Ⓑadan
Intelijen Strategis (Bais) adalah sebuah nama yang terkenal angker
namun ditakuti. Lembaga ini disebut-sebut berperan penting melumpuhkan
gerombolan pengacau keamanan di DI Aceh, juga gerakan antipenyatuan di
Timor Timur. Richard Tanter (pakar politik dari Monash University,
Melbourne, Australia) bahkan mengatakan Bais pula yang menggembosi
dukungan untuk gerakan Papua Merdeka di Irian Jaya, dengan mengendalikan
beberapa tokoh pemerintahan di Papua Nugini.
Kelahiran
Bais tidak lepas oleh Benny Moerdani, tak berapa lama setelah ia
menjabat Panglima ABRI pada Maret 1983. Tanter memuji Bais sebagai
organisasi yang rapi. "Cara kerjanya terkendali, pengaruhnya menyerap ke
bawah dan ke atas," katanya. Boleh percaya atau tidak, kegiatan pertama
Bais adalah pengendalian kejahatan dengan PETRUS, operasi yang membuat
keder penjahat, gali dan bromocorah.
Pemerintah
sendiri tak pernah mengumumkan siapa di belakang petrus itu. Ketika
masalah petrus itu marak secara nasional, Benny Moerdani menyebutkan:
"ada perang antar gang" atau "ada orang mati dengan luka peluru, karena
melawan petugas." Presiden sendiri (dalam buku Soeharto : Pikiran,
Ucapan dan Tindakan Saya, 1989) membenarkan dalih untuk mengatasi
kejahatan itu. "Lalu ada yang mayatnya ditinggalkan begitu saja, itu
shock therapy," katanya. Prestasi lain adalah Operasi Woyla, membebaskan
pesawat Garuda yang dibajak di Bandara Don Muang, Bangkok.
Bais
lahir sebagai bentuk baru Pusat Intelijen Strategis (Pusintelstrat),
yang ketika itu bernaung di bawah Mabes ABRI. Kelahiran Bais itu dicatat
Tanter sebgaia era baru dalam organisasi intelijen di tubuh ABRI. Benny
Moerdani membentuk badan intelijen ini dengan ciri khas : serba
terpusat dan profesional. Menurut Tanter, Benny memang punya obsesi
untuk memperbarui sistem dan struktur kekuatan lewat intelijen di
Indonesia (lihat Bagian Ke-3 : Format Baru dari Markas Tebet).
Sejarah
inteijen Indonesia boleh dibilang samar dan liku-liku. Satuan intel
pertama yang muncul adalah Badan Istimewa, tak lama setelah kemerdekaan.
Satuan ini dipimpin dan dilatih oleh Zoelkifli Loebis, bekas perwira
Peta yang mendapatkan pendidikan intel dari Seinen Dojo, Pusat
Penggemblengan Pemuda. Badan Istimewa ketika itu menginduk pada Badan
Keamanan Rakyat (BKR), cikal bakal TNI.
Dalam
memoarnya dalam majalah Tempo 29 Juli 1989, Zoelkifli Loebis mengaku
merekrut 40 pemuda, kebanyakan perwira Peta gyugun. Sebelum terjun ke
lapangan, mereka dibekali latihan soal informasi militer, sabotase dan
perang urat syaraf. Pendidikannya cuma satu minggu. Pelatihnya Zoelkifli
sendiri, yang memang sempat menjadi intel di satuan militer Jepang di
Singapura.
Ketika
pusat pemerintahan pindah ke Yogya, Badan Istimewa pun berubah menjadi
Brani (Badan Rahasia Negara Indonesia), yang menginduk ke Kementerian
Pertahanan, tapi punya jalur langsung ke Presiden Soekarno. Pemimpinnya
tetap Zoelkifli Loebis. Brani terus merekrut ratusan pemuda, mendidik
dengan latihan kilat dan membentuk satuan FP (Field Preparation).
Tugas
FP itu macam-macam, ya sabotase, psywar, penggalangan perlawanan
terhadap Belanda, menyusup ke lawan, hingga penyelundupan senjata.
"Pokoknya, kami ini intelijen tempur sekaligus teritorial," ujar Letjen
(Purn) Soetopo Joewono, mantan Kepala Bakin yang menjadi anggota Brani.
Dalam Brani itu bergabung pula Yoga Sugomo, lulusan Akademi Militer
Tokyo, yang kemudian sempat dua perioda menjadi kepala Bakin.
Kabinet
berganti. Pada masa Amir Sjarifoeddin menjadi perdana menteri (April
1947) satuan intel itu dirombak, menjadi KP (Kementerian Pertahanan) V.
