★ Kami pun bertukar gosip. Heri sangat khawatir dengan rencana pembelian kapal selam bekas. Ia menceritakan betapa TNI AL, khususnya korps Hiu Kencana, membutuhkan kapal selam mumpuni, yang mampu bertempur. Eternal Patrol - KRI Nanggala 402 [@submarine.id] ⚓️ ☆
Insiden yang menimpa KRI Nanggala-402 mengingatkan saya pada sosok Letkol Laut (P) Heri Oktavian yang menjadi komandan kapal selam itu sejak 3 April 2020. Saya pertama kali bertemu Heri Oktavian sekitar Desember 2011 ketika ditugaskan menulis tentang Satuan Kapal Selam di Surabaya.
Heri yang waktu itu masih kapten bertugas menjadi humas yang kemudian menjawab pertanyaan-pertanyaan saya. Ia juga bertugas menghubungkan saya dengan orang-orang di Satuan Kapal Selam yang bisa menjawab pertanyaan saya lebih lanjut.
Waktu itu, KRI Nanggala-402 sedang berada di Korea Selatan untuk perbaikan sehingga hanya ada KRI Cakra-401 di kolam di tengah Armada Timur (sebelum berubah menjadi Armada II) Surabaya.
Heri membawa saya berkeliling di dalam KRI Cakra dan menjelaskan ruangan-ruangan dan berbagai peralatan yang ada, seperti submarine integrated battle and data system, target motion analysis data (TMAD), weapon control display (WCD), dan electronic data display.
Ilustrasi kapal selam Cakra class. [TNI AL]
Selain menulis tentang kapal selam, saya juga menulis tentang Korps Hiu Kencana yang merupakan korps satuan kapal selam. Tidak sembarang prajurit TNI AL bisa menjadi ”hiu”, julukan untuk anggota korps. Yang utama, soal mental.
Mereka harus berada di kapal selam berhari-hari, yang berarti berada dalam ruang tertutup berukuran kecil. Sementara tugas harus berhasil diiringi risiko tinggi yang menyertainya. Anggota Hiu Kencana termasuk pasukan khusus. Setelah dua tahun berdinas di TNI AL, barulah seorang prajurit bisa mengajukan diri untuk ikut tes masuk korps tersebut.
Tak banyak orang yang sanggup hidup di dalam air. Selain harus tahan dengan kejenuhan dan ruang tertutup, kru kapal selam harus tenang menghadapi tekanan. Hubungan sosial juga penting karena dalam waktu lama harus berinteraksi dengan orang yang sama di ruang sempit.
”Sempat ada dokter yang ditugaskan mengamati tingkat stres kru kapal selam. Enggak sampai seminggu, dia yang stres, teriak-teriak sendiri. Padahal kita santai-santai saja,” kata Kapten Rombe, yang juga anak buah kapal selam KRI Cakra-401, waktu itu.
KRI Nanggala 402 [antara]
Saya mengingat Heri sebagai sosok yang cerdas dan apa adanya dalam berbicara. Beberapa kali kami sempat bersitegang. Belakangan saya sadar, inilah yang membuat kami akhirnya jadi akrab.
Susah payah ia menjelaskan kepada saya mekanisme kapal selam dalam menyelam dan timbul kembali. Di tengah-tengah penjelasan, dia menatap saya dan berkata, ”Enggak ngerti ya, lo?” Saya yang sedikit tersinggung serta-merta menjawab, ”Ngertilah, ini kan mekanika fluida sederhana.”
Beberapa hari setelahnya, hasil liputan dimuat di koran Kompas sebagai bagian dari tulisan berseri. Pagi-pagi datang pesan singkat dari Heri. ”Tulisan lo acak adut”. Seketika saya kesal. Langsung saya telepon Heri. Kami pun berdebat.
Rupanya dia kesal karena saya salah menuliskan urutan menjadi KRI 401 Cakra. Padahal, seharusnya KRI Cakra-401. Ia juga merasa tulisan saya tidak sesuai dengan cerita yang ia sampaikan, yang kemudian saya bantah bahwa itu baru bagian pertama dari tulisan berseri. Akhirnya kami pun menemukan titik damai.
