Bisa Meledak Jadi Perang RegionalPeta Nagorno-Karabakh [wikipedia]
Pertempuran telah beberapa pekan meledak di Nagorno-Karabakh, wilayah pecahan Azerbaijan yang dihuni mayoritas etnik Armenia. Perang itu pun menyalakan alarm risiko perang lebih besar yang menarik campur tangan Rusia, Turki dan Iran.
Konflik memang telah berlangsung selama puluhan tahun di wilayah pegunungan terpencing di Kaukasus itu tanpa dipandang strategis oleh siapa pun. Namun konflik kali ini skalanya lebih besar dan berbahaya dibandingkan sebelumnya.
Satu perbedaan besarnya adalah keterlibatan Turki yang mendukung etnik Turkic di Azerbaijan, kawasan yang masih dipengaruhi Rusia. Pertempuran itu terjadi saat Turki meningkatkan manuvernya di Timur Tengah dan Afrika Utara, menambah bahaya eskalasi regional yang biasanya hanya berupa konflik etnik itu.
“Teralihkan oleh pandemi virus corona, para mediator internasional mengabaikan tanda peringatan saat ketegangan meningkat di Nagorno-Karabakh selama musim panas,” ungkap para pengamat, dilansir New York Times. Perang yang dimulai pada akhir periode Soviet antara Armenia dan Azerbaijan itu menjadi pondasi pertempuran hari ini di Nagorno-Karabakh. Etnik Armenia yang tinggal di Azerbaijan itu mendeklarasikan kemerdekaan dan hampir habis ditumpas saat perang sebelum para pejuangnya menguasai wilayah di Azerbaijan dalam serangkaian kemenangan hingga gencatan senjata 1994.
Kawasan itu menjadi salah satu dari beberapa zona konflik beku di wilayah bekas Uni Soviet. Dengan permusuhan etnik yang mengakar, ini menjadi wilayah yang tidak diduduki militer Rusia.
Kesepakatan tercapai 26 tahun silam, sehingga 600.000 warga Azerbaijan meninggalkan wilayah itu dan Nagorno-Karabakh rawan diserang oleh Azerbaijan yang bertekad menguasai kembali kawasan itu.
Pasar minyak global menjadi latar belakang konflik saat ekonomi dan militer Azerbaijan menguat sebagai eksportir minyak.
Kawasan Nagorno-Karabakh selalu rawan konflik lokal, tapi di masa lalu, Rusia dan Turki bekerja sama meredam ketegangan. Saat pertempuran baru terjadi pada 27 September, Azerbaijan menyebut Armenia membombardir wilayahnya untuk pertama kali. Adapun Armenia menyatakan Azerbaijan melancarkan serangan tanpa diprovokasi. Sekitar 150 orang pun tewas dan jumlahnya terus bertambah.
Pertempuran itu pun menarik berbagai kekuatan regional untuk terlibat. Turki dan Rusia tak lagi seirama saat keduanya sama-sama agresif di Timur Tengah dan Amerika Serikat (AS) mulai menarik diri.
Hubungan antara Turki, Rusia dan AS pun semakin rumit. Turki berupaya mengasingkan AS dengan membeli rudal antipesawat dari Rusia dan memutus kesepakatan jaringan pipa gas alam yang merugikan Ukraina. Pada saat yang sama, pertempuran terjadi antara para milisi yang didukung Turki untuk melawan Rusia di Suriah dan Libya.
Setelah serangan udara Rusia di Suriah yang menewaskan tentara Turki awal tahun ini, Turki segera muncul di medan perang lain di mana Rusia lemah.
Pada Mei, Turki mengerahkan penasehat militer, drone militer dan pejuang asal Suriah ke Libya untuk mendukung pemerintahan Libya yang didukung Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Aliansi Turki berhasil mengusir mundur faksi yang didukung Rusia dalam perang Libya.
Pada Juli dan Agustus, Turki mengirim pasukan dan peralatan perang ke Azerbaijan untuk latihan militer.
Armenia menyatakan Turki terlibat langsung dalam perang itu dan jet tempur F-16 Turki menembak jatuh satu jet Armenia. Turki menyangkal tuduha nitu.
Rusia dan Prancis mendukung klaim Armenia bahwa Turki mengerahkan militan Suriah ke Nagorno-Karabakh setelah terlibat di Libya.
