satu soal misalnya, ketika gerombolan TP dibantu rakyat melakukan pencegatan konvoi Belanda dari Semarang-Solo di daerah Boyolali. Kompi ini dipimpin Dewanto. Dituturkan Sri Mulyono, mereka mengendap-endap di balik rerimbunan. Yang mereka tunggu tidak main-main, iring-iringan kendaraan lapis baja Belanda. Meneruskan ceritanya, sampailah Sri Mulyono kepada bagian yang tak terlupakan. Begitu tendengar deru mesin kendaraan diselingi kepulan debu tanah yang berhamburan dilindas roda-roda, anak-anak TP mengambil posisi siap. Tetapi apa yang terjadi. Dengan “gilanya” karena hanya bertamengkan tanggul, Dewanto menghujani konvoi tentara Belanda dengan sten gun buatan Indonesia. “Dia itu kaduk wani kurang duga (terlalu berani tapi kurang perhitungan),” kenangnya.
Dalam beberapa kali pencegatan, TP banyak dibantu Pasukan Pertahanan Pangkalan (PPP) AURI dipimpin OMO (Opsir Muda Oedara) II A Wiriadinata. Kenapa? Karena, kata Sri Mulyono, pasukan Wiriadinata satu-satunya yang memiliki 12,7 mm. Wiriadinata kemudian menjadi Komandan PGT (Pasukan Gerak Tjepat, sekarang Korpaskhasau) pertama 1952. Karena kehebatannya, Wiriadinata diangkat menjadi Komandan Pertempuran Panembahan Senopati 105 (PPS-105) yang kemudian terkenal dengan nama Pasukan Garuda Mulya.
Begitupun setelah menjadi penerbang, yang notabene sangat mengutamakan keselamatan saat manusia mencoba memutarbalikkan kodratnya melawan gravitasi bumi, Totok tetap Totok yang dulu. Pemberani. Andoko punya cerita unik. “Hari itu,” katanya, “Saya mendarat di Halim. Tak lama kemudian, sebuah Mustang mendarat. Kalau cuma mendarat nggak apa-apa, tapi yang bikin saya kaget, di belakang Mustang itu ada kawat listrik nyantol, cukup panjang. Saya tanya pada crew, siapa itu. Pak Dewanto, jawabnya enteng.” Andoko tidak habis pikir, manuver apa yang sudah dilakukan temannya itu. “Betapa rendahnya dia terbang,” pikir Andoko dalam hati. Masih dalam keadaan bingung dan segudang pertanyaan lewat di kepalanya, tiba-tiba seseorang nyeletuk yang justru menambah bingung Andoko. “Biasa Pak, kalau Pak Dewanto pulang latihan pasti membawa kawat listrik.” Mungin bisa ditebak, kata-kata apa yang bakal keluar dari mulut Andoko. Edan!
Usai cease fire (1948), Dewanto (juga Sri Mulyono) ditempatkan di Semarang khusus bagi TP yang mampu berbahasa Belanda untuk dijadikan counterpart antara polisi militer Belanda dengan tentara Indonesia. Tanggal 25 Juli 1950, lewat pengumuman Kementerian Pertahanan RI, dinyatakan bahwa Staf Angkatan Udara membutuhkan penerbang. Mereka lantas mendaftar. Sebagian, kata Sri Mulyono, sudah lebih dulu masuk AURI. Seingat Sri Mulyono, selain dia dan Dewanto dari TP, juga diterima Abdul Kadir (Kolonel purnawirawan, almarhum), dan Soegiarto (Letnan). “Dia crash dengan P-51 di Depok,” jelas Omar Dhani.
☆ TALOA
Kecuali yang dari TP, 60 orang kadet-kadet muda yang dikirim ke California ini baru saling kenal pada saat diberangkatkan. Mereka dikirim ke Trans Ocean Airlines Oakland Airport (TALOA), California, November 1950 untuk jadi penerbang. “Disinilah saya kenal Totok,” aku Saleh Basarah yang pernah direkomendasi Dewanto sebagai perwira staf operasi Leo Wattimena selaku Panglima AU Mandala saat Trikora. Sebelum berangkat ke California, 60 pemuda ini dibagi dalam enam kelompok sesuai tinggi badan. Karena posturnya, “Totok saya kira masuk kelompok 5 atau 6,” kata Andoko. “Saya juga akrab dengannya secara spiritual,” jelas Andoko. Keakraban ini muncul, aku Andoko, karena hanya tiga orang kadet beragama katolik. Satunya lagi Richardus Darjono.
