Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggulirkan wacana kontroversial dengan merekrut prajurit TNI untuk mengisi jabatan-jabatan lowong di lembaga antirasuah itu. Wacana itu disampaikan dalam acara silaturahmi Pelaksana Tugas Pimpinan KPK dengan Panglima TNI Jenderal Moeldoko beberapa waktu lalu.
Pelaksana Tugas Ketua KPK, Taufiequrrachman Ruki, mengatakan rencana merekrut prajurit TNI sebagai pejabat di KPK masih sebatas wacana. Menurut dia, tidak menutup kemungkinan anggota TNI bergabung bersama KPK, dan menduduki jabatan struktural yang lowong.
Ruki menyatakan prajurit TNI bisa mengisi jabatan-jabatan penting di KPK yang lowong, seperti Direktur Penyidikan, Direktur Pengawasan Internal, Biro Hukum, dan Biro Humas. Adapun untuk posisi Sekretaris Jenderal KPK masih dijabat Himawan Adinegoro.
"Kalau cocok kompetensinya, saya pikir tidak ada salahnya kalau diisi oleh pati (perwira tinggi) TNI supaya ada TNI yang bergabung dengan KPK, tentu lewat seleksi yang sama dengan yang lain," kata Ruki, Jumat 8 Mei 2015.
Namun sesuai aturan, anggota TNI yang bergabung dengan KPK harus beralih status menjadi pegawai negeri sipil. "Karena TNI tidak bisa bertugas di luar sepuluh instansi yang diizinkan Undang-Undang TNI," ujar Ruki.
Sepuluh instansi sipil yang bisa diisi personel TNI aktif sebagaimana diatur dalam Pasal 47 Ayat (2) Undang-Undang TNI Nomor 34/2004, adalah instansi yang membidangi koordinator bidang politik dan keamanan (Polhukam), pertahanan negara (Kemenhan), sekretaris militer termasuk ajudan, intelijen negara seperti BIN dan BNPT, lembaga sandi negara, Lemhannas, Wantanas, SAR Nasional, BNN dan MA.
Panglima TNI Jenderal Moeldoko mengakui adanya permintaan langsung dari pimpinan KPK agar prajurit TNI bisa mengisi jabatan-jabatan strategis di KPK. Moeldoko sepakat dengan permintaan pimpinan KPK, dan TNI tidak merasa keberatan personilnya bertugas di KPK.
"Sudah sepakat dengan ketua KPK, bahwa ada keinginan mereka untuk jabatan Sekjen KPK diisi personel TNI berpangkat jenderal bintang dua, dan Kepala Pengawasan KPK dijabat jenderal bintang satu," kata Jenderal Moeldoko kepada wartawan saat meninjau KRI Suharso di Pelabuhan Jayapura, Jumat 8 Mei 2015.
Namun Moeldoko menegaskan jika anggota TNI telah bergabung dengan KPK, maka sesuai aturan harus menanggalkan keanggotaan TNI-nya, atau pensiun dini, atau dialihkan statusnya sebagai pegawai negeri sipil. Sebab, KPK tidak termasuk lembaga yang diperbolehkan UU TNI, untuk diisi personel TNI aktif.
"Itu nanti personel yang sudah masuk KPK melalui tes uji kelayakan dan kepatutan, langsung jadi PNS," ujar Moeldoko.
Mantan Kepala Staf TNI Angkatan Darat itu menampik anggapan yang menyebut penempatan prajurit TNI di KPK untuk menyaingi anggota Polri yang lebih dulu bertugas di KPK, sebagai penyidik maupun pejabat di KPK. Moeldoko tak merasa wacana ini ingin membenturkan TNI dengan institusi lain yang ada di KPK.
"Nggak, TNI tidak merasa akan dibenturkan dengan institusi lain, jika personelnya direkrut menjadi pegawai KPK," tegas dia.