KRI Nanggala-402 [TNI AL]
Lama tidak berkomunikasi, tiba-tiba saya melihat akun media sosialnya pada pertengahan 2014 yang memperlihatkan dia kuliah di Rajaratnam School of International Studies, Singapura. Iseng-iseng saya mengontaknya. Heri pun antusias bercerita tentang kuliahnya lalu mendorong, tepatnya mengompori saya, untuk kuliah lagi.
Berkali-kali kami berkomunikasi dan ia selalu menjawab keraguan saya sambil memberikan tips dan trik agar diterima di tempat yang sama. Singkat cerita, tahun depannya, saya berhasil masuk sekolah itu untuk program studi yang sama, yaitu Studi Strategi.
Di sini terjadi pertemuan kami yang kedua. Saat Heri akan wisuda, saya sudah mulai kuliah di Singapura. Dia lalu mengontak saya, wanti-wanti agar saya datang. ”Gue butuh tukang foto dan orang untuk nemenin ortu, pas gue sibuk ini itu,” katanya.
”Tapi mata gue lagi bintitan. Enggak apa-apa ya,” kata saya.
Dia pun mengiyakan. Saya tiba seusai prosesi wisuda Heri untuk menjalankan tugas. Terakhir, dia meminta foto berdua. ”Biar lo semangat kuliah, bisa lulus kayak gue,” katanya. Sejenak saya terharu.
Awak kapal KRI Nanggala 402. Foto diambil di di Dermaga Kapal Selam Komando Armada II, Surabaya, Jawa Timur, Rabu (20/4/2019) [Antara Foto]
Tahun depannya, saya lulus. Tak lama, ganti Heri kembali sekolah. Kali ini ke Jerman untuk pendidikan sesko-nya (sekolah staf dan komando). Sedikit iri, saya berkomentar lewat media sosialnya. ”Enak banget jadi TNI, sekolah melulu. Enggak pinter-pinter juga lo,” kata saya. Dia pun tertawa.
Kerap berkomentar di media sosial, saya tahu Heri yang superkangen dengan makanan Surabaya akhirnya pulang tahun 2019. Sempat vakum berkomunikasi, mulai tahun 2020 kami kembali berkirim pesan, terutama terkait rencana pemerintah membeli kapal selam baru.
Kami pun bertukar gosip. Heri sangat khawatir dengan rencana pembelian kapal selam bekas. Ia menceritakan betapa TNI AL, khususnya korps Hiu Kencana, membutuhkan kapal selam yang mumpuni. Artinya, memiliki kemampuan bertempur.
Ia sempat menyinggung kapal selam buatan PT PAL yang tidak memuaskan serta overhaul Nanggala yang terus tertunda tahun 2020 padahal kapal selam itu harus terus disiapkan.
[@gumpnhell]
Untuk itu ia berharap para pembuat keputusan benar-benar memikirkan TNI dan prajuritnya bukan hanya ”asal bapak senang” demi pangkat dan kursi yang enak atau keuntungan material. Sempat terungkap cerita dari Heri tentang korban-korban yang jatuh akibat alat utama sistem senjata yang buruk.
Sempat juga ia berkisah tentang perwira yang justru dipersulit atasannya karena melaporkan buruknya kapal selam buatan PT PAL. ”Sama media, gue berharap. Beritakan yang sebenarnya,” katanya.
Untuk itu ia berharap para pembuat keputusan benar-benar memikirkan TNI dan prajuritnya, bukan hanya ”asal bapak senang” demi pangkat dan kursi yang enak atau keuntungan material.
Belakangan ia cukup lega karena isu pembelian kapal selam bekas yang sangat tua ternyata tak berlanjut. Ternyata, masih banyak orang di Kementerian Pertahanan dan TNI AL yang berkomitmen untuk TNI AL dan Korps Hiu Kencana yang lebih baik. ”Mereka berani mengatakan yang sebenarnya,” katanya saat itu.
Saya tidak menyadari ia telah menjadi komandan kapal KRI Nanggala-402 hingga pada awal tahun 2021 Heri meminta alamat dan mengirimkan hoodie, kaus, dan topi berlogo Nanggala-402. Kesadaran baru menerpa seperti kilat saat saya mendengar info pada Rabu (21/4/2021) siang bahwa KRI Nanggala-402 tenggelam.