Sesuai sosoknya pendek, kekar, berkulit hitam dan tabiatnya yang keras, Dewanto masuk kelas fighter bersama Leo Wattimena, Hapid Prawiranegara, Iskandar, Aried Riyadi, Dono Indarto, Soegiarto, dan Sumitro. Kecerdasan berpadu dengan bakat yang menyatu dalam dirinya, membuat Dewanto tanpa kesulitan menyelesaikan tahap demi tahap pendidikan.
Usai pendidikan, para perwira muda ini kembali ke tanah air. Kecuali Dewanto, beserta 19 orang lainnya, seperti Leo, Omar Dhani, dan Andoko, harus melanjutkan pendidikan instruktur selama tujuh bulan di tempat yang sama. Tiba di Indonesia (1952), 10 orang langsung masuk skadron dan 10 sisanya menjadi instruktur Sekolah Penerbang Lanjutan (SPL) di Husein Sastranegara. Barulah pada tahun 1954, Dewanto masuk Skadron Udara 3 tempat bercokolnya P-51 Mustang.
Setahun kemudian, bertepatan peringatan 10 tahun HUT Kemerdekaan RI, Dewanto memimpin fly pass belasan AT-6 Harvard di atas istana kepresidenan. Dalam fly pass, Harvard yang take off dari Kalijati membentuk formasi berbentuk RI-10. “Latihannya hanya seminggu,” tutur Andoko yang memimpin kelompok angka 10 dan baru bertemu Dewanto lagi waktu Trikora.
Selama karirnya sebagai fighter, Dewanto tidak sempat merasakan “tangguhnya” pesawat Rusia. Khusus jet, hanya de Havilland Vampire F.1. Sejenak wawancara di kediaman Sri Mulyono ini jadi buntu. Ada perbedaan pendapat dan keraguan di wajah para penerbang tua ini. “Soalnya saya punya fotonya di depan MiG,” aku Daned, panggilan akrab Omar Dhani. “Itu kan foto, aku juga bisa kalau cuma begitu,” sela Andoko disambut tawa yang lain.
☆ Raiders vs RPKAD
Beberapa saat setelah menjabat Deputi Menteri/Pangau Urusan Operasi (diangkat 1 juli 1965) menggantikan Marsekal Muda Udara Sri Mulyono yang dipromosikan sebagai Menteri Negara diperbantukan Presiden, Dewanto beserta perwira di lingkungan AURI lainnya diajak Menteri/Panglima Angkatan Udara Marsekal Madya Omar Dhani menghadap Presiden Soekarno di Istana Negara.
Begitu berhadapan muka, Bung Karno spontan berkomentar. “Rupamu kok, seperti wedono di Jawa Timur sana.” Hadirin yang kebetulan mendengar, kontan tertawa. Rupanya, Bung Karno geli melihat kumis Dewanto yang tebal, dipelintir, hingga mencuat ke atas. “Presiden senang melihatnya,” kenang Daned.
1 Oktober 1965. Mestinya, hari itu Dewanto hadir di Semplak, Bogor untuk meresmikan sekolah intelijen udara. Dewanto yang merangkap direktur intel, ditunggu-tunggu tidak datang. Malah direktur pendidikan yang muncul. Kapten (Pnb) Kundimang, penerbang P-51 yang ditugaskan menyiapkan sekolah intel bertanya-tanya. Apa yang terjadi? Karena penasaran, diputuskannya ke Mabes AURI Tanah Abang menemui Komodor Udara (Marsekal Pertama) Ign Dewanto. “Kamu jangan ke mana-mana,” perintah Dewanto begitu bertemu Kundimang. Kundimang bingung. Maksudnya bertanya, kok malah dilarang pergi. Tapi dia tidak mau bertanya lagi. Diikutinya saja perintah komandannya. “Ya sudah, sejak itu saya mendampingi Pak Dewanto,” kata Letkol (Pur) Kundimang.
Siangnya mereka menuju Halim. Sebelum ke Halim, Dewanto meminta Kundimang singgah ke Gereja Theresia. Masih berbaju dinas, pistol dipinggang, Dewanto melenggang masuk gereja yang kosong. “Persis seperti koboi,” jelas Kundimang. Lalu, berdiam di depan altar. Usai berdoa, mereka bergegas ke Halim dan menemui Danlanud Halim Perdanakusuma Kolonel Wisnu Djajengminardo.
Dini hari, pukul 02.00 tanggal 2 Oktober, pesawat kepresidenan Jetstar yang ditumpangi Sri Mulyono dengan penerbang Wage Mulyono, mendarat di Halim. Sebelum mendarat, pesawat sempat dihujani ARSU (artileri serangan udara) di daerah Tanjung Priok dan Tebet. Tapi selamat. Situasi semakin tak terkendali, isu menyebar secepat kilat : AURI akan menyerang markas Kostrad!.
