Jendral Leonardus Benny Moerdani adalah orang kuat di lingkungan ABRI pada awal dekade 80-an. salah satu "legenda" dalam sejarah ABRI ini lulusan Candradimuka tahun 1950. Tampilnya ia ke permukaan merupakan simbol peralihan tongkat estafet dari generasi 45 ke generasi penerus.
Awal karirnya, ia berjuang sebagai prajurit komando. Bersama Letkol Untung Syamsuri (kelak dikenal sebagai pemimpin G30S/PKI), Benny Moerdani menorehkan prestasi membanggakan saat perjuangan merebut Irian Barat. Lantaran prestasinya itu sempat ditawari Presiden Soekarno untuk masuk Resimen Tjakrabhirawa. Tetapi ia menolak, sesuatu yang langka terjadi pada saat itu, karena kebanyakan tentara menganggap melayani Presiden Soekarno adalah suatu kebanggaan.
Hampir seluruh karir militernya dihabiskan untuk mengurus soal-soal intelijen. Setelah berselisih pendapat dengan Letjen Ahmad Yani, LB Moerdani harus meninggalkan korps baret merah kebanggaannya (baca LB Moerdani dan Baret Merah). Ia pun memulai karir sebagai perwira intelijen. "Medan perang" nya mula-mula adalah Malaysia, kemudian dipindah tugaskan ke Seoul, Korea selatan.
Setelah Peristiwa Malari 1974, ia dipanggil ke Jakarta oleh Ali Moertopo untuk menangani masalah-masalah intelijen Hankam. Brigjen LB Moerdani adalah generasi intelijen berikutnya yang dipercaya Soeharto setelah Ali Moertopo dan Yoga Soegomo. Jendral Moerdani bersama-sama Ali Moertopo terlibat dalam CSIS (Center for Strategic and International Studies) (lembaga studi yang banyak membantu Soeharto dalam merumuskan kebijakan-kebijakan Orde Baru. Peran CSIS kelak tersaingi ICMI yang diketuai BJ Habibie). Sampai tahun1998, nama Jendral LB Moerdani masih dikait-kaitkan dengan agenda pihak oposisi untuk menggantikan kekuasaan Soeharto.
☆ Cemerlangnya Bintang LB Moerdani
Peristiwa Malari dilatarbelakangi kecurigaan tentang ambisi-ambisi politik Jendral Sumitro, Wapangab/Pangkopkamtib. Presiden Soeharto melikuidasinya. Tongkat komando Pangkopkamtib dia pegang sendiri, sebelum ia menemukan orang yang dipercayainya, yaitu Laksama Sudomo.
Antara tahun 1974 hingga 1978, situasi agak tenang. Keputusan Presiden membubarkan lembaga ASPRI direspons banyak kalangan sebagai iktikad baik untuk menciptakan situasi kondusif. Pada periode inilah terjadi konsolidasi ulang lembaga intelinjen dibawah Brigjen LB Moerdani. Hanya dalam beberapa tahun, LB Moerdani telah menguasai jalur-jalur intelijen utama di negeri ini.
Sebagai Asintel Hankam / Kepala Pusintelstrat / Asintel Kopkamtib, Letjen LB Moerdani memperoleh fasilitas-fasilitas khusus yang izinnya diberikan sendiri oleh Presiden Soeharto. Umpamanya, ia satu-satunya pejabat di Hankam yang bisa menggunakan pesawat-pesawat milik Pelita Air Service untuk keperluan pelaksanaan tugas-tugasnya. Lokasi kantornya di kawasan Tebet sudah lama menjadi semacam "wilayah kekuasaannya" sejak ia diangkat pada jabatan itu tahun 1974.