Satuan intel yang agak di luar struktur militer, yakni bekas jaksa dan
polisi pada zaman Belanda, digabung tapi ditempatkan di seksi yang
berbeda. Seksi A (bekas Brani) dipimpin oleh orang kepercayaan Amir,
yaitu Kol. Abdoerahman dan Zoelkifli Loebis menjadi wakilnya. Kelak sejarah
mencatat, baik Amir mau pun Abdoerahman adalah pelaku aktif
pemberontakan PKI (Madiun Affair) tahun 1948.
Sejarah
terus bergulir. Kabinet Amir jatuh, Hatta muncul sebagai Perdana Menteri. KP V dibubarkan. Kemudian Pemerintah membentuk Staf Umum
Angkatan Darat (SUAD). Dan bagian I SUAD menjadi organisasi intel. Kol.
Zoelkifli Loebis (yang di kemudian hari terlibat dalam aksi
pemberontakan PRRI) kembali menjadi pemimpinnya.
Organisasi
itu tak lama berdiri. Setelah penyerahan kedaulatan dan kedudukan
pemerintah kembali ke Yogya pada pertengahan 1949, organisasi intel
kembali berubah. Kali ini namanya menjadi Intelijen Kementerian
Pertahanan (IKP) dan Zoelkifli tetap memainkan tokoh utama. IKP berada
di bawah pimpinan Sri Sultan Hamengku Buwono sebagai Menteri Pertahanan.
Dalam posisi sebagai Kepala IKP itu, Zoelkifli membentuk Bisap (Biro
Informasi Angkatan perang), yang bertugas menyiapkan info strategis
untuk Menteri Pertahanan dan pemimpin militer.
Organisasi
IKP dan Bisap itu lebih awet, dibanding yang ada sebelumnya. Tapi
Zoelkifli Loebis terlibat konflik dengan kelompok AH Nasoetion, dalam
beberapa urusan militer. Ujung-ujungnya, ketika kelompok Nasoetion
melakukan unjuk rasa lewat "Aksi 17 Oktober 1952", dengan mengarahkan
meriam ke Istana, menuntut pembubaran DPR, Zoelkifli berada di pihak
seberang. Usai aksi itu, konon Zoelkifli hendak ditangkap. Ia lari,
sampai kemudian bergabung dalam aksi PRRI. Akibatnya, IKP digembosi.
Sejak
itu, satuan intelijen militer terasa kurang menonjol. Apalagi ketika
itu posisi militer berada di luar kehidupan politik. Peranan intelijen
itu baru kembali menonjol setelah Wakil Perdana Menteri Soebandrio
diizinkan Bung Karno memimpin Biro Pusat Intelijen (BPI), yang mengklaim
membawahkan kesatuan intel di tiga angkatan, kepolisian negara,
kejaksaan serta intelijen Hankam.
Munculnya
BPI itu tentu mempengaruhi intelijen Hankam. "Waktu itu sering terjadi
gunting menggunting di antara para intel kedua instansi ini," tutur
Joewono. Agen-agen BPI menyusup ke Hankam dan semua angkatan. Maklum,
ketika itu posisi Soebandrio sangat kuat dan dekat dengan Bung karno.
"Setiap kali dibuat laporan tentang ulah PKI, ada saja laporan lain yang
melemahkannya," lanjutnya. Walhasil, intel Hankam lemah.
Keadaan
itu terus berlangsung sampai 1965. Dengan leluasa intel BPI merekayasa
dokumen Gillchrist. Dokumen itu berupa surat yang seolah-olah dari Duta
Besar Inggris di Jakarta (Gillchrist) pada seorang koleganya, Harolg
Gaccia. Dalam surat aspal itu, Gillchrist menulis "our local army
friends." Lantas dibumbui bahwa kata-kata itu berarti adalah "Dewan
Jendral" yang akan mengkudeta Bung Karno.
Isu
itu memojokkan Angkatan Darat. Di sisi lain memancing gelegak kelompok
militan di bawah PKI, seperti Pemoeda Rakjat. Maka, terjadilah aksi
pengkhianatan G30S-PKI. Nyatanya PKI gagal dan hancur. PKI dibubarkan
maret 1966 dan kemudian BPI dibekukan. Sebagai gantinya dibentuk Komando
Intelijen Negara (KIN). Tak sampai setahun, lembaga ini ganti nama
menjadi Bakin.
Mula-mula
Mayjen Soedirgo ditempatkan sebagai Kepala Bakin. Namun karena
dicurigai bersimpati pada PKI, ia dicopot. Yoga Sugomo yang
menggantikannya. Organisasi-organisasi intelijen dibenahi.
Ditulangpunggungi badan intel G-1 Hankam, satuan-satuan intel itu
bahu-membahu mengamankan Orde Baru. "Pada masa itu satuan intel menjadi
pelaksana operasi pokok di dalam negeri," tutur Joewono.
