Taktik Membongkar Dokumen Rahasia PortugalJenderal TNI Leonardus Benyamin Moerdani bersama Danjen Kopassus Brigjen TNI Sintong Panjaitan. [Foto/Ist] ☆
Revolucao dos Cravos atau Revolusi Anyelir pada 25 April 1974 di Portugal menjadi sorotan Jakarta. Bukan apa-apa, Portugal memiliki koloni yang juga tetangga Indonesia yaitu Timor Timur (dulu disebut Timor Portugis, kini Timor Leste).
Revolusi Anyelir menjadikan Portugal melepas beberapa koloni mereka, antara lain Angola dan Mozambik di Afrika. Soeharto melihat bukan tidak mungkin saat itu Portugal juga bakal memberikan kemerdekaan untuk Timor Timur.
Tak dimungkiri, meletusnya Revolusi Anyelir menjadikan situasi di Portugal mengalami perubahan drastis. Kudeta tak berdarah itu menentang rezim Caetano-Salazar yang disebut dengan kediktatoran otoriter (Estado Novo) atau negara baru yang membanggakan pertumbuhan dan stabilitas ekonomi, namun sarat dengan penindasan.
“Pemerintahan Salazar kemudian digantikan oleh Jenderal Spinola yang kemudian diangkat menjadi Presiden Portugal. Spinola mengusulkan program dekolonisasi untuk wilayah-wilayah jajahannya,” kata Daud Aris Tanudirjo dalam buku "Indonesia dalam Arus Sejarah Jilid 8", dikutip pada Senin (22/11/2021).
Revolusi Anyelir juga berdampak pada Timor Timur. Sebulan sejak terjadinya revolusi itu, sentimen rakyat bergolak saat Portugal melarang pembentukan partai politik pribumi. Ada tiga pilihan politik yang diberikan untuk rakyat Timor Timur: bergabung dengan persemakmuran yang dibentuk Portugis, meminta kemerdekaan penuh, atau bergabung dengan Indonesia.
Menurut Zaky Anwar dalam buku "Hari-Hari Terakhir Timor Timur: Sebuah Kesaksian", kebijakan dekolonisasi yang telah direncanakan oleh Portugal tidak mempunyai kesatuan konsep yang pasti. Hal ini mengakibatkan janji-janji untuk mengembalikan hak-hak sipil dan demokrasi, serta kebebasan membentuk partai politik di Timor Timur tidak sepenuhnya dapat dijalankan.
“Perkembangan situasi di Timor Portugis semakin membingungkan. Jakarta terutama, menjadi semakin waspada ketika pada bulan Januari terjadi persetujuan antara kedua partai yang mendukung kemerdekaan: keduanya memusatkan oposisi terhadap Apodeti yang pro-Indonesia,” kata Ken Conboy, lulusan Georgetown University School of Foreign Service dalam bukunya "Intel: Menguak Tabir Dunia Intelijen Indonesia".
Sebelumnya pada kuarta ketiga 1974, Jenderal Ali Moertopo telah membentuk suatu operasi intelijen yang lebih luas untuk Timor Timur. Dinamai Operasi Komodo, tim intelijen itu berisi selusin personel deputi III sipil dan militer yang ditugaskan ke Bakin. Sebagian beragama Katolik dan Protestan agar memiliki kesamaan latar belakang dengan kebanyakan penduduk Timor.
Namun, kata Ken, Operasi Komodo bukan satu-satunya. Seorang perwira intelijen senior pada Departemen Pertahanan dan Keamanan, Jenderal LB Moerdani , telah menyetujui operasi rahasia tandingan bersandi Flamboyan.
Siasat Benny Moerdani di Operasi Kuta
Merespons situasi di Timor Timur, Portugal mengirimkan atase militer mereka, Mayor Antonio Joao Soares. Laporan yang diterima Jakarta, Soares akan tiba pada 14 Agustus 1974. Dia transit sehari di Jakarta sebelum kemudian terbang ke Dili melalui Kupang.
