Dalam perspektif diplomasi multijalur IndonesiaKombinasi foto menampilkan Presiden Taiwan, Ma Ying-jeou (kiri), mendengarkan pertanyaan saat wawancara dengan Reuters di Kantor Kepresidenan di Taipei, arsip foto tanggal 1 Juni 2012, dan Presiden China, Xi Jinping, (kanan) tersenyum sebelum pertemuan di Wisma Tamu Diaoyutai di Beijing, China, arsip foto tanggal 29 Oktober 2015. (REUTERS/Pichi Chuang/Muneyoshi Someya/Files) ☆
Seorang menteri anggota Kabinet Kerja tergopoh-gopoh mendatangi penulis yang menunggu kedatangannya di Bandar Udara Internasional Taoyuan, Taiwan, akhir bulan Agustus 2015.
Kepada penulis, menteri yang juga politikus salah satu partai besar di Indonesia itu meminta agar kunjungannya tidak diekspos karena bukan merupakan kunjungan kenegaraan.
Sebulan sebelumnya dua anggota DPR dari salah satu fraksi besar juga menyampaikan pesan khusus kepada staf Kantor Dagang dan Ekonomi Indonesia (KDEI) di Taipei agar kunjungannya di Taiwan tidak terendus oleh awak media.
Demikian pula dengan sejumlah pelajar asal Indonesia di salah satu perguruan tinggi ternama di Taiwan merasa canggung menggelar upacara pengibaran bendera Merah-Putih untuk memperingati Hari Kemerdekaan Ke-70 Indonesia.
Hal itu bukanlah sesuatu yang luar biasa bagi warga negara Indonesia yang tinggal di Taiwan sebagai satu negara yang tidak memiliki kuasa penuh menjalin hubungan diplomasi dengan negara-negara lain, termasuk dengan Indonesia.
Taiwan masih terbelenggu oleh Konsensus PBB 1992 tentang "Kebijakan Satu China" yang mengacu pada formulasi kebijakan yang dipegang teguh oleh Republik Rakyat China, dengan sentrum pemerintahan di Beijing yang menetapkan hanya ada satu China yang berdaulat dan memiliki aspek legalitas sebagai negara, yaitu Republik Rakyat China.
Republik Rakyat China ini juga --yang bersama Amerika Serikat, Inggris, Prancis, dan Rusia (dulu Uni Soviet), yang dijuluki The Big Five-- yang memiliki hak veto di PBB karena mereka anggota tetap Dewan Keamanan PBB.
Sementara eksistensi Republik China (Taiwan) dengan sentrum pemerintahan di Taipei diklaim sebagai bagian dari Republik Rakyat China. Pihak Beijing mendeklarasikan kepada forum internasional bahwa Taiwan sudah selayaknya tunduk pada kebijakan satu China itu.
Indonesia pun mematuhi konsensus tersebut sehingga hubungan dengan Taiwan sangat terbatas atau hanya pada bidang-bidang tertentu di luar hubungan resmi lazimnya dijalin dengan negara-negara lain yang berdaulat.
Oleh karena itu pula, di Taiwan tidak ada kedutaan besar, konsulat jenderal, atau instansi lain di bawah Kementerian Luar Negeri. Demikian pula di Indonesia, tidak ada kedutaan besar Taiwan, seperti negara-negara lain yang leluasa membuka kantor diplomatiknya di Jakarta atau kota-kota lainnya.
Di Taiwan hanya ada kantor perwakilan dagang, KDEI, di bawah Kementerian Perdagangan. Sama halnya dengan di Indonesia yang hanya ada Taipei Economic and Trade Office (TETO).
KDEI yang menempati areal perkantoran di Distrik Neihu, Taipei, hanya bertanggung jawab pada persoalan perdagangan, investasi, ketenagakerjaan, keimigrasian, pariwisata, dan budaya. Tidak jauh beda dengan TETO yang berada di kawasan Sudirman, Jakarta.
Meskipun bukan hal yang luar biasa, hubungan yang terbatas ini bukan tanpa masalah. Ketiadaan staf dari Kementerian Luar Negeri di KDEI sering kali menimbulkan persoalan tersendiri.
