Operasi Penculikan Korea Utara[NewYork Post] ☆
Sudah lebih dari 30 tahun lewat, Keiko Arimoto hilang, tapi Kayoko Arimoto, sang ibu, terus memelihara harapan, suatu kali nanti Keiko akan pulang. Hanya foto yang sudah buram, yang diambil pada 1970-an, yang jadi pengingat Kayoko pada putrinya itu.
Dalam tidurnya, berulang kali Kayoko mimpi, pesawat Keiko mendarat dan dia menyaksikan putrinya turun dari pintu pesawat. "Aku yakin Keiko masih hidup," kata Kayoko, 76 tahun, beberapa bulan lalu seperti dikutip Guardian. Keiko, kala itu baru 23 tahun dan tengah belajar bahasa Inggris di London, hilang tanpa kabar pada 1983.
Pada 2002, di muka pengadilan di Tokyo, Jepang, Megumi Yao mengaku mendapat perintah dari Takamaro Tamiya, mantan suaminya, untuk menjebak gadis-gadis Jepang yang bersekolah di Eropa dan menerbangkannya ke Korea Utara. Megumi dan Takamaro merupakan anggota kelompok kiri radikal Tentara Merah Jepang. Kedua orang ini terlibat dalam pembajakan pesawat Japan Airlines pada 1970.
Salah satu gadis yang dipancing Megumi adalah Keiko. Megumi mengaku menawarkan pekerjaan di satu perusahaan kepada Keiko. "Aku mendapat tawaran pekerjaan, jadi terpaksa menunda pulang ke Jepang," Keiko memberi kabar kepada kedua orang tuanya. Itulah kabar terakhir dari Keiko. Beberapa pekan kemudian, datang secarik kartu pos yang dikirim Keiko dari Kopenhagen, Denmark. Setelah itu, tak ada lagi surat dari Keiko.
Entah ada berapa banyak warga Jepang yang dijebak atau diculik paksa dan dilarikan ke Korea Utara. Pemerintah Jepang hanya mengakui 17 warganya yang diculik oleh penguasa Pyongyang. Tapi Komisi Investigasi Warga Jepang yang Hilang Terkait Korea Utara (COMJAN) mengklaim menerima hampir seribu laporan dari keluarga korban penculikan.
Hingga 17 September 2002, penguasa Pyongyang, Kim Jong-il, dan anak buahnya selalu bungkam soal kasus hilangnya warga Jepang. Baru pada hari itu, kepada Perdana Menteri Jepang Junichiro Koizumi yang melawat ke Pyongyang, Kim Jong-il terang-terangan mengakui bahwa intel-intelnya-lah yang menculik mereka.
Tapi Jong-il mengaku hanya menculik 13 warga Jepang, lima di antaranya diperkenankan pulang ke Jepang. Delapan korban lainnya, menurut penjelasan Jong-il, telah meninggal. Tapi uji DNA terhadap abu kremasi jenazah para korban yang dikirim dari Pyongyang kepada keluarga membuktikan abu itu milik orang lain.
Tak jelas benar, untuk apa Korea Utara menculik warga Jepang (mereka juga menculik ratusan, bahkan mungkin ribuan, warga tetangganya, Korea Selatan). Sin Gwang-su, intel Pyongyang yang tertangkap di Korea Selatan, mengaku mendapat perintah langsung dari Pemimpin Tertinggi Kim Jong-il untuk setiap operasi penculikan. Apa maksud Kim Jong-il tak bisa diraba. Seperti biasa, protes, kritik, caci maki, tekanan, permintaan keterangan, juga sanksi kepada penguasa Pyongyang lebih sering dianggap sebagai angin lalu. Beberapa hari lalu, harian Tokyo Shimbun mempublikasikan 356 halaman dokumen yang konon dibuat oleh Universitas Politik Militer Kim Jong-il di Korea Utara. Dokumen itu memuat petunjuk latihan bagi intel-intel Pyongyang bagaimana menculik warga negara asing.
"Untuk menculik target, kita harus tahu alamatnya, dari mana dia masuk dan keluar rumah, jalan yang biasa dia tempuh, alat transportasi apa yang dia pakai, dan jadwal dia sehari-hari.... Jika target menolak, kita boleh membunuhnya. Kita tak boleh meninggalkan jejak sama sekali," Tokyo Shimbun mengutip satu halaman dokumen. Harian itu yakin dokumen tersebut sahih dan bisa menjadi bukti bahwa hilangnya warga Jepang merupakan operasi sistematis intel-intel dari Pyongyang.