Bukan Penyidik
Jenderal Moeldoko memastikan tidak ada permintaan dari pimpinan KPK untuk merekrut penyidik dari internal TNI. Meskipun TNI juga memiliki organ yang membidangi permasalahan hukum, seperti halnya Polisi Militer, Oditurat Jenderal TNI, Badan Pembinaan Hukum TNI, serta Mahkamah Militer.
"Tidak ada permintaan dari KPK agar anggota saya menjadi penyidik dalam KPK, namun yang saya tahu hanya untuk mengisi jabatan sekjen," kata Moeldoko.
Hal senada diungkapkan Pelaksana Tugas Wakil Ketua KPK, Johan Budi. Menurutnya, untuk merekrut anggota TNI memang diperlukan penyesuaian aturan. KPK sudah berdiskusi dengan Panglima TNI, Jenderal Moeldoko, untuk membahas wacana itu. Namun perekrutan anggota TNI bukan untuk mengisi posisi sebagai penyidik.
"Bukan penyidik, tapi posisi posisi pendukung. Kabag (kepala bagian) pengamanan, misalnya, tapi masih dilihat dari sisi aturan dan undang-undangnya," ujar Johan.
Kepala Pusat Penerangan TNI Mayor Jenderal Fuad Basya menyambut baik rencana KPK merekrut prajurit TNI untuk mengisi jabatan-jabatan struktural. TNI kata dia, siap menyerahkan anggotanya yang memiliki kapasitas dan kualifikasi yang baik untuk ditugaskan di KPK. Namun kata dia, penempatan anggota TNI di KPK masih sebatas wacana, dan belum ada permintaan resmi.
"Pada prinsipnya kalau sesuai kapasitas dan kredibilitasnya, panglima TNI tidak keberatan. Tapi harus sesuai Undang-Undang yang berlaku," kata Fuad saat dihubungi VIVA.co.id.
Menurut dia, untuk menempatkan personil di KPK, masih akan dibahas regulasinya oleh jajaran TNI dan KPK. Karena dalam UU KPK, tidak ada komponen TNI di dalamnya. Oleh sebab itu, jika ada personil TNI di KPK, maka harus merevisi UU KPK, atau dengan pengecualian, anggota TNI tersebut bersedia pensiun dini atau alih status menjadi pegawai negeri sipil.
Di samping itu, Fuad menerangkan, TNI sesuai tugas pokok dan fungsinya dalam UU, yakni dalam operasi militer selain perang, TNI bertugas membantu pemerintah baik pusat maupun daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan, termasuk membantu Polri dalam pengamanan bila diperlukan.
"Semuanya kalau butuh bantuan, TNI siap untuk bangsa dan negara. Jangankan itu (bertugas di KPK), operasi bibir sumbing kita lakukan," beber dia.
Jenderal bintang dua itu menambahkan, hubungan KPK dan TNI sejauh ini sangat baik. Sehingga sinergi antar kedua lembaga sangat memungkinkan. KPK lanjut dia, sering memberikan pembekalan dan arahan kepada prajurit TNI terkait dengan mewujudkan pemerintahan yang bersih dan anti korupsi.
Bahkan KPK dan TNI telah menandatangani MoU dalam menerapkan zona bebas korupsi di semua jajaran TNI. "Semua jajaran TNI bebas korupsi, makanya KPK memberikan pengarahan kepada kami, itu langsung ketua KPK-nya kok yang memberikan itu, Pak Abraham. Kerjasama kita baik," paparnya.
Pensiun Dini
Terlepas dari wacana itu, sebenarnya, keberadaan prajurit TNI di KPK bukan hal baru. Beberapa pegawai KPK ternyata memiliki latar belakang militer sebelum berstatus sebagai pegawai KPK. Lembaga antikorupsi itu tercatat memiliki pegawai yang merupakan purnawirawan TNI.
"Ada beberapa pegawai di bagian pengawalan tahanan itu pensiunan TNI, Kepala Bagian Pengamanan juga dari unsur TNI yang sedang dalam proses mengundurkan diri," kata Kepala Bagian Pemberitaan dan Informasi KPK, Priharsa Nugraha, di kantornya.