Di
tengah kegiatan intel G-1 dan Bakin, menjelang Orde Baru, ada pula
gugus "intelijen lain" dengan panji Operasi Khusus (Opsus) di lapangan.
Opsus sebetulnya dibentuk untuk operasi pembebasan Irian Barat pada
1961, lalu untuk menyelesaikan konfrontasi dengan Malaysia pada 1966.
Kedua misi tadi dipimpin Ali Moertopo.
Dengan
posisinya memimpin intelijen, Assintel Hankam, Kepala Seksi Intel
Kopkamtib dan Wakil Kepala Bakin, Ali Moertopo disebut-sebut mempunyai
gapaian luas. Ali pula yang dituding berada di balik konflik intern
Parmusi yang membuat Djarnawi Hadikoesoemo dan Loekman Haroen terpental
dikudeta J. Naro. Ali Moertopo memberikan jalan tengah, dengan
menempatkan HMS Mintaredja, tokoh yang dekat dengan Pemerintah, untuk
memimpin Parmusi. Pendek kata, lawan politik Ali menyebut Opsus itu
sebagai "alat yang efektif untuk memaksakan kehendak Pemerintah." Posisi
Ali menguat dengan kedudukannya sebagai Sekretaris Pribadi (Sespri) dan
kemudian Asisten Pribadi (Aspri) Presiden, hingga segala pantauan dan
analisis intelnya bisa langsung sampai ke Presiden.
Benturan
tak bisa dielakkan. Malari meletus. Santer disebut bahwa di balik
peristiwa 15 Januari 1974 itu ada persaingan di antara Ali Moertopo,
Panglima Kopkamtib Jendral Soemitro dan Kepala Bakin Soetopo Joewono.
Ada spekulasi, Ali mengerahkan sejumlah orang GUPPI melakukan pembakaran
di sela-sela aksi demo itu. Walhasil, Soemitro dan Soetopo Joewono
terpental dari jabatannya. Demikian pula Ali. Lembaga Aspri dibubarkan.
Setelah
itu, Benny Moerdani dan Yoga Soegama dipanggil pulang dari penugasannya
di luar negeri untuk membenahi dunia intelijen Indonesia. Yoga kembali
ke Bakin dan Benny Moerdani menata kembali organisasi intelijen organik
Hankam. Secara perlahan Benny membuat pembaruan. Mula-mula ia
memperbaiki mutu anggota dan perangkat pendukungnya. Seiring dengan itu
kariernya pun menanjak, menjabat sebagai Assintel Hankam, Wakil Kepala
Bakin, Komandan Satgas Intel Kopkamtib dan Kepala Pusat Intelijen
Strategis.
Setelah
menjabat Panglima ABRI, Pusat Intelijen Strategis dikembangkan menjadi
Bais. Secara bertahap (menurut seorang bekas intel ABRI) urusan
Kopkamtib dialih tangankan pula ke Bais. Tugas Kopkamtib (misalnya)
menangani konflik dalam partai, melakukan screening, mengawasi bekas
tahanan politik PKI, memberantas pungli sampai urusan tanah.
Sementara itu, Bakin lebih memantau dan menganalisis masalah secara nasional. Paling tidak tiap sidang kabinet paripurna tutup tahun, Kepala Bakin selalu diberi tugas oleh Presiden untuk memaparkan perkiraan keadaan tahun berikutnya.
Lembaga yang pernah disegani itu (bahkan buat sebagian orang dirasakan angker) kini tinggal sejarah. Itulah Badan Intelijen Strategis (Bais) ABRI. Namanya kini adalah Badan Intelijen ABRI (BIA). Sosoknya lebih ramping dan anggotanya menciut, dibandingkan dengan Bais. "Sesuai dengan kebutuhan zaman, keadaan sekarang membuat Bais tak lagi dibutuhkan sebesar ini," kata seorang pejabat tinggi ketika menanggapi rencana perubahan saat itu.
Yang lebih penting, peringkat garis Komando lembaga intelijen militer ini akan diturunkan. BIA nanti tak lagi berada di bawah komando Panglima ABRI, seperti halnya sekarang yang dikepalai panglima ABRI. Kepala BIA dijabat secara ex officio oleh Assintel Kasum ABRI. Dengan demikian, BIA tak akan menjadi lembaga tersendiri yang dengan mudah mempunyai gapaian ke mana-mana.
Perubahan ini telah direncanakan sejak Feisal Tanjung menjadi Panglima ABRI, seusai Sidang Umum MPR Maret 1993. Mabes ABRI membentuk sebuah tim untuk menggodok perubahan ini. Malah (menurut seorang perwira tinggi Bais) soal ini sudah terpikirkan sejak beberapa tahun sebelumnya. Perubahan sosok Bais ini diarahkan supaya lebih berdaya guna. "Tapi, dengan berubahnya struktur organisasi dan menciutnya jumlah anggota, tak mengartikan organisasi ini semakin tidak penting," ujarnya lebih lanjut.