Bahkan yang paling mendasar adalah ketika timbul persoalan dengan para tenaga kerja Indonesia di Taiwan yang sampai sekarang jumlahnya sudah mendekati angka 240.000 orang.
Pemulangan TKI bermasalah, termasuk juga pemulangan jenazah TKI, sering kali terbentur lamanya proses birokrasi. KDEI tidak memiliki anggaran khusus untuk itu sehingga harus mengajukan permohonan dana kepada Kemenlu di Jakarta yang tentu saja membutuhkan waktu yang tidak sebentar.
Diplomasi Multijalur
Pada 1996, Dr Louise Diamond dan John McDonald memperkenalkan teori Diplomasi Multijalur. Keduanya mendefinisikan teori itu sebagai kerangka kerja konseptual yang didesain untuk merefleksikan variasi aktivitas yang berkontribusi dalam perdamaian dan kedamaian (peacemaking and peacebuilding) internasional.
Pada dasarnya, aktor dalam diplomasi ada dua: pemerintah dan nonpemerintah. Istilah diplomasi multijalur merupakan pengembangan dari dua aktor yang memengaruhi diplomasi pada beberapa dekade terakhir.
Teori ini mensyaratkan sembilan jalur diplomasi, yakni (1) pemerintah; (2) profesional nonpemerintah; (3) kelompok bisnis; (4) masyarakat sipil; (5) pendidikan; (6) advokasi dan kelompok aktivis; (7) kelompok agama; (8) filantrofi; dan (9) media massa atau media informasi.
Sebagai sebuah kerangka kerja, diplomasi multijalur tentu memiliki sebuah sistem yang menopang jalannya agenda kerja. Tujuan dari diplomasi multijalur, sebagai awal dari sistem untuk membantu dunia menjadi tempat yang lebih damai kendati hal ini bukan tujuan utama dari tiap-tiap komponen diplomasi multijalur.
Faktor paling penting sebagaimana disebut oleh Diamond sebagai heart alias pujaan dalam diplomasi multijalur adalah hubungan.
Interaksi menjadi elemen paling penting dalam perdamaian karena kesembilan jalur tersebut saling terkait satu sama lain dan memerlukan jaringan dari hubungan personal yang melewati batas waktu, tempat, usia, gender, dan negara.
Proses diplomasi multijalur sangat bertumpu pada kesadaran diri (self-consciousness). Jika hubungan adalah kunci dari substansi diplomasi multijalur, menurut Diamond, maka kesadaran diri merupakan kunci dari proses tersebut.
Jika ditelaah, hubungan Indonesia dengan Taiwan sejauh ini telah memenuhi syarat akan terjalinnya hubungan diplomasi sebagaimana teori multi jalur ini, yang diperkenalkan Diamond dan McDonald itu.
Hubungan ekonomi kedua negara tersebut dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Realisasi investasi asal Taiwan ke Indonesia pada semester I/2015 mencapai angka 85,08 juta dolar AS atau meningkat 6,64 persen dibandingkan periode yang sama tahun 2014 yang hanya 79,78 juta dolar AS.
Nilai perdagangan Indoneia-Taiwan pada semester I/2015 mencapai 5,13 miliar dolar AS. Indonesia mengalami surplus 203,1 juta dolar AS. Nilai ekspor Indonesia ke Taiwan periode tersebut mencapai 3,40 miliar dolar AS, sedangkan nilai impor Indonesia dari Taiwan pada periode tersebut sebesar 285,65 juta dolar AS.
Demikian pula dengan arus pekerja migran asal Indonesia ke Taiwan yang makin deras seiring dengan kenaikan upah dari 15.840 dolar Taiwan menjadi 17.000 dolar Taiwan per bulan untuk sektor informal dan dari 19.273 dolar Taiwan menjadi 20.008 dolar Taiwan untuk sektor formal per 1 Juli 2015.
