Selasa, 21 Maret 2023

Menagih Komitmen Investasi Alih Teknologi Pertahanan

Opini by Alman Helvas Ali
Proyek Jet Tempur KFX. (Photo via Korea Aerospace Industries Ltd)

Mengulas tentang kondisi industri pertahanan Indonesia saat ini niscaya akan selalu berfokus pada tantangan yang dihadapi daripada pencapaian yang diraih. Pencapaian yang diraih industri pertahanan Indonesia patut untuk diperhatikan secara khusus.

Sebab, sebagian pencapaian tersebut merupakan klaim sepihak dari firma-firma pertahanan lokal yang perlu diverifikasi lebih lanjut. Bukan suatu hal yang melebih-lebihkan bila kondisi industri pertahanan Indonesia memang lebih banyak menghadapi tantangan daripada pencapaian, di mana sebagian besar tantangan itu berasal dari faktor-faktor domestik.

Salah satu tantangan dalam memajukan industri pertahanan lokal adalah investasi pemerintah di sektor ini. Mengacu pada regulasi yang berlaku, investasi pemerintah pada sektor ini hanya dapat dilakukan pada industri pertahanan milik negara dalam bentuk Penanaman Modal Negara (PMN).

Sebaliknya, industri pertahanan swasta tidak dapat menerima PMN karena isu status kepemilikan perusahaan. Investasi dalam bentuk PMN merupakan bentuk investasi langsung untuk mendorong kemajuan industri pertahanan BUMN, namun sebenarnya di balik itu pemerintah dapat pula melakukan investasi tidak langsung pada sektor ini.

Berdasarkan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan, terdapat kewajiban alih teknologi pada kegiatan pengadaan senjata dari diimpor dari negara lain. Namun sejak undang-undang tersebut berlaku, hingga saat ini belum terdapat alih teknologi yang signifikan dalam pengadaan senjata dari luar negeri.

Alih teknologi yang diterima Indonesia sejauh ini hanya berkisar pada kemampuan pemeliharaan dan perbaikan, selain pelibatan industri pertahanan domestik pada kegiatan-kegiatan yang bersifat kosmetik seperti muatan lokal yang sebenarnya tidak signifikan terhadap peningkatan penguasaan teknologi.

Pindad merakit medium tank Harimau (istimewa)
Tidak berlebihan untuk menilai bahwa kewajiban alih teknologi lebih sebagai terpenuhinya syarat formal pada kegiatan impor senjata daripada untuk meningkatkan kapasitas industri pertahanan Indonesia.

Masih belum adanya alih teknologi yang signifikan dalam akuisisi senjata selama ini tidak lepas pula dari kontribusi pemerintah sendiri. Pemerintah belum berinvestasi secara signifikan untuk mendorong kemajuan penguasaan teknologi pertahanan di luar investasi fisik seperti PMN untuk modernisasi fasilitas produksi PT Dirgantara Indonesia dan pembangunan fasilitas kapal selam untuk PT PAL Indonesia.

Investasi yang dimaksud adalah investasi di bidang teknologi pertahanan melalui kegiatan Research, Development, Test & Evaluation (RDTE). Satu-satunya kegiatan RDTE signifikan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia adalah program KFX/IFX, namun hendaknya tidak pula melupakan fakta bahwa pemerintah Indonesia kurang serius dalam menaati komitmen yang telah disepakati dengan pemerintah Korea Selatan.

Terkait dengan kegiatan RDTE, terdapat beberapa isu yang perlu digarisbawahi. Pertama, dukungan pendanaan. Upaya menguasai teknologi maju di bidang pertahanan harus didukung oleh pendanaan yang cukup besar sekaligus berkelanjutan.

Dana untuk mendukung kegiatan RDTE yang berasal dari APBN harus bersifat lintas tahun. Sebab, kegiatan itu memerlukan waktu yang agak lama dan tidak mengenal batas akhir tahun anggaran.

Kegiatan RDTE yang dibiayai oleh pemerintah sangat penting karena sangat sulit untuk mengharapkan peningkatan penguasaan teknologi maju hanya dengan mengandalkan skema offset. Mengingat bahwa alokasi dana pemerintah untuk RDTE terbatas, pemerintah harus menetapkan skala prioritas mengenai teknologi apa yang mau dikuasai dalam jangka waktu hingga 20 tahun ke depan.