Priharsa mengakui hingga saat ini memang belum ada aturan yang memperbolehkan anggota TNI aktif menjadi pegawai KPK. Dia menyebut, harus ada perubahan di dalam aturannya agar bisa merekrut anggota TNI aktif.
"Kalaupun akan merealisasikan itu harus ada landasan hukum dulu, kami tidak mau nabrak aturan. KPK dan TNI kan sama-sama abdi negara jadi tidak ada salahnya sesama abdi negara saling bantu pemberantasan korupsi, asalkan tidak menabrak aturan," ujar Priharsa.
Priharsa membenarkan bahwa pihaknya memang membutuhkan banyak sumber daya manusia. Hal tersebut juga telah disampaikan Pimpinan KPK kepada Panglima TNI dalam sebuah courtessy call.
"Kemarin itu Pimpinan KPK courtesy call dengan Panglima TNI dan ada pembahasan sekilas itu karena KPK kurang SDM saat ini kurang dari 1000 orang dengan beban kerja lingkupnya Sabang sampai Merauke dengan pencegahan, penindakan supervisi, koordinasi, itu kurang," terang dia.
Dikonfirmasi terpisah, Kepala Bagian Keamanan KPK, Kolonel (Purn) Abdul Jalil Marzuki mengatakan seorang anggota TNI bisa saja menjadi pegawai KPK. Namun anggota TNI tersebut harus pensiun terlebih dahulu.
Menurut dia, ketika anggota TNI pensiun, maka dia mempunyai hak-hak sipil yang tidak melarang untuk menjadi pegawai KPK.
"Boleh-boleh saja TNI masuk ke KPK, tapi yang bersangkutan harus pensiun terlebih dulu, ketika pensiun mereka punya hak sipil," kata dia.
Abdul Jalil tercatat masuk menjadi pegawai KPK sejak 1 Juli 2014 melalui seleksi "Indonesia Memanggil". Begitu diterima menjadi pegawai KPK, dia langsung mengajukan pensiun dini dari dinas kemiliteran.
Pria 49 tahun ini merupakan lulusan Akademi Angkatan Udara (AAU) tahun 1988. Pangkat terakhirnya di militer adalah Kolonel dari kesatuan Polisi Militer (POM) TNI AU. Jabatan terakhirnya di militer adalah sebagai Direktur Penegakan Ketertiban (Dirgaktib) Polisi Militer TNI Angkatan Udara.
Selain Jalil, masih ada 16 pegawai KPK yang merupakan pensiunan prajurit TNI. Mereka pernah bertugas di berbagai bidang selama di TNI. Namun kebanyakan dari mereka berlatar belakang dari kesatuan Polisi Militer.
Mirip Orde Baru
Wacana merekrut prajurit TNI sebagai pegawai struktural KPK mendapat pertentangan dari Dewan Perwakilan Rakyat. Anggota Komisi III, DPR RI, Nasir Djamil menolak TNI menjadi bagian dalam struktur KPK. Menurutnya latar belakang pimpinan dan penyidik KPK saat ini sudah cukup.
"Menurut saya wacana menjadikan TNI sebagai penyidik di KPK sebaiknya ditiadakan, kecuali penyidik sudah tidak ada lagi. Disamping itu agenda reformasi mengamanatkan agar TNI kembali ke fungsi utamanya yakni menjaga keutuhan NKRI," kata Nasir Djamil.
Atas dasar itu politisi PKS ini menolak ada unsur TNI di dalam tubuh KPK. Meski ia mempercayai TNI mempunyai kemapuan melakukan penyelidikan maupun penyidikan, seperti halnya penyidik KPK saat ini yang berlatar belakang dari Kepolisan dan Kejaksaan.