Naiknya posisi Letjen LB Moerdani dipengaruhi oleh situasi pada tahun 1978-1983, dalam era kepemimpinan Menhankam / Pangab M. Jusuf, dimana banyak purnawirawan jenderal yang mulai kritis terhadap kepemimpinan Soeharto. KSAD aktif Jendral Widodo, yang ditunjuk pada saat Menhankam / Pangab dijabat Jenderal M. Pangabean, membentuk Forum Studi dan Komunikasi (Fosko) TNI AD, sebuah lembaga yang dinilai terlalu keras mengritik Soeharto.
Pada tanggal 1 Juli 1978 sejumlah tokoh mendirikan Lembaga Kesadaran Berkonstitusi (LKB). Yang menarik, LKB berhasil melibatkan dua tokoh penting republik ini, yaitu Proklamator Drs. Muhammad Hatta dan Jenderal (Purn) Abdul Haris Nasution. Kemudian pada tahun 1980, muncullah Petisi 50, sebuah "Pernyataan Keprihatinan" yang ditandatangani lima puluh orang tokoh yang mengritik penyalah tafsiran Pancasila sebagai alat mempertahankan kekuasaan. Pidato tanpa teks Presiden Soeharto dalam rapim ABRI di Pekanbaru, 27 Maret 1980, dan pada HUT Kopassandha 16 April 1980, berisi kecaman terhadap Petisi 50.
Lawan-lawan politik Presiden Soeharto mulai menampakan diri. Mereka justru berasal dari almamaternya sendiri, yaitu Angkatan Darat. Saat itulah Presiden Soeharto memang memerlukan sosok yang kuat untuk melindunginya, tetapi tidak mungkin mengkhianatinya.
Letjen LB Moerdani memenuhi kriteria itu.
☆ Pembajakan Woyla, Naiknya Sintong Panjaitan
Nama Moerdani kian cemerlang karena berhasil mengatasi pembajakan pesawat Garuda Woyla di Bangkok, Thailand. Keberhasilan menggagalkan pembajakan ini melambungkan nama Letkol Sintong Panjaitan sebagai komandan pasukan. Letjen LB Moerdani yang terjun langsung dalam operasi itu, juga menuai pujian dari mana-mana.
Beberapa pihak menganggap, karena LB Moerdani menikmati pujian lebih banyak dari panglimanya, Jenderal M. Jusuf. Kivlan Zen menulis bahwa konflik Jusuf - Moerdani muncul tahun 1981 setelah peristiwa pembajakan itu. Saat itu, Letjen Moerdani menjabat Asintel dan Kepala BAIS (Badan Intelijen Strategis). Pada tanggal 30 Maret, Jenderal M Jusuf melakukan commanders call ABRI di Ambon. Letjen Moerdani tidak mengikutinya, karena ada pembajakan pesawat Garuda Woyla di Bandara Don Muang, Bangkok.
Menurut buku Sumarkidjo, sebetulnya Letjen Moerdani mengikuti rapat pimpinan ABRI itu. Bahkan ia punya satu sesi tersendiri dalam rapat pimpinan, dimana ia menyampaikan analisis dan evaluasi mengenai situasi keamanan nasional dan regional. Berita pembajakan itu dilaporkan pertama kali oleh Wapangab / Pangkopkamtib Laksamana Soedomo. Hampir pada saat yang bersamaan, laporan serupa di sampaikan oleh staf Benny Moerdani. Dan menurut Sumarkidjo, Menhankam/Pangab Jenderal M Jusuf langsung memanggil Letjen Moerdani dan memerintahkannya menangani masalah pembajakan itu personally. Artinya, Benny pribadi yang diperintahkan untuk pergi. Jusuf memerintahkan Moerdani pergi dari Manado dengan mengunakan pesawat komando yang biasa dipergunakan Jusuf. Saat itu juga Letjen LB Moerdani terbang dengan pesawat C-130 Komando ke Makasar, kemudian pindah ke pesawat jet milik Pelita Air Service yang terbang dari Jakarta khusus untuk menjemput Benny.
