Liputan Poin ✅Tenggelamnya kapal selam KRI Nanggala-402 menyisakan kepahitan yang teramat mendalam bagi Indonesia. Insiden yang menyebabkan gugurnya 53 prajurit Hiu Kencana diharapkan tidak terjadi lagi di masa mendatang.
Salah satu hal yang menjadi sorotan dari adanya insi-den tersebut adalah mengenai pengadaan alat utama sistem pertahanan (alutsista) di tubuh TNI. Apalagi setelah salah seorang Analis Pertahanan Connie Rahakundini Bakrie mengeluarkan statement mengenai keberadaan mafia alutsista TNI berinisial M yang menambah persoalan sistem pertahanan Indonesia.
Menurut Connie, mencari dan mengikuti jejak mafia bukan hal yang sulit asalkan ada kemauan dan keseriusan. Salah satunya dilakukan oleh Komisi Pemeberantasan Korupsi (KPK).
Dirinya juga berpendapat bahwa memang ada aturan jika KPK tidak boleh masuk ke dalam Kementerian Pertahanan juga TNI terkait dengan kerahasiaan negara. Namun, untuk mencari mafia tinggal ikuti saja mereka-mereka yang bermain di dalam dunia pertahanan.
Adanya permainan alutsista ini sebenarnya pernah diungkap mantan KSAD Alm. Jenderal (Purn) Pramono Edhie Wibowo. Dalam buku berjudul "Pramono Edhie Wibowo dan Cetak Biru Indonesia ke Depan", ipar SBY ini menceritakan soal sengkarut pengadaan alutsista TNI.
Dimana saat itu TNI AD akan membeli alat bidik (teropong) untuk senapan serbu SS-2 dari luar negeri karena PT. Pindad belum memproduksinya. Pihak penjual waktu itu menawarkan harga Rp 30 juta per unitnya.
Karena merasa harga tersebut tak wajar, Pramono Edhie kemudian memerintahkan anak buahnya untuk menanyakan langsung ke pabriknya di Amerika Serikat. Nyatanya harga dari pabrik hanya Rp 9 juta. Bayangkan, selisih 21 juta tiap unitnya.
Dirinya sempat ingin membeli langsung teropong dari pabriknya. Namun ditolak pihak pabrik. Sebab mereka sudah ada kesepakatan dengan broker di Singapura. Si Broker ini lantas membujuk Pramono Edhie untuk membeli teropong itu seharga Rp 24 juta per unit.
Bila Pramono Edhie setuju, ia akan mendapat bagian Rp 4 juta per unitnya. Saat itu TNI AD membutuhkan 50 ribu teropong untuk 100 batalyon. Jika dihitung, komisi untuk Pramono Edhie sebesar Rp 20 miliar. Namun ia menolak dan membatalkan pembelian teropong dari broker. Baginya, pembelian alutsista di TNI harus dilakukan secara transparan.
Di sisi lain, Analis Militer Connie selalu menekankan pentingnya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk mengaudit sistem MRO (Maintainance, Repair and Overhaul) pada Naggala 402. Baginya, insiden Nanggala adalah bencana besar, yang harus diketahui penyebabnya.
Connie juga menyinggung anehnya jumlah alutsista di RI. Menurut dia, angkanya masih terlalu sedikit dari kenaikan angka anggaran pertahanan di Indonesia. Yang mana jika mengacu pada jumlah anggaran, sebenarnya sudah naik 400 persen sejak 2009 sampai 2020. Untuk itu, audit dari BPK amat diperlukan.
Menurut hasil analisanya, ada sebuah segitiga permasalahan yang walaupun anggaran pertahanan naik, Indonesia akan tetap jalan ditempat. Diantaranya, yang pertama Industri Pertahanan yang semu.
Yang kedua yakni mafia senjata. Apapun namanya, ia menyebutnya sebagai mafia senjata.
Dan yang terakhir ialah yang paling berbahaya, yaitu pencuri data spesifikasi. Akibat data yang dicuri, anggaran pertahanan dapat digeser dan dimainkan.
Bahkan, karena sikapnya tersebut Connie kerap dituduh memiliki kepentingan bagi dirinya sendiri. Namun dirinya membantah akan tuduhan tersebut.
Selain itu wanita dengan karakter suaranya yang tegas ini juga terlihat kerap emosi ketika berbicara mengenai KRI Nanggala 402. Bukan tanpa sebab, Komandan Kapal Selam tersebut adalah murid dari Connie sendiri.
Berbicara mengenai Komandan Kapal, Komandan KRI Nanggala-402 Letkol Heri Oktavian yang gugur, semasa hidupnya pernah resah dengan sistem pengadaan alutsista di tubuh TNI. Keresahan ini ia sampaikan ke wartawati Kompas Edna Pattisina. Lewat tulisannya berjudul “Pesan dari Komandan KRI Nanggala-402”
Terkait dengan hal tersebut, Connie mengungkapkan bahwa industri pertahanan Indonesia membutuhkan roadmap atau peta jalan yang jelas.
Tragedi Tenggelamnya kapal selam KRI Nanggala-402 meninggalkan duka mendalam bagi bangsa Indonesia. Terlepas dari apapun sebabnya, bagaimanapun, apa yang dialami oleh KRI Nanggala-402 sudah seharusnya menjadi isu strategis bagi Indonesia, yang sepatutnya ditanggapi secara strategis pula.