Keesokan harinya atau pada 15 Agustus sebuah surat resmi dari Konsulat Portugal tiba di Jakarta. Surat ini memberitahu Soares akan menuju Kupang via Bali. Dari Kupang dia akan naik pesawat menuju Dili yang telah disediakan Gubernur Militer Timor.
“Benny Moerdani yang sangat penasaran ingin mengetahui isi tas kerja sang mayor menugaskan Kolonel Dading Kalbuadi untuk mendapatkan akses. Benny memberikan tiga pilihan: mengambil tas secara paksa, melakukan penodongan pura-pura, atau melakukan aksi sulap,” kata Ken.
Dading mengambil opsi ketiga yaitu ‘memainkan aksi sulap’. Salah satu prajurit intelijen dalam Satsus Intel itu yakni Hans Hamzah. Menurut Ken, Hamzah merupakan sedikit dari anggota Satsus Intel yang seorang Tionghoa. Dia memiliki kemampuan hebat soal bahasa. Hamzah menguasai 6 bahasa dan ahli membuka kunci.
Aksi sulap pun dirancang. Hans Hamzah menyamar menjadi Kepala Cabang Maskapai Merpati Airlines ketika Soares berada di bandara, bersiap terbang ke Kupang. Saat Soares melapor, Hamzah berimprovisasi bahwa visa sang atase harus mendapat persetujuan dari imigrasi.
Praktis Soares berang dan menyebut dirinya sedang dalam misi diplomatik. Tetapi Hamzah bergeming. Dia lantas menawarkan bantuan untuk mengantar langsung Soares ke kantor imigrasi agar dapat cap pengesahan.
Soares melunak. Oleh Hamzah dia dibawa ke kantor Imigrasi menggunakan mobil dalam perjalanan 16 kilometer. Kepala kantor imigrasi telah setuju diajak bekerja sama soal ini. Begitu Soares datang, dia mempersilakan masuk ruangannya dan meminta untuk mengisi dokumen.
Hamzah menyarankan agar koper Soares ditinggal saat masuk ruangan. Untuk meyakinkan, dia menyebut koper itu akan dijaga petugas bersenjata. Soares awalnya ragu, tapi kemudian setuju.
Satsus Intel anak buah Dading Kalbuadi bergerak cepat. Hamzah dengan kelihaiannya membuka kunci koper. Semua dokumen lantas dipotret oleh anggota lain yang ahli fotografi. Pekerjaan itu dengan cepat dituntaskan.
Operasi ini kelak dikenal dengan Sandi Kuta. Keesokan harinya atau pada 17 Agustus, Dading dan anggota Satsus Intel kembali ke Jakarta dan menerima pujian atas kerja mereka.
Dokumen rahasia yang dibawa Mayor Soares mengonfirmasi bahwa Portugal berniat untuk melepaskan Timor Timur dan meninggalkan begitu saja. Salah satu surat penting memerintahkan agar sang Gubernur Militer Timor mengungsikan semua pasukan Portugal ke Ilhe de Atauor atau Pulau Kambing, sekitar 16 kilometer di utara Timor.
“Pada 23 Agustus, petugas-petugas Konsulat Indonesia di Dili diungsikan melalui laut. Pada akhir bulan itu, personel pasukan khusus yang ditugaskan di Flamboyan mendapat izin memulai serangan militer lintas batas,” tutur Ken Conboy.
Dalam pandangan Rori Permadi, Indonesia melalui kekuatan ABRI masuk ke Timor Timur dengan dalih memulihkan situasi dan mencegah konflik berkepanjangan. Langkah itu tidak lepas dari konstelasi politik internasional di masa Perang Dingin.
Di masa ini ABRI mendapat persetujuan dari negara-negara Barat liberalis yang tidak ingin melihat Timor Timur merdeka di bawah pimpinan Fretilin dan berubah menjadi Cuba of Asia.