Begitu mendengar ada berita pembajakan terhadap Indonesia di luar negeri, Letjen LB Moerdani langsung terbang ke Jakarta via Makasar. Malam itu juga, ia menghadap Presiden Soeharto di Cendana untuk melaporkan langsung pembajakan itu, serta menerima sejumlah instruksi.
Dalam drama pembajakan ini, Letjen Benny menggalang pasukan sendiri dengan bantuan pasukan Kopassus yang di rekrut mendadak. Letkol Sintong Panjaitan dan Mayor Subagyo HS adalah perwira yang terlibat dalam operasi ini, sehingga mendapat anugerah kehormatan. Dan diberitakan bahwa Subagyo HS sempat kecewa karena tidak terpilih mengikuti pendidikan antiteror di Jerman bersama Luhut Panjaitan dan Prabowo Subianto, tapi kemudian malah mendapat kesempatan terlibat dalam operasi yang berharga itu.
Operasi pembebasan sandera itu meraih sukses besar. Para pembajak di taklukan dalam serbuan yang taktis dan kilat. Peristiwa ini membuka mata dunia bahwa Indonesia pun memiliki pasukan khusus (special forces) yang kemampuan setara dengan SWAT (Strategic Weapon and Tactics) milik Amerika Serikat.
Tapi, segala pujian dan kredit diarahkan kepada Letjen Benny Moerdani, intelijen yang ada dalam kendalinya, serta Kopassus. Ini konon membuat Jenderal M Jusuf tidak berkenan. Muncul tudingan bahwa BAIS sengaja menggalang kekuatan ekstrem Islam untuk menggerakkan aksi pembajakan, untuk kemudian ditumpas sendiri oleh Letjen Benny Moerdani.
Menanggapi isu bahwa pembajakan itu rekayasa BAIS, Menhankam/Pangab Jenderal M Jusuf di dampingi Letjen LB Moerdani memberikan keterangan di depan rapat kerja gabungan komisi-komisi DPR RI. Sambil menoleh kepada Benny yang duduk di sampingnya, Jenderal M Jusuf berkata, "Bukan dia yang bikin. kalau dia yang bikin...., saya pecat dia hari ini juga." Benny Moerdani diam, tidak memberikan reaksi.
Pasca drama pembajakan Woyla, nama LB Moerdani langsung meroket. Juga nama Sintong Panjaitan dan Subagyo HS. Tetapi dalam level elit politik, Benny Moerdani lah yang mendapat kredit poin terbesar. Presiden Soeharto menjadi sangat memercayainya, karena jasanya yang berhasil mengharumkan nama Indonesia di jagat Internasional.
Menurut Prof. Robert Edward Elson, naiknya Moerdani disebabkan oleh karena Soeharto memerlukan aliansi baru, setelah pudarnya Ali Moetopo akibat serangan jantung pada 1978 dan meninggal dunia tahun 1984, serta semakin surutnya pengaruh Sudjono Humardani setelah masuknya para birokrat profesional. Sejalan dengan hal itu, Soeharto mulai mencari-cari gaya kepemimpinan militer yang baru.
Pada tahun 1983-1985, Mayor Prabowo menjadi staf khusus bagi Jenderal Moerdani. Sebagai staf khusus, Mayor Prabowo mendapatkan penjelasan tentang agenda Jenderal Benny untuk menhancurkan gerakan-gerakan Islam secara sistematis. Karena merasa tidak cocok dengan rencana tersebut, Prabowo melaporkan langkah-langkah Benny kepada mertuanya, termasuk rencana Benny untuk menjadi Presiden RI. Jenderal Moerdani juga dicurigai punya agenda untuk membersihkan ABRI dari orang-orangnya M. Jusuf.
Mendengar laporan menantunya, mula-mula Presiden Soeharto tidak percaya. Tetapi berdasarkan informasi lanjutan yang didapatkan sendiri, dia akhirya percaya. Tapi, yang lebih menetukan nasib sang Jendral mungkin adalah keberaniannya "menegur" Presiden Soeharto tentang sepak terjang anak anak Presiden di bidang bisnis.