Oleh karena itu, pemerintah perlu meninjau ulang 10 program prioritas industri pertahanan berdasarkan pertimbangan bahwa mayoritas program tersebut tidak memiliki kemajuan yang signifikan meskipun sudah dilaksanakan sejak 2012.

Prototipe Elang Hitam MALE UAV yang distop BRIN (AkangAviation)
Kedua, konsistensi kebijakan. Salah satu program dari 10 program prioritas industri pertahanan yang tidak berkesinambungan adalah RDTE pesawat tanpa awak Elang Hitam.

Program ini dihentikan oleh BRIN dengan alasan tentang kesulitan mengakses teknologi asing. Hal demikian menunjukkan bahwa tidak ada konsistensi kebijakan antar Kementerian/Lembaga, padahal program itu digagas oleh pemerintahan yang sekarang.

Konsistensi kebijakan RDTE di bidang teknologi pertahanan adalah sebuah keharusan meskipun pemerintahan berganti setiap lima tahun atau 10 tahun sekali.

Tantangan yang dihadapi adalah bagaimana kebijakan RDTE dapat berlanjut walaupun terjadi pergantian pemerintahan. Salah satu karakter tiap pemerintahan di Indonesia adalah menginginkan hasil yang cepat demi kepentingan politik jangka pendek.

Padahal kegiatan RDTE tidak seperti membangun infrastruktur publik seperti bandara dan jalan tol. Seperti telah disebutkan, kegiatan RDTE memerlukan waktu yang agak lama untuk sampai pada tahap untuk menyatakan bahwa suatu teknologi telah dikuasai secara matang dan produk yang dihasilkan telah memenuhi persyaratan-persyaratan desain dan operasi.

Sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono hingga saat ini, pemerintah telah berinvestasi besar pada upaya menguasai teknologi pesawat tempur dan kapal selam. Secara total, pemerintah telah mengucurkan dana PMN sebesar Rp 2,78 triliun kepada PT PAL Indonesia untuk membangun fasilitas kapal selam.

Namun pemerintah nampaknya belum berinvestasi untuk menguasai teknologi kapal selam, termasuk teknologi-teknologi yang terkait secara tidak langsung dengan kapal selam. Sekarang tidak ada kegiatan RDTE terkait teknologi kapal selam yang dilaksanakan oleh lembaga riset pemerintah bersama dengan industri pertahanan, termasuk lembaga riset di Kementerian Pertahanan.

PAL Merakit Kapal selam di Surabaya (antara/PAL)
Pada sisi lain, pemerintah melalui Menteri Keuangan telah mengalokasikan PLN sebesar US$ 2,1 miliar untuk membeli dua kapal selam diesel elektrik. Nilai tersebut sudah mencakup harga yang harus dibayarkan oleh Indonesia terkait dengan persyaratan transfer teknologi yang diwajibkan kepada Naval Group dan TKMS apabila salah satu dari mereka ditunjuk sebagai pemenang program.

Sejauh ini, tawaran terkait alih teknologi dari Naval Group masih lebih atraktif dibandingkan pesaingnya karena selain tentang membangun kapal selam sepenuhnya di Indonesia, mencakup pula kegiatan RDTE tentang baterai Lithium-ion. Seandainya pemerintah memberikan kontrak kapal selam kepada Naval Group, lalu bagaimana pelaksanaan kegiatan RDTE baterai Lithium-ion?

Memperhatikan entitas-entitas Indonesia yang direncanakan terlibat dalam kegiatan RDTE baterai Lithium-ion, tidak berlebihan untuk menilai bahwa mereka mempunyai keterbatasan dukungan pendanaan internal untuk kegiatan tersebut.

Hal ini adalah pintu masuk bagi pemerintah untuk berinvestasi secara finansial guna mendukung kegiatan itu, sebab hasil kegiatan RDTE akan menjadi milik negara yang dapat digunakan bagi kepentingan pertahanan maupun komersial.

Terkait dengan program akuisisi kapal selam sendiri, penentu akhir pihak mana yang akan menjadi pemenang adalah Menteri Pertahanan Prabowo Subianto. (miq/miq)

  👷
CNBC  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...