🛩 ✈ Pesawat N219 versi amphibi (iNews)
PT. Dirgantara Indonesia (PTDI) tengah mengembangkan pesawat Amphibi N219. Pesawat buatan anak negeri tersebut diharapkan sudah bisa beroperasi pada 2023.
“Jika sesuai dengan linimasa yang ada, pesawat ini diperkirakan dapat melaksanakan penerbangan pertamanya di tahun 2023,” tutur Batara Silaban, Direktur Produksi PTDI.
Batara menemani Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Transportasi, Ayodhia G L Kalake dalam kunjungan ke PT. Dirgantara Indonesia pada Jumat, (12/11).
Batara menjelaskan pesawat Amphibi N219 memiliki kecepatan hingga 296 KM per jam pada ketinggian maksimal 10 ribu kaki.
Dengan beban 1560 KG, pesawat mampu menempuh jarak hingga 231 KM. Take-off untuk ketinggian 35 kaki dari darat membutuhkan jarak 500 meter, sedangkan dari air, pesawat membutuhkan jarak hingga 1400 meter.
N219 Nurtanio Untuk landing dari ketinggian 50 kaki, pesawat membutuhkan jarak 590 meter untuk di darat, dan 760 meter untuk di laut.
“Maximum Take-Off Weight pesawat ini mencapai 7030 KG dengan maximum landing weight 6940 KG, dengan total kapasitas bahan bakar 1600 KG,” kata Batara.
Pesawat Amphibi N219 memang dirancang bisa melakukan lepas landas dan pendaratan di permukaan air. Dengan demikian, pesawat ini sesuai dengan karakteristik Indonesia sebagai negara kepulauan.
“Pesawat ini telah diproduksi dengan mengedepankan TKDN, sehingga hasil karya dalam negeri ini tentu mendukung pengembangan konektivitas darat dan laut di indonesia,” kata Ayodhia.
Dia menambahkan fleksibilitas yang dimiliki pesawat ini mampu mencakup darat, danau dan sungai besar, hingga teluk dan laut.
Pesawat N219 (PTDI)
Selain itu, amphiport (airport untuk pesawat amphibi) dapat dibangun dengan lebih mudah dan murah dibandingkan dengan airport pada umumnya.
“Pesawat ini mampu dimanfaatkan untuk berbagai sektor, seperti layanan pariwisata, layanan perjalanan dinas pemerintahan, oil and gas company, layanan kesehatan masyarakat, SAR dan penanggulangan bencana, dan pengawasan wilayah Maritim,” kata Batara.
Potensi pasar terbesar pesawat Amphibi N219 berada di bidang pariwisata. Pesawat tersebut juga mampu mengakomodir Pulau-Pulau 3T (Terluar, Tertinggal, Terdepan) yang tersebar di Indonesia.
Berbagai wilayah di Indonesia pun cukup berpotensi untuk menggunakan pesawat ini, seperti Danau Toba, Pulau Bawah Kepri, Pulau Derawan Kaltim, Raja Ampat, Wakatobi, dan Pulau Moyo.
Potensi pasar yang besar juga terlihat khususnya di Asia Pasifik. Kini, ada 150 unit pesawat aktif dan 45% dari total populasi tersebut telah memasuki masa aging.
Kendati menjanjikan, pengembangan pesawat Amphibi N219 bukan tanpa masalah. Permasalahan utama yang dihadapi ini adalah dalam hal penganggaran.
Dalam perencanaan pengembangan sampai tahun 2024, anggaran tersebut dialokasikan melalui Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).
Dengan adanya perubahan organisasi, LAPAN dan BPPT masuk kedalam organisasi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dikhawatirkan akan mempengaruhi perencanaan pengembangan yang sudah ditetapkan. Selain anggaran, permasalahan lain seperti tingkat korosif yang tinggi karena mendarat di laut.
Kemenko Marves meminta PTDI menginventarisasikan berbagai problematika yang ada, “Kami harap nantinya ada pertemuan lanjut antara PTDI dan berbagai pihak, baik dengan BRIN, Kementerian Perhubungan, Kementerian Keuangan dan Kementerian BUMN,” ungkap Firdausi Manti, Asisten Deputi Industri Maritim dan Transportasi.