Deputi Ketua Komite Urusan Internasional Parlemen Rusia menyebut prospek intervensi militer Rusia sebagai penjaga perdamaian. Pejabat lain menyarankan Kremlin untuk mendorong negosiasi gencatan senjata.
Iran yang memiliki perbatasan dengan Nagorno-Karabakh bersiap untuk segala kemungkinan. Militer Nagorno-Karabakh menyatakan menembak jatuh satu helikopter Azerbaijan yang jatuh di Iran.
Bisa Jadi Basis Militan Serang Eropa
Tentara etnik Armenia menembakkan artileri di Nagorno-Karabakh, 5 Oktober 2020. [Foto/REUTERS]
Kremlin mengeluarkan seruan baru untuk penghentian permusuhan di dalam dan sekitar Nagorno-Karabakh.
Sebelumnya, kepala intelijen asing Rusia menyatakan wilayah pegunungan itu dapat menjadi landasan peluncuran bagi militan untuk masuk Rusia.
Moskow mengungkapkan kekhawatiran itu setelah pertempuran terburuk dalam lebih 25 tahun antara etnik Armenia dan pasukan Azerbaijan memasuki hari ke-10. AFP melaporkan Armenia telah menawarkan konsesi jika Azerbaijan juga siap melakukannya. AFP tak menjelaskan dengan rinci tawaran yang dilontarkan Perdana Menteri (PM) Nikol Pashinyan itu.
Azerbaijan menegaskan siap menghentikan perang jika Armenia menyusun kerangka waktu untuk mundur dari Nagorno-Karabakh yang secara hukum internasional milik Azerbaijan tapi dihuni dan diperintah oleh etnik Armenia.
Juru bicara Kremlin, Dmitry Peskov, menyeru perang dihentikan. Menteri Luar Negeri (Menlu) Rusia Sergei Lavrov menyatakan kekhawatiran serius tentang eskalasi luar biasa itu saat berbicara dengan Menlu Iran.
Kepala Badan Intelijen Asing Rusia (SVR) Sergei Naryshkin menyatakan konflik itu menarik kelompok tentara bayaran dan teroris dari Timur Tengah.
“Kita bicara tentang ratusan orang dan bahkan ribuan radikal yang berharap mendapat uang dalam perang baru Karabakh,” ungkap Sergei Naryshkin.
Dia memperingatkan bahwa kawasan Kaukasus Selatan itu dapat menjadi “landasan peluncuran baru bagi organisasi teroris internasional” yang dari sana para militan dapat masuk berbagai negara, termasuk Rusia.
Komentar itu muncul setelah Menlu Turki Mevlut Cavusoglu mendesak Rusia lebih aktif dalam mendorong perdamaian.
Upaya mediasi yang dipimpin Rusia, Prancis dan Amerika Serikat (AS) gagal mencegah pertempuran di Nagorno-Karabakh meski ada gencatan senjata yang mengakhiri perang 1991-1994 yang menewaskan 30.000 orang.
Perang baru sejak 27 September itu memicu kekhawatiran bahwa Turki dan Rusia dapat terseret dalam konflik Nagorno-Karabakh.
Iran yang berbatasan dengan Azerbaijan dan Armenia juga khawatir dengan konflik itu. Presiden Iran Hassan Rouhani menekankan pentingnya perdamaian di kawasan saat berbicara dengan Presiden Azerbaijan Ilham Aliyev.
Dalam perang terbaru, Armenia menyatakan Azerbaijan melancarkan serangan dengan tank dan artileri di bagian selatan garis kontak yang memisahkan etnik Armenia dan pasukan Azerbaijan.
Nagorno-Karabakh menyatakan empat bom klaster meledak di pusat Stepanakert, pusat pemerintahan wilayah itu.
Azerbaijan menyatakan kota-kotanya di luar zona konflik telah diserang, membuat pertempuran mendekati wilayah jaringan pipa yang membawa gas dan minyak Azerbaijan ke Eropa.
Kedua pihak menyatakan pihak lain menyerang wilayah sipil. Namun masing-masing menyangkal tuduhan itu.
