Kita tokohkan teman kita yang sangat membanggakan :
Letjen TNI (Purn) Sintong Hamonangan Panjaitan
Siapa yang tidak tahu dia, seorang Perwira TNI AD lulusan Akademi Militer Nasional (AMN) Magelang tahun 1963 dengan pangkat Letnan Dua Infantri yang sekarang berpangkat Letnan Jenderal TNI (Purn). Seorang pemuda kelahiran Tarutung Sumatera Utara 4 September 1940, putera ke tujuh dari sebelas bersaudara dengan nama lengkap Sintong Hamonangan Panjaitan yang dalam bahasa Batak Sintong berarti ’benar’ sedang Hamonangan berarti ’menang’, dari nama pemberian orang tua itu mengandung falsafah ‘Menang karena Benar’ ‘Yang Benar akan Menang’. Ayahnya, Simon Luther Panjaitan, seorang
Pejuang yang bergabung dengan gerilyawan melawan Belanda di Sumatera
Utara sebagai Kepala Kesehatan. Minat Sintong menjadi tentara muncul
ketika Sintong berusia tujuh tahun.
Pada waktu itu rumah Sintong di Sigongpulon, Tarutung, terkena bom dan desanya ditembaki oleh pesawat Tjotjor Merah (P-51 Mustang) Angkatan Udara Kerajaan Belanda, karena rumahnya
berdekatan dengan tangsi tentara RI. Ketika duduk di bangku kelas II
SMA Sintong banyak bergaul dengan anggota Yonif 322 Kodam VI/Siliwangi
yang sedang bertugas menumpas pemberontakan PRRI pimpinan Kolonel Simbolon di Tarutung, terutama dalam kegiatan olahraga. (Tujuh tahun kemudian beberapa anggota Yonif 322 yang pindah ke Yonif 321 ada yang menjadi anak buahnya dalam Operasi Kilat di Sulawesi Selatan).
Pada akhir tahun 1959 Sintong mengikuti tes masuk Akademi Angkatan Udara, diantara para pelamar dari Aceh, Sumatera Utara dan Sumatra Barat dinyatakan lulus 4 orang termasuk Sintong dengan syarat amandel yang dideritanya harus diambil untuk memenuhi persyaratan kesehatan. Setelah operasi amandel Sintong kembali ke Medan menunggu
Surat Panggilan dari AURI yang tidak kunjung datang (sebetulnya Surat
Panggilan itu sudah diterima oleh ibunya, tetapi disembunyikan karena
tidak setuju Sintong jadi Penerbang). Pada pertengahan tahun 1960 dia
mengikuti tes masuk Akademi Militer
Nasional (AMN), bersama 5 temannya dinyatakan lulus, selanjutnya
berangkat ke Magelang, Jawa Tengah. Pada waktu itu Taruna AMN angkatan
ke IV berjumlah 117 orang. Diantara teman seangkatan ialah Wismoyo Arismunandar, Kuntara, Kilian Sidabutar, Toga Tampubolon, Basofi Sudirman, Soekarno.
Sintong sangat gembira bercampur bangga bisa menjadi Taruna AMN, dia selalu ingat pesan ayahnya kepadanya: “Molo sai naeng tentara doho, jadi ma ho gabe tentara na mar pendidikan“ (“ Kalau Kamu mau jadi tentara, jadilah tentara terpelajar “).
Sintong
dan kawan-kawan digembleng di Kawah Tjandradimuka Akademi Militer dibawah
pimpinan Kolonel Soerono sebagai Gubernur Akademi Militer Nasional. Di
Lembah Tidar ini dia dididik disiplin yang keras untuk mengubah dirinya
dari kehidupan sipil masuk ke kehidupan militer. Sintong dimasukkan ke kecabangan tempur Infantri, kecabangan tempur lainnya di AMN adalah
Arteleri dan Kavaleri, sedangkan kecabangan Zeni, Perhubungan dan
Peralatan masih dilaksanakan di AMN Jurusan Teknik di Bandung
(sebelumnya disebut Akademi Teknik Angkatan Darat : ATEKAD).
Selama pengabdian dalan ABRI sejak lulus dari AMN tahun 1963 dengan pangkat Letnan Dua Infantri sampai Pensiun dengan pangkat terakhir Letnan Jendral TNI Purnawirawan, Sintong Panjaitan telah mencatat sebanyak 20 Perintah Operasi maupun Perintah Penugasan yang dianggap luar biasa. Berikut ini akan diuraikan secara singkat beberapa Perintah Penugasan yang kami anggap penting, antara lain :
Operasai Kilat
Setelah lulus AMN angkatan 63, Letnan Sintong Panjaitan mengikuti Sekolah Dasar Cabang Infantri Bandung. Setelah lulus pada tanggal 27 Juni 1964, dia ditempatkan sebagai perwira pertama Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) di Cijantung Jakarta. Perintah Operasi tempur pertamanya diawali pada bulan Agustus 1964 sampai bulan Februari 1965 ketika dia bertugas dalam Operasi Kilat di Sulawesi Selatan dan Tenggara untuk menumpas gerombolan DI / TII yang dipimpin oleh Abdul Kahar Muzakkar.
Pada waktu itu hanya 15 orang Perwira remaja alumni angkatan 63 yang ditunjuk bertugas melaksanakan Operasi Kilat. Perintah untuk penugasan dalam Operasi Kilat itu merupakan perintah operasi luar biasa yang pertama baginya. Sintong Panjaitan di B/P kan (bawah perintahkan) pada Yonif 321 / Galuh Taruna Bigif 13 / Galuh Kodam VI / Siliwangi yang sedang melaksanakan operasi di Palagan Sulawesi Selatan. Dia kemudian menjadi Komandan Peleton 1 Kompi Senapan A. Diantara 15 orng Perwira remaja yang ditunjuk melaksanakan Operasi Kilat tersebut, Sintong ditunjuk untuk memimpin operasi tempur pada posisi paling depan dan
paling berat dari Yonif 321. Di batalyon tersebut Sintong telah
menunjukkan kemampuannya sebagai seorang Komandan dalam memimpin
pertempuran, sehingga empat bulan kemudian dia mendapat tugas baru
sebagai Komandan Peleton 1 Kompi Suryo Batalyon 3 RPKAD di palagan Sulawesi Tenggara.