Bank Indonesia mencatat bahwa remitansi TKI dari Taiwan selama 2014 mencapai 668,9 miliar dolar AS atau sekitar Rp 9 triliun. Saat itu jumlah TKI di Taiwan masih berkisar 220.000. Oleh sebab itu, remitansi diperkirakan akan meningkat tajam karena pada tahun ini jumlah TKI, baik formal maupun nonformal, sudah mendekati angka 250.000.
Pelajar asal Indonesia di Taiwan juga terus mengalami peningkatan yang cukup signifikan seiring dengan makin banyaknya program beasiswa yang diberikan negara tersebut. Saat ini jumlah pelajar asal Indonesia hampir mendekati angka 3.500.
Namun sayangnya hingga saat ini pula KDEI tidak memiliki staf khusus yang membidangi masalah pendidikan.
Pertukaran budaya antarkedua negara juga terus berlangsung. Tingkat kunjungan wisata dari Taiwan ke Indonesia atau sebaliknya menunjukkan tren positif. Secara kumulatif, total wisatawan Taiwan yang berkunjung ke Indonesia selama Januari-Juli 2015 mencapai 109.592 orang, sedangkan wisatawan Indonesia ke Taiwan periode tersebut mencapai 104.568 orang.
Kegiatan keagamaan yang diselenggarakan WNI di Taiwan juga makin sering digelar. Para TKI yang beragama Islam hampir setiap bulan menggelar pengajian dengan mengundang pembicara dari Indonesia.
Data pendukung di atas menunjukkan bahwa hampir setiap jalur diplomasi telah terpenuhi. Namun hubungan kedua negara belum memenuhi asas legal formal karena adanya Konsensus 1992.
Era Baru China-Taiwan
Di bawah tekanan para pengunjuk rasa, Presiden Taiwan, Ma Ying Jeou, tetap melangsungkan pertemuan dengan seterunya, Presiden China, Xi Jinping, di Singapura pada 7 November 2015.
Pertemuan tersebut menandai era baru bagi hubungan Taiwan-China yang memanas sejak pecah Perang Sipil di China Daratan pada 1949. Mata dunia internasional pun tertuju ke salah satu hotel di Singapura sebagai tempat pertemuan kedua kepala negara yang sebelumnya terlibat saling provokasi di perairan Selat Taiwan.
Para pengunjuk rasa, terutama dari kelompok oposisi menganggap Ma sebagai pengkhianat karena tindakannya sama halnya dengan memberikan kesempatan kepada seterunya menginjak-injak martabat bangsanya sendiri yang lebih mapan secara ekonomi.
Belum lagi munculnya anggapan bahwa pertemuan tersebut bagian dari konspirasi antara Kuomintang sebagai partai politik pimpinan Ma yang menjelang Pemilihan Presiden Taiwan pada Januari 2016; popularitasnya terus menurun.
Dan posisi China, di Laut China Selatan atas tindakannya membangun pulau-pulau baru menimbulkan kecaman dari negara-negara di kawasan, termasuk turun tangannya militer Amerika Serikat.
Bahkan bandar udara internasional Songshan di Taipei yang biasanya tenang berubah menjadi kacau oleh ratusan pengunjuk rasa yang memaksa masuk melalui pintu samping untuk menggagalkan keberangkatan Ma ke Singapura.
Polisi Singapura pun dibuat kewalahan mengamankan puluhan aktivis prodemokrasi yang menempati salah satu hostel di Singapura. Singapura yang menerapkan larangan berunjuk rasa harus sibuk menghalau para demonstran Formosa.
Padahal pertemuan Ma dan Xi itu tidak menghasilkan kesepakatan apa pun, kecuali hanya "opera jabat tangan" sepanjang 75 detik yang diakhiri dengan lambaian tangan kepada ratusan wartawan di atas panggung berlatar belakang warna oranye tanpa tulisan apa pun.
Meskipun demikian, pertemuan tersebut dapat melahirkan harapan baru bagi Indonesia, khususnya dalam kerangka diplomasi dengan Taiwan yang sampai saat ini masih dalam tahap ikhtiar mendapatkan legalitas.