Perubahan ini tampaknya seiring dengan perkembangan zaman yang tak lagi menuntut aparat keamanan, khususnya mereka yang bergerak di bidang intelijen militer, untuk bertindak "setel kencang". Sekarang, katanya lagi, dengan isu demokratisasi dan hak azasi, mau tak mau aparat keamanan dituntut bertindak lebih "setel kendor". Artinya BIA tampaknya nanti hanya diharapkan berperan sebatas memberi saran bagi tindakan pencegahan terhadap gangguan kemantaban politik, ekonomi dan sosial.
Di zaman "setel kencang", lanjutnya, Bais dapat melakukan penindakan secara langsung terhadap mereka yang dianggap sebagai "musuh negara", misalnya penahanan tanpa proses peradilan.
Dalam struktur lama lembaga lama (Bais) organisasi yang dipimpin langsung oleh Panglima ABRI ini, pelaksanaan operasionalnya sehari-hari dipegang oleh Wakil ketua. Lembaga ini memiliki delapan direktorat yang dipimpin seorang direktur dengan pangkat jendral berbintang satu. Ini belum termasuk satuan-satuan tugas yang menangani bidang-bidang khusus.
Lembaga ini betul-betul menjadi penyaring semua kegiatan di sini, misalnya melakukan screening untuk para calon anggota DPR/MPR, calon pejabat tinggi negara, diplomat yang akan ditugaskan di luar negeri dan bahkan para pejabat BUMN.
Salah satu bagian yang penting di Bais adalah Direktorat A. Kabarnya dulu direktorat ini memiliki rentang kerja yang sangat luas, karena membidangi masalah politik, sosial, ekonomi dan budaya di dalam negeri. Sewaktu berpangkat Brigjen, Agum Gumelar pernah mangkal di direktorat ini. Direktorat ini membawahkan paling banyak paban, sebanyak 6 orang. Pada Munas PDI tahun 1993, Agum berperan "menertibkan" kegiatan ini, yang menghasilkan terpilihnya Megawati Soekarnoputri sebagai ketua umum.
Operasi Bais tampaknya banyak pula andilnya dalam sejarah politik Indonesia, seperti soal membereskan kelompok-kelompok perlawanan di Timor Timur, juga pengacau keamanan di DI Aceh. Begitu besarnya peran intelijen militer ini, sehingga tak mengherankan kalau pamornya terasa lebih mentereng daripada (misalnya) Bakin, lembaga yang ditugaskan mengkoordinasikan semua lembaga intelijen yang ada.
Namun, menonjolnya peran Bais itu bisa dimengerti, karena memiliki jaringan di berbagai lapis. Di jajaran teritorial (misalnya) Bais bisa memanfaatkan perangkat ABRI yang ada, yaitu Kodam, Korem, Kodim dan Koramil, bahkan kalau perlu sampai Babinsa di tingkat pedesaan. Sementara itu Bakin (sebagai koordinator) tentu tak punya jaringan luas, walau mempunyai sejumlah secara terbatas "koresponden" di lapangan.
Kuatnya lembaga ini, selain tampak dari peran yang diembannya, juga terlihat dalam jumlah "alumnus" Bais yang kemudian menduduki posisi penting di lingkungan ABRI dan pemerintahan. Sebab (menurut seorang "alumnus" nya) menjadi pejabat di Bais berarti mempunyai kesempatan mengenali problem teritorial dan sosial politik nasional sekaligus.
Dari markasnya di kawasan Tebet, Jakarta Selatan, muncullah (ketika itu) Letjen LB Moerdani, yang diangkat menjadi Panglima ABRI (1983-1988) dan Menhankam (198-1993). Sejumlah paban semasa Benny Moerdani memimpin Pusintelstrat (sebelum menjadi Bais) sempat tampil di jajaran pimpinan teras ABRI. Sebut saja Laksamana (Purn) M. Arifin (mantan KSAL), Laksdya (Purn) Soedibyo Rahardjo (mantan Kasum ABRI), Marsda (Purn) Teddy Rusdi (mantan Assrenum Kasum ABRI), Mayjen (Purn) Nugroho (mantan JAM Bidang Intelijen dan Sekjen Depdagri) dan Letjen (Purn) Sudibyo yang pernah memimpin Bakin. Termasuk dalam barisan ini adalah Mayjen (TNI) Agum Gumelar (Pangdam VII dan mantan Dan Kopassus) dan Letjen AM Hendropriyono (Sesdalopbang dan mantan Pangdam Jaya).