Maka pagi itu, 2 Oktober, Dewanto memutuskan terbang dengan Kundimang menggunakan Cessna 180 untuk memantau situasi kota Jakarta dari udara. Kundimang terbang di ketinggian 2.000 kaki. Persis di atas Parkir Timur Senayan, Dewanto bertanya, “Apa itu di bawah.” Kundimang, pemegang Certificate of Standing Award dari sekolah intelijen udara AU AS (1965) langsung menjawab, “Troop carrier.” Dewanta menyangkal, “Bukan, itu tank.” Tapi Kundimang yang baru lulus bersikukuh, “Tidak Pak, itu troop carrier.” Guna meyakinkan, pesawat terbang rendah. Benar, kendaraan-kendaraan militer pengangkut pasukan itu berjejer. Dalam benaknya Dewanto berpikir, isu penyerangan Kostrad oleh AURI yang berasal entah dari mana ternyata ditanggapi serius.
Pesawat terus melaju ke Halim. Di Cililitan, tepatnya di depan pabrik ban Intirub, pemandangannya lebih gawat lagi. Konvoi kendaraan lapis baja TNI AD bergerak dengan moncong meriam mengarah ke Halim. “Cepat, cepat kamu turunkan pesawat,” perintah Dewanto buru-buru.
Pesawat didaratkan, langsung menuju ke hanggar Skatek (Skadron Teknik, sekarang terminal haji-Red). Masih di dalam kokpit, kedua penerbang P-51 ini melihat tiga prajurit RPKAD di hanggar Skatek. Bersama mereka juga terlihat personil AURI. “Siapa komandan kamu,” tanya Dewanto begitu turun. “Mayor CI Santosa,” jawab seorang prajurit. Entah kewenangan apa yang dimiliki ketiga RPKAD, mereka lucuti senjata genggam Makarov milik Kundimang. “Tapi tidak punya Pak Dewanto, mereka tidak berani karena jenderal,” jelas Kundimang. Tiba-tiba, rentetan tembakan memotong tanya-jawab mereka. Suaranya keras sekali, saling membalas. Makin lama makin seru. “Apa itu,” tanya Dewanto. “Itu induk pasukan, Pak Sarwo Edhie, mereka masuk dari Pondok Gede,” jawab si prajurit.
Tapi, pasukan apa yang menahan mereka hingga terjadi baku tembak? Dengan menggunakan jip Toyota Hardtop, dua orang ini mencari tahu asal tembakan. Diperjalanan, seorang prajurit PGT bergabung untuk mengawal. Betapa kagetnya Dewanto, ternyata yang tengah “perang” di jalan Pondok Gede adalah Batalion 454 Banteng/Raiders Jawa Tengah dengan RPKAD. Hampir saja sebuah opelet berpenumpang penuh yang kebetulan melintas, jadi sasaran tembak. Lulusan Staff College AU Inggris (1961) ini kuatir sekali, mengingat keduanya pasukan komando. “Tidak ada istilah mundur bagi Raiders,” jawab Kapten Kuncoro yang memimpin. Kuncoro hanya bersedia move, bukan mundur, jika ada jaminan dari seorang perwira menengah. “Saya diperintahkan, tidak seekor nyamukpun boleh masuk ke sini,” lanjut Kuncoro yang juga diperintah untuk mengamankan pimpinan negara. Menurut Sri Mulyono, tidak jelas, siapa yang memerintah Kuncoro. Untuk itulah, Kundimang mundar-mandir dari satu pasukan ke pasukan lain.
Seorang prajurit berpangkat pembantu letnan dua yang diutus Raiders, tidak mampu memberikan penyelesaian. Kundimang akhirnya memutuskan menemui Sarwo Edhie. Tapi Sarwo mengatakan, “Jenderalmu saja bawa ke sini.” Tanpa memikirkan lagi seorang jenderal berbintang satu harus menemui kolonel, Dewanto menyanggupi. Disampaikannya bahwa Raiders bersedia move jika ada jaminan dari “rambutan”, sebutan AURI untuk RPKAD. Perundingan menemukan titik terang, Sarwo Edhie menyanggupi dengan mengutus Mayor Gunawan sebagai jaminan. Kuncoro pun menepati janjinya untuk move ke arah timur.
Bagi Dewanto, ketegangan belum berakhir. Allen Pope Pope dalam persidangan di Jakarta Saat dalam perjalanan pulang, Dewanto berpapasan dengan B-26 lainnya. Head on attack perang udara berhadap-hadapan tak terelakkan. Dengan beraninya Dewanto menghujani B-26 yang diterbangkan Cony, penerbang berkulit putih, dengan senapan mesinnya. Begitu juga Cony, “Balas menembak hingga pelurunya habis,” tutur Petit Muharto, mantan Panglima AU Permesta kepada Angkasa.