Ketika Pak Harto dan Benny sedang main bilyar berdua, Benny mengatakan sesuatu yang membuat Pak Harto sangat tersinggung. Benny berkata bahwa untuk menjaga keamanan pribadi presiden, memang sudah cukup dengan satu batalyon Paspampres. Tetapi untuk pengamanan politik Presiden, mutlak harus didukung oleh keterlibatan keluarga dan juga Presidennya sendiri. "Begitu saya angkat masalah tentang anak-anaknya tersebut, Pak Harto langsung berhenti main. Segera masuk kamar tidur, meninggalkan saya di ruang bilyar, ... sendirian."
Versi Sudomo lain lagi. Menurut Wapangab/Pangkopkamtib Laksamana Sudomo, Jenderal LB Moerdani pernah menyampaikan suatu saran kepada Pak Harto agar mempertimbangkan untuk mengundurkan diri secara sukarela, karena telah memimpin 20 tahun, masa bakti yang terlalu lama. Pak Harto mengonfirmasi saran tersebut kepada Sudomo. Lantas Sudomo mengatakan, "Memang, intelijen harus berani mengungkapkan fakta yang sebenarnya, meski yang tidak enak sekalipun.
Benny sendiri, usai bertemu Soeharto berkata kepada Sudomo, "Wah, bapake kethoke nesu banget (Wah, beliau nampak marah sekali). Jadi [karir] saya pasti sudah selesai, hanya akan sampai di sini."
Jenderal Moerdani merasa pasti tidak akan masuk ke jajaran kabinet lagi.
Operasi pembebasan sandera itu meraih sukses besar. Para pembajak di taklukan dalam serbuan yang taktis dan kilat. Peristiwa ini membuka mata dunia bahwa Indonesia pun memiliki pasukan khusus (special forces) yang kemampuan setara dengan SWAT (Strategic Weapon and Tactics) milik Amerika Serikat.
Tapi, segala pujian dan kredit diarahkan kepada Letjen Benny Moerdani, intelijen yang ada dalam kendalinya, serta Kopassus. Ini konon membuat Jenderal M Jusuf tidak berkenan. Muncul tudingan bahwa BAIS sengaja menggalang kekuatan ekstrem Islam untuk menggerakkan aksi pembajakan, untuk kemudian ditumpas sendiri oleh Letjen Benny Moerdani.
Menanggapi isu bahwa pembajakan itu rekayasa BAIS, Menhankam/Pangab Jenderal M Jusuf di dampingi Letjen LB Moerdani memberikan keterangan di depan rapat kerja gabungan komisi-komisi DPR RI. Sambil menoleh kepada Benny yang duduk di sampingnya, Jenderal M Jusuf berkata, "Bukan dia yang bikin. kalau dia yang bikin...., saya pecat dia hari ini juga." Benny Moerdani diam, tidak memberikan reaksi.
Pasca drama pembajakan Woyla, nama LB Moerdani langsung meroket. Juga nama Sintong Panjaitan dan Subagyo HS. Tetapi dalam level elit politik, Benny Moerdani lah yang mendapat kredit poin terbesar. Presiden Soeharto menjadi sangat memercayainya, karena jasanya yang berhasil mengharumkan nama Indonesia di jagat Internasional.
Menurut Prof. Robert Edward Elson, naiknya Moerdani disebabkan oleh karena Soeharto memerlukan aliansi baru, setelah pudarnya Ali Moetopo akibat serangan jantung pada 1978 dan meninggal dunia tahun 1984, serta semakin surutnya pengaruh Sudjono Humardani setelah masuknya para birokrat profesional. Sejalan dengan hal itu, Soeharto mulai mencari-cari gaya kepemimpinan militer yang baru.