Menonjolnya peran Bais ini tentu tak lepas dari tangan LB Moerdani sebagai pendirinya. Cikal bakal organisasi ini berasal dari Pusintelstrat yang berada di bawah Komando Mabes ABRI. Sejak tahun 1977, Benny Moerdani sudah menjadi kepala di lembaga itu dan merangkap sebagai Assintel Mabes ABRI (sejak 1974). Di ujung tahun 1970-an dan awal 1980-an itu, ia juga dipercaya memegang dua jabatan penting intelijen : Wakil Kepala Bakin dan Kepala Intelijen Kopkamtib.
Setelah Letjen Benny dilantik menjadi Panglima ABRI (1983), tak lama kemudian Pusintelstrat diubah menjadi Bais. Richard Tanter (pengamat badan intelijen di Indonesia, asal Australia) melihat terbentuknya Bais sebagai upaya Benny yang melihat bahwa ABRI membutuhkan badan intelijen yang terpusat dan profesional. "Ini perlu untuk mengawasi kegiatan yang sekecil-kecilnya dan kesanggupan untuk mencegah atau (kalau perlu) menindak kegiatan yang tidak direstui pemerintah," kata Tanter, yang menjadi dosen di Universitas Kyoto.
Ia juga mengatakan bahwa dibentuknya Bais ini dengan wewenangnya yang besar itu diilhami oleh pengamatan Benny terhadap lembaga intelijen Korea Selatan (KCIA), tahun 1970-an, ketika ia bertugas sebagai atase pertahanan di Negeri Ginseng itu. "Benny ingin sekali membuat badan intelijen ABRI lebih profesional dan canggih," ujar Tanter.
Sekali pun Benny sudah menjabat Panglima ABRI, jabatan Kepala Bais tetap di tangannya. Untuk pelaksanaan sehari-hari, ia dibantu oleh Wakil Kepala Bais, ketika itu Mayjen Sutaryo. Setelah tidak lagi menjadi Panglima ABRI dan Kepala Bais, tokh Benny (kemudian menjadi Menhankam) masih tetap berpengaruh di "kantor Tebet" itu.
Dalam tesisnya (untuk meraih gelar doktor di Universitas Monash, Australia) yang berjudul Intelligence Aencies in Third World Militarisation, A Case of Study of Indonesia 1966-1989, Tanter menggambarkan bagaimana ketika itu Wakil Kepala Bais Mayjen Sutaryo melaporkan hasil kerja intelijen kepada dua boss : Panglima ABRI Jendral Try Sutrisno dan Menhankam Benny Moerdani.
Struktur Kepala Bais yang dirangkap oleh Panglima ABRI inilah yang kemudian banyak dikritik, sekali pun dianggap berhasil guna. "Intelijen itu harus dipisahkan dari kekuatan langsung. Intel harus berdiri sendiri," kata Soetopo Joewono, mantan Kepala Bakin. Hasil intelijen seharusnya berhenti sampai taraf "laporan" kepada pemegang kekuasaan. Pemegang kekuasaan inilah yang akan membuat kebijaksanaan berdasarkan laporan intelijen tadi. Tapi, karena ada fungsi dan jabatan yang dirangkap oleh pemegang kekuasaan dan sekaligus organisasi intelijen, produk laporan intelijen itu bisa langsung digunakan untuk membentuk kekuatan.
Maka Soetopo menyambut baik rencana restrukturisasi organisasi intelijen ABRI. "Memang sudah seharusnya," katanya. Kepala BIA tak lagi dirangka Panglima ABRI. Badan ini dipimpin Jenderal berbintang dua, berada di bawah pengawasan Kasum ABRI. Jumlah direktoratnya pun diciutkan dari delapan menjadi lima.
Perubahan sosok ini tak membuat lingkup kerja BIA sangat berbeda dengan Bais. Lingkup kerjanya (secara sederhana) mungkin tetap bisa dirumuskan sebagai lembaga yang memperkirakan ancaman dalam lingkup strategis yang sifatnya membahayakan negara, terutama yang berkaitan dengan masalah sosial, politik, ekonomi dan kebudayaan dalam dan luar negeri. Sementara itu, Assintel (secara struktur di bawah Kasum ABRI) bertugas dalam urusan yang berkaitan langsung dengan taktis dan strategis operasional ABRI. Dengan kata lain, apa pun nama dan kedudukannya dalam organisasi, "intelijen tetap sebagai mata dan telinga ABRI."
Ada yang mengatakan perubahan ini dengan beleid Pemerintah untuk menjawab tuntutan masyarakat yang menghendaki berkurangnya pendekatan keamanan. Dan ada pula yang mengaitkan dengan upaya Pemerintah menampilkan citra demokratis.