Nagorno-Karabakh menyatakan 244 personil dan 19 warga sipil tewas sejak 27 September dan banyak lagi orang yang terluka. Azerbaijan menyatakan 27 warga sipil tewas dalam konflik itu. Azerbaijan tidak mengungkap data korban militer. (sya)
♖ Sindonews
Pertempuran telah beberapa pekan meledak di Nagorno-Karabakh, wilayah pecahan Azerbaijan yang dihuni mayoritas etnik Armenia. Perang itu pun menyalakan alarm risiko perang lebih besar yang menarik campur tangan Rusia, Turki dan Iran.
Konflik memang telah berlangsung selama puluhan tahun di wilayah pegunungan terpencing di Kaukasus itu tanpa dipandang strategis oleh siapa pun. Namun konflik kali ini skalanya lebih besar dan berbahaya dibandingkan sebelumnya.
Satu perbedaan besarnya adalah keterlibatan Turki yang mendukung etnik Turkic di Azerbaijan, kawasan yang masih dipengaruhi Rusia. Pertempuran itu terjadi saat Turki meningkatkan manuvernya di Timur Tengah dan Afrika Utara, menambah bahaya eskalasi regional yang biasanya hanya berupa konflik etnik itu.
“Teralihkan oleh pandemi virus corona, para mediator internasional mengabaikan tanda peringatan saat ketegangan meningkat di Nagorno-Karabakh selama musim panas,” ungkap para pengamat, dilansir New York Times. Perang yang dimulai pada akhir periode Soviet antara Armenia dan Azerbaijan itu menjadi pondasi pertempuran hari ini di Nagorno-Karabakh. Etnik Armenia yang tinggal di Azerbaijan itu mendeklarasikan kemerdekaan dan hampir habis ditumpas saat perang sebelum para pejuangnya menguasai wilayah di Azerbaijan dalam serangkaian kemenangan hingga gencatan senjata 1994.
Kawasan itu menjadi salah satu dari beberapa zona konflik beku di wilayah bekas Uni Soviet. Dengan permusuhan etnik yang mengakar, ini menjadi wilayah yang tidak diduduki militer Rusia.
Kesepakatan tercapai 26 tahun silam, sehingga 600.000 warga Azerbaijan meninggalkan wilayah itu dan Nagorno-Karabakh rawan diserang oleh Azerbaijan yang bertekad menguasai kembali kawasan itu.
Pasar minyak global menjadi latar belakang konflik saat ekonomi dan militer Azerbaijan menguat sebagai eksportir minyak.
Kawasan Nagorno-Karabakh selalu rawan konflik lokal, tapi di masa lalu, Rusia dan Turki bekerja sama meredam ketegangan. Saat pertempuran baru terjadi pada 27 September, Azerbaijan menyebut Armenia membombardir wilayahnya untuk pertama kali. Adapun Armenia menyatakan Azerbaijan melancarkan serangan tanpa diprovokasi. Sekitar 150 orang pun tewas dan jumlahnya terus bertambah.
Pertempuran itu pun menarik berbagai kekuatan regional untuk terlibat. Turki dan Rusia tak lagi seirama saat keduanya sama-sama agresif di Timur Tengah dan Amerika Serikat (AS) mulai menarik diri.
Hubungan antara Turki, Rusia dan AS pun semakin rumit. Turki berupaya mengasingkan AS dengan membeli rudal antipesawat dari Rusia dan memutus kesepakatan jaringan pipa gas alam yang merugikan Ukraina. Pada saat yang sama, pertempuran terjadi antara para milisi yang didukung Turki untuk melawan Rusia di Suriah dan Libya.
Setelah serangan udara Rusia di Suriah yang menewaskan tentara Turki awal tahun ini, Turki segera muncul di medan perang lain di mana Rusia lemah.
Pada Mei, Turki mengerahkan penasehat militer, drone militer dan pejuang asal Suriah ke Libya untuk mendukung pemerintahan Libya yang didukung Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Aliansi Turki berhasil mengusir mundur faksi yang didukung Rusia dalam perang Libya.
Pada Juli dan Agustus, Turki mengirim pasukan dan peralatan perang ke Azerbaijan untuk latihan militer.
Armenia menyatakan Turki terlibat langsung dalam perang itu dan jet tempur F-16 Turki menembak jatuh satu jet Armenia. Turki menyangkal tuduha nitu.
Rusia dan Prancis mendukung klaim Armenia bahwa Turki mengerahkan militan Suriah ke Nagorno-Karabakh setelah terlibat di Libya.
