✈️ Peluncuran protipe jet tempur Korea Indonesia KF-21 Boramae (KAI)
Program pengembangan pesawat tempur KFX/IFX dimulai di era Presiden ke-6 Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan dilanjutkan oleh Presiden ke-7 RI Joko Widodo sebagai program nasional. Presiden Yudhoyono memutuskan Indonesia bermitra dengan Korea Selatan untuk pengembangan pesawat tempur generasi 4.5 yang dikenal sebagai KFX. Kerja sama demikian sangat masuk akal karena program itu memerlukan biaya yang sangat besar, sementara pasarnya sangat tersegmentasi dan penuh persaingan ketat.
Menteri Pertahanan RI Purnomo Yusgiantoro dan Duta Besar Republik Korea Selatan untuk Indonesia Cho Tai-young menandatangani joint engineering and development agreement KFX/IFX pada Oktober 2014 di Surabaya, Jawa Timur. Pemerintah Korsel menanggung 60% pembiayaan, 20% menjadi beban Korea Aerospace Industries (KAI), sedangkan Indonesia membiayai sisanya, yaitu 20%. Sesuai dengan perjanjian pada November 2015 antara pemerintah Indonesia dan KAI, dari KRW 8,8 triliun (US$ 7,9 milyar) total nilai program KFX/IFX, Indonesia sepakat menanggung KRW 1,7 triliun (US$ 1,5 miliar).
Cost Sharing Agreement (CSA) ditandatangani oleh pemerintah Indonesia dengan KAI pada Januari 2016, begitu pula Work Assignment Agreement (WAA) yang ditandatangani oleh KAI dan PT Dirgantara Indonesia. WAA memuat tentang scope (lingkup) keterlibatan PTDI pada program KFX/IFX, termasuk desain, pengembangan purwarupa, manufaktur komponen, testing dan sertifikasi. Sesuai dengan WAA, Indonesia memiliki akses pada technical data, spesifikasi, dan performance information.
Program KFX/IFX mulai mengalami kemacetan dari sisi Indonesia sejak 2017 dalam hal pembayaran kewajiban. Sesuai CSA, pembayaran rutin program KFX/IFX dilakukan dua kali setahun, yaitu pada bulan April dan Oktober. Hingga Juli 2019, Indonesia telah membayar KRW 227,2 miliar dari total kewajiban KRW 1,7 triliun dan pada Oktober 2020 masih menunggak KRW 600 miliar. Muncul juga keluhan para insinyur PTDI yang dikirimkan ke pabrik KAI di Sacheon karena mereka tidak mendapatkan akses yang luas, termasuk pada teknologi sensitif yang diadopsi KFX/IFX.
Apa akar masalah sehingga terlihat Indonesia kurang berkomitmen dalam program KFX/IFX? Mengapa para insinyur PT Dirgantara Indonesia hanya mempunyai akses teknologi yang terbatas dalam penugasan di Korea Selatan? Jawaban atas kedua pertanyaan tersebut dapat dibagi ke dalam aspek politik, manajemen dan engineering di mana ketiganya saling berpotongan.
Indonesia akan terus berpartisipasi
Program unggulan pemerintahan saat ini adalah pembangunan infrastruktur dan bukan program KFX/IFX. Sehingga prioritas pendanaan KFX/IFX tidak menempati skala tertinggi. Keputusan Jokowi melanjutkan program KFX/IFX merupakan modal dasar untuk alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) secara berkesinambungan. Namun, alokasi dana memerlukan justifikasi yang kuat. Justifikasi itu terkait dengan kinerja Kementerian Pertahanan Republik Indonesia dalam manajemen program KFX/IFX.
Bagaimana peran Program Management Office (PMO) KFX/IFX pada Kemhan RI? PMO bertugas mengelola program sesuai dengan timeline, baik dari sisi pendanaan, kontrak, sumber daya manusia (SDM), dan engineering serta supervisi dan memberikan solusi terhadap permasalahan-permasalahan yang muncul. Dalam hal pendanaan, PMO harus melaporkan kebutuhan dana berikut justifikasinya agar program dapat berjalan tepat waktu kepada Kementerian Keuangan melalui dengan hierarki yang berlaku. Begitu pula dengan pelaporan pertanggungjawaban keuangan atas program itu.
Apakah tidak lancarnya pendanaan karena PMO tidak dapat meyakinkan Kemenkeu tentang target dan pencapaian program KFX/IFX dengan parameter-parameter yang jelas dan terukur? Bagaimana relasi dan komunikasi antara PMO dengan Kemenkeu selama ini? Bagaimana pula kualitas SDM yang mengisi PMO yang secara teoritis memerlukan berbagai macam keahlian baik dari ilmu eksakta maupun non eksakta.