“Negara-negara tersebut tidak menginginkan adanya kekuatan komunis yang dapat membahayakan pengaruh liberalis terutama di wilayah Asia Pasifik,” kata Rori dikutip dari buku "Disintegrasi Pasca Orde Baru: Negara, Konflik Lokal, dan Dinamika Internasional". (rca)
Revolucao dos Cravos atau Revolusi Anyelir pada 25 April 1974 di Portugal menjadi sorotan Jakarta. Bukan apa-apa, Portugal memiliki koloni yang juga tetangga Indonesia yaitu Timor Timur (dulu disebut Timor Portugis, kini Timor Leste).
Revolusi Anyelir menjadikan Portugal melepas beberapa koloni mereka, antara lain Angola dan Mozambik di Afrika. Soeharto melihat bukan tidak mungkin saat itu Portugal juga bakal memberikan kemerdekaan untuk Timor Timur.
Tak dimungkiri, meletusnya Revolusi Anyelir menjadikan situasi di Portugal mengalami perubahan drastis. Kudeta tak berdarah itu menentang rezim Caetano-Salazar yang disebut dengan kediktatoran otoriter (Estado Novo) atau negara baru yang membanggakan pertumbuhan dan stabilitas ekonomi, namun sarat dengan penindasan.
“Pemerintahan Salazar kemudian digantikan oleh Jenderal Spinola yang kemudian diangkat menjadi Presiden Portugal. Spinola mengusulkan program dekolonisasi untuk wilayah-wilayah jajahannya,” kata Daud Aris Tanudirjo dalam buku "Indonesia dalam Arus Sejarah Jilid 8", dikutip pada Senin (22/11/2021).
Revolusi Anyelir juga berdampak pada Timor Timur. Sebulan sejak terjadinya revolusi itu, sentimen rakyat bergolak saat Portugal melarang pembentukan partai politik pribumi. Ada tiga pilihan politik yang diberikan untuk rakyat Timor Timur: bergabung dengan persemakmuran yang dibentuk Portugis, meminta kemerdekaan penuh, atau bergabung dengan Indonesia.
Menurut Zaky Anwar dalam buku "Hari-Hari Terakhir Timor Timur: Sebuah Kesaksian", kebijakan dekolonisasi yang telah direncanakan oleh Portugal tidak mempunyai kesatuan konsep yang pasti. Hal ini mengakibatkan janji-janji untuk mengembalikan hak-hak sipil dan demokrasi, serta kebebasan membentuk partai politik di Timor Timur tidak sepenuhnya dapat dijalankan.
“Perkembangan situasi di Timor Portugis semakin membingungkan. Jakarta terutama, menjadi semakin waspada ketika pada bulan Januari terjadi persetujuan antara kedua partai yang mendukung kemerdekaan: keduanya memusatkan oposisi terhadap Apodeti yang pro-Indonesia,” kata Ken Conboy, lulusan Georgetown University School of Foreign Service dalam bukunya "Intel: Menguak Tabir Dunia Intelijen Indonesia".
Sebelumnya pada kuarta ketiga 1974, Jenderal Ali Moertopo telah membentuk suatu operasi intelijen yang lebih luas untuk Timor Timur. Dinamai Operasi Komodo, tim intelijen itu berisi selusin personel deputi III sipil dan militer yang ditugaskan ke Bakin. Sebagian beragama Katolik dan Protestan agar memiliki kesamaan latar belakang dengan kebanyakan penduduk Timor.
Namun, kata Ken, Operasi Komodo bukan satu-satunya. Seorang perwira intelijen senior pada Departemen Pertahanan dan Keamanan, Jenderal LB Moerdani , telah menyetujui operasi rahasia tandingan bersandi Flamboyan.
Siasat Benny Moerdani di Operasi Kuta
Merespons situasi di Timor Timur, Portugal mengirimkan atase militer mereka, Mayor Antonio Joao Soares. Laporan yang diterima Jakarta, Soares akan tiba pada 14 Agustus 1974. Dia transit sehari di Jakarta sebelum kemudian terbang ke Dili melalui Kupang.
Keesokan harinya atau pada 15 Agustus sebuah surat resmi dari Konsulat Portugal tiba di Jakarta. Surat ini memberitahu Soares akan menuju Kupang via Bali. Dari Kupang dia akan naik pesawat menuju Dili yang telah disediakan Gubernur Militer Timor.