☆ Soeharto Marah kepada LB Moerdani
Pada tahun 1983-1985, Mayor Prabowo menjadi staf khusus bagi Jenderal Moerdani. Sebagai staf khusus, Mayor Prabowo mendapatkan penjelasan tentang agenda Jenderal Benny untuk menhancurkan gerakan-gerakan Islam secara sistematis. Karena merasa tidak cocok dengan rencana tersebut, Prabowo melaporkan langkah-langkah Benny kepada mertuanya, termasuk rencana Benny untuk menjadi Presiden RI. Jenderal Moerdani juga dicurigai punya agenda untuk membersihkan ABRI dari orang-orangnya M. Jusuf.
Mendengar laporan menantunya, mula-mula Presiden Soeharto tidak percaya. Tetapi berdasarkan informasi lanjutan yang didapatkan sendiri, dia akhirya percaya. Tapi, yang lebih menetukan nasib sang Jendral mungkin adalah keberaniannya "menegur" Presiden Soeharto tentang sepak terjang anak anak Presiden di bidang bisnis.
Ketika Pak Harto dan Benny sedang main bilyar berdua, Benny mengatakan sesuatu yang membuat Pak Harto sangat tersinggung. Benny berkata bahwa untuk menjaga keamanan pribadi presiden, memang sudah cukup dengan satu batalyon Paspampres. Tetapi untuk pengamanan politik Presiden, mutlak harus didukung oleh keterlibatan keluarga dan juga Presidennya sendiri. "Begitu saya angkat masalah tentang anak-anaknya tersebut, Pak Harto langsung berhenti main. Segera masuk kamar tidur, meninggalkan saya di ruang bilyar, ... sendirian."
Versi Sudomo lain lagi. Menurut Wapangab/Pangkopkamtib Laksamana Sudomo, Jenderal LB Moerdani pernah menyampaikan suatu saran kepada Pak Harto agar mempertimbangkan untuk mengundurkan diri secara sukarela, karena telah memimpin 20 tahun, masa bakti yang terlalu lama. Pak Harto mengonfirmasi saran tersebut kepada Sudomo. Lantas Sudomo mengatakan, "Memang, intelijen harus berani mengungkapkan fakta yang sebenarnya, meski yang tidak enak sekalipun.
Benny sendiri, usai bertemu Soeharto berkata kepada Sudomo, "Wah, bapake kethoke nesu banget (Wah, beliau nampak marah sekali). Jadi [karir] saya pasti sudah selesai, hanya akan sampai di sini."
Jenderal Moerdani merasa pasti tidak akan masuk ke jajaran kabinet lagi.
☆ Sekali lagi Dicurigai Kudeta
Pergantian Panglima ABRI dari Jendral LB Moerdani ke Letjen Try Sutrisno berlangsung tanggal 24 Februari 1988, seminggu sebelum Sidang Umum MPR digelar. Ini adalah sesuatu yang ganjil, sama sekali di luar kebiasaan. Biasanya, siapa yang menduduki jabatan Panglima ABRI diumumkan bersamaan dengan pengumuman sususnan kabinet, karena jabatan ini adalah setara menteri. Diberhentikannya Jendral LB Moerdani sebagai Pangab berarti satu hal, Presiden Soeharto mencoba membatasi ruang gerak Benny.
Menurut Kivlan Zen, dimajukannya pergantian Pangab untuk mencegah LB Moerdani memaksa Ketua Fraksi ABRI di MPR, Letjen Bambang Triantoro, untuk mengajukan namanya sendiri sebagai calon Wakil Presiden. Cara ini dianggap mendahului kehendak Soeharto, dapat membuat malu, dan terkesan tidak demokratis bila Soeharto menolaknya dalam Sidang MPR.
Sidang Umum MPR 1988 memang agak menegangkan dibanding sebelumnya. Ada beberapa alasan :
- Presiden Soehato belum menunjuk sosok yang dipilihnya untuk menjadi Wakil Presiden. Ini menimbulkan banyak spekulasi di kalangan elit politik maupun masyarakat luas. Kekuatan-kekuatan politik yang ada saat itu kian berani mengelus-elus jagonya masing-masing. Situasi pun kian meruncing.
