Naskah Asli oleh H Soewidodo
Pasukan saya dalam tugas Dwikora tahun 1965, tinggal di Wailaya pedalaman Kaltim cukup lama, hingga kami bisa mengenal lingkungan dan adat istiadat suku Dayak. Mereka tinggal berkelompok dalam satu hunian yang terdiri dari beberapa lamin yaitu seperti rumah panggung yang berupa barak panjang. Setiap lamin dihuni oleh beberapa keluarga. Sebagian besar mereka beragama katolik tetapi mereka sangat ketat memegang adat istiadat. Mata pencaharian utama adalah berternak babi yang kandangnya dibawah lamin dan kerbau yang dilepas dipinggir hutan setelah diberi tanda khusus dan bertanam padi di huma. Kalau soal bertanam padi ini mereka sangat tekun dan piawai sekali; bahkan setiap panen raya mereka berlomba-lomba membakar padi sebanyak-banyaknya, saya tak mengerti untuk tujuan apa, disamping itu juga masih banyak menyimpan padi untuk persedian keluarga.
Kondisi ini dimanfaatkan betul oleh anggauta pasukan kami khusus dari Zeni dan akhirnya diikuti pula oleh satu dua kesatuan lain. Setiap bulan sekali pasukan di garis depan menerima kiriman ransum satu kaleng per anggauta berisi beras, gula, kopi, dendeng dan lain-lain yang didrop dengan helicopter MI 4. Oleh anggauta kompi yang ada di Tarakan berasnya diambil diganti dengan satu sabun cuci cap tangan.
Anggota kami bagian dapur menukarkan sabun cuci ini dengan beras pada masyarakat suku Dayak. Satu batang sabun cuci ini dibarter dengan beras satu kaleng minyak kurang lebih 18 liter; ini adalah suatu barter yang sangat unik apalagi berasnya putih dan enak. Mereka hanya mau menerima sabun cuci batangan cap tangan saja atau garam bata. Demikian ini berlangsung berbulan-bulan selama kami di pedalaman. Bisa dibayangkan berapa keuntungan dari anggauta-anggauta kami. Maka tidaklah heran bila hampir seluruh pasukan kami saat mampir di Balikpapan sewaktu kepulangan kami ke Jawa, memborong gelas; piring Duralex yang anti banting/pecah, yang waktu itu baru ngetren. Belum lagi ditambah 1 dosen piring dan gelas kenang-kenangan dari Dan Lanal Tarakan setelah kami ikut memperbaiki landasan pacu pesawat di Tarakan.
Beginilah asyiknya kalau perang sambil dagang. Pulang perang bisa bawa banyak oleh-oleh untuk keluarga; bahkan Danki Lettu Wiradi [1960] dapat bonus 1 jam tangan Seiko 17 jewels dari masyarakat Dayak; lumayan juga meskipun bekas. Sedang saya sendiri dapat kenang-kenangan berupa satu sumpit lengkap dengam mandau [semacam pedang] dan topi yang terbuat dari kulit kera uwak-uwak indah sekali.
Pasukan saya dalam tugas Dwikora tahun 1965, tinggal di Wailaya pedalaman Kaltim cukup lama, hingga kami bisa mengenal lingkungan dan adat istiadat suku Dayak. Mereka tinggal berkelompok dalam satu hunian yang terdiri dari beberapa lamin yaitu seperti rumah panggung yang berupa barak panjang. Setiap lamin dihuni oleh beberapa keluarga. Sebagian besar mereka beragama katolik tetapi mereka sangat ketat memegang adat istiadat. Mata pencaharian utama adalah berternak babi yang kandangnya dibawah lamin dan kerbau yang dilepas dipinggir hutan setelah diberi tanda khusus dan bertanam padi di huma. Kalau soal bertanam padi ini mereka sangat tekun dan piawai sekali; bahkan setiap panen raya mereka berlomba-lomba membakar padi sebanyak-banyaknya, saya tak mengerti untuk tujuan apa, disamping itu juga masih banyak menyimpan padi untuk persedian keluarga.
Kondisi ini dimanfaatkan betul oleh anggauta pasukan kami khusus dari Zeni dan akhirnya diikuti pula oleh satu dua kesatuan lain. Setiap bulan sekali pasukan di garis depan menerima kiriman ransum satu kaleng per anggauta berisi beras, gula, kopi, dendeng dan lain-lain yang didrop dengan helicopter MI 4. Oleh anggauta kompi yang ada di Tarakan berasnya diambil diganti dengan satu sabun cuci cap tangan.
Anggota kami bagian dapur menukarkan sabun cuci ini dengan beras pada masyarakat suku Dayak. Satu batang sabun cuci ini dibarter dengan beras satu kaleng minyak kurang lebih 18 liter; ini adalah suatu barter yang sangat unik apalagi berasnya putih dan enak. Mereka hanya mau menerima sabun cuci batangan cap tangan saja atau garam bata. Demikian ini berlangsung berbulan-bulan selama kami di pedalaman. Bisa dibayangkan berapa keuntungan dari anggauta-anggauta kami. Maka tidaklah heran bila hampir seluruh pasukan kami saat mampir di Balikpapan sewaktu kepulangan kami ke Jawa, memborong gelas; piring Duralex yang anti banting/pecah, yang waktu itu baru ngetren. Belum lagi ditambah 1 dosen piring dan gelas kenang-kenangan dari Dan Lanal Tarakan setelah kami ikut memperbaiki landasan pacu pesawat di Tarakan.
Beginilah asyiknya kalau perang sambil dagang. Pulang perang bisa bawa banyak oleh-oleh untuk keluarga; bahkan Danki Lettu Wiradi [1960] dapat bonus 1 jam tangan Seiko 17 jewels dari masyarakat Dayak; lumayan juga meskipun bekas. Sedang saya sendiri dapat kenang-kenangan berupa satu sumpit lengkap dengam mandau [semacam pedang] dan topi yang terbuat dari kulit kera uwak-uwak indah sekali.
End
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.