Bukti itu menambah tekanan kepada Kim Jong-un, yang sudah hampir empat tahun menggantikan ayahnya, Jong-il. Setelah delegasi Jepang dan Korea Utara bertemu di Stockholm, Swedia, setahun lalu, investigasi kasus hilangnya warga Jepang dihidupkan kembali. "Misiku tak akan berakhir hingga korban penculikan bisa bertemu kembali dengan keluarganya," Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe, seperti dikutip Japan Times, berjanji.
Pingin Bikin Film, Sutradara pun Diculik
Pada akhir 1970-an, Kim Jong-il adalah putra mahkota alias calon pemimpin tertinggi di negara komunis Korea Utara. Di Pyongyang, setiap kalimat Jong-il adalah titah yang tak boleh dibantah. Setiap perkataannya selalu dipatuhi dan diikuti dengan takzim.
Kepingin pizza, dia memerintahkan anak buahnya menelepon Pizza Institute di Italia untuk mengirimkan juru masak terbaiknya ke Pyongyang. Beberapa hari kemudian, Ermanno Furlanis, sang juru masak, telah mendarat di Pyongyang. Dia diminta mengajarkan cara membuat pizza paling sedap kepada tiga juru masak Kim Jong-il. "Saat aku memasak, mereka mencatat semua detail," Ermanno, kepada BBC, menuturkan pengalamannya.
Ketika Kim Jong-il sedang ngiler membayangkan sushi, anak buahnya dikirim ke Jepang untuk mencari jago bikin sushi. Kenji Fujimoto—bukan nama sebenarnya—datang ke Pyongyang pada 1982 untuk mengajarkan cara membuat sushi kepada juru masak Kim Jong-il. Enam tahun kemudian, dia dipanggil kembali untuk menjadi juru masak pribadi Pemimpin Tertinggi.
Ada satu orang yang bisa membuat Jong-il selalu manut. Dia bukan Kim Il-sung, ayah Jong-il, yang sangat berkuasa, melainkan Shin Sang-ok, sutradara film dari Korea Selatan. Apa pun yang dikehendaki Sang-ok, Jong-il selalu menganggukkan kepala. Bahkan suatu kali, saat tengah menggarap film "Tale of an Escape", Sang-ok berniat meledakkan satu rangkaian kereta untuk menciptakan efek dramatis.
Tanpa beban, Sang-ok mengirim surat permintaan kepada Jong-il. "Aku merasa tak bakal kehilangan apa pun, maka aku sampaikan bahwa aku ingin meledakkan satu rangkaian kereta.... Permintaan itu langsung disetujui," Sang-ok, seperti dikutip Salon, mengenang dengan takjub. "Hanya di Korea Utara hal seperti itu bisa terjadi. Baru pertama kali ini aku membuat film yang spektakuler seperti itu."
Lahir di Chongjin (kini bagian dari Korea Utara), Korea, pada 1926, Sang-ok belajar membuat film di Sekolah Seni Tokyo, Jepang. Pada akhir 1950-an hingga 1960-an, Sang-ok merupakan sutradara paling kondang di Korea Selatan. Perusahaan film miliknya, Shin Films, menjadi "pabrik" film terbesar di Korea Selatan, kala itu, sebelum angin politik pada akhir 1970-an merobohkan bisnis filmnya.
Bagaimana sutradara kondang di Negeri Ginseng bisa menjadi pembuat film di seberang utara perbatasan, di negara yang jadi musuh Korea Selatan? Sejak masih belia, Jong-il memang sudah tergila-gila pada film. Tak puas dengan mutu film dalam negeri, dia memerintahkan staf-staf kedutaan Korea Utara di seluruh dunia untuk mengumpulkan film. Walaupun menjadi orang kedua di negara komunis, Jong-il sangat suka serial James Bond dan Rambo. Bintang film Hollywood favoritnya adalah Sean Connery dan Elizabeth Taylor.
Sang-ok pernah mengunjungi gedung tiga lantai tempat Jong-il menyimpan dan menikmati lebih dari 15 ribu koleksi filmnya. Berada di puncak bukit di Pyongyang, gedung itu dijaga sangat ketat, tak ada bedanya dengan fasilitas militer. Suhu udara di dalamnya selalu dijaga pada titik paling ideal. Ada sekitar 250 orang bekerja di tempat itu. Ada tukang proyektor, ada penerjemah, ada tukang sulih suara, tukang rawat film, dan sebagainya.