Indonesia tidak perlu lagi sungkan-sungkan dengan China dalam menjalin hubungan yang lebih serius dengan Taiwan. Hubungan politik dan ekonomi China dengan Indonesia telah berkembang dengan pesat.
Tentu Taiwan juga menginginkan hal yang sama dengan Indonesia. Apalagi tingkat ketergantungan Taiwan terhadap Indonesia sangat tinggi.
Seorang menteri anggota Kabinet Kerja tergopoh-gopoh mendatangi penulis yang menunggu kedatangannya di Bandar Udara Internasional Taoyuan, Taiwan, akhir bulan Agustus 2015.
Kepada penulis, menteri yang juga politikus salah satu partai besar di Indonesia itu meminta agar kunjungannya tidak diekspos karena bukan merupakan kunjungan kenegaraan.
Sebulan sebelumnya dua anggota DPR dari salah satu fraksi besar juga menyampaikan pesan khusus kepada staf Kantor Dagang dan Ekonomi Indonesia (KDEI) di Taipei agar kunjungannya di Taiwan tidak terendus oleh awak media.
Demikian pula dengan sejumlah pelajar asal Indonesia di salah satu perguruan tinggi ternama di Taiwan merasa canggung menggelar upacara pengibaran bendera Merah-Putih untuk memperingati Hari Kemerdekaan Ke-70 Indonesia.
Hal itu bukanlah sesuatu yang luar biasa bagi warga negara Indonesia yang tinggal di Taiwan sebagai satu negara yang tidak memiliki kuasa penuh menjalin hubungan diplomasi dengan negara-negara lain, termasuk dengan Indonesia.
Taiwan masih terbelenggu oleh Konsensus PBB 1992 tentang "Kebijakan Satu China" yang mengacu pada formulasi kebijakan yang dipegang teguh oleh Republik Rakyat China, dengan sentrum pemerintahan di Beijing yang menetapkan hanya ada satu China yang berdaulat dan memiliki aspek legalitas sebagai negara, yaitu Republik Rakyat China.
Republik Rakyat China ini juga --yang bersama Amerika Serikat, Inggris, Prancis, dan Rusia (dulu Uni Soviet), yang dijuluki The Big Five-- yang memiliki hak veto di PBB karena mereka anggota tetap Dewan Keamanan PBB.
Sementara eksistensi Republik China (Taiwan) dengan sentrum pemerintahan di Taipei diklaim sebagai bagian dari Republik Rakyat China. Pihak Beijing mendeklarasikan kepada forum internasional bahwa Taiwan sudah selayaknya tunduk pada kebijakan satu China itu.
Indonesia pun mematuhi konsensus tersebut sehingga hubungan dengan Taiwan sangat terbatas atau hanya pada bidang-bidang tertentu di luar hubungan resmi lazimnya dijalin dengan negara-negara lain yang berdaulat.
Oleh karena itu pula, di Taiwan tidak ada kedutaan besar, konsulat jenderal, atau instansi lain di bawah Kementerian Luar Negeri. Demikian pula di Indonesia, tidak ada kedutaan besar Taiwan, seperti negara-negara lain yang leluasa membuka kantor diplomatiknya di Jakarta atau kota-kota lainnya.
Di Taiwan hanya ada kantor perwakilan dagang, KDEI, di bawah Kementerian Perdagangan. Sama halnya dengan di Indonesia yang hanya ada Taipei Economic and Trade Office (TETO).
KDEI yang menempati areal perkantoran di Distrik Neihu, Taipei, hanya bertanggung jawab pada persoalan perdagangan, investasi, ketenagakerjaan, keimigrasian, pariwisata, dan budaya. Tidak jauh beda dengan TETO yang berada di kawasan Sudirman, Jakarta.
Meskipun bukan hal yang luar biasa, hubungan yang terbatas ini bukan tanpa masalah. Ketiadaan staf dari Kementerian Luar Negeri di KDEI sering kali menimbulkan persoalan tersendiri.
Bahkan yang paling mendasar adalah ketika timbul persoalan dengan para tenaga kerja Indonesia di Taiwan yang sampai sekarang jumlahnya sudah mendekati angka 240.000 orang.