- Dari PPP (Partai Persatuan Pembangunan) muncul kandidat Cawapres Dr. H.J. Naro. Motivasinya hanya untuk "meramaikan" saja, dan kalau bisa, memaksa agar sidang melakukan voting. Saat itu voting dianggap tabu, karena dinilai bertentangan dengan budaya musyawarah mufakat. Soeharto selalu menginginkan mufakat bulat untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden.
- Ada indikasi bahwa ABRI dan Golkar menghendaki nama yang berbeda menjadi Cawapres. Nama Pangab Jenderal LB Moerdani sering disebut-sebut sebagai kandidat ideal di pihak ABRI. Sedangkan nama Sudharmono merupakan favorit Golkar.
☆ "Saya Bukan Lagi ketua Partai ABRI..."
Makna di balik pergantian Pangab yang dipercepat itu diterima oleh Benny Moerdani. Terbukti, dua jam setelah prosesi pergantian Pangab, terjadi dialog antara Benny Moerdani, Soegiarto (Kassospol Hankam), dan Mayjen Harsudiono Hartas (Assospol Hankam).
Kedua perwira tinggi itu mengajukan pertanyaan, "Pak, siapakah yang nanti akan kita ajukan sebagai calon Wakil Presiden?"
"Lho, koq tanyanya sama ABRI"
"Memang, semuanya tanya sama kita. Semua bertanya, siapa yang bakal dicalonkan ABRI untuk menjadi wakil presiden," begitu desak Soegiarto dan Hartas hampir serentak.
Benny, kemudian menanyakan, bagaimana dengan floor?
Dijawab, nama Benny sering di sebut-sebut, Tetapi dengan suara mantap, sambil menunjuk Try Sutrisno yang duduk disebelahnya, Benny langsung menegaskan, "Bagus kalau demikian... kalau saya masih jadi ketua partai ABRI. tetapi sejak dua jam yang lalu, ketua partai sudah bukan di tangan saya lagi, melainkan Try ..."
"Jadi?"
"Jadi, ya yang ini saja saya usulkan, glundhungkan saja Try sebagai calon Wakil Presiden..."
Jenderal Try Soetrisno diam tidak bereaksi. Tentu saja, usulan itu tidak mungkin dilaksanakan. Try baru beberapa jam menjabat Panglima ABRI secara resmi. Kata-kata Benny Moerdani hanya mengindikasikan bahwa dengan dicopotnya dia sebagai Pangab, harapan ABRI untuk mendudukkan kadernya di kursi Wapres telah sirna.
Lebih dari itu, kata-kata itu berarti Benny telah bisa menerima isyarat yang diberikan Presiden Soeharto, agar dirinya jangan maju sebagai Cawapres. Bahwa dia tidak boleh macam-macam, apalagi menggangu proses pemilihan Wapres.
Sudharmono lah yang kemudian menjadi Wapres.
Dicopot dari jabatan Pangab, gagal menjadi Wapres, membuat nasib Benny Moerdani terkatung-katung. Disinilah Sudomo melakukan terobosan. Ia mengingatkan Presiden Soeharto tentang nasib Park Chung hee, Jenderal yang menjadi Presiden Korea Selatan, yang tewas ditembak oleh bekas kepala intelnya. Menurut Sudomo, "Saya lihat Pak Harto kaget ... Mungkin beliau mulai merasa takut dan berpikir, bagaimana kalau nanti Benny mbambung (berarti menggelandang, karena tak punya pekerjaan), nekad karena merasa di kecewakan?"
Tiga minggu setelah Sidang Umum MPR selesai, sususnan lengkap Kabinet Pembangunan IV di umumkan. Jenderal Moerdani di tunjuk menjadi Menteri Pertahanan dan Keamanan.