Baik pesawat Dewanto maupun Cony, mengalami kerusakan akibat pertempuran udara itu. Ban pesawat Cony kena. Hal itu menurut Petit, diketahui ketika mendarat di Mapanget pesawatnya menggelosor masuk parit. Sementara Dewanto mengatakan, sirip tegak pesawatnya terkena peluru. “Dia pilot pemberani,” ucap Cony kepada Petit begitu mendarat.
Lama setelah peristiwa itu berlalu, Petit bertemu dengan Dewanto. Petit bertanya, “Mengapa ketika bertemu Cony, kamu tidak menggunakan roket untuk menjatuhkan dia.” Dijawab Dewanto, “Roket-roket saya sudah habis ditembakkan ketika bertemu B-26 lainnya (Allen Pope).” Artinya, Pope ditembak jatuh oleh Dewanto, polemik ini belum selesai, karena AL mengklaim kapalnya yang menembak. Sayang, kita tidak bisa bertanya kepada Dewanto, penerbang yang oleh kehebatannya pantas mendapat julukan ace gelar kehormatan bagi penerbang yang menembak jatuh pesawat musuh.
Istilah ace diambil dari kartu ‘as’, kartu mematikan yang jika dimainkan langsung mengalahkan lawan. Beragam dasar pemberian gelar ace. Di Amerika, misalnya, dianugerahkan kepada penerbang yang menembak jatuh sedikitnya lima pesawat. Perang Dunia II melahirkan 268 aces P-51 Mustang.
☆ Permesta
Empat hari sebelumnya, Dewanto terlibat dalam operasi penggempuran pangkalan udara AU Permesta di Mapanget (sekarang Sam Ratulangi Manado), Tasuka (dekat danau Tondano), Morotai, dan Jailolo (Halmahera). Dalam operasi ini, lima P-51 Mustang serta empat B-25 Mitchell diberangkatkan dari tempat terpisah.
- Dari Laha, satu B-25 diterbangkan Letnan Udara (LU) I Soewoto Sukendar dengan pengawalan dari LU I Rusman dan Mayor Udara Leo Wattimena yang menerbangkan P-51.
- Dari Liang, Dua B-25 lainnya diterbangkan dengan penerbangnya Kapten Udara Sri Mulyono Herlambang dan LU I Sudarman. Pesawat dikawal P-51 Kapten Dewanto.
- Dari Amahai, sebuah B-25 lagi dipiloti Kapten Udara Suwondo serta dua P-51 oleh LU I Luly Wardiman dan LU I Nayarana Soesilo.
Leo Wattimena telah memberikan briefing kilat kepada para penerbang. Leo berkata singkat: esok subuh akan dilakukan penyerangan untuk merebut keunggulan di udara di Indonesia Timur. Sorenya, “Sekitar jam 15.00,” aku Sri Mulyono, sembilan pesawat berangkat dari pangkalan masing-masing menuju tiga tempat yang telah di tentukan di sekitar pulau Ambon. Di sini, mereka bermalam. Sampai di Ambon, matahari telah tenggelam jauh. Satu per satu, pesawat mendarat dengan hati-hati. Sebagaimana biasa, Allen Lawrence Pope, penerbang bayaran yang “disewa” Permesta, tidak (pernah) muncul di malam hari. Dini hari, 15 Mei, Leo memulai misinya. Sesuai perkiraannya, saat matahari terbit pukul 05.45, iring-iringan pesawat sudah sampai di lokasi.
Berdasarkan informasi intelijen, Permesta saat itu memiliki lebih kurang 10 pesawat. Mulai dari pembom B-26, P-51, dan pesawat ampibi PBY Catalina. Dalam episode inilah Dewanto, Leo Wattimena dan Rusman yang memayungi B-25 yang diterbangkan Sri Mulyono, Soewoto Sukendar, dan Sudarman, menghancurkan sarang AU Permesta yang sangat ditakuti TNI.
Kisah heroik ini didramatisir Noordono pelukis kedirgantaraan di atas kanvas. Guratan tangannya memperlihatkan sebuah B-25 AURI bernomor M-429 baru saja berlalu. Bom yang dijatuhkannya meninggalkan ledakan hebat di landasan. Pesawat Catalina yang diparkir, sepertinya di depan ruang operasi, mengepulkan asap tanda terbakar. Dari operasi udara besar-besaran ini, akhirnya keunggulan udara berhasil direbut. “Delapan pesawat kita hancurkan,” aku Sri Mulyono.
