Korea Selatan bersama Indonesia mengembangkan pesawat tempur yang kini dinamai KF-21 Boramae. Langkah itu dapat menjadi tonggak pencapaian menuju kemandirian.
Ilustrasi KF-21 Boramae Korea Selatan [ist] ★Dengan bangga, Presiden Korea Selatan Moon Jae-in hadir di Seoul International Aerospace & Defense Exhibition atau ADEX dengan duduk di kursi belakang jet tempur FA-50. Di depan ratusan tamu undangan yang hadir, Moon mengungkapkan kebanggaannya pada performa FA-50. Ia memuji pesawat tempur buatan negerinya itu.
”Saya bisa merasakan kehebatan FA-50 yang kami kembangkan dengan teknologi kami sendiri,” kata Moon. Lebih lanjut ia menegaskan bahwa sudah waktunya industri senjata Korsel menjadi pemimpin global. Ia pun menyatakan dukungannya untuk penguatan militer Korsel yang bertujuan membangun kekuatan pertahanan dan menumbuhkan perdamaian.
Pernyataan itu tak bisa dilepaskan dari kesadaran atas situasi dan tantangan di kawasan. Sebagai catatan, sebelum ADEX digelar, pada pertengahan Oktober lalu Korea Utara menguji coba rudal balistik mereka.
Untuk mendukung penguatan industri alutsista dalam negeri, Korsel menyisihkan setidaknya 80 persen dari anggaran pembelian alutsista dan suku cadangnya dari produsen dalam negeri. Fokus utamanya pada sejumlah bidang yang diperlukan untuk perang masa depan, seperti kecerdasan buatan, drone, robot, dan luar angkasa.
”Kami membayangkan militer yang cerdas, tetapi kuat berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi maju, dan mempromosikan perdamaian bersama dengan komunitas internasional,” kata Moon menambahkan.
Pesawat KT-1B Woongbi tim aerobatik Jupiter TNI AU bermanuver saat gladi bersih di atas Sirkuit Internasional Jalan Raya Mandalika, Lombok Tengah, NTB, Kamis (18/11/2021).
Di sisi lain, kemandirian di bidang pertahanan itu juga mendongkrak devisa Korsel. Berdasarkan data Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI), nilai ekspor senjata Korsel pada periode 2016-2020 meningkat 210 persen lebih tinggi dibandingkan dengan nilai ekspor periode 2011-2015. Indonesia adalah salah satu pengguna alutsista produk Korsel, di antaranya pesawat latih KT-1 Woongbi, T-50i Golden Eagle, kapal selam Changbogo, dan LPD.
Terkait kerja sama pertahanan, sejak tahun 2014, Seoul dan Jakarta sepakat mengembangkan pesawat tempur generasi 4.5, KFX-IFX. April lalu, di markas Korea Aerospace Industries (KAI), Presiden Moon memimpin upacara peluncuran prototipe KFX. Dalam upacara yang dihadiri Menteri Pertahanan RI Prabowo Subianto itu, KFX mendapat nama baru, KF-21 Boramae.
Di masa depan, Boramae yang dikembangkan untuk menggantikan F-4 dan F-5 buatan AS akan menjadi tulang punggung Angkatan Udara Korsel. Meskipun beda kelas dan tak secanggih F-35 buatan AS, teknologi yang dibenamkan dalam pesawat bermesin GE414-400K itu cukup mumpuni. Selain radar AESA yang dikembangkan Hanwha Systems, Boramae juga diproyeksikan mampu menggotong rudal jarak jauh, Meteor.
Boramae, yang menjadi salah satu tonggak pencapaian teknologi militer Korsel, menandai apa yang oleh Moon disebut sebagai era baru dari kemandirian pertahanan nasional Korsel. ”Kapan pun kita membutuhkannya, kita bisa membuatnya,” kata Moon.
Kemandirian itu membuat Korsel tidak hanya memperoleh keuntungan secara strategis, tetapi juga secara ekonomi. Selain meningkatkan kapasitas dan kapabilitas industri pertahanan dalam negeri, ekspor produk militer juga memacu pertumbuhan ekonomi. Ketergantungan pada AS sebagai pemasok utama alutsista untuk Seoul pun tahap demi tahap dapat dikurangi.
Keterlibatan Indonesia dalam proyek KF-21 bagi sejumlah pihak di Tanah Air diharapkan memicu asa yang sama. Indonesia menjadi lebih mandiri dalam pemenuhan alutsista, termasuk alutsista strategis.
Sempat diliputi mendung ketidakpastian sejak tahun 2018 karena tersendat dalam pendanaan, Indonesia pada awal bulan ini akhirnya sepakat meneruskan terlibat dalam pengembangan proyek itu. Setelah proses negosiasi panjang, selain dibebaskan dari pembayaran pajak pertambahan nilai atas Boramae yang bakal menjadi bagian Indonesia, pembayaran oleh Jakarta untuk proyek itu juga direvisi menjadi 1,35 miliar dollar AS.
Kemandirian
Bagi sejumlah pihak, keberlanjutan proyek itu untuk jangka panjang membuat lega. Pasalnya, hingga saat ini, untuk pemenuhan pesawat tempur, Indonesia masih bergantung pada negara lain. Saat ini Indonesia masih dalam proses pembahasan pengadaan Rafale dari Perancis dan F-15EX dari Amerika Serikat.