Punya koleksi film sangat lengkap tak membuat Jong-il puas. Dia ingin mutu film Made in North Korea tak kalah dari film buatan sutradara-sutradara Korea Selatan. "Kami sudah mengirimkan orang ke Jerman Timur untuk belajar menyunting film, belajar ke Cekoslovakia untuk belajar teknologi kamera dan ke Uni Soviet belajar penyutradaraan," kata Jong-il saat pertama kali bertemu dengan Sang-ok dan Eun-hee. "Tapi usaha kami tak membuahkan kemajuan sama sekali."
Ratusan film telah dibuat, tapi bisa dihitung jari mana film dari Pyongyang yang tak membuat mata sepet. "Saat Anda bertanya kepadaku beberapa waktu lalu mengapa Pyongyang tak menyelenggarakan festival film internasional, aku malu untuk mengakui. Tapi kini harus kuakui bahwa kami tak punya film yang layak dipertontonkan. Kami tak punya film yang akan membuat dunia tertawa dan menangis," kata Jong-il kepada Sang-ok.
Seperti biasa, Pyongyang pilih jalan pintas. Tak punya sutradara bagus, mengapa tak "meminjam" sutradara terbaik di Korea Selatan. Lewat satu operasi khusus, intel-intel Pyongyang memancing Eun-hee datang ke Hong Kong. Dengan berpura-pura menawarinya main film, intel-intel Korea Utara menyergap Eun-hee dan mengirimnya ke Pyongyang dengan kapal. Sang-ok, yang kehilangan istri—mereka sempat bercerai, tapi menikah kembali—dengan gampang dipancing intel-intel kiriman Jong-il dan dikirim ke Pyongyang.
Sebelum akhirnya bertemu dengan Jong-il pada 19 Oktober 1983, Sang-ok sempat dijebloskan ke penjara selama lima tahun lantaran beberapa kali mencoba kabur. Sedangkan Eun-hee disekap di vila-vila milik Jong-il. Seperti ayahnya, Jong-il meyakini bahwa film merupakan alat propaganda yang sangat mangkus untuk menguasai pikiran rakyatnya. Rupanya Jong-il sangat percaya pada Sang-ok.
Demi proyek film Sang-ok, Jong-il mendirikan perusahaan film Shin Film. "Aku tak pernah takut kekurangan duit saat membuat film," kata Sang-ok. Yang tak disangka, Sang-ok relatif bebas bereksplorasi dengan ide-idenya. Tak seperti rata-rata penyandang dana, Jong-il tak pernah turut campur dalam proses pengambilan gambar. "Bahkan dia tak pernah datang melihat lokasi syuting."
Apa pun yang diminta Sang-ok, Jong-il hampir pasti mengabulkannya. "Jika dia minta mesin angin, Jong-il akan mengirimkan helikopter. Jika Sang-ok butuh salju, Sang-ok dan seluruh awaknya akan diterbangkan ke gunung. Jong-il tak pernah berkata tidak," kata Paul Fischer, penulis buku A Kim Jong-il Production kepada New York Times.
Selama hampir delapan tahun menjadi "tamu" Kim Jong-il, Sang-ok membuat tujuh film, di antaranya Salt, The Tale of Shimchong, Hong Kil-dong, dan Love, Love, My Love. Di antara film karya Sang-ok selama di Pyongyang, yang paling kondang adalah Pulgasari. Film itu berkisah soal monster pemakan besi yang membela para petani melawan penguasa. Satu jalan cerita yang tak lazim di Korea Utara.
Sang-ok dan Eun-hee makin dimanja. Pada 1986, pasangan Sang-ok dan Eun-hee mendapat izin untuk melawat ke Wina, Austria, guna mempromosikan film mereka. Sang-ok dan Eun-hee merasa sudah tiba waktunya untuk kabur. Dengan taksi, mereka mengecoh pengawalnya dan lari ke kantor Kedutaan Amerika Serikat di Wina. Mereka minta suaka. "Kami berlari sekencang mungkin," kata Sang-ok. Marah atas kaburnya sang sutradara, Jong-il memerintahkan supaya nama Sang-ok dan Eun-hee disetip dari setiap film mereka. (sap/hbb)
Sudah lebih dari 30 tahun lewat, Keiko Arimoto hilang, tapi Kayoko Arimoto, sang ibu, terus memelihara harapan, suatu kali nanti Keiko akan pulang. Hanya foto yang sudah buram, yang diambil pada 1970-an, yang jadi pengingat Kayoko pada putrinya itu.