Seperti kata Brigjen (Purn) Soedibjo (mantan Atase Pertahanan di Moskow, kemudian menjadi staf di Lembaga pengkajian Strategis Indonesia) bahwa, "Pengawasan-pengawasan yang begitu ketat, yang didukung dengan organisasi yang rumit, mungkin sudah saatnya tak lagi diperlukan." Sedangkan mengenai demonstrasi, sepanjang tak bertujuan menjatuhkan Pemerintah atau mengganti UUD, "Biarkan saja polisi yang menanganinya, tak perlu intel. Masyarakat tak lagi merasa dikekang."
Namun, ada juga yang tak sepenuhnya melihat perubahan ini punya makna penting dalam kehidupan politik Indonesia. Perubahan sosok Bais menjadi BIA itu tak ubahnya seperti "cuma ganti topi". Sasaran yang ditangani masih sama. Lebih "setel kendor" atau "kencang" sepenuhnya bergantung pada siapa yang menggunakan "mata dan telinga" itu.
Atau (seperti kata Tanter) sekilas peran BIA akan berkurang dibandingkan Bais dulu. "Mungkin ada perubahan gaya dan cara beroperasi. Tapi saya tak yakin pengaruh dan kekuasaannya akan berkurang," katanya. Toh ia juga masih ingin tahu bagaimana pengaruh dan hubungan BIA dengan Panglima ABRI dan Presiden, yang tentu lebih jauh jaraknya.
Sumber :
Sementara itu, Bakin lebih memantau dan menganalisis masalah secara nasional. Paling tidak tiap sidang kabinet paripurna tutup tahun, Kepala Bakin selalu diberi tugas oleh Presiden untuk memaparkan perkiraan keadaan tahun berikutnya.
Lembaga yang pernah disegani itu (bahkan buat sebagian orang dirasakan angker) kini tinggal sejarah. Itulah Badan Intelijen Strategis (Bais) ABRI. Namanya kini adalah Badan Intelijen ABRI (BIA). Sosoknya lebih ramping dan anggotanya menciut, dibandingkan dengan Bais. "Sesuai dengan kebutuhan zaman, keadaan sekarang membuat Bais tak lagi dibutuhkan sebesar ini," kata seorang pejabat tinggi ketika menanggapi rencana perubahan saat itu.
Yang lebih penting, peringkat garis Komando lembaga intelijen militer ini akan diturunkan. BIA nanti tak lagi berada di bawah komando Panglima ABRI, seperti halnya sekarang yang dikepalai panglima ABRI. Kepala BIA dijabat secara ex officio oleh Assintel Kasum ABRI. Dengan demikian, BIA tak akan menjadi lembaga tersendiri yang dengan mudah mempunyai gapaian ke mana-mana.
Perubahan ini telah direncanakan sejak Feisal Tanjung menjadi Panglima ABRI, seusai Sidang Umum MPR Maret 1993. Mabes ABRI membentuk sebuah tim untuk menggodok perubahan ini. Malah (menurut seorang perwira tinggi Bais) soal ini sudah terpikirkan sejak beberapa tahun sebelumnya. Perubahan sosok Bais ini diarahkan supaya lebih berdaya guna. "Tapi, dengan berubahnya struktur organisasi dan menciutnya jumlah anggota, tak mengartikan organisasi ini semakin tidak penting," ujarnya lebih lanjut.
Perubahan ini tampaknya seiring dengan perkembangan zaman yang tak lagi menuntut aparat keamanan, khususnya mereka yang bergerak di bidang intelijen militer, untuk bertindak "setel kencang". Sekarang, katanya lagi, dengan isu demokratisasi dan hak azasi, mau tak mau aparat keamanan dituntut bertindak lebih "setel kendor". Artinya BIA tampaknya nanti hanya diharapkan berperan sebatas memberi saran bagi tindakan pencegahan terhadap gangguan kemantaban politik, ekonomi dan sosial.
Di zaman "setel kencang", lanjutnya, Bais dapat melakukan penindakan secara langsung terhadap mereka yang dianggap sebagai "musuh negara", misalnya penahanan tanpa proses peradilan.
Dalam struktur lama lembaga lama (Bais) organisasi yang dipimpin langsung oleh Panglima ABRI ini, pelaksanaan operasionalnya sehari-hari dipegang oleh Wakil ketua. Lembaga ini memiliki delapan direktorat yang dipimpin seorang direktur dengan pangkat jendral berbintang satu. Ini belum termasuk satuan-satuan tugas yang menangani bidang-bidang khusus.
Lembaga ini betul-betul menjadi penyaring semua kegiatan di sini, misalnya melakukan screening untuk para calon anggota DPR/MPR, calon pejabat tinggi negara, diplomat yang akan ditugaskan di luar negeri dan bahkan para pejabat BUMN.