Dalam jawaban tertulis yang dikirim kepada Kompas, Biro Humas Sekretariat Jenderal Kementerian Pertahanan (Kemenhan) menyebut, untuk kesepakatan pengadaan pesawat tempur Rafale, Kemenhan masih menunggu penetapan sumber pembiayaan dari Kementerian Keuangan. Untuk pengadaan F-15EX, posisi saat ini masih dalam tahap perundingan antara AS dan Indonesia.
Dengan adanya rencana pengadaan Rafale dan F-15EX, rencana pembelian F-16 Viper akan dialihkan untuk pengadaan F-15EX. Terkait dengan SU-35, sebagaimana diberitakan, meskipun kontrak pembelian telah ditandatangani, sejauh ini masih terkendala oleh sanksi CAATSA dan OFAC dari AS.
Tak heran jika keberlanjutan proses pengembangan KF-21/IFX bisa membuka pintu harapan. Apalagi, sebagaimana disampaikan oleh Biro Humas Sekretariat Jenderal Kemenhan kelanjutan kerja sama itu mengacu pada keputusan Presiden Joko Widodo. Kerja sama itu diharapkan dapat diimplementasikan dalam langkah nyata untuk meningkatkan kemampuan Indonesia membangun alutsistanya secara mandiri.
Dalam proyek KF-21/IFX, industri pertahanan nasional yang dilibatkan adalah PT Dirgantara Indonesia. ”Hasil diskusi awal dengan pihak Korea Selatan, PT Dirgantara Indonesia (Persero) meminta untuk dapat menjadi sole supplier (50 persen) wing, tail, dan part lain atau (pylon),” kata Biro Humas Sekjen Kemenhan.
Dalam wawancara terpisah, Kepala Bappenas Suharso Monoarfa menilai penting pelibatan industri pertahanan nasional dalam pengadaan alustista. Indonesia, menurut dia, memiliki pengalaman membuat pesawat terbang.
Selain mampu merancang platform pesawat terbang, di antaranya CN235 dan N250, Indonesia hingga saat ini masuk dalam rantai pasok global untuk Airbus, Boeing, dan Embraer. Indonesia, menurut Suharso, memiliki kapasitas yang tidak bisa diremehkan.
Merujuk pengembangan N250, Indonesia telah menguasai rancang bangun pesawat sejak era tahun 1990-an. Indonesia bahkan telah mampu menerbangkan N250, yang memiliki kemampuan fly by wire, pada Agustus 1995. Pesawat itu 100 persen dibangun oleh ahli-ahli Indonesia.
”Membuat pesawat itu yang penting adalah desainnya, avionik, radar, kelistrikan, dan lain-lain akan menyesuaikan dengan rancang bangun pesawat itu,” kata Suharso.
Terkait KF-21/IFX, Suharso berpendapat, Indonesia pun ingin memiliki kekuatan untuk membangun industri pertahanannya. Di sisi lain, menurut dia, perlu dukungan ruang yang tepat dan luas untuk para periset dan ahli Indonesia mengembangkan diri.
Rekayasa teknologi militer, menurut dia, seperti radar pasif, hingga rancang bangun pesawat terbang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan sipil, seperti mitigasi dan tanggap bencana. Selain itu, Indonesia juga perlu menjaga keberlanjutan teknologi yang telah dimiliki, termasuk teknologi pesawat tempur yang diperoleh dari kepemilikan F-16 dan T-50.
Kepercayaan
Dalam perspektif kerja sama internasional, keberlanjutan itu penting untuk membangun sikap saling percaya, baik bilateral maupun global. Merujuk data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), realisasi investasi asal Korsel menanjak.
Pada triwulan I tahun 2021, realisasi investasi Korsel menduduki posisi ketiga setelah Singapura dan China. Nilainya mencapai 851,1 juta dollar AS, lebih tinggi dari realisasi investasi AS dan Jepang, yang masing-masing 447,1 juta dollar AS dan 322,7 juta dollar AS. Capaian itu tidak bisa dilepaskan dari eratnya Kemitraan Strategis Khusus antara Indonesia dan Korsel.
Dihubungi terpisah, Direktur Jenderal Asia Pasifik dan Afrika Kementerian Luar Negeri, Abdul Kadir Jailani mengatakan, peluang kerja sama dengan Korsel di bidang pertahanan atau alutsista tetap terbuka lebar. “Salah satunya terlihat dari kelanjutan proyek pesawat tempur bersama, yang melibatkan industri strategis nasional. Selain di bidang teknologi, kerja sama juga terbuka untuk peningkatan sumber daya manusia di bidang tersebut,” kata Kadir melalui pesan yang dikirim lewat layanan WhatsApp.
Sebagaimana catatan positif BKPM, Kadir mengatakan, kuatnya kerja sama itu juga tampak pada realisasi investasi Korsel di Indonesia. Mengutip data BKPM, Kadir menyebutkan, pada triwulan kedua tahun ini, investasi langsung Korsel kembali naik menjadi 1,1 juta dollar AS.
“Peningkatan investasi Korsel di Indonesia tidak terlepas dari adanya prioritas yang tinggi dari Korsel terhadap Indonesia, khususnya sebagai mitra strategis khusus. Kebijakan New Southern Policy Korsel memang ditujukan untuk meningkatkan kerja sama dengan negara-negara ASEAN,” kata Kadir menambahkan.
Tak heran bila pengembangan KF-21/IFX diharapkan bisa menjadi bagian dari langkah konkret kemitraan itu. Selain itu, proyek ini juga bisa menjadi peluang bagi Indonesia mengangkasa lebih tinggi secara mandiri. (AFP/Reuters)
★ Kompas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.