Misi Rahasia BocorPasukan RPKAD kini bernama Kopassus yang diterjunkan dalam Operasi Trikora pembebasan Irian Barat. [Foto/Istimewa] ☆
Kopassus merupakan pasukan elite yang memiliki kemampuan khusus. Salah satunya perang rahasia atau clandestine operation. Karena keahliannya itulah, prajurit Korps Baret ini seringkali mengemban tugas-tugas berat dan beroperasi di belakang garis musuh.
Namun keberhasilan sebuah operasi, tidak hanya ditunjang oleh keahlian dari seorang prajurit Komando. Perencanaan yang matang, pengenalan medan operasi dan sarana penunjang juga merupakan faktor penentu kesuksesan misi operasi. Hal itu dibuktikan dalam Operasi Naga pembebasan Irian Barat sekarang bernama Papua dari tangan Belanda pada 1962.
Meski dianggap berhasil menekan Belanda, operasi perintis yang dipimpin Kapten Leonardus Benyamin (LB) Moerdani atau dikenal Benny Moerdani harus dibayar mahal. Belasan prajurit Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) kini bernama Kopassus gugur di belantara hutan Papua. Minimnya data intelijen, penggunaan peta yang tidak akurat, dan beratnya medan operasi dinilai sebagai penyebab operasi tidak berjalan sesuai rencana.
Dalam buku berjudul “Benny Moerdani yang Belum Terungkap” diceritakan, Operasi tersebut dirancang oleh Benny Moerdani yang saat itu masih berusia 29 tahun. Kepala Staf Operasi Tertinggi Mayor Jenderal TNI Ahmad Yani ketika itu tidak punya pilihan karena tak seorang pun perwira senior yang berani memimpin operasi ini.
Operasi Naga, merupakan operasi yang cukup berat karena harus menggagalkan rencana Belanda mendirikan “negara boneka” di Papua. Operasi ini juga merupakan perwujudan dari Tri Komando Rakyat (Trikora) yang diumumkan Presiden Soekarno pada 19 Desember 1961. Ketika itu, Indonesia hendak memperkuat diplomasi dalam perundingan dengan Belanda di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Brigjen TNI (Purn) Aloysius Benedictus Mboi yang saat itu masih berpangkat Letnan Satu menceritakan bagaimana operasi itu digelar.
Ketika itu, dihadapan pasukan Naga di Pulau Seram, Panglima Mandala Mayor Jenderal Soeharto mengatakan, jika penerjunan ini cukup berisiko.
”Sebentar lagi saudara-saudara akan berangkat untuk diterjunkan di daerah Merauke dalam rangka operasi merebut Irian Barat. Dua tim sebelum kalian sudah diterjunkan beberapa minggu lalu sampai hari ini tidak ada kontak dengan mereka. Kemungkinan kalian tidak kembali lebih dari 50%. Saya beri waktu tiga menit, kalau ada di antara kalian yang ragu-ragu, yang tidak mau berangkat silakan keluar barisan,” kenang Ben Mboi dalam buku biografi “Kepemimpinan Militer: Catatan dan Pengalaman Letnan Jenderal TNI (Purn) Prabowo Subianto”
Tepat pukul 03.00 dini hari, 23 Juni 1962 sebanyak 213 prajurit Kopassus diterjunkan dari tiga pesawat C-130 Hercules di atas Merauke, Papua. Meski pilot TNI AU sudah berusaha terbang serendah mungkin agar saling berdekatan tapi tiba-tiba datang angin kencang yang menyebabkan para penerjun terpencar. Akibatnya, penerjunan memakai parasut statis jenis D1 buatan Rusia itu menjadi kacau.
Kekacauan semakin diperparah karena peta yang digunakan tidak akurat. Akibatnya, Pasukan Naga ini diterjunkan 30 Km lebih ke arah utara dari dropping zone yang ditentukan. Kondisi Papua yang masih gelap gulita membuat para penerjun tidak mengetahui kondisi hutan di bawahnya. Tidak sedikit penerjun yang tersangkut di pohon dengan ketinggian 30-40 meter. Akibatnya, mereka kesulitan untuk turun, apalagi tali yang disediakan hanya 20 meter.