Dalam tidurnya, berulang kali Kayoko mimpi, pesawat Keiko mendarat dan dia menyaksikan putrinya turun dari pintu pesawat. "Aku yakin Keiko masih hidup," kata Kayoko, 76 tahun, beberapa bulan lalu seperti dikutip Guardian. Keiko, kala itu baru 23 tahun dan tengah belajar bahasa Inggris di London, hilang tanpa kabar pada 1983.
Pada 2002, di muka pengadilan di Tokyo, Jepang, Megumi Yao mengaku mendapat perintah dari Takamaro Tamiya, mantan suaminya, untuk menjebak gadis-gadis Jepang yang bersekolah di Eropa dan menerbangkannya ke Korea Utara. Megumi dan Takamaro merupakan anggota kelompok kiri radikal Tentara Merah Jepang. Kedua orang ini terlibat dalam pembajakan pesawat Japan Airlines pada 1970.
Salah satu gadis yang dipancing Megumi adalah Keiko. Megumi mengaku menawarkan pekerjaan di satu perusahaan kepada Keiko. "Aku mendapat tawaran pekerjaan, jadi terpaksa menunda pulang ke Jepang," Keiko memberi kabar kepada kedua orang tuanya. Itulah kabar terakhir dari Keiko. Beberapa pekan kemudian, datang secarik kartu pos yang dikirim Keiko dari Kopenhagen, Denmark. Setelah itu, tak ada lagi surat dari Keiko.
Entah ada berapa banyak warga Jepang yang dijebak atau diculik paksa dan dilarikan ke Korea Utara. Pemerintah Jepang hanya mengakui 17 warganya yang diculik oleh penguasa Pyongyang. Tapi Komisi Investigasi Warga Jepang yang Hilang Terkait Korea Utara (COMJAN) mengklaim menerima hampir seribu laporan dari keluarga korban penculikan.
Hingga 17 September 2002, penguasa Pyongyang, Kim Jong-il, dan anak buahnya selalu bungkam soal kasus hilangnya warga Jepang. Baru pada hari itu, kepada Perdana Menteri Jepang Junichiro Koizumi yang melawat ke Pyongyang, Kim Jong-il terang-terangan mengakui bahwa intel-intelnya-lah yang menculik mereka.
Tapi Jong-il mengaku hanya menculik 13 warga Jepang, lima di antaranya diperkenankan pulang ke Jepang. Delapan korban lainnya, menurut penjelasan Jong-il, telah meninggal. Tapi uji DNA terhadap abu kremasi jenazah para korban yang dikirim dari Pyongyang kepada keluarga membuktikan abu itu milik orang lain.
Tak jelas benar, untuk apa Korea Utara menculik warga Jepang (mereka juga menculik ratusan, bahkan mungkin ribuan, warga tetangganya, Korea Selatan). Sin Gwang-su, intel Pyongyang yang tertangkap di Korea Selatan, mengaku mendapat perintah langsung dari Pemimpin Tertinggi Kim Jong-il untuk setiap operasi penculikan. Apa maksud Kim Jong-il tak bisa diraba. Seperti biasa, protes, kritik, caci maki, tekanan, permintaan keterangan, juga sanksi kepada penguasa Pyongyang lebih sering dianggap sebagai angin lalu. Beberapa hari lalu, harian Tokyo Shimbun mempublikasikan 356 halaman dokumen yang konon dibuat oleh Universitas Politik Militer Kim Jong-il di Korea Utara. Dokumen itu memuat petunjuk latihan bagi intel-intel Pyongyang bagaimana menculik warga negara asing.
"Untuk menculik target, kita harus tahu alamatnya, dari mana dia masuk dan keluar rumah, jalan yang biasa dia tempuh, alat transportasi apa yang dia pakai, dan jadwal dia sehari-hari.... Jika target menolak, kita boleh membunuhnya. Kita tak boleh meninggalkan jejak sama sekali," Tokyo Shimbun mengutip satu halaman dokumen. Harian itu yakin dokumen tersebut sahih dan bisa menjadi bukti bahwa hilangnya warga Jepang merupakan operasi sistematis intel-intel dari Pyongyang.