Namun politikus asal Aceh ini justru mempertanyakan motif KPK memasukan unsur militer dalam strukturalnya. Wacana itu juga akan berpotensi terjadi konflik kepentingan manakala menyidik kasus korupsi di tubuh TNI. Dan yang menjadi pertanyaan, apakah KPK berani mengusut korupsi di tubuh TNI?
"Dua pertanyaan itu menurutnya sangat penting dijawab oleh KPK, sebelum KPK benar benar akan memasukkan TNI di dalam strukturnya," tegas dia.
Senada dengan Komisi III yang merupakan mitra KPK, Komisi I yang merupakan mitra TNI juga menolak wacana tersebut. KPK dinilai salah alamat dengan menjadikan TNI sebagai bagian dari struktur kerjanya. Pasalnya, TNI bukan merupakan lembaga penegak hukum.
"UU TNI tidak mengatur dan memberi wewenang sama sekali soal TNI masuk dalam ranah non-militer. Jika ini terjadi, maka KPK telah menciderai profesionalisme TNI," kata Wakil Ketua Komisi I Hanafi Rais.
Menurut Hanafi, Pasal 47 UU TNI nomor 34 tahun 2004 secara jelas menerangkan bahwa prajurit TNI hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan.
Kedua, prajurit aktif dapat menduduki jabatan pada kantor yang membidangi koordinator bidang politik dan keamanan negara, pertahanan negara, sekretaris militer presiden, intelijen negara, sandi negara, lembaga ketahanan nasional, dewan pertahanan nasional, search and rescue (SAR) nasional, narkotika nasional, dan Mahkamah Agung.
"Jadi tidak ada lembaga KPK dalam UU TNI. Sebaiknya KPK tidak memperkeruh situasi. Biarkan TNI tetap profesional," ujar putra politikus senior Amin Rais ini.
Direktur Imparsial Poengky Indarti menilai wacana merekrut prajurit TNI sebagai penjabat struktural dan penyidik KPK merupakan kesalahan terbesar.
Gagasan tersebut bahkan dianggap merusak profesionalitas TNI dan melanggar Undang-Undang TNI.
"KPK justru mencederai reformasi TNI. TNI bukan aparat penegak hukum. Tugas TNI untuk pertahanan negara," ujar Poengky Indarti kepada VIVA.co.id, Jumat 8 Mei 2015.
Imparsial bahkan menganggap wacana KPK mengancam sistem peradilan pidana. Dalam sistem peradilan pidana, kata Poengky, yang terlibat di dalamnya adalah aparat penegak hukum.
"Masuknya TNI bisa disebut sebagai extra judicial actor involve in the legal procedure. Jadi kayak zamannya Orba. Sistem peradilan pidana pasti rusak," kata Poengky.
Mantan Penasihat KPK Abdullah Hehamahua justru mengusulkan kepada pimpinan KPK agar mengajukan fatwa kepada MA untuk meluruskan kerancuan Undang-Undang KPK, sehingga bisa merekrut penyidik dari TNI. Terlebih saat ini jumlah penyidik yang berada di KPK dinilai masih kurang.
"Berdasarkan kerancuan UU tersebut, ditambah terbatasnya jumlah penyidik KPK dibanding dengan jumlah kasus yang harus ditangani, kemudian dipicu kasus cicak-buaya, saya mengusulkan agar pimpinan KPK meminta fatwa ke MA atas definisi penyidik yang ada di UU KPK tersebut," ujarnya.
Abdullah menuturkan, berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, tidak dijelaskan secara konkret penyidik KPK harus pejabat Polri sebagaimana disebutkan KUHAP.Pada aturan tersebut juga tidak dengan tegas menyebutkan KPK boleh merekrut penyidik sendiri di luar anggota Polri, termasuk dari TNI.
Berdasarkan pertemuan pimpinan KPK dengan Mahkamah Agung pada 2012, KPK dapat merekrut sendiri penyidik yang bukan berasal dari Polri.