☆ Totok
Ignatius Dewanto "Ace" |
Dibalik kekerasan wataknya, sebenarnya Dewanto periang. “Dia all round. Bisa piano, nyanyi, renang, atletik, suka bergaul, riang sekali. Dibanding teman-teman lainnya,” lanjut Omar Dhani yang menyebut dirinya pengamat bagi teman-temannya, “grafik progresnya relatif lebih tinggi dari yang lain.” Lain lagi Wisnu. Dimatanya, Dewanto si pemelihara kumis melintang itu sebenarnya sosok yang halus. “Beda dengan Leo,” tambah Wisnu sambil tertawa. Ditambahkan Saleh Basarah, selain berpendirian teguh, IQ (intelligence quotient) Dewanto termasuk di atas rata-rata.
Lahir dari pasangan penganut Katolik yang taat, M. Marjahardjana dan Theresia Sutijem di Kalasan, Yogjakarta 9 Agustus 1929, rupanya atmosfer perang kemerdekaan yang membara, merasuk ke jiwanya. Membakar ruh Totok muda. Letusan senapan, ledakan bom, jeritan rakyat disiksa, dan “dongeng” kepahlawanan mereka-mereka yang berada di garis depan perjuangan, mengkristal dalam diri Totok.
Bapaknya yang seorang guru, tak kuasa membendung keinginan anak pertamanya memanggul senapan. Solo dipilihnya. Totok lebur ke dalam kesatuan tempur, yang dalam babak sejarah terkenal sebagai “anak-anak Solo”. Tentara Pelajar (TP) namanya. Totok tergabung ke dalam kesatuan Slamet Riyadi.
Karirnya cukup gemilang hingga dipercaya sebagai kepala regu (1950). Sebelumnya (1948) pernah menjadi kepala pabrik granat di TP. “Kita satu lichting, tapi dia diseniorkan karena memiliki sifat kepemimpinan. Ini mungkin karena Totok pernah kuliah di bagian teknik Universitas Gajah Mada,” jelas Sri Mulyono yang punya cukup cerita untuk menggambarkan nekadnya Dewanto. Satu soal misalnya, ketika gerombolan TP dibantu rakyat melakukan pencegatan konvoi Belanda dari Semarang-Solo di daerah Boyolali. Kompi ini dipimpin Dewanto. Dituturkan Sri Mulyono, mereka mengendap-endap di balik rerimbunan. Yang mereka tunggu tidak main-main, iring-iringan kendaraan lapis baja Belanda. Meneruskan ceritanya, sampailah Sri Mulyono kepada bagian yang tak terlupakan. Begitu tendengar deru mesin kendaraan diselingi kepulan debu tanah yang berhamburan dilindas roda-roda, anak-anak TP mengambil posisi siap. Tetapi apa yang terjadi. Dengan “gilanya” karena hanya bertamengkan tanggul, Dewanto menghujani konvoi tentara Belanda dengan sten gun buatan Indonesia. “Dia itu kaduk wani kurang duga (terlalu berani tapi kurang perhitungan),” kenangnya.
Dalam beberapa kali pencegatan, TP banyak dibantu Pasukan Pertahanan Pangkalan (PPP) AURI dipimpin OMO (Opsir Muda Oedara) II A Wiriadinata. Kenapa? Karena, kata Sri Mulyono, pasukan Wiriadinata satu-satunya yang memiliki 12,7 mm. Wiriadinata kemudian menjadi Komandan PGT (Pasukan Gerak Tjepat, sekarang Korpaskhasau) pertama 1952. Karena kehebatannya, Wiriadinata diangkat menjadi Komandan Pertempuran Panembahan Senopati 105 (PPS-105) yang kemudian terkenal dengan nama Pasukan Garuda Mulya.
Begitupun setelah menjadi penerbang, yang notabene sangat mengutamakan keselamatan saat manusia mencoba memutarbalikkan kodratnya melawan gravitasi bumi, Totok tetap Totok yang dulu. Pemberani. Andoko punya cerita unik. “Hari itu,” katanya, “Saya mendarat di Halim. Tak lama kemudian, sebuah Mustang mendarat. Kalau cuma mendarat nggak apa-apa, tapi yang bikin saya kaget, di belakang Mustang itu ada kawat listrik nyantol, cukup panjang. Saya tanya pada crew, siapa itu. Pak Dewanto, jawabnya enteng.” Andoko tidak habis pikir, manuver apa yang sudah dilakukan temannya itu. “Betapa rendahnya dia terbang,” pikir Andoko dalam hati. Masih dalam keadaan bingung dan segudang pertanyaan lewat di kepalanya, tiba-tiba seseorang nyeletuk yang justru menambah bingung Andoko. “Biasa Pak, kalau Pak Dewanto pulang latihan pasti membawa kawat listrik.” Mungin bisa ditebak, kata-kata apa yang bakal keluar dari mulut Andoko. Edan!