Ben Mboi menuturkan, dirinya nyangkut di atas pohon dengan ketinggian 10 meter. Dengan berbagai upaya, akhirnya Ben Mboi berhasil turun dengan selamat meski harus berpencar dengan anggota lainnya. ”Dengan menggunakan pisau, saya melepaskan diri dari ikatan payung terjun dan memakai tali untuk terun,” ucapnya.
Sayangnya, tidak semua bernasib baik, beberapa prajurit Kopassus gugur tergantung dan beberapa orang lainnya juga gugur tenggelam di rawa-rawa akibat ransel yang dibawa terlalu berat hingga mencapai 30 Kg. “Petanya masih peta lama buatan 1937. Tujuan Benny sebenarnya pantai selatan Irian Barat yang lebih dekat ke pusat pertahanan Belanda,” tutur Ben Mboi.
Meski penerjunan tidak sesuai rencana, namun, pada hari kedua Kapten Benny Moerdani berhasil mengonsolidasikan pasukannya sebanyak 60 orang. Mereka dalam kondisi siap tempur karena memiliki komandan, radio, cadangan amunisi dan logistik yang cukup, pasukan Naga kemudian bergerilya.
Benny Moerdani kemudian memimpin pasukan Korps Baret Merah sedangkan Kapten Soepeno memimpin pasukan Baret Hijau (Raiders 530). Namun, saat operasi baru dimulai, Benny dikejutkan dengan siaran dari radio Australia yang menyiarkan ada tiga pesawat Hercules yang menerjunkan pasukan di Merauke. Bahkan, radio tersebut menyebutkan jumlah pasukan dan nama-nama pemimpinnya termasuk Benny Moerdani. “Operasi rahasia ini bocor,” kata Benny.
Dalam buku berjudul “Kopassus untuk Indonesia” Jilid II diceritakan, perjalanan pasukan Naga menuju pusat pertahanan Belanda di Merauke menemui banyak rintangan. Tidak hanya alam tapi juga harus bertempur dengan Koninklijke Mariniers, pasukan elite Belanda. Pertempuran sengit salah satunya terjadi pada 28 Juni 1962. Dua perahu motor Belanda tiba-tiba menyerang pasukan Benny Moerdani di Sungai Kumbai. Namun Benny dan pasukannya berhasil memukul mundur dua perahu motor tersebut. Sayangnya, dalam kontak senjata tersebut dua anggotanya bernama Kopral Emin dan Prada Hardjito gugur.
Bahkan, Agus Hernoto sahabat dekat Benny Moerdani harus kehilangan kedua kakinya dalam operasi pembebasan tersebut. Agus mengalami cacat seumur hidup setelah kakinya diamputasi karena luka tembak.
Pertempuran sengit antara pasukan Naga dengan tentara Belanda di belantara hutan Papua terus terjadi. Bahkan, Belanda sempat mengumumkan untuk siapa saja yang bisa meringkus hidup atau mati Kapten Benny Moerdani akan diberi hadiah 500 gulden. Upaya penangkapan berkali-kali tidak berhasil. ”Yang dipakai Benny adalah strategi kucing. Kalau bertemu ya bertempur. Kalau tidak ya kucing-kucingan. Tujuan kami sebagai umpan supaya Belanda memecah konsentrasi pasukannya yang di Biak dan terbukti berhasil,” ucap Ben Mboi.
Operasi Naga akhirnya berakhir dengan ditandai New York Agreement pada 15 Agustus 1962. Amerika Serikat memaksa Belanda menyerahkan Irian Barat ke Indonesia. Belanda menyerah karena menyadari tidak akan menang berperang melawan Indonesia.
Dari seluruh pasukan Naga yang diterjunkan, Kopassus mencatat delapan prajuritnya gugur karena jatuh di rawa, seorang terbunuh penduduk setempat, seorang gugur karena sakit dan tujuh orang lainnya hilang. Menariknya, di tengah keterbatasan tersebut pasukan pimpinan Benny Moerdani ini mampu mengikat 500 tentara Belanda yang harus didatangkan dari Biak untuk mempertahankan Merauke.