Pemulangan TKI bermasalah, termasuk juga pemulangan jenazah TKI, sering kali terbentur lamanya proses birokrasi. KDEI tidak memiliki anggaran khusus untuk itu sehingga harus mengajukan permohonan dana kepada Kemenlu di Jakarta yang tentu saja membutuhkan waktu yang tidak sebentar.
Diplomasi Multijalur
Pada 1996, Dr Louise Diamond dan John McDonald memperkenalkan teori Diplomasi Multijalur. Keduanya mendefinisikan teori itu sebagai kerangka kerja konseptual yang didesain untuk merefleksikan variasi aktivitas yang berkontribusi dalam perdamaian dan kedamaian (peacemaking and peacebuilding) internasional.
Pada dasarnya, aktor dalam diplomasi ada dua: pemerintah dan nonpemerintah. Istilah diplomasi multijalur merupakan pengembangan dari dua aktor yang memengaruhi diplomasi pada beberapa dekade terakhir.
Teori ini mensyaratkan sembilan jalur diplomasi, yakni (1) pemerintah; (2) profesional nonpemerintah; (3) kelompok bisnis; (4) masyarakat sipil; (5) pendidikan; (6) advokasi dan kelompok aktivis; (7) kelompok agama; (8) filantrofi; dan (9) media massa atau media informasi.
Sebagai sebuah kerangka kerja, diplomasi multijalur tentu memiliki sebuah sistem yang menopang jalannya agenda kerja. Tujuan dari diplomasi multijalur, sebagai awal dari sistem untuk membantu dunia menjadi tempat yang lebih damai kendati hal ini bukan tujuan utama dari tiap-tiap komponen diplomasi multijalur.
Faktor paling penting sebagaimana disebut oleh Diamond sebagai heart alias pujaan dalam diplomasi multijalur adalah hubungan.
Interaksi menjadi elemen paling penting dalam perdamaian karena kesembilan jalur tersebut saling terkait satu sama lain dan memerlukan jaringan dari hubungan personal yang melewati batas waktu, tempat, usia, gender, dan negara.
Proses diplomasi multijalur sangat bertumpu pada kesadaran diri (self-consciousness). Jika hubungan adalah kunci dari substansi diplomasi multijalur, menurut Diamond, maka kesadaran diri merupakan kunci dari proses tersebut.
Jika ditelaah, hubungan Indonesia dengan Taiwan sejauh ini telah memenuhi syarat akan terjalinnya hubungan diplomasi sebagaimana teori multi jalur ini, yang diperkenalkan Diamond dan McDonald itu.
Hubungan ekonomi kedua negara tersebut dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Realisasi investasi asal Taiwan ke Indonesia pada semester I/2015 mencapai angka 85,08 juta dolar AS atau meningkat 6,64 persen dibandingkan periode yang sama tahun 2014 yang hanya 79,78 juta dolar AS.
Nilai perdagangan Indoneia-Taiwan pada semester I/2015 mencapai 5,13 miliar dolar AS. Indonesia mengalami surplus 203,1 juta dolar AS. Nilai ekspor Indonesia ke Taiwan periode tersebut mencapai 3,40 miliar dolar AS, sedangkan nilai impor Indonesia dari Taiwan pada periode tersebut sebesar 285,65 juta dolar AS.
Demikian pula dengan arus pekerja migran asal Indonesia ke Taiwan yang makin deras seiring dengan kenaikan upah dari 15.840 dolar Taiwan menjadi 17.000 dolar Taiwan per bulan untuk sektor informal dan dari 19.273 dolar Taiwan menjadi 20.008 dolar Taiwan untuk sektor formal per 1 Juli 2015.
Bank Indonesia mencatat bahwa remitansi TKI dari Taiwan selama 2014 mencapai 668,9 miliar dolar AS atau sekitar Rp 9 triliun. Saat itu jumlah TKI di Taiwan masih berkisar 220.000. Oleh sebab itu, remitansi diperkirakan akan meningkat tajam karena pada tahun ini jumlah TKI, baik formal maupun nonformal, sudah mendekati angka 250.000.