Salah satu bagian yang penting di Bais adalah Direktorat A. Kabarnya dulu direktorat ini memiliki rentang kerja yang sangat luas, karena membidangi masalah politik, sosial, ekonomi dan budaya di dalam negeri. Sewaktu berpangkat Brigjen, Agum Gumelar pernah mangkal di direktorat ini. Direktorat ini membawahkan paling banyak paban, sebanyak 6 orang. Pada Munas PDI tahun 1993, Agum berperan "menertibkan" kegiatan ini, yang menghasilkan terpilihnya Megawati Soekarnoputri sebagai ketua umum.
Operasi Bais tampaknya banyak pula andilnya dalam sejarah politik Indonesia, seperti soal membereskan kelompok-kelompok perlawanan di Timor Timur, juga pengacau keamanan di DI Aceh. Begitu besarnya peran intelijen militer ini, sehingga tak mengherankan kalau pamornya terasa lebih mentereng daripada (misalnya) Bakin, lembaga yang ditugaskan mengkoordinasikan semua lembaga intelijen yang ada.
Namun, menonjolnya peran Bais itu bisa dimengerti, karena memiliki jaringan di berbagai lapis. Di jajaran teritorial (misalnya) Bais bisa memanfaatkan perangkat ABRI yang ada, yaitu Kodam, Korem, Kodim dan Koramil, bahkan kalau perlu sampai Babinsa di tingkat pedesaan. Sementara itu Bakin (sebagai koordinator) tentu tak punya jaringan luas, walau mempunyai sejumlah secara terbatas "koresponden" di lapangan.
Kuatnya lembaga ini, selain tampak dari peran yang diembannya, juga terlihat dalam jumlah "alumnus" Bais yang kemudian menduduki posisi penting di lingkungan ABRI dan pemerintahan. Sebab (menurut seorang "alumnus" nya) menjadi pejabat di Bais berarti mempunyai kesempatan mengenali problem teritorial dan sosial politik nasional sekaligus.
Dari markasnya di kawasan Tebet, Jakarta Selatan, muncullah (ketika itu) Letjen LB Moerdani, yang diangkat menjadi Panglima ABRI (1983-1988) dan Menhankam (198-1993). Sejumlah paban semasa Benny Moerdani memimpin Pusintelstrat (sebelum menjadi Bais) sempat tampil di jajaran pimpinan teras ABRI. Sebut saja Laksamana (Purn) M. Arifin (mantan KSAL), Laksdya (Purn) Soedibyo Rahardjo (mantan Kasum ABRI), Marsda (Purn) Teddy Rusdi (mantan Assrenum Kasum ABRI), Mayjen (Purn) Nugroho (mantan JAM Bidang Intelijen dan Sekjen Depdagri) dan Letjen (Purn) Sudibyo yang pernah memimpin Bakin. Termasuk dalam barisan ini adalah Mayjen (TNI) Agum Gumelar (Pangdam VII dan mantan Dan Kopassus) dan Letjen AM Hendropriyono (Sesdalopbang dan mantan Pangdam Jaya).
Menonjolnya peran Bais ini tentu tak lepas dari tangan LB Moerdani sebagai pendirinya. Cikal bakal organisasi ini berasal dari Pusintelstrat yang berada di bawah Komando Mabes ABRI. Sejak tahun 1977, Benny Moerdani sudah menjadi kepala di lembaga itu dan merangkap sebagai Assintel Mabes ABRI (sejak 1974). Di ujung tahun 1970-an dan awal 1980-an itu, ia juga dipercaya memegang dua jabatan penting intelijen : Wakil Kepala Bakin dan Kepala Intelijen Kopkamtib.
Setelah Letjen Benny dilantik menjadi Panglima ABRI (1983), tak lama kemudian Pusintelstrat diubah menjadi Bais. Richard Tanter (pengamat badan intelijen di Indonesia, asal Australia) melihat terbentuknya Bais sebagai upaya Benny yang melihat bahwa ABRI membutuhkan badan intelijen yang terpusat dan profesional. "Ini perlu untuk mengawasi kegiatan yang sekecil-kecilnya dan kesanggupan untuk mencegah atau (kalau perlu) menindak kegiatan yang tidak direstui pemerintah," kata Tanter, yang menjadi dosen di Universitas Kyoto.
Ia juga mengatakan bahwa dibentuknya Bais ini dengan wewenangnya yang besar itu diilhami oleh pengamatan Benny terhadap lembaga intelijen Korea Selatan (KCIA), tahun 1970-an, ketika ia bertugas sebagai atase pertahanan di Negeri Ginseng itu. "Benny ingin sekali membuat badan intelijen ABRI lebih profesional dan canggih," ujar Tanter.