Selamat berpatroli abadi, Her….
Insiden yang menimpa KRI Nanggala-402 mengingatkan saya pada sosok Letkol Laut (P) Heri Oktavian yang menjadi komandan kapal selam itu sejak 3 April 2020. Saya pertama kali bertemu Heri Oktavian sekitar Desember 2011 ketika ditugaskan menulis tentang Satuan Kapal Selam di Surabaya.
Heri yang waktu itu masih kapten bertugas menjadi humas yang kemudian menjawab pertanyaan-pertanyaan saya. Ia juga bertugas menghubungkan saya dengan orang-orang di Satuan Kapal Selam yang bisa menjawab pertanyaan saya lebih lanjut.
Waktu itu, KRI Nanggala-402 sedang berada di Korea Selatan untuk perbaikan sehingga hanya ada KRI Cakra-401 di kolam di tengah Armada Timur (sebelum berubah menjadi Armada II) Surabaya.
Heri membawa saya berkeliling di dalam KRI Cakra dan menjelaskan ruangan-ruangan dan berbagai peralatan yang ada, seperti submarine integrated battle and data system, target motion analysis data (TMAD), weapon control display (WCD), dan electronic data display.
Ilustrasi kapal selam Cakra class. [TNI AL]
Selain menulis tentang kapal selam, saya juga menulis tentang Korps Hiu Kencana yang merupakan korps satuan kapal selam. Tidak sembarang prajurit TNI AL bisa menjadi ”hiu”, julukan untuk anggota korps. Yang utama, soal mental.
Mereka harus berada di kapal selam berhari-hari, yang berarti berada dalam ruang tertutup berukuran kecil. Sementara tugas harus berhasil diiringi risiko tinggi yang menyertainya. Anggota Hiu Kencana termasuk pasukan khusus. Setelah dua tahun berdinas di TNI AL, barulah seorang prajurit bisa mengajukan diri untuk ikut tes masuk korps tersebut.
Tak banyak orang yang sanggup hidup di dalam air. Selain harus tahan dengan kejenuhan dan ruang tertutup, kru kapal selam harus tenang menghadapi tekanan. Hubungan sosial juga penting karena dalam waktu lama harus berinteraksi dengan orang yang sama di ruang sempit.
”Sempat ada dokter yang ditugaskan mengamati tingkat stres kru kapal selam. Enggak sampai seminggu, dia yang stres, teriak-teriak sendiri. Padahal kita santai-santai saja,” kata Kapten Rombe, yang juga anak buah kapal selam KRI Cakra-401, waktu itu.
KRI Nanggala 402 [antara]
Saya mengingat Heri sebagai sosok yang cerdas dan apa adanya dalam berbicara. Beberapa kali kami sempat bersitegang. Belakangan saya sadar, inilah yang membuat kami akhirnya jadi akrab.
Susah payah ia menjelaskan kepada saya mekanisme kapal selam dalam menyelam dan timbul kembali. Di tengah-tengah penjelasan, dia menatap saya dan berkata, ”Enggak ngerti ya, lo?” Saya yang sedikit tersinggung serta-merta menjawab, ”Ngertilah, ini kan mekanika fluida sederhana.”
Beberapa hari setelahnya, hasil liputan dimuat di koran Kompas sebagai bagian dari tulisan berseri. Pagi-pagi datang pesan singkat dari Heri. ”Tulisan lo acak adut”. Seketika saya kesal. Langsung saya telepon Heri. Kami pun berdebat.
Rupanya dia kesal karena saya salah menuliskan urutan menjadi KRI 401 Cakra. Padahal, seharusnya KRI Cakra-401. Ia juga merasa tulisan saya tidak sesuai dengan cerita yang ia sampaikan, yang kemudian saya bantah bahwa itu baru bagian pertama dari tulisan berseri. Akhirnya kami pun menemukan titik damai.