Sementara Ben Mboi menyebut, korban gugur Operasi Naga tercatat sebanyak 36 orang dan 20 orang hilang. ”Kalau dipresentasikan kurang lebih 25% lebih baik dari yang diperkirakan Soeharto,” kata Ben Mboi. (cip)
Kopassus merupakan pasukan elite yang memiliki kemampuan khusus. Salah satunya perang rahasia atau clandestine operation. Karena keahliannya itulah, prajurit Korps Baret ini seringkali mengemban tugas-tugas berat dan beroperasi di belakang garis musuh.
Namun keberhasilan sebuah operasi, tidak hanya ditunjang oleh keahlian dari seorang prajurit Komando. Perencanaan yang matang, pengenalan medan operasi dan sarana penunjang juga merupakan faktor penentu kesuksesan misi operasi. Hal itu dibuktikan dalam Operasi Naga pembebasan Irian Barat sekarang bernama Papua dari tangan Belanda pada 1962.
Meski dianggap berhasil menekan Belanda, operasi perintis yang dipimpin Kapten Leonardus Benyamin (LB) Moerdani atau dikenal Benny Moerdani harus dibayar mahal. Belasan prajurit Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) kini bernama Kopassus gugur di belantara hutan Papua. Minimnya data intelijen, penggunaan peta yang tidak akurat, dan beratnya medan operasi dinilai sebagai penyebab operasi tidak berjalan sesuai rencana.
Dalam buku berjudul “Benny Moerdani yang Belum Terungkap” diceritakan, Operasi tersebut dirancang oleh Benny Moerdani yang saat itu masih berusia 29 tahun. Kepala Staf Operasi Tertinggi Mayor Jenderal TNI Ahmad Yani ketika itu tidak punya pilihan karena tak seorang pun perwira senior yang berani memimpin operasi ini.
Operasi Naga, merupakan operasi yang cukup berat karena harus menggagalkan rencana Belanda mendirikan “negara boneka” di Papua. Operasi ini juga merupakan perwujudan dari Tri Komando Rakyat (Trikora) yang diumumkan Presiden Soekarno pada 19 Desember 1961. Ketika itu, Indonesia hendak memperkuat diplomasi dalam perundingan dengan Belanda di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Brigjen TNI (Purn) Aloysius Benedictus Mboi yang saat itu masih berpangkat Letnan Satu menceritakan bagaimana operasi itu digelar.
Ketika itu, dihadapan pasukan Naga di Pulau Seram, Panglima Mandala Mayor Jenderal Soeharto mengatakan, jika penerjunan ini cukup berisiko.
”Sebentar lagi saudara-saudara akan berangkat untuk diterjunkan di daerah Merauke dalam rangka operasi merebut Irian Barat. Dua tim sebelum kalian sudah diterjunkan beberapa minggu lalu sampai hari ini tidak ada kontak dengan mereka. Kemungkinan kalian tidak kembali lebih dari 50%. Saya beri waktu tiga menit, kalau ada di antara kalian yang ragu-ragu, yang tidak mau berangkat silakan keluar barisan,” kenang Ben Mboi dalam buku biografi “Kepemimpinan Militer: Catatan dan Pengalaman Letnan Jenderal TNI (Purn) Prabowo Subianto”
Tepat pukul 03.00 dini hari, 23 Juni 1962 sebanyak 213 prajurit Kopassus diterjunkan dari tiga pesawat C-130 Hercules di atas Merauke, Papua. Meski pilot TNI AU sudah berusaha terbang serendah mungkin agar saling berdekatan tapi tiba-tiba datang angin kencang yang menyebabkan para penerjun terpencar. Akibatnya, penerjunan memakai parasut statis jenis D1 buatan Rusia itu menjadi kacau.
Kekacauan semakin diperparah karena peta yang digunakan tidak akurat. Akibatnya, Pasukan Naga ini diterjunkan 30 Km lebih ke arah utara dari dropping zone yang ditentukan. Kondisi Papua yang masih gelap gulita membuat para penerjun tidak mengetahui kondisi hutan di bawahnya. Tidak sedikit penerjun yang tersangkut di pohon dengan ketinggian 30-40 meter. Akibatnya, mereka kesulitan untuk turun, apalagi tali yang disediakan hanya 20 meter.