Usai cease fire (1948), Dewanto (juga Sri Mulyono) ditempatkan di Semarang khusus bagi TP yang mampu berbahasa Belanda untuk dijadikan counterpart antara polisi militer Belanda dengan tentara Indonesia. Tanggal 25 Juli 1950, lewat pengumuman Kementerian Pertahanan RI, dinyatakan bahwa Staf Angkatan Udara membutuhkan penerbang. Mereka lantas mendaftar. Sebagian, kata Sri Mulyono, sudah lebih dulu masuk AURI. Seingat Sri Mulyono, selain dia dan Dewanto dari TP, juga diterima Abdul Kadir (Kolonel purnawirawan, almarhum), dan Soegiarto (Letnan). “Dia crash dengan P-51 di Depok,” jelas Omar Dhani.
☆ TALOA
Kecuali yang dari TP, 60 orang kadet-kadet muda yang dikirim ke California ini baru saling kenal pada saat diberangkatkan. Mereka dikirim ke Trans Ocean Airlines Oakland Airport (TALOA), California, November 1950 untuk jadi penerbang. “Disinilah saya kenal Totok,” aku Saleh Basarah yang pernah direkomendasi Dewanto sebagai perwira staf operasi Leo Wattimena selaku Panglima AU Mandala saat Trikora. Sebelum berangkat ke California, 60 pemuda ini dibagi dalam enam kelompok sesuai tinggi badan. Karena posturnya, “Totok saya kira masuk kelompok 5 atau 6,” kata Andoko. “Saya juga akrab dengannya secara spiritual,” jelas Andoko. Keakraban ini muncul, aku Andoko, karena hanya tiga orang kadet beragama katolik. Satunya lagi Richardus Darjono.
Sesuai sosoknya pendek, kekar, berkulit hitam dan tabiatnya yang keras, Dewanto masuk kelas fighter bersama Leo Wattimena, Hapid Prawiranegara, Iskandar, Aried Riyadi, Dono Indarto, Soegiarto, dan Sumitro. Kecerdasan berpadu dengan bakat yang menyatu dalam dirinya, membuat Dewanto tanpa kesulitan menyelesaikan tahap demi tahap pendidikan.
Usai pendidikan, para perwira muda ini kembali ke tanah air. Kecuali Dewanto, beserta 19 orang lainnya, seperti Leo, Omar Dhani, dan Andoko, harus melanjutkan pendidikan instruktur selama tujuh bulan di tempat yang sama. Tiba di Indonesia (1952), 10 orang langsung masuk skadron dan 10 sisanya menjadi instruktur Sekolah Penerbang Lanjutan (SPL) di Husein Sastranegara. Barulah pada tahun 1954, Dewanto masuk Skadron Udara 3 tempat bercokolnya P-51 Mustang.
Setahun kemudian, bertepatan peringatan 10 tahun HUT Kemerdekaan RI, Dewanto memimpin fly pass belasan AT-6 Harvard di atas istana kepresidenan. Dalam fly pass, Harvard yang take off dari Kalijati membentuk formasi berbentuk RI-10. “Latihannya hanya seminggu,” tutur Andoko yang memimpin kelompok angka 10 dan baru bertemu Dewanto lagi waktu Trikora.
Selama karirnya sebagai fighter, Dewanto tidak sempat merasakan “tangguhnya” pesawat Rusia. Khusus jet, hanya de Havilland Vampire F.1. Sejenak wawancara di kediaman Sri Mulyono ini jadi buntu. Ada perbedaan pendapat dan keraguan di wajah para penerbang tua ini. “Soalnya saya punya fotonya di depan MiG,” aku Daned, panggilan akrab Omar Dhani. “Itu kan foto, aku juga bisa kalau cuma begitu,” sela Andoko disambut tawa yang lain.
☆ Raiders vs RPKAD
Beberapa saat setelah menjabat Deputi Menteri/Pangau Urusan Operasi (diangkat 1 juli 1965) menggantikan Marsekal Muda Udara Sri Mulyono yang dipromosikan sebagai Menteri Negara diperbantukan Presiden, Dewanto beserta perwira di lingkungan AURI lainnya diajak Menteri/Panglima Angkatan Udara Marsekal Madya Omar Dhani menghadap Presiden Soekarno di Istana Negara.
Begitu berhadapan muka, Bung Karno spontan berkomentar. “Rupamu kok, seperti wedono di Jawa Timur sana.” Hadirin yang kebetulan mendengar, kontan tertawa. Rupanya, Bung Karno geli melihat kumis Dewanto yang tebal, dipelintir, hingga mencuat ke atas. “Presiden senang melihatnya,” kenang Daned.