Bukti itu menambah tekanan kepada Kim Jong-un, yang sudah hampir empat tahun menggantikan ayahnya, Jong-il. Setelah delegasi Jepang dan Korea Utara bertemu di Stockholm, Swedia, setahun lalu, investigasi kasus hilangnya warga Jepang dihidupkan kembali. "Misiku tak akan berakhir hingga korban penculikan bisa bertemu kembali dengan keluarganya," Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe, seperti dikutip Japan Times, berjanji.
Pingin Bikin Film, Sutradara pun Diculik
Pada akhir 1970-an, Kim Jong-il adalah putra mahkota alias calon pemimpin tertinggi di negara komunis Korea Utara. Di Pyongyang, setiap kalimat Jong-il adalah titah yang tak boleh dibantah. Setiap perkataannya selalu dipatuhi dan diikuti dengan takzim.
Kepingin pizza, dia memerintahkan anak buahnya menelepon Pizza Institute di Italia untuk mengirimkan juru masak terbaiknya ke Pyongyang. Beberapa hari kemudian, Ermanno Furlanis, sang juru masak, telah mendarat di Pyongyang. Dia diminta mengajarkan cara membuat pizza paling sedap kepada tiga juru masak Kim Jong-il. "Saat aku memasak, mereka mencatat semua detail," Ermanno, kepada BBC, menuturkan pengalamannya.
Ketika Kim Jong-il sedang ngiler membayangkan sushi, anak buahnya dikirim ke Jepang untuk mencari jago bikin sushi. Kenji Fujimoto—bukan nama sebenarnya—datang ke Pyongyang pada 1982 untuk mengajarkan cara membuat sushi kepada juru masak Kim Jong-il. Enam tahun kemudian, dia dipanggil kembali untuk menjadi juru masak pribadi Pemimpin Tertinggi.
Ada satu orang yang bisa membuat Jong-il selalu manut. Dia bukan Kim Il-sung, ayah Jong-il, yang sangat berkuasa, melainkan Shin Sang-ok, sutradara film dari Korea Selatan. Apa pun yang dikehendaki Sang-ok, Jong-il selalu menganggukkan kepala. Bahkan suatu kali, saat tengah menggarap film "Tale of an Escape", Sang-ok berniat meledakkan satu rangkaian kereta untuk menciptakan efek dramatis.
Tanpa beban, Sang-ok mengirim surat permintaan kepada Jong-il. "Aku merasa tak bakal kehilangan apa pun, maka aku sampaikan bahwa aku ingin meledakkan satu rangkaian kereta.... Permintaan itu langsung disetujui," Sang-ok, seperti dikutip Salon, mengenang dengan takjub. "Hanya di Korea Utara hal seperti itu bisa terjadi. Baru pertama kali ini aku membuat film yang spektakuler seperti itu."
Lahir di Chongjin (kini bagian dari Korea Utara), Korea, pada 1926, Sang-ok belajar membuat film di Sekolah Seni Tokyo, Jepang. Pada akhir 1950-an hingga 1960-an, Sang-ok merupakan sutradara paling kondang di Korea Selatan. Perusahaan film miliknya, Shin Films, menjadi "pabrik" film terbesar di Korea Selatan, kala itu, sebelum angin politik pada akhir 1970-an merobohkan bisnis filmnya.
Bagaimana sutradara kondang di Negeri Ginseng bisa menjadi pembuat film di seberang utara perbatasan, di negara yang jadi musuh Korea Selatan? Sejak masih belia, Jong-il memang sudah tergila-gila pada film. Tak puas dengan mutu film dalam negeri, dia memerintahkan staf-staf kedutaan Korea Utara di seluruh dunia untuk mengumpulkan film. Walaupun menjadi orang kedua di negara komunis, Jong-il sangat suka serial James Bond dan Rambo. Bintang film Hollywood favoritnya adalah Sean Connery dan Elizabeth Taylor.
Sang-ok pernah mengunjungi gedung tiga lantai tempat Jong-il menyimpan dan menikmati lebih dari 15 ribu koleksi filmnya. Berada di puncak bukit di Pyongyang, gedung itu dijaga sangat ketat, tak ada bedanya dengan fasilitas militer. Suhu udara di dalamnya selalu dijaga pada titik paling ideal. Ada sekitar 250 orang bekerja di tempat itu. Ada tukang proyektor, ada penerjemah, ada tukang sulih suara, tukang rawat film, dan sebagainya.