Sekali pun Benny sudah menjabat Panglima ABRI, jabatan Kepala Bais tetap di tangannya. Untuk pelaksanaan sehari-hari, ia dibantu oleh Wakil Kepala Bais, ketika itu Mayjen Sutaryo. Setelah tidak lagi menjadi Panglima ABRI dan Kepala Bais, tokh Benny (kemudian menjadi Menhankam) masih tetap berpengaruh di "kantor Tebet" itu.
Dalam tesisnya (untuk meraih gelar doktor di Universitas Monash, Australia) yang berjudul Intelligence Aencies in Third World Militarisation, A Case of Study of Indonesia 1966-1989, Tanter menggambarkan bagaimana ketika itu Wakil Kepala Bais Mayjen Sutaryo melaporkan hasil kerja intelijen kepada dua boss : Panglima ABRI Jendral Try Sutrisno dan Menhankam Benny Moerdani.
Struktur Kepala Bais yang dirangkap oleh Panglima ABRI inilah yang kemudian banyak dikritik, sekali pun dianggap berhasil guna. "Intelijen itu harus dipisahkan dari kekuatan langsung. Intel harus berdiri sendiri," kata Soetopo Joewono, mantan Kepala Bakin. Hasil intelijen seharusnya berhenti sampai taraf "laporan" kepada pemegang kekuasaan. Pemegang kekuasaan inilah yang akan membuat kebijaksanaan berdasarkan laporan intelijen tadi. Tapi, karena ada fungsi dan jabatan yang dirangkap oleh pemegang kekuasaan dan sekaligus organisasi intelijen, produk laporan intelijen itu bisa langsung digunakan untuk membentuk kekuatan.
Maka Soetopo menyambut baik rencana restrukturisasi organisasi intelijen ABRI. "Memang sudah seharusnya," katanya. Kepala BIA tak lagi dirangka Panglima ABRI. Badan ini dipimpin Jenderal berbintang dua, berada di bawah pengawasan Kasum ABRI. Jumlah direktoratnya pun diciutkan dari delapan menjadi lima.
Perubahan sosok ini tak membuat lingkup kerja BIA sangat berbeda dengan Bais. Lingkup kerjanya (secara sederhana) mungkin tetap bisa dirumuskan sebagai lembaga yang memperkirakan ancaman dalam lingkup strategis yang sifatnya membahayakan negara, terutama yang berkaitan dengan masalah sosial, politik, ekonomi dan kebudayaan dalam dan luar negeri. Sementara itu, Assintel (secara struktur di bawah Kasum ABRI) bertugas dalam urusan yang berkaitan langsung dengan taktis dan strategis operasional ABRI. Dengan kata lain, apa pun nama dan kedudukannya dalam organisasi, "intelijen tetap sebagai mata dan telinga ABRI."
Ada yang mengatakan perubahan ini dengan beleid Pemerintah untuk menjawab tuntutan masyarakat yang menghendaki berkurangnya pendekatan keamanan. Dan ada pula yang mengaitkan dengan upaya Pemerintah menampilkan citra demokratis.
Seperti kata Brigjen (Purn) Soedibjo (mantan Atase Pertahanan di Moskow, kemudian menjadi staf di Lembaga pengkajian Strategis Indonesia) bahwa, "Pengawasan-pengawasan yang begitu ketat, yang didukung dengan organisasi yang rumit, mungkin sudah saatnya tak lagi diperlukan." Sedangkan mengenai demonstrasi, sepanjang tak bertujuan menjatuhkan Pemerintah atau mengganti UUD, "Biarkan saja polisi yang menanganinya, tak perlu intel. Masyarakat tak lagi merasa dikekang."
Namun, ada juga yang tak sepenuhnya melihat perubahan ini punya makna penting dalam kehidupan politik Indonesia. Perubahan sosok Bais menjadi BIA itu tak ubahnya seperti "cuma ganti topi". Sasaran yang ditangani masih sama. Lebih "setel kendor" atau "kencang" sepenuhnya bergantung pada siapa yang menggunakan "mata dan telinga" itu.
Atau (seperti kata Tanter) sekilas peran BIA akan berkurang dibandingkan Bais dulu. "Mungkin ada perubahan gaya dan cara beroperasi. Tapi saya tak yakin pengaruh dan kekuasaannya akan berkurang," katanya. Toh ia juga masih ingin tahu bagaimana pengaruh dan hubungan BIA dengan Panglima ABRI dan Presiden, yang tentu lebih jauh jaraknya.
Sumber :
- rixco
☆ Baik buruk itu suatu pilihan, tercatat dalam dokumen menjadi sejarah ☆
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.