1 Oktober 1965. Mestinya, hari itu Dewanto hadir di Semplak, Bogor untuk meresmikan sekolah intelijen udara. Dewanto yang merangkap direktur intel, ditunggu-tunggu tidak datang. Malah direktur pendidikan yang muncul. Kapten (Pnb) Kundimang, penerbang P-51 yang ditugaskan menyiapkan sekolah intel bertanya-tanya. Apa yang terjadi? Karena penasaran, diputuskannya ke Mabes AURI Tanah Abang menemui Komodor Udara (Marsekal Pertama) Ign Dewanto. “Kamu jangan ke mana-mana,” perintah Dewanto begitu bertemu Kundimang. Kundimang bingung. Maksudnya bertanya, kok malah dilarang pergi. Tapi dia tidak mau bertanya lagi. Diikutinya saja perintah komandannya. “Ya sudah, sejak itu saya mendampingi Pak Dewanto,” kata Letkol (Pur) Kundimang.
Siangnya mereka menuju Halim. Sebelum ke Halim, Dewanto meminta Kundimang singgah ke Gereja Theresia. Masih berbaju dinas, pistol dipinggang, Dewanto melenggang masuk gereja yang kosong. “Persis seperti koboi,” jelas Kundimang. Lalu, berdiam di depan altar. Usai berdoa, mereka bergegas ke Halim dan menemui Danlanud Halim Perdanakusuma Kolonel Wisnu Djajengminardo.
Dini hari, pukul 02.00 tanggal 2 Oktober, pesawat kepresidenan Jetstar yang ditumpangi Sri Mulyono dengan penerbang Wage Mulyono, mendarat di Halim. Sebelum mendarat, pesawat sempat dihujani ARSU (artileri serangan udara) di daerah Tanjung Priok dan Tebet. Tapi selamat. Situasi semakin tak terkendali, isu menyebar secepat kilat : AURI akan menyerang markas Kostrad!.
Maka pagi itu, 2 Oktober, Dewanto memutuskan terbang dengan Kundimang menggunakan Cessna 180 untuk memantau situasi kota Jakarta dari udara. Kundimang terbang di ketinggian 2.000 kaki. Persis di atas Parkir Timur Senayan, Dewanto bertanya, “Apa itu di bawah.” Kundimang, pemegang Certificate of Standing Award dari sekolah intelijen udara AU AS (1965) langsung menjawab, “Troop carrier.” Dewanta menyangkal, “Bukan, itu tank.” Tapi Kundimang yang baru lulus bersikukuh, “Tidak Pak, itu troop carrier.” Guna meyakinkan, pesawat terbang rendah. Benar, kendaraan-kendaraan militer pengangkut pasukan itu berjejer. Dalam benaknya Dewanto berpikir, isu penyerangan Kostrad oleh AURI yang berasal entah dari mana ternyata ditanggapi serius.
Pesawat terus melaju ke Halim. Di Cililitan, tepatnya di depan pabrik ban Intirub, pemandangannya lebih gawat lagi. Konvoi kendaraan lapis baja TNI AD bergerak dengan moncong meriam mengarah ke Halim. “Cepat, cepat kamu turunkan pesawat,” perintah Dewanto buru-buru.
Pesawat didaratkan, langsung menuju ke hanggar Skatek (Skadron Teknik, sekarang terminal haji-Red). Masih di dalam kokpit, kedua penerbang P-51 ini melihat tiga prajurit RPKAD di hanggar Skatek. Bersama mereka juga terlihat personil AURI. “Siapa komandan kamu,” tanya Dewanto begitu turun. “Mayor CI Santosa,” jawab seorang prajurit. Entah kewenangan apa yang dimiliki ketiga RPKAD, mereka lucuti senjata genggam Makarov milik Kundimang. “Tapi tidak punya Pak Dewanto, mereka tidak berani karena jenderal,” jelas Kundimang. Tiba-tiba, rentetan tembakan memotong tanya-jawab mereka. Suaranya keras sekali, saling membalas. Makin lama makin seru. “Apa itu,” tanya Dewanto. “Itu induk pasukan, Pak Sarwo Edhie, mereka masuk dari Pondok Gede,” jawab si prajurit.