Program KFX Korea Selatan terkait dengan Amerika Serikat (AS) karena Lockheed Martin memberikan program offset pembelian F-35 oleh Korsel. Termasuk di dalamnya 5.300 halaman technical documents and reports, namun tidak mencakup teknologi AESA, targeting pod, infrared search-and-track systems dan radio-frequency jammers.
Korsel tidak dapat memberikan akses terhadap teknologi KFX kepada Indonesia karena Jakarta tidak mempunyai perjanjian khusus tentang akses teknologi sensitif dengan Washington DC. Isu akses teknologi asal Negeri Paman Sam tidak dapat diserahkan kepada jalur diplomasi normal seperti Kemhan RI dan/atau Kemlu RI untuk menyelesaikannya. Pemerintah semestinya membentuk tim khusus untuk berunding dengan AS apabila PMO KFX/IFX gagal mengatasi permasalahan itu.
Pada era B.J. Habibie sebagai Menteri Negara Riset dan Teknologi/Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), pemerintah mengembangkan peta jalan untuk manufaktur pesawat angkut komersial dan militer bagi PT IPTN sehingga kemampuan engineering dibangun untuk hal tersebut. Setelah masa itu lewat, Indonesia tidak pernah mengembangkan peta jalan untuk pesawat tempur. Namun, PT IPTN yang telah bersalin nama menjadi PTDI oleh pemerintah diharuskan terlibat dalam program KFX/IFX, padahal kemampuan engineering dalam mengimplementasikan program itu patut dipertanyakan.
Korsel baru saja melakukan roll out KFX yang merupakan salah satu tonggak penting dalam program itu dan dihadiri oleh pejabat senior pertahanan Indonesia, termasuk Menteri Pertahanan RI Letnan Jenderal TNI (Purn) Prabowo Subianto Djojohadikusumo.
Indonesia akan terus berpartisipasi dalam program ini karena secara total telah mengeluarkan antara US$ 300 juta hingga US$ 500 juta, selain alasan menjaga posisi Korsel adalah satu satu investor asing terbesar di Indonesia. Satu hal yang pasti, penguasaan teknologi tinggi memerlukan komitmen politik yang kuat dari pemerintah dan hasilnya tidak dapat dipetik dalam lima tahun atau 10 tahun.(Alman Helvas Ali)*
*) Alman Helvas Ali adalah konsultan defense industry and market pada PT Semar Sentinel.
Program pengembangan pesawat tempur KFX/IFX dimulai di era Presiden ke-6 Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan dilanjutkan oleh Presiden ke-7 RI Joko Widodo sebagai program nasional. Presiden Yudhoyono memutuskan Indonesia bermitra dengan Korea Selatan untuk pengembangan pesawat tempur generasi 4.5 yang dikenal sebagai KFX. Kerja sama demikian sangat masuk akal karena program itu memerlukan biaya yang sangat besar, sementara pasarnya sangat tersegmentasi dan penuh persaingan ketat.
Menteri Pertahanan RI Purnomo Yusgiantoro dan Duta Besar Republik Korea Selatan untuk Indonesia Cho Tai-young menandatangani joint engineering and development agreement KFX/IFX pada Oktober 2014 di Surabaya, Jawa Timur. Pemerintah Korsel menanggung 60% pembiayaan, 20% menjadi beban Korea Aerospace Industries (KAI), sedangkan Indonesia membiayai sisanya, yaitu 20%. Sesuai dengan perjanjian pada November 2015 antara pemerintah Indonesia dan KAI, dari KRW 8,8 triliun (US$ 7,9 milyar) total nilai program KFX/IFX, Indonesia sepakat menanggung KRW 1,7 triliun (US$ 1,5 miliar).
Cost Sharing Agreement (CSA) ditandatangani oleh pemerintah Indonesia dengan KAI pada Januari 2016, begitu pula Work Assignment Agreement (WAA) yang ditandatangani oleh KAI dan PT Dirgantara Indonesia. WAA memuat tentang scope (lingkup) keterlibatan PTDI pada program KFX/IFX, termasuk desain, pengembangan purwarupa, manufaktur komponen, testing dan sertifikasi. Sesuai dengan WAA, Indonesia memiliki akses pada technical data, spesifikasi, dan performance information.
Program KFX/IFX mulai mengalami kemacetan dari sisi Indonesia sejak 2017 dalam hal pembayaran kewajiban. Sesuai CSA, pembayaran rutin program KFX/IFX dilakukan dua kali setahun, yaitu pada bulan April dan Oktober. Hingga Juli 2019, Indonesia telah membayar KRW 227,2 miliar dari total kewajiban KRW 1,7 triliun dan pada Oktober 2020 masih menunggak KRW 600 miliar. Muncul juga keluhan para insinyur PTDI yang dikirimkan ke pabrik KAI di Sacheon karena mereka tidak mendapatkan akses yang luas, termasuk pada teknologi sensitif yang diadopsi KFX/IFX.