Hanya Sintong dan Abdulrachman diantara 15 remaja lulusan 63 yang sedang menimba pengalaman tempur di palagan Sulawesi Selatan yang dipilih memimpin Peleton RPKAD. Para Perwira remaja lainnya bertugas di Siliwangi.
Pada
pertengahan bulan Februari 1965 sebanyak 15 orang Perwira remaja,
termasuk Sintong megikuti pendidikan dasar komando di Pusat Pendidikan
Para Komando di Batujajar, Jawa Barat. Pendidikan Dasar Komando tersebut merupakan pendidikan Angkatan pertama bagi alumni AMN. Para perwira senior angkatan 60, 61, 62 dan 63 bersama-sama mengikuti pendidikan Angkatan pertama tersebut. Pada tanggal 1 Agustus 1965 mereka dilantik sebagai pasukan Komando dengan
atribut Komando Baret Merah di pantai Permisan ditepi Samodra Hindia,
selanjutnya kembali ke Batujajar untuk mengikuti Pendidikan Dasar Para.
(Latihan terjun bebas baru diikuti 2 tahun kemudian).
Pemberontakan G30/PKI
Pada tanggal 1 Oktober 1965 dini hari terjadi Pemberontakan G30S/PKI, Sintong yang sedianya dipersiapkan untuk penerjunan di Kuching ibu kota Serawak dalam rangka konfrontasi dengan Malaysia, terpaksa dibatalkan. Selanjutnya kompinya (Kompi Tanjung) dioperasikan dalam penumpasan Pemberontakan G30S/PKI.
Pada tanggal 1 Oktober 1965 petang Sintong memimpin Peleton 1 merebut Gedung RRI Pusat di Jl. Merdeka Barat, Jakarta Pusat dari tangan pemberontak. Selanjutnya Kepala Pusat Penerangan Angkatan Darat (Brigjen TNI Ibnu Subroto) melalui corong RRI Pusat langsung menyiarkan Amanat Mayjen TNI Soeharto selaku Pimpinan Sementara Angkatan Darat keseluruh Tanah Air. Kemudian Sintong ikut serta dalam gerakan tempur untuk menguasai Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma di Jakarta Timur. Selain itu Sintong memimpin anak buahnya ke Lubang Buaya dalam upaya untuk mencari dan menemukan 6 Perwira
Tinggi dan seorang Perwira Pertama Angkatan Darat yang diculik oleh
G30S/PKI. Tak jauh dari Pangkalan Udara Utama TNI-AU, Lubang Buaya, tempat dimasukkannya jenazah para Jenderal dan seorang Letnan TNI-AD kedalam sumur mati, yang diculik dan dibunuh oleh Pasukan Cakrabirawa yang mendukung Pemberontak G30S/PKI.
Usai melaksanakan perintah operasi di Jakarta, Sintong memimpin Peleton 1 Kompi Tanjung yang ditugaskan dalam Operasi Pemulhan Keamanan Ketertiban di
Jawa Tengah meliputi daerah Semarang, Demak Blora, Kudus, Cepu,
Salatiga, Boyolali dan Yogyakarta sampai kedaerah lereng Gunung Merapi.
Penugasan di Irian Barat
Setelah menerima kenaikkan pangkat menjadi Letnan Satu pada awal bulan Januari 1967, Sintong ditugaskan memimpin Tim Irian Barat RPKAD dalam Operasi Wibawa 1 untuk melancarkan operasi tempur didaerah Kepala Burung, Irian Barat. Untuk menumpas gerombolan Mayor
(Tit) Lodewijk Mandatjan yang masuk kedalam hutan bersama anak buahnya
sekitar 14.000 orang dengan persenjataan 1000 pucuk senjata api tua dan
senjata tradisional. Hal ini merupakan pertama kalinya seorang lulusan AMN angkatan 63 memimpin operasi tempur didaerah operasi. Pada bulan Maret 1968, dia kembali ke basis Yon 3 / RPKAD di kesatrian Slamet Riyadi, Kandang Menjangan, Kartosuro Jawa Tengah dan menjabat sebagai Komandan Kompi. Pada tahun 1969 Sintong kembali ke Manokwari Daerah Kepala Burung, Irian Barat untuk tugas memenangkan Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat). Usai tugas memenangkan Pepera di Kabupaten Manokwari, Sintong ditunjuk
sebagai Perwira Operasi Tim Expedisi Lembah X dibawah pimpinan Kapten
Faisal Tanjung, yang merupakan expedisi gabungan antara Stasiun NBC, New York dengan
Kodam XVII/Cendrawasih, untuk membuat dokumentasi anthropologi budaya
terhadap suku terasing yang masih hidup di zaman batu. Expedisi
ini merupakan Operasi Bhakti Kodam XVII/ Cendrawasih. Pada bulan
Januari 1970, Sintong kembali ke Grup 2/ Parako di Magelang. Tiga bulan
kemudian dia naik pangkat menjadi Kapten.
* Kita lanjutkan episode yang akan datang : Operasi Penumpasan G30S/PKI di Jakarta hingga Jawa Tengah.
** Cuplikan dari Buku "Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando" karya Hendro Subroto.
Dituliskan Oleh Antariksa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.