☆ Lagi-lagi Dicurigai Kudeta
Sidang Umum MPR 1988 akhirnya memang berjalan mulus. Namun sebelumnya, sikap paranoid muncul di kalangan perwira-perwira yang lima tahun sebelumnya pernah mencurigai LB Moerdani melakukan kudeta. Kivlan Zen menuturkan, Prabowo mempersiapkan satu Batalyon Kopassus, Batalyon Infanteri Linud 328, Batalyon Infanteri 303, Batalyon Infanteri 321, dan Batalyon Infanteri 315, yang dapat dipercayainya untuk melakukan kontra-kudeta, sebagaimana Soeharto melakukan kontra-kudeta terhadap G30S/PKI tahun 1965. Saat SU MPR digelar, jabatan Pangab memang telah di serahterimakan kepada Jenderal Try Sutrisno. Tapi Jenderal LB Moerdani masih memegang jabatan strategis sebagai Pangkopkamtib dan Kepala BAIS.
Kecurigaan kudeta tidak terbukti. Tapi tetap saja Jenderal LB Moerdani dicurigai mengonsolidasikan kekuatan untuk merongrong pemerintah. Di baliknya ada tokoh-tokoh penandatangan Petisi 50, sejumlah purnawirawan jenderal atau pejabat tinggi yang tidak puas. Menurut Kivlan Zen, ungkapan Presiden Soeharto itu terjadi karena adanya informasi seorang Letkol melalui Mayor Gleni Kairupan kepada Titiek Prabowo agar sampai kepada Soeharto. Informasi itu berupa dokumen hasil pertemuan beberapa jenderal untuk melakukan suksesi dengan minta dukungan Ismail Hasan Metareum di MPR.
Pengamat politik Christianto Wibisono mengungkapkan, Benny pernah jadi anak emas sekaligus korban Soeharto. Di angkat naik seperti roket jadi jenderal bintang empat, tetapi dicampakkan dari jabatan Panglima ABRI secara mendadak, mirip cara memecat tenaga kerja Indonesia. Bulan madu Soeharto - Benny hanya berumur sekitar 10 tahun. setelah masa "bulan madu" itu, justru nama Benny Moerdani sering dikait-kaitkan dengan upaya merongrong kewibawaan pemerintah.
Tahun 1989, dalam perjalanan pulang kunjungan kenegaraan ke Beograd Yugoslavia, Presiden Soeharto berkata, "Biar jenderal atau menteri yang bertindak inkonstitusional akan saya gebuk." Konon kata-kata itu ditunjukan pada faksi Jenderal LB Moerdani yang melancarkan isu-isu suksesi.
Sekali lagi, Jenderal LB Moerdani dicurigai akan melakukan kudeta. Maka semakin gencarlah upaya de-Benny-isasi, sebuah gerakan "pembersihan" terhadap perwira-perwira militer yang berafilasi ke group Benny.
Mayjen Sintong Panjaitan adalah yang tersingkir. Karir militernya tamat empat tahun setelah LB Moerdani tidak jadi Pangab lagi.
☆ Dikutip dari buku Sintong dan Prabowo, dari kudeta 'LB Moerdani' sampai 'kudeta Prabowo', A. Pambudi, 2009 ☆
Masing2 bwt cerita sendiri ya gan.
BalasHapusTinggal pemenang yg bisa menentukan sejarah sebenarya
saya suka cara memimpin soeharto dalam pembangunan bangsa ini...stabilitas ekonomi serta keamanan layak diacungkan jempol....hanya saja ada sifat2 pak harto yg menurut saya kurang baik, saat ada lawan politik yg kiranya akan menumbangkan kharisma kepemimpinan beliau, beliau tidak segan2 membunuh karakter lawan politik tersebut, agar lawan politik beliau tidak menjadikan dia sebagai penghalang utk menjalani kekuasaan negeri ini....tapi itulah politik....
BalasHapusEntahlah cerita siapa yang benar, karena masing2 punya cerita yg berbeda.
BalasHapus