Tapi, pasukan apa yang menahan mereka hingga terjadi baku tembak? Dengan menggunakan jip Toyota Hardtop, dua orang ini mencari tahu asal tembakan. Diperjalanan, seorang prajurit PGT bergabung untuk mengawal. Betapa kagetnya Dewanto, ternyata yang tengah “perang” di jalan Pondok Gede adalah Batalion 454 Banteng/Raiders Jawa Tengah dengan RPKAD. Hampir saja sebuah opelet berpenumpang penuh yang kebetulan melintas, jadi sasaran tembak. Lulusan Staff College AU Inggris (1961) ini kuatir sekali, mengingat keduanya pasukan komando. “Tidak ada istilah mundur bagi Raiders,” jawab Kapten Kuncoro yang memimpin. Kuncoro hanya bersedia move, bukan mundur, jika ada jaminan dari seorang perwira menengah. “Saya diperintahkan, tidak seekor nyamukpun boleh masuk ke sini,” lanjut Kuncoro yang juga diperintah untuk mengamankan pimpinan negara. Menurut Sri Mulyono, tidak jelas, siapa yang memerintah Kuncoro. Untuk itulah, Kundimang mundar-mandir dari satu pasukan ke pasukan lain.
Seorang prajurit berpangkat pembantu letnan dua yang diutus Raiders, tidak mampu memberikan penyelesaian. Kundimang akhirnya memutuskan menemui Sarwo Edhie. Tapi Sarwo mengatakan, “Jenderalmu saja bawa ke sini.” Tanpa memikirkan lagi seorang jenderal berbintang satu harus menemui kolonel, Dewanto menyanggupi. Disampaikannya bahwa Raiders bersedia move jika ada jaminan dari “rambutan”, sebutan AURI untuk RPKAD. Perundingan menemukan titik terang, Sarwo Edhie menyanggupi dengan mengutus Mayor Gunawan sebagai jaminan. Kuncoro pun menepati janjinya untuk move ke arah timur.
☆ Ace-nya Indonesia
Hari itu, tahun 1970, Dewanto terbang dari Medan ke Cot Girek, Aceh menggunakan pesawat Piper PA-23 Aztec milik SMAC (Sabang Merauke Raya AC). Penumpangnya pengusaha perkebunan. Hari itulah akhir perjalanan seorang penerbang kawakan AURI. Pesawatnya mengalami engine trouble. Tokoh perintis Akademi Angkatan Udara itu jatuh dan gugur.
Roesdi Riza, penerbang Bea Cukai, pagi itu melepas Dewanto ke Medan dari Bandara Payalebar, Singapura, jadi pagi itu Dewanto ada di Singapura. Sorenya, Roesdi balik ke hotel. Begitu masuk kamar, “Mendadak seekor burung gereja masuk dan menubruk tembok. Ini alamat jelek,” kenang Roesdi.
Firasat buruk itu segera disampaikannya ke Syaiful Nawas, wartawan Sinar Harapan yang ikut dengannya. Entah kenapa, pikirannya langsung melayang ke Dewanto. Segera dikebutnya mobil ke bandara. Sampai di bandara, instruktur Singapore Flying Club segera menghampirinya dan dengan terbata-bata berkata, “He had it. He bought the farm (istilah Inggris menyebut penerbang yang jatuh-Red)."
Selepas dari tahanan AURI dan sebelum bekerja di SMAC, bapak lima putra-putri ini sempat terlunta-lunta alias tidak punya pekerjaan. Karena semangatnya yang besar, apapun dilakoninya. Penerbang besar itu beralih profesi sebagai sopir mobil angkut barang Banten-Jakarta. Yang dibawanya tidak lagi senapan mesin atau roket 2,75, tapi sayuran dan kelapa. “Itulah perjuangan hidup dia sekitar tiga bulan,” kata Sri Mulyono.
Seperti banyak nama lainnya, Dewanto sempat diamankan usai Gerakan September 1965. Dewanto ditahan beberapa bulan di kantor Pertahanan Udara Halim. Sementara Sri Mulyono di Nirbaya. Sebelum benar-benar terjun ke penerbang sipil, Dewanto sempat menjadi Atase Udara di Moskow (1966). Hanya setahun, dia kembali ke Indonesia dan akhirnya diberhentikan dengan hormat dari dinas tentara terhitung 31 Maret 1967.
Jenazahnya baru ditemukan delapan tahun kemudian. Dari reruntuhan bangkai pesawat dan melihat posisi kerangkanya yang beberapa meter dari pesawat, Dewanto dipastikan masih hidup saat pesawat menghujam bumi. “Tahunya itu Totok, jam tangannya berlambang AURI. Ditambah hasil otopsi giginya,” jelas Sri Mulyono.
Atas izin Soeharto (waktu itu presiden), jenazah pahlawan AURI yang namanya diabadikan di gedung serbaguna “Dewanto” di Lanud Iswahyudi, Madiun, ini dikebumikan di TMP Kalibata setelah disemayamkan di Mabes TNI AU Pancoran. Melihat ketokohannya, pantas kiranya Dewanto, pemegang 16 tanda kehormatan, diberi gelar kehormatan ace.
Sumber :
- bpn16
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.