“Benny Moerdani yang sangat penasaran ingin mengetahui isi tas kerja sang mayor menugaskan Kolonel Dading Kalbuadi untuk mendapatkan akses. Benny memberikan tiga pilihan: mengambil tas secara paksa, melakukan penodongan pura-pura, atau melakukan aksi sulap,” kata Ken.
Dading mengambil opsi ketiga yaitu ‘memainkan aksi sulap’. Salah satu prajurit intelijen dalam Satsus Intel itu yakni Hans Hamzah. Menurut Ken, Hamzah merupakan sedikit dari anggota Satsus Intel yang seorang Tionghoa. Dia memiliki kemampuan hebat soal bahasa. Hamzah menguasai 6 bahasa dan ahli membuka kunci.
Aksi sulap pun dirancang. Hans Hamzah menyamar menjadi Kepala Cabang Maskapai Merpati Airlines ketika Soares berada di bandara, bersiap terbang ke Kupang. Saat Soares melapor, Hamzah berimprovisasi bahwa visa sang atase harus mendapat persetujuan dari imigrasi.
Praktis Soares berang dan menyebut dirinya sedang dalam misi diplomatik. Tetapi Hamzah bergeming. Dia lantas menawarkan bantuan untuk mengantar langsung Soares ke kantor imigrasi agar dapat cap pengesahan.
Soares melunak. Oleh Hamzah dia dibawa ke kantor Imigrasi menggunakan mobil dalam perjalanan 16 kilometer. Kepala kantor imigrasi telah setuju diajak bekerja sama soal ini. Begitu Soares datang, dia mempersilakan masuk ruangannya dan meminta untuk mengisi dokumen.
Hamzah menyarankan agar koper Soares ditinggal saat masuk ruangan. Untuk meyakinkan, dia menyebut koper itu akan dijaga petugas bersenjata. Soares awalnya ragu, tapi kemudian setuju.
Satsus Intel anak buah Dading Kalbuadi bergerak cepat. Hamzah dengan kelihaiannya membuka kunci koper. Semua dokumen lantas dipotret oleh anggota lain yang ahli fotografi. Pekerjaan itu dengan cepat dituntaskan.
Operasi ini kelak dikenal dengan Sandi Kuta. Keesokan harinya atau pada 17 Agustus, Dading dan anggota Satsus Intel kembali ke Jakarta dan menerima pujian atas kerja mereka.
Dokumen rahasia yang dibawa Mayor Soares mengonfirmasi bahwa Portugal berniat untuk melepaskan Timor Timur dan meninggalkan begitu saja. Salah satu surat penting memerintahkan agar sang Gubernur Militer Timor mengungsikan semua pasukan Portugal ke Ilhe de Atauor atau Pulau Kambing, sekitar 16 kilometer di utara Timor.
“Pada 23 Agustus, petugas-petugas Konsulat Indonesia di Dili diungsikan melalui laut. Pada akhir bulan itu, personel pasukan khusus yang ditugaskan di Flamboyan mendapat izin memulai serangan militer lintas batas,” tutur Ken Conboy.
Dalam pandangan Rori Permadi, Indonesia melalui kekuatan ABRI masuk ke Timor Timur dengan dalih memulihkan situasi dan mencegah konflik berkepanjangan. Langkah itu tidak lepas dari konstelasi politik internasional di masa Perang Dingin.
Di masa ini ABRI mendapat persetujuan dari negara-negara Barat liberalis yang tidak ingin melihat Timor Timur merdeka di bawah pimpinan Fretilin dan berubah menjadi Cuba of Asia.
“Negara-negara tersebut tidak menginginkan adanya kekuatan komunis yang dapat membahayakan pengaruh liberalis terutama di wilayah Asia Pasifik,” kata Rori dikutip dari buku "Disintegrasi Pasca Orde Baru: Negara, Konflik Lokal, dan Dinamika Internasional". (rca)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.