"Berdasarkan fatwa MA di atas, hemat saya, penyidik TNI atau warga masyarakat mana saja, dapat menjadi penyidik KPK," kata Abdullah dalam pesan singkat kepada wartawan, Jumat 8 Mei 2015.
Pelaksana Tugas Ketua KPK, Taufiequrrachman Ruki, mengatakan rencana merekrut prajurit TNI sebagai pejabat di KPK masih sebatas wacana. Menurut dia, tidak menutup kemungkinan anggota TNI bergabung bersama KPK, dan menduduki jabatan struktural yang lowong.
Ruki menyatakan prajurit TNI bisa mengisi jabatan-jabatan penting di KPK yang lowong, seperti Direktur Penyidikan, Direktur Pengawasan Internal, Biro Hukum, dan Biro Humas. Adapun untuk posisi Sekretaris Jenderal KPK masih dijabat Himawan Adinegoro.
"Kalau cocok kompetensinya, saya pikir tidak ada salahnya kalau diisi oleh pati (perwira tinggi) TNI supaya ada TNI yang bergabung dengan KPK, tentu lewat seleksi yang sama dengan yang lain," kata Ruki, Jumat 8 Mei 2015.
Namun sesuai aturan, anggota TNI yang bergabung dengan KPK harus beralih status menjadi pegawai negeri sipil. "Karena TNI tidak bisa bertugas di luar sepuluh instansi yang diizinkan Undang-Undang TNI," ujar Ruki.
Sepuluh instansi sipil yang bisa diisi personel TNI aktif sebagaimana diatur dalam Pasal 47 Ayat (2) Undang-Undang TNI Nomor 34/2004, adalah instansi yang membidangi koordinator bidang politik dan keamanan (Polhukam), pertahanan negara (Kemenhan), sekretaris militer termasuk ajudan, intelijen negara seperti BIN dan BNPT, lembaga sandi negara, Lemhannas, Wantanas, SAR Nasional, BNN dan MA.
Panglima TNI Jenderal Moeldoko mengakui adanya permintaan langsung dari pimpinan KPK agar prajurit TNI bisa mengisi jabatan-jabatan strategis di KPK. Moeldoko sepakat dengan permintaan pimpinan KPK, dan TNI tidak merasa keberatan personilnya bertugas di KPK.
"Sudah sepakat dengan ketua KPK, bahwa ada keinginan mereka untuk jabatan Sekjen KPK diisi personel TNI berpangkat jenderal bintang dua, dan Kepala Pengawasan KPK dijabat jenderal bintang satu," kata Jenderal Moeldoko kepada wartawan saat meninjau KRI Suharso di Pelabuhan Jayapura, Jumat 8 Mei 2015.
Namun Moeldoko menegaskan jika anggota TNI telah bergabung dengan KPK, maka sesuai aturan harus menanggalkan keanggotaan TNI-nya, atau pensiun dini, atau dialihkan statusnya sebagai pegawai negeri sipil. Sebab, KPK tidak termasuk lembaga yang diperbolehkan UU TNI, untuk diisi personel TNI aktif.
"Itu nanti personel yang sudah masuk KPK melalui tes uji kelayakan dan kepatutan, langsung jadi PNS," ujar Moeldoko.
Mantan Kepala Staf TNI Angkatan Darat itu menampik anggapan yang menyebut penempatan prajurit TNI di KPK untuk menyaingi anggota Polri yang lebih dulu bertugas di KPK, sebagai penyidik maupun pejabat di KPK. Moeldoko tak merasa wacana ini ingin membenturkan TNI dengan institusi lain yang ada di KPK.
"Nggak, TNI tidak merasa akan dibenturkan dengan institusi lain, jika personelnya direkrut menjadi pegawai KPK," tegas dia.
Bukan Penyidik
Jenderal Moeldoko memastikan tidak ada permintaan dari pimpinan KPK untuk merekrut penyidik dari internal TNI. Meskipun TNI juga memiliki organ yang membidangi permasalahan hukum, seperti halnya Polisi Militer, Oditurat Jenderal TNI, Badan Pembinaan Hukum TNI, serta Mahkamah Militer.