KRI Nanggala-402 [TNI AL]
Lama tidak berkomunikasi, tiba-tiba saya melihat akun media sosialnya pada pertengahan 2014 yang memperlihatkan dia kuliah di Rajaratnam School of International Studies, Singapura. Iseng-iseng saya mengontaknya. Heri pun antusias bercerita tentang kuliahnya lalu mendorong, tepatnya mengompori saya, untuk kuliah lagi.
Berkali-kali kami berkomunikasi dan ia selalu menjawab keraguan saya sambil memberikan tips dan trik agar diterima di tempat yang sama. Singkat cerita, tahun depannya, saya berhasil masuk sekolah itu untuk program studi yang sama, yaitu Studi Strategi.
Di sini terjadi pertemuan kami yang kedua. Saat Heri akan wisuda, saya sudah mulai kuliah di Singapura. Dia lalu mengontak saya, wanti-wanti agar saya datang. ”Gue butuh tukang foto dan orang untuk nemenin ortu, pas gue sibuk ini itu,” katanya.
”Tapi mata gue lagi bintitan. Enggak apa-apa ya,” kata saya.
Dia pun mengiyakan. Saya tiba seusai prosesi wisuda Heri untuk menjalankan tugas. Terakhir, dia meminta foto berdua. ”Biar lo semangat kuliah, bisa lulus kayak gue,” katanya. Sejenak saya terharu.
Awak kapal KRI Nanggala 402. Foto diambil di di Dermaga Kapal Selam Komando Armada II, Surabaya, Jawa Timur, Rabu (20/4/2019) [Antara Foto]
Tahun depannya, saya lulus. Tak lama, ganti Heri kembali sekolah. Kali ini ke Jerman untuk pendidikan sesko-nya (sekolah staf dan komando). Sedikit iri, saya berkomentar lewat media sosialnya. ”Enak banget jadi TNI, sekolah melulu. Enggak pinter-pinter juga lo,” kata saya. Dia pun tertawa.
Kerap berkomentar di media sosial, saya tahu Heri yang superkangen dengan makanan Surabaya akhirnya pulang tahun 2019. Sempat vakum berkomunikasi, mulai tahun 2020 kami kembali berkirim pesan, terutama terkait rencana pemerintah membeli kapal selam baru.
Kami pun bertukar gosip. Heri sangat khawatir dengan rencana pembelian kapal selam bekas. Ia menceritakan betapa TNI AL, khususnya korps Hiu Kencana, membutuhkan kapal selam yang mumpuni. Artinya, memiliki kemampuan bertempur.
Ia sempat menyinggung kapal selam buatan PT PAL yang tidak memuaskan serta overhaul Nanggala yang terus tertunda tahun 2020 padahal kapal selam itu harus terus disiapkan.
[@gumpnhell]
Untuk itu ia berharap para pembuat keputusan benar-benar memikirkan TNI dan prajuritnya bukan hanya ”asal bapak senang” demi pangkat dan kursi yang enak atau keuntungan material. Sempat terungkap cerita dari Heri tentang korban-korban yang jatuh akibat alat utama sistem senjata yang buruk.
Sempat juga ia berkisah tentang perwira yang justru dipersulit atasannya karena melaporkan buruknya kapal selam buatan PT PAL. ”Sama media, gue berharap. Beritakan yang sebenarnya,” katanya.
Untuk itu ia berharap para pembuat keputusan benar-benar memikirkan TNI dan prajuritnya, bukan hanya ”asal bapak senang” demi pangkat dan kursi yang enak atau keuntungan material.
Belakangan ia cukup lega karena isu pembelian kapal selam bekas yang sangat tua ternyata tak berlanjut. Ternyata, masih banyak orang di Kementerian Pertahanan dan TNI AL yang berkomitmen untuk TNI AL dan Korps Hiu Kencana yang lebih baik. ”Mereka berani mengatakan yang sebenarnya,” katanya saat itu.
Saya tidak menyadari ia telah menjadi komandan kapal KRI Nanggala-402 hingga pada awal tahun 2021 Heri meminta alamat dan mengirimkan hoodie, kaus, dan topi berlogo Nanggala-402. Kesadaran baru menerpa seperti kilat saat saya mendengar info pada Rabu (21/4/2021) siang bahwa KRI Nanggala-402 tenggelam.
Selamat berpatroli abadi, Her….
★ Kompas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.