Apa akar masalah sehingga terlihat Indonesia kurang berkomitmen dalam program KFX/IFX? Mengapa para insinyur PT Dirgantara Indonesia hanya mempunyai akses teknologi yang terbatas dalam penugasan di Korea Selatan? Jawaban atas kedua pertanyaan tersebut dapat dibagi ke dalam aspek politik, manajemen dan engineering di mana ketiganya saling berpotongan.
Indonesia akan terus berpartisipasi
Program unggulan pemerintahan saat ini adalah pembangunan infrastruktur dan bukan program KFX/IFX. Sehingga prioritas pendanaan KFX/IFX tidak menempati skala tertinggi. Keputusan Jokowi melanjutkan program KFX/IFX merupakan modal dasar untuk alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) secara berkesinambungan. Namun, alokasi dana memerlukan justifikasi yang kuat. Justifikasi itu terkait dengan kinerja Kementerian Pertahanan Republik Indonesia dalam manajemen program KFX/IFX.
Bagaimana peran Program Management Office (PMO) KFX/IFX pada Kemhan RI? PMO bertugas mengelola program sesuai dengan timeline, baik dari sisi pendanaan, kontrak, sumber daya manusia (SDM), dan engineering serta supervisi dan memberikan solusi terhadap permasalahan-permasalahan yang muncul. Dalam hal pendanaan, PMO harus melaporkan kebutuhan dana berikut justifikasinya agar program dapat berjalan tepat waktu kepada Kementerian Keuangan melalui dengan hierarki yang berlaku. Begitu pula dengan pelaporan pertanggungjawaban keuangan atas program itu.
Apakah tidak lancarnya pendanaan karena PMO tidak dapat meyakinkan Kemenkeu tentang target dan pencapaian program KFX/IFX dengan parameter-parameter yang jelas dan terukur? Bagaimana relasi dan komunikasi antara PMO dengan Kemenkeu selama ini? Bagaimana pula kualitas SDM yang mengisi PMO yang secara teoritis memerlukan berbagai macam keahlian baik dari ilmu eksakta maupun non eksakta.
Program KFX Korea Selatan terkait dengan Amerika Serikat (AS) karena Lockheed Martin memberikan program offset pembelian F-35 oleh Korsel. Termasuk di dalamnya 5.300 halaman technical documents and reports, namun tidak mencakup teknologi AESA, targeting pod, infrared search-and-track systems dan radio-frequency jammers.
Korsel tidak dapat memberikan akses terhadap teknologi KFX kepada Indonesia karena Jakarta tidak mempunyai perjanjian khusus tentang akses teknologi sensitif dengan Washington DC. Isu akses teknologi asal Negeri Paman Sam tidak dapat diserahkan kepada jalur diplomasi normal seperti Kemhan RI dan/atau Kemlu RI untuk menyelesaikannya. Pemerintah semestinya membentuk tim khusus untuk berunding dengan AS apabila PMO KFX/IFX gagal mengatasi permasalahan itu.
Pada era B.J. Habibie sebagai Menteri Negara Riset dan Teknologi/Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), pemerintah mengembangkan peta jalan untuk manufaktur pesawat angkut komersial dan militer bagi PT IPTN sehingga kemampuan engineering dibangun untuk hal tersebut. Setelah masa itu lewat, Indonesia tidak pernah mengembangkan peta jalan untuk pesawat tempur. Namun, PT IPTN yang telah bersalin nama menjadi PTDI oleh pemerintah diharuskan terlibat dalam program KFX/IFX, padahal kemampuan engineering dalam mengimplementasikan program itu patut dipertanyakan.
Korsel baru saja melakukan roll out KFX yang merupakan salah satu tonggak penting dalam program itu dan dihadiri oleh pejabat senior pertahanan Indonesia, termasuk Menteri Pertahanan RI Letnan Jenderal TNI (Purn) Prabowo Subianto Djojohadikusumo.
Indonesia akan terus berpartisipasi dalam program ini karena secara total telah mengeluarkan antara US$ 300 juta hingga US$ 500 juta, selain alasan menjaga posisi Korsel adalah satu satu investor asing terbesar di Indonesia. Satu hal yang pasti, penguasaan teknologi tinggi memerlukan komitmen politik yang kuat dari pemerintah dan hasilnya tidak dapat dipetik dalam lima tahun atau 10 tahun.(Alman Helvas Ali)*
*) Alman Helvas Ali adalah konsultan defense industry and market pada PT Semar Sentinel.
✈️ CNBC
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.