Pelajar asal Indonesia di Taiwan juga terus mengalami peningkatan yang cukup signifikan seiring dengan makin banyaknya program beasiswa yang diberikan negara tersebut. Saat ini jumlah pelajar asal Indonesia hampir mendekati angka 3.500.
Namun sayangnya hingga saat ini pula KDEI tidak memiliki staf khusus yang membidangi masalah pendidikan.
Pertukaran budaya antarkedua negara juga terus berlangsung. Tingkat kunjungan wisata dari Taiwan ke Indonesia atau sebaliknya menunjukkan tren positif. Secara kumulatif, total wisatawan Taiwan yang berkunjung ke Indonesia selama Januari-Juli 2015 mencapai 109.592 orang, sedangkan wisatawan Indonesia ke Taiwan periode tersebut mencapai 104.568 orang.
Kegiatan keagamaan yang diselenggarakan WNI di Taiwan juga makin sering digelar. Para TKI yang beragama Islam hampir setiap bulan menggelar pengajian dengan mengundang pembicara dari Indonesia.
Data pendukung di atas menunjukkan bahwa hampir setiap jalur diplomasi telah terpenuhi. Namun hubungan kedua negara belum memenuhi asas legal formal karena adanya Konsensus 1992.
Era Baru China-Taiwan
Di bawah tekanan para pengunjuk rasa, Presiden Taiwan, Ma Ying Jeou, tetap melangsungkan pertemuan dengan seterunya, Presiden China, Xi Jinping, di Singapura pada 7 November 2015.
Pertemuan tersebut menandai era baru bagi hubungan Taiwan-China yang memanas sejak pecah Perang Sipil di China Daratan pada 1949. Mata dunia internasional pun tertuju ke salah satu hotel di Singapura sebagai tempat pertemuan kedua kepala negara yang sebelumnya terlibat saling provokasi di perairan Selat Taiwan.
Para pengunjuk rasa, terutama dari kelompok oposisi menganggap Ma sebagai pengkhianat karena tindakannya sama halnya dengan memberikan kesempatan kepada seterunya menginjak-injak martabat bangsanya sendiri yang lebih mapan secara ekonomi.
Belum lagi munculnya anggapan bahwa pertemuan tersebut bagian dari konspirasi antara Kuomintang sebagai partai politik pimpinan Ma yang menjelang Pemilihan Presiden Taiwan pada Januari 2016; popularitasnya terus menurun.
Dan posisi China, di Laut China Selatan atas tindakannya membangun pulau-pulau baru menimbulkan kecaman dari negara-negara di kawasan, termasuk turun tangannya militer Amerika Serikat.
Bahkan bandar udara internasional Songshan di Taipei yang biasanya tenang berubah menjadi kacau oleh ratusan pengunjuk rasa yang memaksa masuk melalui pintu samping untuk menggagalkan keberangkatan Ma ke Singapura.
Polisi Singapura pun dibuat kewalahan mengamankan puluhan aktivis prodemokrasi yang menempati salah satu hostel di Singapura. Singapura yang menerapkan larangan berunjuk rasa harus sibuk menghalau para demonstran Formosa.
Padahal pertemuan Ma dan Xi itu tidak menghasilkan kesepakatan apa pun, kecuali hanya "opera jabat tangan" sepanjang 75 detik yang diakhiri dengan lambaian tangan kepada ratusan wartawan di atas panggung berlatar belakang warna oranye tanpa tulisan apa pun.
Meskipun demikian, pertemuan tersebut dapat melahirkan harapan baru bagi Indonesia, khususnya dalam kerangka diplomasi dengan Taiwan yang sampai saat ini masih dalam tahap ikhtiar mendapatkan legalitas.
Indonesia tidak perlu lagi sungkan-sungkan dengan China dalam menjalin hubungan yang lebih serius dengan Taiwan. Hubungan politik dan ekonomi China dengan Indonesia telah berkembang dengan pesat.
Tentu Taiwan juga menginginkan hal yang sama dengan Indonesia. Apalagi tingkat ketergantungan Taiwan terhadap Indonesia sangat tinggi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.