"Tidak ada permintaan dari KPK agar anggota saya menjadi penyidik dalam KPK, namun yang saya tahu hanya untuk mengisi jabatan sekjen," kata Moeldoko.
Hal senada diungkapkan Pelaksana Tugas Wakil Ketua KPK, Johan Budi. Menurutnya, untuk merekrut anggota TNI memang diperlukan penyesuaian aturan. KPK sudah berdiskusi dengan Panglima TNI, Jenderal Moeldoko, untuk membahas wacana itu. Namun perekrutan anggota TNI bukan untuk mengisi posisi sebagai penyidik.
"Bukan penyidik, tapi posisi posisi pendukung. Kabag (kepala bagian) pengamanan, misalnya, tapi masih dilihat dari sisi aturan dan undang-undangnya," ujar Johan.
Kepala Pusat Penerangan TNI Mayor Jenderal Fuad Basya menyambut baik rencana KPK merekrut prajurit TNI untuk mengisi jabatan-jabatan struktural. TNI kata dia, siap menyerahkan anggotanya yang memiliki kapasitas dan kualifikasi yang baik untuk ditugaskan di KPK. Namun kata dia, penempatan anggota TNI di KPK masih sebatas wacana, dan belum ada permintaan resmi.
"Pada prinsipnya kalau sesuai kapasitas dan kredibilitasnya, panglima TNI tidak keberatan. Tapi harus sesuai Undang-Undang yang berlaku," kata Fuad saat dihubungi VIVA.co.id.
Menurut dia, untuk menempatkan personil di KPK, masih akan dibahas regulasinya oleh jajaran TNI dan KPK. Karena dalam UU KPK, tidak ada komponen TNI di dalamnya. Oleh sebab itu, jika ada personil TNI di KPK, maka harus merevisi UU KPK, atau dengan pengecualian, anggota TNI tersebut bersedia pensiun dini atau alih status menjadi pegawai negeri sipil.
Di samping itu, Fuad menerangkan, TNI sesuai tugas pokok dan fungsinya dalam UU, yakni dalam operasi militer selain perang, TNI bertugas membantu pemerintah baik pusat maupun daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan, termasuk membantu Polri dalam pengamanan bila diperlukan.
"Semuanya kalau butuh bantuan, TNI siap untuk bangsa dan negara. Jangankan itu (bertugas di KPK), operasi bibir sumbing kita lakukan," beber dia.
Jenderal bintang dua itu menambahkan, hubungan KPK dan TNI sejauh ini sangat baik. Sehingga sinergi antar kedua lembaga sangat memungkinkan. KPK lanjut dia, sering memberikan pembekalan dan arahan kepada prajurit TNI terkait dengan mewujudkan pemerintahan yang bersih dan anti korupsi.
Bahkan KPK dan TNI telah menandatangani MoU dalam menerapkan zona bebas korupsi di semua jajaran TNI. "Semua jajaran TNI bebas korupsi, makanya KPK memberikan pengarahan kepada kami, itu langsung ketua KPK-nya kok yang memberikan itu, Pak Abraham. Kerjasama kita baik," paparnya.
Pensiun Dini
Terlepas dari wacana itu, sebenarnya, keberadaan prajurit TNI di KPK bukan hal baru. Beberapa pegawai KPK ternyata memiliki latar belakang militer sebelum berstatus sebagai pegawai KPK. Lembaga antikorupsi itu tercatat memiliki pegawai yang merupakan purnawirawan TNI.
"Ada beberapa pegawai di bagian pengawalan tahanan itu pensiunan TNI, Kepala Bagian Pengamanan juga dari unsur TNI yang sedang dalam proses mengundurkan diri," kata Kepala Bagian Pemberitaan dan Informasi KPK, Priharsa Nugraha, di kantornya.