Salah satu hal yang menjadi sorotan dari adanya insi-den tersebut adalah mengenai pengadaan alat utama sistem pertahanan (alutsista) di tubuh TNI. Apalagi setelah salah seorang Analis Pertahanan Connie Rahakundini Bakrie mengeluarkan statement mengenai keberadaan mafia alutsista TNI berinisial M yang menambah persoalan sistem pertahanan Indonesia.
Menurut Connie, mencari dan mengikuti jejak mafia bukan hal yang sulit asalkan ada kemauan dan keseriusan. Salah satunya dilakukan oleh Komisi Pemeberantasan Korupsi (KPK).
Dirinya juga berpendapat bahwa memang ada aturan jika KPK tidak boleh masuk ke dalam Kementerian Pertahanan juga TNI terkait dengan kerahasiaan negara. Namun, untuk mencari mafia tinggal ikuti saja mereka-mereka yang bermain di dalam dunia pertahanan.
Adanya permainan alutsista ini sebenarnya pernah diungkap mantan KSAD Alm. Jenderal (Purn) Pramono Edhie Wibowo. Dalam buku berjudul "Pramono Edhie Wibowo dan Cetak Biru Indonesia ke Depan", ipar SBY ini menceritakan soal sengkarut pengadaan alutsista TNI.
Dimana saat itu TNI AD akan membeli alat bidik (teropong) untuk senapan serbu SS-2 dari luar negeri karena PT. Pindad belum memproduksinya. Pihak penjual waktu itu menawarkan harga Rp 30 juta per unitnya.
Karena merasa harga tersebut tak wajar, Pramono Edhie kemudian memerintahkan anak buahnya untuk menanyakan langsung ke pabriknya di Amerika Serikat. Nyatanya harga dari pabrik hanya Rp 9 juta. Bayangkan, selisih 21 juta tiap unitnya.
Dirinya sempat ingin membeli langsung teropong dari pabriknya. Namun ditolak pihak pabrik. Sebab mereka sudah ada kesepakatan dengan broker di Singapura. Si Broker ini lantas membujuk Pramono Edhie untuk membeli teropong itu seharga Rp 24 juta per unit.
Bila Pramono Edhie setuju, ia akan mendapat bagian Rp 4 juta per unitnya. Saat itu TNI AD membutuhkan 50 ribu teropong untuk 100 batalyon. Jika dihitung, komisi untuk Pramono Edhie sebesar Rp 20 miliar. Namun ia menolak dan membatalkan pembelian teropong dari broker. Baginya, pembelian alutsista di TNI harus dilakukan secara transparan.
Di sisi lain, Analis Militer Connie selalu menekankan pentingnya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk mengaudit sistem MRO (Maintainance, Repair and Overhaul) pada Naggala 402. Baginya, insiden Nanggala adalah bencana besar, yang harus diketahui penyebabnya.
Connie juga menyinggung anehnya jumlah alutsista di RI. Menurut dia, angkanya masih terlalu sedikit dari kenaikan angka anggaran pertahanan di Indonesia. Yang mana jika mengacu pada jumlah anggaran, sebenarnya sudah naik 400 persen sejak 2009 sampai 2020. Untuk itu, audit dari BPK amat diperlukan.
Menurut hasil analisanya, ada sebuah segitiga permasalahan yang walaupun anggaran pertahanan naik, Indonesia akan tetap jalan ditempat. Diantaranya, yang pertama Industri Pertahanan yang semu.
Yang kedua yakni mafia senjata. Apapun namanya, ia menyebutnya sebagai mafia senjata.
Dan yang terakhir ialah yang paling berbahaya, yaitu pencuri data spesifikasi. Akibat data yang dicuri, anggaran pertahanan dapat digeser dan dimainkan.
Bahkan, karena sikapnya tersebut Connie kerap dituduh memiliki kepentingan bagi dirinya sendiri. Namun dirinya membantah akan tuduhan tersebut.
Selain itu wanita dengan karakter suaranya yang tegas ini juga terlihat kerap emosi ketika berbicara mengenai KRI Nanggala 402. Bukan tanpa sebab, Komandan Kapal Selam tersebut adalah murid dari Connie sendiri.
Berbicara mengenai Komandan Kapal, Komandan KRI Nanggala-402 Letkol Heri Oktavian yang gugur, semasa hidupnya pernah resah dengan sistem pengadaan alutsista di tubuh TNI. Keresahan ini ia sampaikan ke wartawati Kompas Edna Pattisina. Lewat tulisannya berjudul “Pesan dari Komandan KRI Nanggala-402”
Terkait dengan hal tersebut, Connie mengungkapkan bahwa industri pertahanan Indonesia membutuhkan roadmap atau peta jalan yang jelas.
Tragedi Tenggelamnya kapal selam KRI Nanggala-402 meninggalkan duka mendalam bagi bangsa Indonesia. Terlepas dari apapun sebabnya, bagaimanapun, apa yang dialami oleh KRI Nanggala-402 sudah seharusnya menjadi isu strategis bagi Indonesia, yang sepatutnya ditanggapi secara strategis pula.
🎥 Youtube
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.