Punya koleksi film sangat lengkap tak membuat Jong-il puas. Dia ingin mutu film Made in North Korea tak kalah dari film buatan sutradara-sutradara Korea Selatan. "Kami sudah mengirimkan orang ke Jerman Timur untuk belajar menyunting film, belajar ke Cekoslovakia untuk belajar teknologi kamera dan ke Uni Soviet belajar penyutradaraan," kata Jong-il saat pertama kali bertemu dengan Sang-ok dan Eun-hee. "Tapi usaha kami tak membuahkan kemajuan sama sekali."
Ratusan film telah dibuat, tapi bisa dihitung jari mana film dari Pyongyang yang tak membuat mata sepet. "Saat Anda bertanya kepadaku beberapa waktu lalu mengapa Pyongyang tak menyelenggarakan festival film internasional, aku malu untuk mengakui. Tapi kini harus kuakui bahwa kami tak punya film yang layak dipertontonkan. Kami tak punya film yang akan membuat dunia tertawa dan menangis," kata Jong-il kepada Sang-ok.
Seperti biasa, Pyongyang pilih jalan pintas. Tak punya sutradara bagus, mengapa tak "meminjam" sutradara terbaik di Korea Selatan. Lewat satu operasi khusus, intel-intel Pyongyang memancing Eun-hee datang ke Hong Kong. Dengan berpura-pura menawarinya main film, intel-intel Korea Utara menyergap Eun-hee dan mengirimnya ke Pyongyang dengan kapal. Sang-ok, yang kehilangan istri—mereka sempat bercerai, tapi menikah kembali—dengan gampang dipancing intel-intel kiriman Jong-il dan dikirim ke Pyongyang.
Sebelum akhirnya bertemu dengan Jong-il pada 19 Oktober 1983, Sang-ok sempat dijebloskan ke penjara selama lima tahun lantaran beberapa kali mencoba kabur. Sedangkan Eun-hee disekap di vila-vila milik Jong-il. Seperti ayahnya, Jong-il meyakini bahwa film merupakan alat propaganda yang sangat mangkus untuk menguasai pikiran rakyatnya. Rupanya Jong-il sangat percaya pada Sang-ok.
Demi proyek film Sang-ok, Jong-il mendirikan perusahaan film Shin Film. "Aku tak pernah takut kekurangan duit saat membuat film," kata Sang-ok. Yang tak disangka, Sang-ok relatif bebas bereksplorasi dengan ide-idenya. Tak seperti rata-rata penyandang dana, Jong-il tak pernah turut campur dalam proses pengambilan gambar. "Bahkan dia tak pernah datang melihat lokasi syuting."
Apa pun yang diminta Sang-ok, Jong-il hampir pasti mengabulkannya. "Jika dia minta mesin angin, Jong-il akan mengirimkan helikopter. Jika Sang-ok butuh salju, Sang-ok dan seluruh awaknya akan diterbangkan ke gunung. Jong-il tak pernah berkata tidak," kata Paul Fischer, penulis buku A Kim Jong-il Production kepada New York Times.
Selama hampir delapan tahun menjadi "tamu" Kim Jong-il, Sang-ok membuat tujuh film, di antaranya Salt, The Tale of Shimchong, Hong Kil-dong, dan Love, Love, My Love. Di antara film karya Sang-ok selama di Pyongyang, yang paling kondang adalah Pulgasari. Film itu berkisah soal monster pemakan besi yang membela para petani melawan penguasa. Satu jalan cerita yang tak lazim di Korea Utara.
Sang-ok dan Eun-hee makin dimanja. Pada 1986, pasangan Sang-ok dan Eun-hee mendapat izin untuk melawat ke Wina, Austria, guna mempromosikan film mereka. Sang-ok dan Eun-hee merasa sudah tiba waktunya untuk kabur. Dengan taksi, mereka mengecoh pengawalnya dan lari ke kantor Kedutaan Amerika Serikat di Wina. Mereka minta suaka. "Kami berlari sekencang mungkin," kata Sang-ok. Marah atas kaburnya sang sutradara, Jong-il memerintahkan supaya nama Sang-ok dan Eun-hee disetip dari setiap film mereka. (sap/hbb)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.