Ben Mboi menuturkan, dirinya nyangkut di atas pohon dengan ketinggian 10 meter. Dengan berbagai upaya, akhirnya Ben Mboi berhasil turun dengan selamat meski harus berpencar dengan anggota lainnya. ”Dengan menggunakan pisau, saya melepaskan diri dari ikatan payung terjun dan memakai tali untuk terun,” ucapnya.
Sayangnya, tidak semua bernasib baik, beberapa prajurit Kopassus gugur tergantung dan beberapa orang lainnya juga gugur tenggelam di rawa-rawa akibat ransel yang dibawa terlalu berat hingga mencapai 30 Kg. “Petanya masih peta lama buatan 1937. Tujuan Benny sebenarnya pantai selatan Irian Barat yang lebih dekat ke pusat pertahanan Belanda,” tutur Ben Mboi.
Meski penerjunan tidak sesuai rencana, namun, pada hari kedua Kapten Benny Moerdani berhasil mengonsolidasikan pasukannya sebanyak 60 orang. Mereka dalam kondisi siap tempur karena memiliki komandan, radio, cadangan amunisi dan logistik yang cukup, pasukan Naga kemudian bergerilya.
Benny Moerdani kemudian memimpin pasukan Korps Baret Merah sedangkan Kapten Soepeno memimpin pasukan Baret Hijau (Raiders 530). Namun, saat operasi baru dimulai, Benny dikejutkan dengan siaran dari radio Australia yang menyiarkan ada tiga pesawat Hercules yang menerjunkan pasukan di Merauke. Bahkan, radio tersebut menyebutkan jumlah pasukan dan nama-nama pemimpinnya termasuk Benny Moerdani. “Operasi rahasia ini bocor,” kata Benny.
Dalam buku berjudul “Kopassus untuk Indonesia” Jilid II diceritakan, perjalanan pasukan Naga menuju pusat pertahanan Belanda di Merauke menemui banyak rintangan. Tidak hanya alam tapi juga harus bertempur dengan Koninklijke Mariniers, pasukan elite Belanda. Pertempuran sengit salah satunya terjadi pada 28 Juni 1962. Dua perahu motor Belanda tiba-tiba menyerang pasukan Benny Moerdani di Sungai Kumbai. Namun Benny dan pasukannya berhasil memukul mundur dua perahu motor tersebut. Sayangnya, dalam kontak senjata tersebut dua anggotanya bernama Kopral Emin dan Prada Hardjito gugur.
Bahkan, Agus Hernoto sahabat dekat Benny Moerdani harus kehilangan kedua kakinya dalam operasi pembebasan tersebut. Agus mengalami cacat seumur hidup setelah kakinya diamputasi karena luka tembak.
Pertempuran sengit antara pasukan Naga dengan tentara Belanda di belantara hutan Papua terus terjadi. Bahkan, Belanda sempat mengumumkan untuk siapa saja yang bisa meringkus hidup atau mati Kapten Benny Moerdani akan diberi hadiah 500 gulden. Upaya penangkapan berkali-kali tidak berhasil. ”Yang dipakai Benny adalah strategi kucing. Kalau bertemu ya bertempur. Kalau tidak ya kucing-kucingan. Tujuan kami sebagai umpan supaya Belanda memecah konsentrasi pasukannya yang di Biak dan terbukti berhasil,” ucap Ben Mboi.
Operasi Naga akhirnya berakhir dengan ditandai New York Agreement pada 15 Agustus 1962. Amerika Serikat memaksa Belanda menyerahkan Irian Barat ke Indonesia. Belanda menyerah karena menyadari tidak akan menang berperang melawan Indonesia.
Dari seluruh pasukan Naga yang diterjunkan, Kopassus mencatat delapan prajuritnya gugur karena jatuh di rawa, seorang terbunuh penduduk setempat, seorang gugur karena sakit dan tujuh orang lainnya hilang. Menariknya, di tengah keterbatasan tersebut pasukan pimpinan Benny Moerdani ini mampu mengikat 500 tentara Belanda yang harus didatangkan dari Biak untuk mempertahankan Merauke.
Sementara Ben Mboi menyebut, korban gugur Operasi Naga tercatat sebanyak 36 orang dan 20 orang hilang. ”Kalau dipresentasikan kurang lebih 25% lebih baik dari yang diperkirakan Soeharto,” kata Ben Mboi. (cip)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.