Priharsa mengakui hingga saat ini memang belum ada aturan yang memperbolehkan anggota TNI aktif menjadi pegawai KPK. Dia menyebut, harus ada perubahan di dalam aturannya agar bisa merekrut anggota TNI aktif.
"Kalaupun akan merealisasikan itu harus ada landasan hukum dulu, kami tidak mau nabrak aturan. KPK dan TNI kan sama-sama abdi negara jadi tidak ada salahnya sesama abdi negara saling bantu pemberantasan korupsi, asalkan tidak menabrak aturan," ujar Priharsa.
Priharsa membenarkan bahwa pihaknya memang membutuhkan banyak sumber daya manusia. Hal tersebut juga telah disampaikan Pimpinan KPK kepada Panglima TNI dalam sebuah courtessy call.
"Kemarin itu Pimpinan KPK courtesy call dengan Panglima TNI dan ada pembahasan sekilas itu karena KPK kurang SDM saat ini kurang dari 1000 orang dengan beban kerja lingkupnya Sabang sampai Merauke dengan pencegahan, penindakan supervisi, koordinasi, itu kurang," terang dia.
Dikonfirmasi terpisah, Kepala Bagian Keamanan KPK, Kolonel (Purn) Abdul Jalil Marzuki mengatakan seorang anggota TNI bisa saja menjadi pegawai KPK. Namun anggota TNI tersebut harus pensiun terlebih dahulu.
Menurut dia, ketika anggota TNI pensiun, maka dia mempunyai hak-hak sipil yang tidak melarang untuk menjadi pegawai KPK.
"Boleh-boleh saja TNI masuk ke KPK, tapi yang bersangkutan harus pensiun terlebih dulu, ketika pensiun mereka punya hak sipil," kata dia.
Abdul Jalil tercatat masuk menjadi pegawai KPK sejak 1 Juli 2014 melalui seleksi "Indonesia Memanggil". Begitu diterima menjadi pegawai KPK, dia langsung mengajukan pensiun dini dari dinas kemiliteran.
Pria 49 tahun ini merupakan lulusan Akademi Angkatan Udara (AAU) tahun 1988. Pangkat terakhirnya di militer adalah Kolonel dari kesatuan Polisi Militer (POM) TNI AU. Jabatan terakhirnya di militer adalah sebagai Direktur Penegakan Ketertiban (Dirgaktib) Polisi Militer TNI Angkatan Udara.
Selain Jalil, masih ada 16 pegawai KPK yang merupakan pensiunan prajurit TNI. Mereka pernah bertugas di berbagai bidang selama di TNI. Namun kebanyakan dari mereka berlatar belakang dari kesatuan Polisi Militer.
Mirip Orde Baru
Wacana merekrut prajurit TNI sebagai pegawai struktural KPK mendapat pertentangan dari Dewan Perwakilan Rakyat. Anggota Komisi III, DPR RI, Nasir Djamil menolak TNI menjadi bagian dalam struktur KPK. Menurutnya latar belakang pimpinan dan penyidik KPK saat ini sudah cukup.
"Menurut saya wacana menjadikan TNI sebagai penyidik di KPK sebaiknya ditiadakan, kecuali penyidik sudah tidak ada lagi. Disamping itu agenda reformasi mengamanatkan agar TNI kembali ke fungsi utamanya yakni menjaga keutuhan NKRI," kata Nasir Djamil.
Atas dasar itu politisi PKS ini menolak ada unsur TNI di dalam tubuh KPK. Meski ia mempercayai TNI mempunyai kemapuan melakukan penyelidikan maupun penyidikan, seperti halnya penyidik KPK saat ini yang berlatar belakang dari Kepolisan dan Kejaksaan.
Namun politikus asal Aceh ini justru mempertanyakan motif KPK memasukan unsur militer dalam strukturalnya. Wacana itu juga akan berpotensi terjadi konflik kepentingan manakala menyidik kasus korupsi di tubuh TNI. Dan yang menjadi pertanyaan, apakah KPK berani mengusut korupsi di tubuh TNI?