Deputi Ketua Komite Urusan Internasional Parlemen Rusia menyebut prospek intervensi militer Rusia sebagai penjaga perdamaian. Pejabat lain menyarankan Kremlin untuk mendorong negosiasi gencatan senjata.
Iran yang memiliki perbatasan dengan Nagorno-Karabakh bersiap untuk segala kemungkinan. Militer Nagorno-Karabakh menyatakan menembak jatuh satu helikopter Azerbaijan yang jatuh di Iran.
Bisa Jadi Basis Militan Serang Eropa
Tentara etnik Armenia menembakkan artileri di Nagorno-Karabakh, 5 Oktober 2020. [Foto/REUTERS]
Kremlin mengeluarkan seruan baru untuk penghentian permusuhan di dalam dan sekitar Nagorno-Karabakh.
Sebelumnya, kepala intelijen asing Rusia menyatakan wilayah pegunungan itu dapat menjadi landasan peluncuran bagi militan untuk masuk Rusia.
Moskow mengungkapkan kekhawatiran itu setelah pertempuran terburuk dalam lebih 25 tahun antara etnik Armenia dan pasukan Azerbaijan memasuki hari ke-10. AFP melaporkan Armenia telah menawarkan konsesi jika Azerbaijan juga siap melakukannya. AFP tak menjelaskan dengan rinci tawaran yang dilontarkan Perdana Menteri (PM) Nikol Pashinyan itu.
Azerbaijan menegaskan siap menghentikan perang jika Armenia menyusun kerangka waktu untuk mundur dari Nagorno-Karabakh yang secara hukum internasional milik Azerbaijan tapi dihuni dan diperintah oleh etnik Armenia.
Juru bicara Kremlin, Dmitry Peskov, menyeru perang dihentikan. Menteri Luar Negeri (Menlu) Rusia Sergei Lavrov menyatakan kekhawatiran serius tentang eskalasi luar biasa itu saat berbicara dengan Menlu Iran.
Kepala Badan Intelijen Asing Rusia (SVR) Sergei Naryshkin menyatakan konflik itu menarik kelompok tentara bayaran dan teroris dari Timur Tengah.
“Kita bicara tentang ratusan orang dan bahkan ribuan radikal yang berharap mendapat uang dalam perang baru Karabakh,” ungkap Sergei Naryshkin.
Dia memperingatkan bahwa kawasan Kaukasus Selatan itu dapat menjadi “landasan peluncuran baru bagi organisasi teroris internasional” yang dari sana para militan dapat masuk berbagai negara, termasuk Rusia.
Komentar itu muncul setelah Menlu Turki Mevlut Cavusoglu mendesak Rusia lebih aktif dalam mendorong perdamaian.
Upaya mediasi yang dipimpin Rusia, Prancis dan Amerika Serikat (AS) gagal mencegah pertempuran di Nagorno-Karabakh meski ada gencatan senjata yang mengakhiri perang 1991-1994 yang menewaskan 30.000 orang.
Perang baru sejak 27 September itu memicu kekhawatiran bahwa Turki dan Rusia dapat terseret dalam konflik Nagorno-Karabakh.
Iran yang berbatasan dengan Azerbaijan dan Armenia juga khawatir dengan konflik itu. Presiden Iran Hassan Rouhani menekankan pentingnya perdamaian di kawasan saat berbicara dengan Presiden Azerbaijan Ilham Aliyev.
Dalam perang terbaru, Armenia menyatakan Azerbaijan melancarkan serangan dengan tank dan artileri di bagian selatan garis kontak yang memisahkan etnik Armenia dan pasukan Azerbaijan.
Nagorno-Karabakh menyatakan empat bom klaster meledak di pusat Stepanakert, pusat pemerintahan wilayah itu.
Azerbaijan menyatakan kota-kotanya di luar zona konflik telah diserang, membuat pertempuran mendekati wilayah jaringan pipa yang membawa gas dan minyak Azerbaijan ke Eropa.
Kedua pihak menyatakan pihak lain menyerang wilayah sipil. Namun masing-masing menyangkal tuduhan itu.
Nagorno-Karabakh menyatakan 244 personil dan 19 warga sipil tewas sejak 27 September dan banyak lagi orang yang terluka. Azerbaijan menyatakan 27 warga sipil tewas dalam konflik itu. Azerbaijan tidak mengungkap data korban militer. (sya)
♖ Sindonews
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.