PT. Dirgantara Indonesia (PTDI) tengah mengembangkan pesawat Amphibi N219. Pesawat buatan anak negeri tersebut diharapkan sudah bisa beroperasi pada 2023.
“Jika sesuai dengan linimasa yang ada, pesawat ini diperkirakan dapat melaksanakan penerbangan pertamanya di tahun 2023,” tutur Batara Silaban, Direktur Produksi PTDI.
Batara menemani Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Transportasi, Ayodhia G L Kalake dalam kunjungan ke PT. Dirgantara Indonesia pada Jumat, (12/11).
Batara menjelaskan pesawat Amphibi N219 memiliki kecepatan hingga 296 KM per jam pada ketinggian maksimal 10 ribu kaki.
Dengan beban 1560 KG, pesawat mampu menempuh jarak hingga 231 KM. Take-off untuk ketinggian 35 kaki dari darat membutuhkan jarak 500 meter, sedangkan dari air, pesawat membutuhkan jarak hingga 1400 meter.
N219 Nurtanio Untuk landing dari ketinggian 50 kaki, pesawat membutuhkan jarak 590 meter untuk di darat, dan 760 meter untuk di laut.
“Maximum Take-Off Weight pesawat ini mencapai 7030 KG dengan maximum landing weight 6940 KG, dengan total kapasitas bahan bakar 1600 KG,” kata Batara.
Pesawat Amphibi N219 memang dirancang bisa melakukan lepas landas dan pendaratan di permukaan air. Dengan demikian, pesawat ini sesuai dengan karakteristik Indonesia sebagai negara kepulauan.
“Pesawat ini telah diproduksi dengan mengedepankan TKDN, sehingga hasil karya dalam negeri ini tentu mendukung pengembangan konektivitas darat dan laut di indonesia,” kata Ayodhia.
Dia menambahkan fleksibilitas yang dimiliki pesawat ini mampu mencakup darat, danau dan sungai besar, hingga teluk dan laut.
Pesawat N219 (PTDI)
Selain itu, amphiport (airport untuk pesawat amphibi) dapat dibangun dengan lebih mudah dan murah dibandingkan dengan airport pada umumnya.
“Pesawat ini mampu dimanfaatkan untuk berbagai sektor, seperti layanan pariwisata, layanan perjalanan dinas pemerintahan, oil and gas company, layanan kesehatan masyarakat, SAR dan penanggulangan bencana, dan pengawasan wilayah Maritim,” kata Batara.
Potensi pasar terbesar pesawat Amphibi N219 berada di bidang pariwisata. Pesawat tersebut juga mampu mengakomodir Pulau-Pulau 3T (Terluar, Tertinggal, Terdepan) yang tersebar di Indonesia.
Berbagai wilayah di Indonesia pun cukup berpotensi untuk menggunakan pesawat ini, seperti Danau Toba, Pulau Bawah Kepri, Pulau Derawan Kaltim, Raja Ampat, Wakatobi, dan Pulau Moyo.
Potensi pasar yang besar juga terlihat khususnya di Asia Pasifik. Kini, ada 150 unit pesawat aktif dan 45% dari total populasi tersebut telah memasuki masa aging.
Kendati menjanjikan, pengembangan pesawat Amphibi N219 bukan tanpa masalah. Permasalahan utama yang dihadapi ini adalah dalam hal penganggaran.
Dalam perencanaan pengembangan sampai tahun 2024, anggaran tersebut dialokasikan melalui Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).
Dengan adanya perubahan organisasi, LAPAN dan BPPT masuk kedalam organisasi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dikhawatirkan akan mempengaruhi perencanaan pengembangan yang sudah ditetapkan. Selain anggaran, permasalahan lain seperti tingkat korosif yang tinggi karena mendarat di laut.
Kemenko Marves meminta PTDI menginventarisasikan berbagai problematika yang ada, “Kami harap nantinya ada pertemuan lanjut antara PTDI dan berbagai pihak, baik dengan BRIN, Kementerian Perhubungan, Kementerian Keuangan dan Kementerian BUMN,” ungkap Firdausi Manti, Asisten Deputi Industri Maritim dan Transportasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.