"Dua pertanyaan itu menurutnya sangat penting dijawab oleh KPK, sebelum KPK benar benar akan memasukkan TNI di dalam strukturnya," tegas dia.
Senada dengan Komisi III yang merupakan mitra KPK, Komisi I yang merupakan mitra TNI juga menolak wacana tersebut. KPK dinilai salah alamat dengan menjadikan TNI sebagai bagian dari struktur kerjanya. Pasalnya, TNI bukan merupakan lembaga penegak hukum.
"UU TNI tidak mengatur dan memberi wewenang sama sekali soal TNI masuk dalam ranah non-militer. Jika ini terjadi, maka KPK telah menciderai profesionalisme TNI," kata Wakil Ketua Komisi I Hanafi Rais.
Menurut Hanafi, Pasal 47 UU TNI nomor 34 tahun 2004 secara jelas menerangkan bahwa prajurit TNI hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan.
Kedua, prajurit aktif dapat menduduki jabatan pada kantor yang membidangi koordinator bidang politik dan keamanan negara, pertahanan negara, sekretaris militer presiden, intelijen negara, sandi negara, lembaga ketahanan nasional, dewan pertahanan nasional, search and rescue (SAR) nasional, narkotika nasional, dan Mahkamah Agung.
"Jadi tidak ada lembaga KPK dalam UU TNI. Sebaiknya KPK tidak memperkeruh situasi. Biarkan TNI tetap profesional," ujar putra politikus senior Amin Rais ini.
Direktur Imparsial Poengky Indarti menilai wacana merekrut prajurit TNI sebagai penjabat struktural dan penyidik KPK merupakan kesalahan terbesar.
Gagasan tersebut bahkan dianggap merusak profesionalitas TNI dan melanggar Undang-Undang TNI.
"KPK justru mencederai reformasi TNI. TNI bukan aparat penegak hukum. Tugas TNI untuk pertahanan negara," ujar Poengky Indarti kepada VIVA.co.id, Jumat 8 Mei 2015.
Imparsial bahkan menganggap wacana KPK mengancam sistem peradilan pidana. Dalam sistem peradilan pidana, kata Poengky, yang terlibat di dalamnya adalah aparat penegak hukum.
"Masuknya TNI bisa disebut sebagai extra judicial actor involve in the legal procedure. Jadi kayak zamannya Orba. Sistem peradilan pidana pasti rusak," kata Poengky.
Mantan Penasihat KPK Abdullah Hehamahua justru mengusulkan kepada pimpinan KPK agar mengajukan fatwa kepada MA untuk meluruskan kerancuan Undang-Undang KPK, sehingga bisa merekrut penyidik dari TNI. Terlebih saat ini jumlah penyidik yang berada di KPK dinilai masih kurang.
"Berdasarkan kerancuan UU tersebut, ditambah terbatasnya jumlah penyidik KPK dibanding dengan jumlah kasus yang harus ditangani, kemudian dipicu kasus cicak-buaya, saya mengusulkan agar pimpinan KPK meminta fatwa ke MA atas definisi penyidik yang ada di UU KPK tersebut," ujarnya.
Abdullah menuturkan, berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, tidak dijelaskan secara konkret penyidik KPK harus pejabat Polri sebagaimana disebutkan KUHAP.Pada aturan tersebut juga tidak dengan tegas menyebutkan KPK boleh merekrut penyidik sendiri di luar anggota Polri, termasuk dari TNI.
Berdasarkan pertemuan pimpinan KPK dengan Mahkamah Agung pada 2012, KPK dapat merekrut sendiri penyidik yang bukan berasal dari Polri.
"Berdasarkan fatwa MA di atas, hemat saya, penyidik TNI atau warga masyarakat mana saja, dapat menjadi penyidik KPK," kata Abdullah dalam pesan singkat kepada wartawan, Jumat 8 Mei 2015.
★ Vivanews
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.